venerdì, febbraio 27, 2004

C R A Z Y

Itu kata-kata yang keluar dari pikiran saya setiap kali saya berpapasan dengan sosoknya. Gila, memang gila, gimana ga gila, dia itu cowok terkeren di kantor ini. Dia itu atasan saya. Saya hanya sekretaris biasa. Ga cantik, ga tinggi, dengan ukuran kaki yang berbeda. Saya cacat di bagian itu. Herannya, dulu pak Hendro dengan tangan terbuka menerima lamaran kerja saya sebagai sekretarisnya. Apakah saat itu matanya sedang buta sesaat atau karena memang dia lagi butuh sekretaris, saya langsung diterima kerja setelah melewati sesion wawancara.

I must be crazy, karena setiap kali saya berhadapan dengannya, tubuh saya keringatan karena ac sama sekali ga bisa mengademkan tubuh ini. Setiap kali pak Hendro menatap saya, entah berterima kasih atas kerja yang memuaskan atau karena sebal sama kerjaan yang ga beres, tubuh saya bergetar. I must be crazy! Dia bos saya meskipun usia kita ga beda jauh. Dia bos muda dengan segudang kepintaran. Makanya perusahaan konstruksi yang dibangunnya ini sukses berat. Pak Hendro memulai semuanya dari nol besar. Kesuksesan yang diraihnya sekarang ini adalah bukti nyata dari kerja kerasnya selama ini.

My alarm bawah sadar berbunyi. Saya tengadah, betul, Pak Hendro saat ini sedang berdiri di hadapan saya dengan setumpuk map. Saya berdiri, dengan susah payah. Kaki saya selalu sulit diajak berdiri dengan cepat.
"Wid, saya harap urusan ardin perusahaan ini bisa selesai secepatnya. Masa sih urusan segini gampang ga bisa diselesaikan?" saya, lagi-lagi keringatan. Gerah rasanya berhadapan dengan raksasa ganteng di hadapan saya ini.
"Iya pak, akan segera saya selesaikan dengan bagian administrasi." jawab saya patuh. Takut-takut saya tatap matanya. Oh my god!
"Oke. Saya mau keluar makan siang dulu. Nanti sore ada agenda apa?" tanya pak Hendro tegas.
"Jam empat meeting dengan bapak Bupati, mengenai kontrak perbaikan jalan Kabupaten yang rusak." jawab saya. Dia manggut-manggut.
"Ya udah kalau gitu, jam empat saya kesana. Langsung ke ruang rapat Bupati kan?" entah itu pertanyaan atau pernyataan. Kan bukan baru sekali pak Hendro meeting sama pak Bupati. Saya mengangguk lemah. Selemah kaki saya yang selalu tidak kuat berdiri lama.
Thanks God, pak Hendro akhirnya berlalu dari meja saya. Untung meja saya berada di luar ruang kantornya. Jangan sampai deh saya seruangan dengannya. Bisa mati berdiri saya. Di kota kabupaten ini, perusahaan konstruksi pak Hendro termasuk yang paling elite. Bangunannya elit, interiornya bagus. Sistem kerja yang diterapkannya sendiri juga mantap.

Malam telah merambat turun saat saya selesaikan satu surat terakhir yang memang harus selesai hari ini juga. Surat-surat permohonan rekanan kerja, pajak, ngatur agenda pak Hendro dan lain-lainnya sering membuat kaki saya menjerit. Ugh, saya cepat-cepat membereskan meja, mematikan komputer dan mengunci laci. Setelah pamit pada satpam jaga malam itu saya pulang. Jalan kaki. Rumah saya hanya berjarak beberapa meter dari tempat kerja. Saya paksa kaki saya yang cacat untuk berjalan. Kaki yang besar sebelah ini telah menjadi bagian dari diri saya sejak lahir. Sebenarnya ga terlalu nampak perbedaannya kalau ukuran panjang keduanya sama. Phew, ini lah saya, Widi, si cacat kaki yang suka berdebar-debar hatinya bila berdekatan dengan si bos yang bak coverboy raksasa itu. I must be crazy!

Mana mau sih pak Hendro menatap saya meskipun dengan sebelah matanya saja? Kalau pun harus menatap saya, itu masih dalam urusan kerja, ga ada hubungannya sama urusan pribadi. Kadang saya saja yang sering kege-eran bila pak Hendro mengirimkan buah & cake ke rumah. Apalagi setelah kita menang tender besar. Pak Hendro bahkan tanpa sungkan mengajak saya makan malam bersama. Katanya kesuksesan perusahaannya adalah berkat kerja saya juga. Iya sih, kalau dihitung-hitung, kerjaan saya memang paling banyak. Ada saja yang harus saya kerjakan setiap harinya. Bahkan sering kerjaan yang bukan bidang saya pun harus saya selesaikan. Pak Hendro menaruh kepercayaan besar pada saya.

Apakah karena itu saya jadi ga karuan bila berhadapan dengannya? Ah, sadar dong, saya bukan apa-apa. Saya bukan tipe gadis idaman pak Hendro. Saya cacat dan ga cantik. Banyak cewek-cewek cakep nan modis yang datang ke kantor bertemu pak Hendro. Saya sering menderang derai tawa mereka dari dalam ruang kerjanya. Banyak pula cewek yang menelepon. Well, lebih banyak masuk telepon dari cewek yang mencari pak Hendro ketimbang telepon yang berhubungan sama kerjaan. Sudah saya bilang, I must be crazy. Saya menaruh rasa simpati, lebih dari itu, suka, mungkin lebih dari suka, cinta. Kalau tiba-tiba bayangannya melintas di benak, kerjaan saya jadi keteteran. Ga bisa konsentrasi sama sekali. God Help me, I'm fallin for him. Fallin in love with him.

Sesampai di rumah, saya cepat-cepat mandi air hangat dan makan. Ayah, ibu, mbak Kiki dan Rudi sering menunggu saya pulang untuk makan malam. Padahal saya telah menegaskan, jangan lah saya ditunggu, makan lah lebih dahulu. Namun ayah selalu bersih keras makan malam dengan anggota keluarga yang komplit. Ayah yang pensiunan Polisi selalu bersikap tegas terhadap kami, anak-anaknya. Ga heran kalau kami menjadi orang baik, paling tidak orang yang mengerti moral. Mbak Kiki sekarang menjadi pegawai negeri di Departemen Koperasi dengan pangkat yang lumayan. Saya sendiri bekerja pada perusahaan konstruksi milik pak Hendro. Dan adik kami, Rudi, tahun ini lolos menjadi anggota Polisi. Ibu adalah ibu rumah tangga yang ramah dan hangat. Rumah dan keluarga adalah tempat saya berbagi suka dan duka. Kehangatan rumah ini memanjakan jiwa saya.

Selepas makan malam saya pamit, tidur. Capek sekali rasanya tubuh saya, terlebih kaki saya. Saya raih hp lalu tidur dengan posisi kaki lebih tinggi. Selalu ada dua bantal tambahan untuk mengganjal kaki saya. Saya lihat hp, ada sms masuk. Oh, dari pak Hendro. -->Wid, sudah tiba di rumah?-Bos Hp. Saya tersenyum. Pak Hendro memang selalu perhatian. Barangkali perhatiannya itu yang membangkitkan arus listrik di dalam diri saya. Ada lagi sms ke dua, -->Wid, kamu lagi dimana?-Bos Hp. Saya kembali tersenyum. Sms ke tiga, -->Widi, tolong balas sms saya! Saya butuh bantuanmu sekarang!-Bos Hp. Eh, apa ga salah? Pak Hendro membutuhkan saya? Uhm, bantuan saya maksutnya. Saya balas smsnya. Pulang kantor tadi tas saya biarkan di kamar, jadi saat sms-sms itu masuk, saya ga mendengar.

Telepon berdering, Rudi memanggil saya. Dengan setengah terpaksa dan setengah mati saya ajak kaki saya keluar kamar, meraih handle telepon.
"Widi? Saya smsin kamu dari tadi. Saya butuh bantuan kamu. Saya jemput sekarang yah, kita ke rumah sakit." belum sempat saya menjawab satu kata pun telepon sudah ditutup dari seberang .. tut.
Saya jelaskan ke ayah dan ibu kalau harus ikut pak Hendro ke rumah sakit, ada hal mendesak. Detail nya nanti dijelaskan pak Hendro saja. Ayah dan ibu maklum, pak Hendro sendiri dekat dengan mereka. Mereka percaya sepenuhnya padanya. Mobil pak Hendro tiba sepuluh menit kemudian. Kita langsung menuju rumah sakit. Wajah nya yang tampan itu nampak tegang. Cemas bercampur gelisah. Ada apa?
"Wid, golongan darahmu A kan? Kamu dah biasa donorin darah kan?" tanya pak Hendro memecahkan kesunyian diantara kami, membelah malam kelam.
"Iya .. empat bulan lalu saya baru mendonor rutin untuk palang merah. Jadi sekarang sudah boleh mendonor lagi." jawab saya.
"Syukur lah. Cewek saya kecelakaan tadi sore dan membutuhkan banyak darah." deg. Saya tercekat. Ceweknya? Pacarnya kah? Yang mana? Begitu banyak cewek yang masuk keluar ruangan kerjanya. Semuanya cantik dan modis. Semunya nampak mesra dengannya. Batin saya menjerit. I must be crazy cuz I want you tell me that you love me too!

Nama cewek itu Fifi. Pacar pak Rudi. Golongan darah A. Mengalami kecelakaan, ditabrak sepeda motor saat hendak menyeberang, menuju sisi jalan lain dimana mobil pak Hendro diparkir. Pak Hendro setelah meeting sama pak Bupati langsung menjemput pacarnya itu, dan kecelakaan itu tak dapat dihindari. Tubuh Fifi terpelanting, kepalanya bocor dan luka dimana-mana. Dengan tulus saya mendonorkan darah, membiarkan jarum besar itu menancap di perbatasan tangan dan lengan. Dari nadi saya keluar darah segar, ditampung dalam kantong darah. Selesai sudah. Fifi memang hanya membutuhkan satu kantong darah. Cacat bukan berarti ga bisa membantu sesama kan?

Setelah mendonor darah, saya diantar pulang.
"Wid, terima kasih." hanya itu yang pak Hendro ucapkan. Tatap matanya seperti menyimpan sesuatu yang besar yang ingin terungkap namun terus ditahan. Saya mengangguk tulus, turun dari mobilnya. Bercerita pada ayah ibu, minum susu hangat buatan mbak Kiki dan masuk kamar. Tidur. Saya letih sekali. Bagi pak Hendro, apa yang baru saja saya lakukan mungkin hal biasa, tapi bagi saya, itu luar biasa. I must be crazy, he doesn't love me, but I still want to do anything for him!

Bangun pagi ini saya lekas-lekas mandi air hangat. Ibu selalu menyediakan air hangat untuk mandi saya, berbeda dari mbak Kiki dan Rudi. Karena kaki saya suka kram dan rasanya ngilu bila terkena air dingin. Dengan langkah tertatih saya berangkat menuju tempat kerja. Berjalan kaki. Menghirup udara pagi yang bersih. Ditemani beberapa pelajar yang juga berjalan kaki. Mereka adalah sahabat-sahabat setiap pagi. Yang rutin, sama seperti saya, berangkat kerja dengan berjalan kaki.

Di kantor pak Hendro sudah datang duluan. Mobilnya ada di tempat parkir. Saya sedikit kaget melihat raksasa ganteng itu duduk di kursi kerja saya.
"Pagi pak, maaf agak telat." sapa saya ramah. Dia tersenyum.
"Ga telat kok, saya saja yang datang lebih pagi dari kamu Wid. Wid, makasih yah semalam sudah membantu Fifi. Sebelum ke kantor saya sempat ke rumah sakit, nengokin dia. Kata dokter keadaannya sudah mulai membaik." saya turut gembira mendengarnya, bantuan saya yang tulus bermanfaat juga. Saya mulai gerah, keringatan. Keadaan yang amat saya benci.
"Sama-sama pak." jawab saya pendek. Saya mulai saat ini harus bisa menjaga jarak dengannya. Saya ga boleh membiarkan baju saya basah karena keringat bila berhadapan dengannya. Bila rasa itu pergi, tanda-tanda ini pasti pergi juga. Saya bukan apa-apa dalam hidupnya.

Sebulan kemudian Fifi sudah diperbolehkan keluar rumah sakit. Cewek cantik itu secara khusus mengucapkan terima kasihnya pada saya. Saya jadi ga enak menerima ucapan terima kasih berulang-ulang itu. Fifi mulai dekat dengan saya. Setiap kali ke kantor bertemu pak Hendro, Fifi sering membawakan oleh-oleh untuk saya. Kue, buah, jus atau majalah. Hati saya miris bila melihat mereka keluar berdua, tertawa berdua penuh cinta. Namun masih sempat saya menangkap, atau hanya perasaan saya saja, pak Hendro suka mencuri lihat ke arah saya saat berdua Fifi, demikian pula dengan Fifi, Ufpt, apa ini? Namun keduanya nampak saling mencintai. Sedangkan saya, yang mencintai pak Hendro setengah mati, berkutat dengan pekerjaan dan tenggelam di balik komputer. Inilah hidup. I must be crazy if I'm still waiting for his love! God help me to forget him.

Tapi bagaimana bisa saya melupakannya bila setiap hari dan separuh dari waktu saya adalah bersamanya? Saya bekerja untuknya. Hampir sembilan jam waktu saya dalam sehari adalah bersama pak Hendro. Well, kalau pak Hendro sedang ada meeting atau keluar kota memantau buruh kerjanya, saya bisa sedikit plong. Namun bila pak Hendro ga keluar untuk acara apa pun? God help me, this guy gives me big influence in my life. I want his love. Stupid I am.

Saya harus melupakan pak Hendro dan mimpi-mimpi saya. Seberapa lama saya dapat bertahan menghadapi semua ini? Miris hati saya melihat mesranya Fifi dengannya. Jalan satu-satunya yang terbaik adalah, saya harus berhenti kerja. Saya harus, karena itu satu-satunya cara agar saya lepas dari pesona pak Hendro. Agar saya ga berdosa dengan mengutuk kemesraan mereka. Saya harus pergi jauh dari sosok raksasa mempesona ini. Agar saya tidak harus menjadi gila karenanya, karena cinta saya yang bertepuk sebelah tangan ini. Saya bicara pada ayah ibu kalau saya butuh waktu untuk istirahat. Saya harus berlibur untuk menyenangkan kaki saya. Ayah awalnya marah-marah. Toh saya bisa minta cuti pada si bos kan? Tapi saya bersih keras. Ibu, dengan naluri keibuannya, barangkali tau dilema yang sedang saya hadapi saat ini. Ibu, ntah apa yang dibicarakannya pada ayah, akhirnya ayah setuju. Saya diijinkan untuk mengajukan surat pengunduran diri. Saya harus.

Namun niat saya itu terhalang sesuatu. Fifi, pada suatu siang yang panas mendatangi kantor. Pak Hendro sedang keluar kota.
"Siang Wid. Sibuk ga? Temani saya makan siang yuk. Kebetulan bos mu lagi ga ada hehehe ..." saya menolak awalnya. Namun permohonan Fifi demikian gencar, saya mengalah, naik mobilnya, keluar makan siang bersamanya. Di sebuah rumah makan padang Fifi berbicara. Panjang lebar. Sampai hampir budeg saya mendengarnya.
"Wid. Terima lah bang Hendro." saya langsung pusing. Kaki saya hampir kram begitu terkejutnya saya.
"Apa? Fifi kalau bercanda jangan berlebihan deh." saya berusaha menutupi kegugupan ini. I must be crazy when I hear it. Very crazy.
"Saya serius. Saya mohon Wid." kebohongan macam apa ini? Saya harus menerima pak Hendro setelah saya dibikin gila setengah mati? Apa artinya ini?!
"Wid ... saya dan bang Hendro telah membuat keputusan untuk pisah. Kamu tau saat saya kecelakaan? Itu saat saya harus menjelaskan padanya kalau kami ga bisa meneruskan hubungan ini. Saya telah dijodohkan Wid, dan saya harus pergi jauh dari kota tercinta ini ke Balikpapan." saya melihat butir-butir bening mulai merebak di pelupuk matanya. Cewek cantik. Tetap cantik walaupun sedang menangis. Ga seperti saya, tetap jelek meskipun tersenyum. Saya menggeleng. Apa pun ini, saya ga terima diperlakukan seperti ini. Saya bukan tong sampah!

"Sebulan setelah saya pulih, setelah benar-benar pulih dan benar-benar bisa sedikit menampik budi baiknya, baru saya bisa bicara jujur." pengakuan yang ga pada tempatnya. Pantas saja, pak Hendro lebih memilih keluar kota ketimbang ngendon di ruang kerjanya. Apa gara-gara ini? Setiap manusia memiliki dilema sendiri-sendiri. Saya diam membisu. Lidah saya kelu. Haruskan saya mensyukuri perjodohan Fifi? How crazy I am!
"Widi, kamu tau apa yang dibilang bang Hendro pada saya sampai saya berani meminta kamu untuk menerimanya? Dia sebenarnya juga mau mengatakan hal yang sama pada saya. Dia mencintai cewek yang telah menjadi bagian hidup dan kerjanya. Itu jelas bukan saya, itu kamu Wid! Kalian cocok dalam segala hal. Kalian sama-sama pintar dan ulet. Kalian cocok ..." saya tercekat. Mana mungkin raksasa tampan itu mencintai saya. Ga mungkin dia menyimpan cinta pada saya, cewek biasa yang tidak cantik dengan cacat kaki yang menyolok bila diajak berjalan. Saya yang selama ini hampir gila gara-gara cinta saya padanya! Saya kembali menggeleng. Miris! Hati saya miris mendengar semua ini.
"Fi, itu hal yang ga mungkin." jawab saya. Fifi meraih tangan saya.
"Wid, saya ga rela bila bang Hendro mencintai cewek lain, betul-betul ga tega! Dia ga dapat apa-apa dari cewek-cewek itu, justru dirinya diperalat mereka. Saya baru bisa tenang ke Balikpapan bila kamu lah yang menjadi kekasihnya. Bila kamu menerimanya." I must be crazy, crazy, God, please help me, I can't breathe. I am crazy now. Segalanya gelap.

Saya letih, capek. Tubuh saya terasa berat, apalagi kaki saya yang cacat ini. Saat saya membuka mata, saya telah berada di kamar saya, dengan komputer di meja dan satu poster wanita berkebaya di dinding. Ini kamar saya. Saya coba urut kembali kejadian demi kejadian. Otak saya kembali bekerja. Saya pingsan di rumah makan padang setelah ngobrol sama Fifi. Dari luar kamar saya mendengar suara-suara. Ringan, berat. My alarm bawah sadar berbunyi. Pak Hendro kah yang tengah berbicara itu. Pintu terkuak. Ayah, ibu dan pak Hendro. Mata raksasa itu nampak cemas bukan main.
"Widi!!! Kamu ga pa pa kan?" tanya-nya cemas. Menghampiri pembaringan. God help me. Jangan biarkan dia mendekati saya, namun sisi hati saya bersorak, touch me! Touch me with your love! Ayah dan ibu keluar kamar. Saya, gerah dan keringatan. Selalu begitu. Padahal baru saja saya berniat lepas dari pesona cowok ini, agar saya ga dibikin kegerahan.
Matanya, cemas bercampur .. cinta? Menatap saya tajam. Setajam pedang yang siap membelah apa saja. Termasuk hati saya. Dia, duduk di tepi pembaringan. I love you, please say you love me too .. please .. saya menangis dalam hati, menangisi diri saya, Fifi dan pak Hendro. Menangisi jiwa saya yang selalu ga bisa tegar bila berhadapan dengannya.

"Wid, Fifi telah bicara padamu. Maaf, saya belum sempat bicara, namun niat Fifi baik. Ketahuilah Wid. I love you. Selama ini saya berperang melawan perasaan saya, perang melawan cinta saya padamu. Padahal saya tengah menjadi cowok Fifi. Cinta, kadang tumbuh sembarangan yah?" katanya menghibur. Saya tersenyum, hambar ... Pak Hendro, I must be crazy now. Maybe I dream too much, but when I'm think of you, I want to feel your touch, I want to feel your love. Sorry. Hey stupid girl! He had said that he loves you! Don't you hear it? He loves you, so much! Saya benar-benar menangis.
"Pak .. saya ga tau harus bilang apa." kata saya, disela tangis. Tangis bahagia kah? Atau tangis penyesalan? Perasaan saya saat ini sulit dijabarkan dengan kata-kata.
"Don't say anything ..." katanya lagi.
"Saya bukan apa-apa untuk pak Hendro, ga pantas rasanya. Pak .. I'm sorry, I'd loved you when I met you for the first time. When you receive me to be your secretary." ujar saya terbata-bata.
"Psstttt. Don't say anything naughty girl!" disilangkannya telunjuknya di bibir saya. He touch me now! God. Saya ingin waktu berhenti saat ini juga. Sehingga bila ini hanya mimpi, saya akan terus merasakannya.

"Tapi pak, saya ini ga sepadan dengan pak Hendro. Saya ini hanya cewek jelek yang kebetulan diberi kemampuan berpikir dan bekerja extra oleh Tuhan." saya masih ingin bicara meskipun saya letih.
"Wid, saya cinta kamu, ga peduli dengan perbedaan fisik diantara kita. Kamu tau, selama ini saya berusaha menutup-nutupi cinta saya dengan bersikap lebih profesional. Memintamu menolong Fifi adalah niat dari seorang manusia kepada manusia lainnya, tanpa cinta. Saya mencintaimu." Pak Hendro membelai rambut saya lembut. I must be crazy now. Cukup kata cinta itu pak Hendro, saya percaya pada kekuatannya.
"I love you too ..." kata saya akhirnya agak terbata. Pak Hendro tersenyum, menunduk dan mencium kening saya lembut.
"Good, don't you ever say you don't like the way you are. Cuz when you learn to love your self, I want you learn to love me too. Okay? Saya pulang dulu yah. Kamu saya ijinkan cuti dua minggu. Ga boleh lebih, bisa hancur perusahaan tanpa kamu Wid. Berliburlah. Saya ijinkan." usai bilang itu Pak Hendro pamit, keluar kamar. Saya masih terus pandangi punggungnya sampai menghilang dari pintu.

I must be crazy now. All my dream come true just by his love. I love him and there's no dream anymore. He is mine now, the handsome giant. Deep inside my heart I say Thanks God. Just thanks God. I must be crazy. Must be crazy. Be crazy. Crazy.

tootyee, 14 Feb 2004
Inspiration from Celine Dion, I love you.

sabato, febbraio 21, 2004

KALA CINTA MENGGODA

Sejak jumpa pertama si Vira gue langsung jatuh cinta. Ga peduli cemoohan teman-teman yang dilontarkan dengan pedis.
"Sadar dong Kris! Elu siapa, Vira siapa. Jangan bagai punduk merindukan bulan gitu dong!" protes Erwin sahabat dekat gue. Cuek, gue cuek! Gue ketemu Vira di pesta ulang tahun salah seorang teman kelas. Kesana dengan jeans dan kemeja andalan, gue percaya diri masuk pesta. Gile bener, itu pesta apa reuni selebritis sih? Yang ke pesta itu semuanya bak artis. Gue sadar, langsung memisahkan diri dari yang lain begitu habis kasih selamat. Lalu, begitu lagu slow dance mengalun, tanpa gue sadari, seseorang menjawil lengan gue. Begitu menoleh, bujubuneng ... cakep amat. Cewek, tinggi, putih, seksi dengan senyum memikat ngajak gue slow dance! Modal nekat, dari awal sudah nekat sih, gue terima ajakannya. Slow dance, menghirup aroma cewek seksi itu dengan leluasa. Gile .. mimpi apa yah gue?

Itu kejadian satu bulan lalu. Tau ga, kalau gue langsung jatuh cinta? Sejak saat itu bayangan cewek itu, yang bernama Vira, ga mau lepas dari otak gue. Kemana pun gue pergi, bayangannya terus membuntuti. Sampai-sampai otak gue jadi buntu karenanya. Ga konsen ke pelajaran, ga konsen kalau diajak ngobrol, sampai-sampai Erwin lebih sering teriak-teriak ke telinga gue.
"Sompret lu! Gue blum budeg tauk!" semprot gue. Enak saja main teriak gitu.
"Lah elu sih, diajak ngomong malah ga nyaut. Keki gue lihat tingkah lu Kris!" balas Erwin ga mau kalah. Bukan salah Erwin sih, siapa coba yang ga kesal kalau diajak ngobrol malah teman ngobrolnya asik sama pikirannya sendiri?
"Sorry Win .. gue kepikiran si Vira." Erwin terkekeh.
"Sadar bung .. Vira itu foto model! Vira itu punya kehidupan yang high class banget. Ga kayak kita .." betul. Erwin memang betul. Siapa sih yang ga kenal Vira? Kecuali gue tentu saja. Akibat dari kurang bergaulnya gue, sampai ga tau kalau cewek yang ngajak gue slow dance itu Vira, foto model yang tenar itu. Sebodo ah sama profesinya. Gue cinta! Cinta mati!

Gue belum pernah ketemu Vira lagi setelah pesta itu. Sebulan sudah. Bagi Vira mungkin malam itu adalah end of the story with the poor guy like me. Tapi bagi gue, Vira adalah mimpi yang harus gue wujudkan. Gue hidup dalam angan-angan semu. Sial ... cinta kok tumbuh di tempat dan pada orang yang tidak tepat pula? Maki gue dalam hati. Fiuh. Tapi gue nekat, bila nanti gue dikasih kesempatan buat ketemu Vira lagi, gue bakal bilang "Vir, gue cinta ma elu .." yeah, mo diketawain atau ditolak kek terserah, yang penting hati gue plong.

Sore ini gue bareng Erwin berencana ke toko buku. Ada buku yang harus dibelinya, gitu kata Erwin. Gue sih lebih percaya kalau Erwin bilang mau ketemu mbak penjaga kasir yang imut itu. Cari buku murah, tapi ngobrol di tempat kasir bermenit-menit, sampai orang yang antri di kasir jadi sepanjang ular naga. Kalau gue ga pura-pura sakit perut, barangkali manager toko buku bakal nempeleng si Erwin dan memecat si kasir!
"Mang elu mau cari buku apa Win?" tanya gue sembari mengekori langkah Erwin di bagian buku info teknologi. Wih, gaya doang si Erwin. Gaptek alias gagap teknologi, tapi muter-muter di situ.
"Cara cepat memasak pakai monitor. Ada ga yah?" *cetakz* ga tahan gue jitak palanya. Erwin nyengir kuda, padahal tampangnya dah mirip kuda.
"Ondel-ondel kejepit bis! Gue kan nyari. Kalau ga ketemu ya udah, pulang." dasar ga modal.
"Iya iya, kalau ga ketemu, ngobrol dulu sama mbak yang jaga kasir kan?!" celetuk gue. Erwin nyengir lagi. Mau muntah gue lihat tampangnya.

Tapi, gue ga jadi muntah. Tunggu dulu .. di kejauhan, di bagian komik, ada sosok yang menggelitik hati gue. Itu kan Vira? Gue meraih tangan Erwin dan meremasnya kuat. Erwin kaget.
"Kris, apa-apaan sih? Berubah jadi gay lu?" tanya Erwin sambil menghempaskan tangan gue. Ya ampun, betul itu Vira! Vira yang selama ini terus membayangi gue.
"It it it .." gue gugup. Erwin tambah kesal.
"It is a book gitu? gue juga tau .. ga lucu ah!" komen Erwin sambil terus puter-puter, lihat sana sini sambil sesekali matanya melirik ke arah kasir.
"Itu Vira ..." dan blank. Saat gue bilang gitu dengan pandangan bak orang kena epilepsi, Vira juga lagi menoleh, sekilas, menatap gue dan tersenyum. Vira melambai dan berjalan ke arah kami.
"Hai, kalian temannya Santi kan? Masih ingat gue ga? Gue yang malam itu dance ma elu .." kata Vira, pasti dan percaya diri. Gue mengangguk. Erwin melongo, ga nyangka cewek seperti Vira bakal samperin kita gitu.
"Eh ya .. iya .. masih ingat ternyata." kata gue jaim. Igh, sebel deh, kok jaim gini! Gue harus ngomong .. ngomong cinta ... seperti niat gue kalau ketemu Vira.
"Vira .. gue cinta elu .." tanpa basa basi, tanpa tedeng aling-aling, gue bilang gitu. Erwin sampai menjerit keki sama tingkah gue. Cuek! Vira bengong kayak sapi ompong. Erwin ga puas jejerit, kaki gue jadi sasaran pijakannya. Gue nelan ludah. Selesai sudah, gue plong. Horeeee, gue dah bilang cinta ke Vira.

Vira masing bengong, berdiri ditempatnya tanpa bergeser sedikit pun. Gue ikut-ikutan bengong, ga tau harus bagaimana, kata-kata itu meluncur dengan pasti dari lidah gue. Erwin gemas lihat tampang gue. Vira, segera tersadar. Syukur deh dia sadar, ga bengong lagi. Kalau masih bengong terus, gue bopong pulang ke kost gue deh.
"Uhm .. aduh sorry yah, gue buru-buru." plasss ... plaks, kata-kata Vira itu bagai tamparan keras di pipi gue, kalau gue masih punya pipi sih. Vira berlalu dari hadapan kami tanpa menoleh lagi. Erwin menjewer telinga gue.
"Gila lu ye, bilang cinta di sini. Adih, ga tau malu, muka tembok lu, kulit badak!!!!!!!!!!!!! Kris, sadar ga sih lu!! Jangan-jangan demam nih!" omel Erwin. Gue tersenyum puas.
"Biyarrrrr yang penting gue plong sekarang." sahut gue cuek. Rupa-rupanya supervisor toko buku itu telah memperhatikan tingkah kita berdua dari tadi. Gue colek Erwin, ngajak dia pulang sambil nunjuk-nunjuk sang supervisor pakek bibir. Erwin dengan langkah seribu menarik tangan gue keluar dari toko buku.

Sampai di kost, gue baring. Erwin duduk bersila sambil bolak balik majalah bola satu-satunya milik gue. Fiuh.
"Kris, tadi elu sadar ga .. pas bilang cinta ke Vira." gue noleh. Erwin lagi natap serius ke arah gue.
"Sadar, sadar banget. Emang napah? Lu kan tau, gue ini paling ga bisa basa basi sama cewek. Gue juga kadang suka sembunyiin urat malu di balik jantung ... huehuehuehueheuehu" gue ketawa, Erwin juga.
"Tapi Vira kayaknya shock berat tuh. Dia pasti ga nyangka bakal ditembak cowok jelek yang ga tau malu kayak elu Kris .." sesal Erwin. Bleh.
"Ga pa pa ... terserah kalau dia shock. Tapi Win, tau ga, setelah gue bilang gitu dan Vira berlalu begitu saja, gue jadi lebih ringan. Saat ini gue pengen ngelupain bayang-bayang Vira Win ..." kata gue. Erwin berdiri, melempar majalah bola usang itu ke wajah gue. Gue ngakak. Ngakak sumbang.
"Ya syukur deh kalau gitu. Elu bisa nyambung lagi kalau gue ajak ngobrol. Cewek kayak Vira itu, bukan level kita Kris." nasehat Erwin sambil menatap ke luar jendela.
"Hu`uh, tepat sekali. Kita mah levelnya Janet Jackson yah?!" sambar gue.
"Iah, Janet Jackson atau Neve Campbell!" gue bangkit ke jendela, tozz sama Erwin.

Hari ini matahari dengan garangnya memanggang bumi. Gue duduk santai di bawah pohon johar deket ruang BP. Nunggu Erwin, dia dipanggil guru BP gara-bara omongan sarunya di kelas tadi pagi. Lagi sial saja sih, kebetulan pas si Erwin ngomong, pas si ibu gendut yang namanya Humgihsemringis itu lewat. Dan jadi lah jam istirahat pertama Erwin dipanggil menghadap. Rasain lu, diceramahin lima belas menit sama bu Humgihsemringis!! Gue lagi santai duduk-duduk pas tiba-tiba muncul si Santi. Santi, empu pesta hampir dua bulan lalu itu, pesta yang bikin gue jatuh cinta sama Vira.
"Kris!!!!" Santi melambaikan tangannya dan berlari kecil ke arah gue. Gue rapihin duduk, takut ziper celana gue merosot hueheue.
"Eh elu San .. ada apa? Nyari gue yah? Minta tanda tangan?!" ujar gue begitu Santi telah dengan amat sangat manisnya duduk di samping gue. Wah, jangan-jangan setelah Erwin, gue nih yang dipanggil bu Humgihsemringis, dikira pacaran saat jam sekolah!
"Whuuu .. gaya lu Kris. Gue emang cariin elu, tapi bukan mau minta tanda tangan loh .. gue mau kasih ini, undangan ulang tahun dari Vira." deg! Jantung gue mau copot rasanya, untung akar jantung gue kuat. Vira sudah mulai gue lupakan muncul lagi dalam bentuk undangan.
"Ulang tahun? Kok ngundang gue juga San? Kan gue bukan temannya dia." kata gue, jaim. Biasa, cowok, butuh jaga imagenya dikit dong. Santi tertawa pelan. Lebih mirip pelecehan di telinga gue, busyet dah.
"Masa bukan temannya sih Kris? Trus yang nyatain cinta blak-blakan di toko buku itu siapa dong ehehehe ..." deg! Kali ini akar jantung gue copot satu. Gue terbeliak. Jadi Vira sudah cerita ke Santi? Tidak! Gue nanti masuk majalah dong!!!!!
"Eh Kris, gue ma Vira tuh masih sodaraan lagi. Tiap hari telpon-telponan!" deg! Akar jantung yang kedua mulai tercabut.
"Ampun deh San .. gue emang cinta mati ma Vira sejak pesta ulang tahun elu, dan nyatain cinta itu sudah komit gue kalau dikasih kesempatan ketemu Vira sekali lagi. Gue tau Vira nolak, cewek seperti Vira ga sepi dari cowok-cowok keren yang kaya dan dari lingkungan yang sama. Sekarang gue dah sadar, gue yang super duper sederhana ini ga mungkin sama Vira .. hehehe ..." penjelasan gue, meskipun rada jayus, pasti bisa bikin Santi mengerti.
"Iya iya.. gue tau .. Eh, Vira pesen, jangan sampai ga datang loh Kris." Santi mengedipkan sebelah matanya dan berlalu dari situ.
"Maksih San undangannya ... " teriak gue. Bleh, undangan ulang tahun. Gila, gue masih diudang juga setelah tragedi di toko buku itu?
"Undangan apa Kris..." tau-tau Erwin sudah duduk di samping gue dan merampas undangan itu dari tangan gue.
"Ulang tahun Viraaa???!!!!!!!! Cewek itu apa ga tobat berhadapan sama elu Kris?! Busyet dah!" Erwin histeris sekejap. Gue bekap mulutnya.
"Psttt.. awas kedengaran gebetan lu dari ruang BP ..." gue cepat-cepat berlari, menghindari lemparan batu Erwin.

Besok malamnya, malam ini, gue dandan rapih, ga rapih sih. Tapi untuk ukuran gue, jins dan kemeja 'andalan' ini cukup lah. Pintu diketuk, Erwin muncul dengan penampilan yang amboi, bikin gue mau muntah.
"Huekkkkk gue mau muntahhhh .." Erwin cepat-cepat buka jendela. Sial, dia dah muntah duluan.
"Ngidam lu Win?" tanya gue cuek sambil sisiran.
"Krisssss ... elu tuh mo ke pesta ulang tahun cewek yang pernah jadi incaran lu! Cewek yang hidup sosialnya berbeda banget ma kita! Dudutz! Masa pakek jins ma kemeja murah gitu?! Pinjem jas ma dasi bapak kost dong!" seloroh Erwin. Gue cuek menyambar jacket dan berlalu.
"Mau ikut ga? Kalau ikut, no koment sama penampilan gue, oke? Nah elu, sudah kayak sales jamu kuat!" ledek gue. Erwin meninju bahu gue garang. Hehehe, gue mengunci pintu.

Gue dan Erwin muter-muter pakai motor gede Erwin di kompleks perumahan mewah, kompleks perumahan Vira. Namun ga satu pun suasana pesta nampak di mata kita.
"Nomer dua belas Be. Harusnya yang ini yah Kris ..." kata Erwin sambil mencocokan alamat di undangan sama nomor rumah dihadapan kami. Rumah gede, gede banget, dengan garasi yang cukup memuat empat mobil, taman dengan lampu-lampunya plus gerbang tinggi.
"Gimana?" tanya Erwin minta pendapat. Gue nekat aja turun dari boncengan, mendekati gerbang dan memencet tombol yang ada disana. Menunggu. Erwin turun dari moge-nya, berdiri disamping gue.
"Coba aja Win, kalau ini bukan rumah Vira, kita cabut!" jawab gue. Seseorang berlari dari dalam, pembantu.
"Eh .. apa anak berdua ini temannya non Vira, den Erwin sama den Kris?" tanya pembantu itu sopan. Oh la la, seperti pangeran yang telah ditunggu putri impian. Gue dan Erwin mengangguk cepat. Si bibi segera membuka gerbang, moge Erwin didorong masuk.

Gue dan Erwin ngekorin si bibi. Gendeng, rumah segede aula mpr gini, ck ck ck. Erwin terkagum-kagum. Gue percaya diri masuk. Di dalam, ga ada pesta apa pun, yang ada Vira, dengan balutan sackdress hitam dan rambut di gelung duduk ditengah keluarganya. Ya Tuhan! Keluarganya! Gue hampir saja mau balik kanan pulang kalau suara Santi tidak bergema dengan jelas.
"Hoiii Kris, Erwin .. nah tuh mereka datang ..." semua mata menatap kita berdua. Lebih ke gue. Gue seperti striptis cowok yang lagi nari-nari saru di depan mereka. Gue, sumpah, tengsin habis.
"Malem Vira, San .. om tante semua." kata gue sopan. Yeah, penampilan boleh ancur, tapi sopan santun tetap dijaga.
"Malem, ayuk duduk sini." jawab si mami. Mami Vira! Papi nya senyum-senyum dengan pipa tembakau di bibirnya. Beberapa kerabat lain tersenyum ke arah gue. Entah senyum manis atau senyum melecehkan.
"Papi, mami, mbak Siska, mas Rangga ... ini Kris, cowok yang Vira ceritakan itu." penjelasan Vira sudah cukup bikin kuping gue panas. Apa sih yang diceritakan Vira? Gue ngemis duit ke dia? Sorry lah yah! Entah bagaimana, tiba-tiba tinggal gue bertiga orang tua Vira di ruang tamu gede itu. Gue blingsatan, sial si Erwin, pergi kemana dia, Santi tolong gueeee .. Vira, gue nyesel menghadiri undangan elu! Rutuk gue dalam hati.

"Nak Kris. Tante dan om tau, nak Kris mungkin merasa risih malam ini, sebenarnya ini atas ide tante kok." mami Vira, yang ternyata baik itu membuka pembicaraan. Gue duduk sopan, ga mengekeret, gue ga salah kan kalau pernah bilang cinta ke anak mereka? Gue punya hak untuk itu! Hak?! Hak bleh!
"Iya tante, saya risih ..." jawab saya membenarkan.
"Kenapa harus risih?" tanya papi Vira tanpa disangka-sangka.
"Ngg .. " gue ga bisa nerusin. Kenapa harus risih coba ...
"Perlu nak Kris ketahui, dalam keluarga ini, demokrasi dan musyawarah adalah prinsipnya. Kejujuran putra putri kami adalah hal yang paling diutamakan. Termasuk perasaan mereka, hati mereka. Vira sudah menceritakan semuanya, sejak kalian berdansa di pesta ulang tahun Santi, sampai Kris bilang cinta secara blak-blakan di toko buku." mati gue .. untung gue ga suka pipis di celana, najis dan kotor!
Dan bla bla bla ... gue sedang bermimpi! Gue pasti mimpi! Gue pasti lagi hanyut dalam mimpi ... Gue bengong setelah mendengar apa yang dibilang orangtua Vira. Keluarga demokrat sekali. Makhluk-makhluk yang tadi gue harapkan kehadirannya menenin gue tiba-tiba muncul semua, dengan kue ulang tahun dan nampan berisi minuman. Sebelum tiup lilin, Vira diharuskan make a wish terlebih dahulu, kita semua berdiri.

Vira memandang gue. Gue balas tatapan indah bola matanya itu.
"Vira minta Kris untuk berdiri disini bersama Vira." belum gue melangkah, Erwin dan Santi sudah mendorong-dorong gue. Gue beridiri disamping Vira.
"Sebenarnya harapan ini sudah Vira ucapkan saat ulang tahun Santi. Tapi kali ini Vira tambahi sedikit ... Tuhan, semoga di ulang tahun Vira ini, Kris benar-benar serius dengan kata-katanya di toko buku tempo hari. Vira ingin Kris tau, kalau Vira juga cinta sama dia .... fffuuuuhhhh" habis bilang gitu Vira meniup lilinnya. Yang hadir tepuk tangan, segelintir orang untuk pesta ulang tahun anak orang kaya. Orang tua Vira segera menghilang dari acara anak muda itu. Tinggal lah kami ... kerabat Vira juga pamit satu persatu. Tinggalah kami. Saudara Vira kemudian pamit, tinggalah kami. Gue, Erwin, Vira dan Santi. Santi dan Erwin kemudian entah hilang kemana, tinggalah gue berdua Vira. Gue tatap matanya.
"Vir .."
"Kris .." busyet, mau ngomong saja bisa bebarengan. Vira tertawa.
"Elu duluan deh Kris ..." Vira mengalah, sandaran di sofa empuk, menunggu gue bicara. Gue menarik napas ...
"Vira, gue ga nyangka kejadiannya bakal seperti ini. Orang tua elu oke-oke saja kalau kita pacaran, elu ternyata cinta juga sama gue .. Suer Vir, gue ini ga ada apa-apanya selain cinta .." kata gue jujur. Vira tersenyum.
"Gue juga mau minta maaf ke Kris ... Dalam keluarga gue, anak-anak harus jujur sama orang tua, agar orang tua tau apa yang dimaui dan diinginkan oleh kami. Saat gue melihat cowok dengan penampilan seadanya di pesta ulang tahun Santi, gue sudah bercerita ke papi dan mami. Papi dan mami menyerahkan semua ke gue. Gue memang rencananya bakal ngundang Kris di acara ulang tahun ini, pesta kecil bersama keluarga. Ga disangka, elu justru nembak gue di toko buku. Sorry, gue kaget, cepet-cepet pulang, bukan karena gue ga suka, tapi karena gue ga sabar menceritakan ini ke papi mami dan Santi. Maaf yah ..." duh Vira, tau ga, gue hampir seratus persen ngelupain elu! gue hampir seratus persen membunuh cinta gue ke elu! Kris, mimpi apa lu semalam, batin gue.
"Gue cinta elu Vir .. cinta mati .." kata gue akhirnya. Gue ga bisa basa basi.
"Gue juga Kris .." kata Vira.
"Tapi gue bahkan ga menyiapkan hadiah ulang tahun buat elu, kantong gue kempes hehehe" canda gue dengan tampang memalukan. Vira tertawa.
"Itu yang gue suka dari elu Kris, elu selalu apa adanya. Elu bukan seperti cowok-cowok yang gue kenal. Elu beda, itu yang bikin gue cinta." kata-kata Vira itu melambungkan gue sampai langit ke tujuh. Gue dekatin Vira, gue kecup bibirnya sekilas. Hmm cinta benar-benar menggoda! Gue pulang ...

Di kost gue, Erwin dan gue masih belum bisa tidur. Terbayang-bayang pesta mungil di rumah Vira yang gede. Gue senyum-senyum sendiri.
"Mulai dah ... tulalitttttttt ... gue bakal ngomong sama patung dewa siwa nih." komentar Erwin. Gue lempari dia sama bantal.
"Ga ding .. gue ga tulalit, paling-paling juga cuekin elu Win." sahut gue cuek. Erwin balas melempari gue sama guling.
"Selamat ya Kris, akhirnya ... memang betul, cinta itu harus apa adanya, ga usah dibuat-buat, ga usah terlalu direncana ... justru yang pakai banyak rencana bakal gagal ..." Erwin kembali meracau. Betul juga sih.
"Hu`uh, gue juga ga nyangka kalau orang tua Vira ternyata baik banget." Erwin manggut-manggut.
"Trus, besok ke toko buku ga?" tanya gue. Erwin kaget.
"Toko buku? Ngapain?!" tanya Erwin pura-pura bego.
"Kuda lu! Mbak yang jaga kasir itu gimana ..." pancing gue. Erwin terseyum jijay dengan cengiran yang membenarnya tampangnya mirip kuda.
"Oh itu, keciiiilllll ... tenang saja Kris ..." giliran gue manggut-manggut. Kalau memang si mbak suka ma Erwin juga sih, syukurlah. Biar kita ga keseringan jadi orang gila muter-muter di toko buku. Pikiran gue kembali ke Vira.

Gadis cantik itu memilih gue. Dia ga milih cowok-cowok yang berasal dari lingkungan yang sama dengannya. Gara-gara gue, Kris si anak kost yang super sederhana ini, punya kharisma poor yang dahsyat! Gue senyum-senyum sendiri. Vira, gue cinta elu! Saking senangnya gue ga sadar meramas rambut Erwin.
"Gelo lu Kris! Sadar bung, ini gue, Erwin, bukan Vira!!!!!!!!!!!!!!" jerit Erwin di tengah malam buta, gue sadar, ngakak lebar. Betul-betul kala cinta menggoda, kita ga bisa berbuat apa-apa yah?

tootyee, 10 Feb 04

lunedì, febbraio 16, 2004

I WANNA BE WITH YOU

Perjalanan demi perjalan terus kulalui dengan tekun. Aku, peneliti ekonomi yang selalu ingin tau urusan ekonomi daerah dan berpindah tempat kerja dari satu kota ke kota lain di Indonesia. Kali ini tugas membawaku ke pedalaman pulau Flores, bukan pedalaman sih tepatnya. Ke sebuah kota kecil nan ramai di pulau Flores. Ende, ibukota Kabupaten Ende. Ini adalah perjalananku yang ke sekian yang harus dilewati, demi hidupku, demi profesi yang aku tekuni. Perjalanan panjang menggunakan kapal laut tak membuat semangatku menjadi gentar apalagi berniat mundur. Selalu ada titik, titik yang memberiku semangat dan menyinari hidup ini. Titik itu saat ini berada jauh dariku. Selalu jauh, namun terasa dekat di hati.

Titik itu adalah Ita. Sosok maya yang aku temui di ruang chat. Setahun lebih sudah aku menjalin sesuatu dengannya. Diriku, bagi Ita mungkin sosok misterius, tuan tanpa wujud dan keberadaan. Kami hanya bertemu lewat chat, selanjutnya email lah yang menjadi media kami. Tepatnya mediaku. Karena hingga saat ini yang diketahui Ita tentangku hanya sebatas pekerjaan dan sebuah pic kecil yang pernah aku kirimkan padanya. Hanya itu, tidak lebih. Tanpa nomor telepon, tanpa alamat rumah dan tanpa nomor hp. Aku merasa cukup bahagia dengan keadaan ini.

Ita bukannya tidak pernah menanyakan nomor telepon atau nomor hp. Namun aku dengan tegas menolak memberikannya. Aku punya alasan sendiri untuk tidak membeberkan hal yang paling ingin diketahuinya itu. Bukan untuk membuatnya penasaran dengan sosokku yang misterius, tak ada maksut untuk itu. Sekali lagi, aku merasa belum siap menjalin hal yang lebih dari email dan chat. Aku harap Ita bisa mengerti. Well, aku rasa dia mengerti tanpa banyak tanya mengapa dan mengapa. Dia cewek tegar dan pintar. Hal ini memang tidak adil bagi Ita. Aku secara jelas mengetahui semua keberadaannya, perasaannya, hubungan cintanya yang kandas, sampai kehidupan dan keluarganya. Sedangkan Ita sama sekali tidak mengetahui dimana aku berada, sedang berbuat apa, sehat atau sakit.

Sehari berada di kota kecil ini, rinduku untuk mengecek mailbox amat besar. Untunglah, instansi terkait tempat penelitianku menyediakan jasa internet gratis, sehingga aku masih bisa mengecek mailboxku. Herannya, meskipun di situ ada surat dari Ita, satu surat, aku seakan enggan membacanya. Tidak tega hatiku membaca kata-katanya. Saat ini aku ingin berkonsentrasi pada kerjaan dulu. Urusan Ita nanti saja aku pikirkan. Dari lubuk hati, aku harap Ita pun mengerti diriku. Aku yang tidak modern meskipun lahir dan tinggal di kota besar. Aku yang kadang selalu tidak bisa menerima perlakuan pria-pria berhati jahat padanya. Gadis baik yang selalu menerima perlakuan tidak adil!

Dua minggu berada di Ende, aku diajak beberapa pejabat mengunjungi keajaiban alam yang terletak di Desa Koanara, Kabupaten Ende. Danau Kelimutu. Danau yang terbentuk dari bekas 3 kawah gunung berapi dan memiliki warna yang berbeda di setiap danaunya. Hampir 3 jam perjalanan dengan mobil dari Ende, dan satu jam pendakian menuju puncaknya. Capek sih iya, tapi begitu melihat keajaiban yang terpampang di depanku, semua rasa itu hilang. Kunikmati indahnya panaurama dan tak lupa mengabadikannya. Akan kukirim hasil jepretan kamera poket ini untuk .... Ita. Yah, selalu kepada Ita. Hanya pada gadis itu aku mampu bercerita dan berbagi. Berbagi kesedihan maupun kesenangan, meskipun hanya lewat kata-kata dalam email. Namun hatiku terasa dekat dengannya, hatiku seakan berada di sisinya.

Satu minggu menjelang berakhirnya penelitianku, hasrat untuk mengunjungi dunia maya kian menekan. Aku segera ke warnet. Warnet kecil dengan harga yang tidak kecil, biarlah, toh aksesnya bagus. Aku mengecek mailboxku, ada 3 surat kini. Kubuka inbox, dua surat dari Ita, satu surat iklan. Ku delete surat iklan itu, lalu kubuka surat pertama dari Ita. Isinya singkat.

Dear Be,

Hei peneliti, lagi dimana sekarang? Ga pernah kelihatan lagi di ym. Sibuk kerja yah? Jangan sampai sakit loh Be, nanti kamu sendiri yang susah. Uhm, jangan-jangan Be lupa sama hari spesial sendiri? *smile*

Dah yah, mau buka warnet dulu. Bye and GBU ...

It's me, Ita ^^

Surat yang pendek, namun amat menghibur hatiku. Hari spesial katanya? Kuingat-ingat hari spesial apa gerangan sambil kubuka email ke dua. Ya! Aku lupa pada hari ulang tahunku sendiri! Email ke dua adalah kartu elektronik yang romantis. Yeah, romantis. Tak pantas rasanya diriku menerima kebaikan gadis ini. Dia memberikan perhatian yang begitu besar padaku. Bahkan mengingatkan hari ulang tahunku sendiri! 1 Februari, itu kemarin. Gadis ini, seperti sudah kubilang, selalu memberiku semangat. She is the spirit of my life. Satu titik yang jauh, namun selalu dekat di hatiku.

Kedua surat itu tidak kubalas. Aku harap dia tidak beranggapan aku melupakannya. Tapi aku pastikan, suatu hari nanti aku pasti akan membalasnya, tidak sekarang. Kututup semua window, membayar billing yang nominalnya yang tidak sedikit itu dan keluar dari warnet. Seminggu lagi kerjaanku beres. Penelitianku selesai dengan semua referensi dan tesis. Aku berniat jalan-jalan ke pantai. Ende terkenal dengan pantai-pantainya yang bersih dan indah. Apalagi pantai bagian Ende (ada lagi pantai bagian Ipi), dengan pemandangan pulau Ende di kejauhan. Bila matahari senja pulang, bias jingganya seperti lukisan alam yang tiada duanya di dunia. Duduk di bangku tamannya dan menikmati teh botol membuat pikiranku kembali pada Ita.

Be, sampai kapan kamu terus bersembunyi dalam kemisteriusan yang terlalu dibuat-buat, batinku berontak. Entah lah sampai kapan. Sampai aku yakin kalau Ita mencintaiku? Ah, bodohnya, mana mungkin aku tau perasaannya kalau aku sendiri tak punya keberanian untuk bertanya, apalagi mengungkapkan rasa cintaku padanya? Dia wanita, pasti selalu menunggu sinyal dariku. Mana mungkin dia tau kalau aku merindukannya kalau semua isi emailku adalah cerita-cerita panjang yang membosankan tentang keadaan daerah-daerah dan penelitianku ke sana? Tentang suku pedalaman Irianjaya yang masih memakai koteka, tentang tanah toraja yang syarat budaya atau tentang danau toba yang indah. Entahlah ... setiap bercerita tentang perjalananku, seolah rasa cintaku ikut bernyanyi disitu. Ita, the spirit of my journey.

Selesai sudah penelitianku kali ini. Aku harap sepulangnya kembali ke Jakarta, tidak ada tugas baru yang menanti. Aku butuh istirahat dan membenahi hidupku. Termasuk membenahi hubunganku dengan Ita, memperjelas apa yang sebenarnya harus terjalin antara kami. Sekedar teman berbagi hati atau lebih dari itu. Well, aku sendiri mengharapkan hubungan kami bisa lebih dari sebuah persahabatan yang manis. Aku harap aku bisa terbuka padanya. Jujur tentang hati dan hidupku. Tentu saja aku tidak lagi menjadi sosok misterius di hadapannya. Semoga.

Pulang ke Jakarta aku menolak menggunakan jasa pesawat. Kupilih perjalanan laut yang santai. Turun di pelabuhan Perak, baru aku berniat melanjutkan perjalanan ke Jakarta dengan pesawat. Namun langkah kaki tidak mengajakku ke bandara Juanda, melainkan singgah ke sebuah warnet yang harganya se per lima dari billing warnet di Ende. Kubuka mailbox, satu surat lagi dari Ita. Segera kubaca.

Dear Be,

Hei peneliti ... pa kabar? Sedang ada di mana sekarang? Be, aku kangen chat denganmu lagi. Rindu ingin berbagi denganmu lagi. Be selalu bisa mengerti keadaanku. Selalu bisa memberi petuah yang baik. Salahkah bila aku selalu berharap suatu hari nanti Be bukan lagi sekedar sosok misterius bagiku? Aku selalu berharap Be itu nyata, ada di depanku dan dapat kusentuh.

Maaf Be, aku mungkin terlalu jujur. Aku ingin Be ada di sini, di dekatku. Kapan Be on line lagi di YM? Be kan tau aku selalu on line saat warnet dibuka. Balaslah salah satu dari surat-suratku Be, terlalu lama rasanya dirimu menghilang. Kita memang hanya orang per orang yang bertemu lewat dunia maya tanpa batas ini, namun sangat berarti bagiku.

Ya dah .. aku pamit yah :)) hope someday I will meet you. Oh iya, diklik yah kartunya, ada lagu untuk Be ....

It's me, Ita^^

Aku seperti mendengar nyanyian cinta dari email itu. Seperti nyanyian cintaku pada email yang berisi cerita perjalananku. Aku menarik napas panjang. Selama ini hatiku selalu berontak bila Ita menceritakan pria-pria jahat yang berlaku tidak adil padanya. Lalu aku sendiri apa? Aku termasuk pria jahat itu kan? Aku sendiri telah berlaku tidak adil padanya. Ku klik kartu dan mendengar backsound dari flash card itu. Hmmm Mandy Moore? >>>I Wanna be with you, if only for one night, to be the one who's in your arms who's hold you tight, I wanna be with you, there's nothing more to say, there's nothing else I want more than to feel this way...<<< hanya sebuah penggalan lagu, namun menusuk ke sanubariku. Ita, tunggulah, dua hari, tiga hari, akan kamu temui jawabnya. Sebenarnya saat ini ingin rasanya kubatalkan kepulanganku ke Jakarta, langsung ke kotamu yang masih satu propinsi dengan Surabaya, tapi niat itu kuurungkan. Kubayar billing dan keluar dari warnet, mencegat taxi dengan tujuan Juanda.

Tiba di Jakarta kuselesaikan semua urusan dengan cepat. Istirahat satu hari penuh dengan tidur. Hari ini aku kembali segar. Siap. Siap untuk Ita. Untuk membuka identitasku padanya. Menguak tabir gelap diriku padanya. Hatiku bergetar, semoga Ita tidak kaget, lebih lagi, semoga Ita mau menerima cinta seorang peneliti yang tidak modern seperti diriku. Kuhidupkan komputer di kamar, mengakses internet dan membuka email. Belum ada surat lagi. Aku online di YM sekarang, dan nick itu, Ita_Ita, online. Cukup lama aku tidak ke YM. Ku sapa dia. Diam, tak ada jawaban. Not on her desk now? Uhm, kuraih telepon, mendial nomor telepon warnetnya yang terpatri dalam ingatanku. Satu, dua ... empat kali nada panggil ... Hey dimana dia? Hampir saja kututup telepon bila nada panggil itu tidak berhenti diiringi dengan suara berat seorang gadis dari seberang. Suara Ita yang khas. Berapa lama sudah tidak kudengar suara ini?

"Gugusan Cyber Cafe disini, ada yang bisa dibantu?" suara itu menggetarkan hatiku, cintaku. Cinta seorang peneliti yang misterius.
"Hei, jawab aku di Ym dong ..." itu saja, kututup telepon. Sambil tersenyum kuperhatikan layar monitor.

Ita_Ita: Be!!!!!!!!!!!!!!!!
Ita_Ita: Sudah kuduga hehehe .. pa kabar? Sehat kan? Lagi dimana? Sorry tadi lagi ngajar *smile*
Ben_Ben: Hey hehehe .. lagi di .. hmmm .. dimana yah?
Ita_Ita: Aku ga mau tebak ah, takut salah lagi ...
Ben_Ben: hehehe .. oke oke, aku di Jakarta. Di rumah. Mau telpon ke sini?
Ita_Ita: ???? telepon? Emang ada nomor telepon?
Ben_Ben: Ada dong ... kalau ga mau ya sudah :(
Ita_Ita: Mauuuuuuuuuuuuuuuu ... mana mana!!! Akhirnya :)
Ben_Ben: hehehehehe .. ^^ 021xxxxxxx hp 0818xxxxxx ... lengkap yah?
Ita_Ita: I can't believe it. Disambit setan apa sampai Be mau ngasih nomor telepon dan no hp?
Ben_Ben: Disambit setan cinta ^^
Ita_Ita: Cinta .. Be jatuh cinta? Siapa kah gadis yang beruntung itu wahai peneliti?
Ben_Ben: Beruntung? Andai dia merasa beruntung. Kalau sebaliknya gimana?
Ita_Ita: Well .. ga tau deh hehehehe
Ben_Ben: Kamu!
Ita_Ita: Ya aku kenapa?
Ben_Ben: Kamu adalah gadis malangnya. Aku adalah pria beruntungnya :)
Ita_Ita: Be? Kamu ga lagi demam kan?
Ita_Ita: Aaku? Be?
Ben_Ben: Love you Ta .. sorry maybe it's too late to say this. But I do love you. Very.
Ita_Ita: Be .. aku menangis. Aku bahagia membacanya.
Ben_Ben: Nanti malam ga usah dibaca, didengar saja yah. Nanti malam ku telepon. Mudah-mudahan minggu depan aku bisa ke kota mu.
Ita_Ita: Be, thanks God. Aku ngajar lagi yah sekarang ...
Ben_Ben: Boleh, harus itu, jangan biarkan muridmu menunggu .. oke Ita, sampai nanti malam yah, love you *kiss* I wanna be with you too, not just for one night, but forever ..
Ita_Ita: *^_^*
Ben_Ben has logged out.

Kumatikan komputer, kembali ke ranjang dan tidur. Lega. Malam merambat, kutelepon Ita. Satu kali nada panggil, langsung diangkat.
"Be .." suara berat itu lagi.
"Hei hehehe .. belum tutup warnet kan?" tanya ku.
"Belum, nunggu Be nih. Kan janji mau telepon." aku tertawa.
"Ita, ga nolak kan jadi pacarku? Maaf ya kalau aku langsung ngomong gini, aku ga bisa basa basi sama gadis yang kusuka. Mengingat sudah sekian lama kita saling berbagi, ga pa pa kan kalau aku langsung ngomong gini?" kataku tulus.
"Ga pa pa Be, aku ga butuh rayuan, ga butuh kata-kata manis. Aku hanya butuh bukti cinta, itu saja." jawab Ita dari seberang.
"Akan kubuktikan Ta. Minggu depan aku ke sana yah. Aku janji." kataku lagi.
"Be .. makasih ..." suara berat itu mulai serak. Menangiskah dia?
"Ta, ppssttt jangan menangis sayang, jangan ... kita sudah sama-sama dewasa, harus siap menerima pahit dan manisnya hidup, oke?" hiburku.
"Oke .. kutunggu minggu depan ..." katanya, suaranya masih serak.
"I promise." hanya itu kata terakhirku sebelum menutup telepon. Malam ini aku membuktikan kedewasaan pikiranku. Aku telah memutuskan untuk mencintai, so, aku harus berani menjalani. Aku tidak mau hanya mencintai, tapi tidak berani menjalani. Itu berarti pengecut. Aku bukan pengecut.

Saat ini aku bukan lagi sosok misterius baginya. Aku adalah Be, peneliti ekonomi yang tidak modern. Yang mencintai gadis dari dunia maya namun nyata. Spirit gadis itu telah memberiku semangat kerja dan hidup yang besar. Ternyata itu bukan hanya spirit, namun cinta. Titik itu semakin mendekat, jam 7 terpampang di hp. Itu dia, Gugusan Cyber Cafe. Aku turun dari taxi, membayar argo dan mengangkat travel bag biru yang setia menemaniku kemana-mana. Langsung aku masuk ke warnetnya. Disudut kulihat dia, sedang memberi penjelasan pada user yang rewel. Aku tersenyum, kutunggu sampai dia selesai dan berjalan ke mejanya. Matanya menumbuk mataku. Hatiku bergetar, seperti binar matanya yang bercahaya, cahaya bahagia. Indah seperti lukisan sunset di Ende. Ita.
"Be?" dia berlari ke pelukanku.
"Ita .. ini lah sosok misteriusmu." kudekap dia erat, tidak ingin rasanya melepaskannya lagi. Kuhirup aroma lembut rambut dan tubuhnya. I'm sure now. I wanna be with her, not just for one night, but forever.

tootyee, 15 Februari 04
I dedicate this story for the girl who has everithing, beauty, smart and love. Hope you will find him someday ^^ Amien. Wanna request other story? Just tell me, you know lah :))

domenica, febbraio 15, 2004

Kembali? Tidak, Maafkan Saya

Laut, lepas dan tenang, tak berombak. Tidak seperti hati saya, dipenuhi gundah gulana. Sudah seminggu ini laut menjadi tempat 'pelarian' yang paling nyaman. Duduk di tepi pantai, memandang lepas genangan air besar ini dengan pikiran buntu. Laut tak berucap, namun dapat menolong hati saya, sedikit lebih tentram. Setelah seminggu yang lalu Vic datang, ingin kembali. Kembali merajut cinta yang telah porak poranda. Cowok yang pernah saya cintai itu datang dengan segudang penyesalan.

"Li, maafkan semua yang telah saya lakukan." tatap matanya bagai busur panah yang siap dilepaskan menancap ke dasar hati saya, hati saya yang pernah luka. Luka akibat dusta yang telah dia tawarkan, pahit dan menusuk jiwa.
"Maaf Vic, saya perlu waktu." jawab saya. Hanya itu, tak ada kata lain yang sanggup terucapkan. Entah saya harus bagaimana. Mensyukuri pisahnya Vic dari Miranda atau menyesali kedatangannya dengan segumpal penyesalan. Haruskan saya menerimanya kembali?

Laut, saya kembali menatap laut. Ada sampan kecil terombang ambing disana. Hati saya kini mungkin seperti sampan itu, terombang ambing tak jelas mau kemana. Menunggu angin bertiup dan membawanya pergi, menjauh atau mendekat? Harus saya akui, saya mencintai Vic, amat sangat. Dia cowok pertama yang sanggup membuat saya mengerti cinta dan merasakan manisnya hal misterius ini. Merajut mimpi dan asa bersama Vic adalah moment indah dalam hidup saya. Merangkai tawa dan melepas duka bersama Vic selama dua tahun cukup rasanya untuk pasti akan cinta ini. Cinta saya padanya dan cintanya pada saya.

Apa yang terjadi setelah dua tahun penuh keromantisan itu? Vic diam-diam mulai berdusta. Vic menjalin cinta yang lain bersama Miranda. Miranda, anak seorang pengusaha kaya yang memiliki segalanya. Sebelumnya saya tidak percaya Vic tega berbuat itu setelah cinta kami pernah bertarung dengan onak dan duri selama dua tahun. Tapi saya salah, saya kalah. Vic, memang tengah menjalin cinta dengan Miranda. Vic, dua tahun ternyata bukan waktu yang cukup lama untuk memantapkan hatimu. Batin saya bergejolak. Tak bisa berbuat apa, saya menangis. Meratapi puing-puing cinta yang hancur berkeping. Masih ada sedikit sisa cinta, mampukan dengan sedikit cinta itu saya menerima Vic kembali?

Saya seperti anak ayam kehilangan induk seiring dengan perginya Vic dari hidup saya, meninggalkan hati saya yang porak poranda. Tanpa sesal. Saya seperti orang linglung berjalan setiap hari ke sana kemari. Ke tepi pantai menghitung pasir, ke sudut-sudut kota bertemu beragam manusia. Kemana saja kaki saya melangkah saya nurut. Demi menenangkan hati saya. Cukup lama saya mengobati hati saya sendiri, tanpa tanya mengapa dan mengapa Vic tega berbuat seperti itu. Dan setelah saya kembali pada kehidupan normal saya, tenang dan damai, Vic datang, memohon untuk kembali. Saya kembali seperti orang bingung, laut yang tenang ... tenangkan hati saya di setiap sore selama seminggu ini.

Setiap orang patut diberi kesempatan sekali lagi untuk memperbaiki kesalahan di masa lalu. Itu betul, haruskan saya memberi kesempatan sekali lagi pada Vic? Ah Lila, seorang yang pernah membunuh akan kembali berkeinginan membunuh untuk kedua kali. Apalagi berdusta. Pandangan saya beralih pada dermaga kecil yang selalu ramai dengan orang yang memancing. Saya bukan dermaga. Dermaga tempat Vic melabuhkan cintanya untuk beberapa saat dan kemudian pergi lagi. Saya menjerit dalam hati. Semestinya Vic mengerti, tidak mudah bagi saya untuk menerimanya kembali, semudah dirinya memohon untuk kembali.

Sedikit sisa cinta di hati ini sebenarnya hampir saja tak bersisa, pergi bersama dusta Vic. Namun kedatangannya seminggu yang lalu itu membuat sedikit cinta ini bersorak sorai. Saya menggeleng lemah. Tak bisa, saya tak bisa menerima Vic kembali! Saya tidak bisa munafik, bagaimana saya bisa bermanis-manis kata dan sikap di hadapannya kalau hati saya terus merutuki dusta yang pernah dia lakukan? Bagaimana mungkin saya menerima Vic kembali? Oke, bila memang hati saya masih punya sedikit cinta untuknya, tapi nurani yang terus menerus mencemoohkan saya membuat saya tak berdaya. Saya bukan gadis cengeng yang gampang ditipu lagi Vic! Omong kosong dengan semua cintamu. Kalau diijinkan, saya ingin kembali ke masa satu minggu lalu, menghindar dari kedatangan Vic tanpa tau maksud yang tersembunyi di baliknya. Tak perlu mendengar kata maaf darinya. Ah, angin laut meniup wajah dan rambut saya.

Laut, semakin senja. Matahari senja mulai turun, membias di batas horizon. Warna jingganya seperti hati saya. Sesaat hati saya terbuai dalam kisah lalu saya dan Vic. Ah, tidak. Itu dulu, dua tahun dalam cinta. Cukup seminggu saya berpikir dan mencoba mengkaji semuanya. Saya pastikan hati ini untuk tidak terperosok dalam lubang yang sama untuk kedua kali. Saya harus bisa menolak Vic dengan sejuta pesonanya. Saya harus bisa memadamkan sorak sorai sisa cinta yang mulai membara di dalam hati. Saya akan biarkan puing-puing cinta ini hilang, terbang tertiup angin senja. Sampai dia tak bersisa lagi sedikitpun. Sampai hati ini kembali siap menerima cinta yang lain. Semoga. Kembali? Tidak ... maafkan saya.

tootyee, 11 Feb 2004

sabato, febbraio 14, 2004

NOT JOMBLO ANYMORE

Awalnya gue ga ngerti jomblo itu apa. Mencari tau dalam kamus pun gue ga mau. Tapi akhirnya, berdasarkan cerita yang tertiup angin, gue ngerti juga, jomblo itu ya jomblo. Sendiri, ga punya pasangan! Walhasil gue malu juga, soalnya gue termasuk dalam lingkaran jomblo. Sudah sma kelas dua, tapi belum punya pacar. Pernah sih kepikiran nembak cewek yang gue suka, tapi niat itu cepat-cepat gue urungkan, gue ga berani nanggung resiko terluka akibat ditolak cewek. Mending gue diam-diam saja kan? Bodohnya, kalau gue diam, mana cewek tau kalau gue cinta sama mereka! Yakz, gue sendiri asli masih suka sendiri alias ngejomblo. Ntah sampai kapan, yang penting ngejomblo dulu lah.

Bukan sekali dua temen gue datang bawa kabar baik. Kasih info kalau si Anu naksir gue, si B suka gue, si C pengen gue jadi pacarnya. Waw, ternyata banyak yang naksir gue yah? Sisi hati gue yang lain bersorak sorai, mulai bikin daftar pilihan yang mana yang cocok ma gue. Tapi sisi hati yang satunya lagi mengutuk gue habis-habisan. Sanggup ga gue punya pacar? Sanggup ga gue melayani pacar gue kelak? Sanggup ga gue nerima kenyataan kalau pacar gue itu nantinya berselingkuh? Sanggup ga gue dimaki-maki keluarganya? Sanggup ga gue nyatuin dua pikiran yang berbeda? Well, gue cowok egoistis yang kadang lebih suka mementingkan diri gue sendiri. Gue suka kebebasan! Gue lebih suka ngejomblo!

Kebebasan dan kesendirian gue pada suatu hari terusik. Bayangkan, dengan beraninya si Rani ngirim surat ke gue! Busyet dah, gue cowok, masa dikirimi surat duluan sama cewek? Emang gue bencong apa? Isi suratnya bikin gue mau muntah! Ga ada kata-kata romantis sih, hanya gue pikir, apa pantas, Rani yang ga tau gue luar dalem berani menyerahkan seluruh cintanya ke gue. Rani kan ga tau kalau tidur gue suka ngorok, Rani ga tau kan kalau gue ini perokok kelas berat meskipun nampak manis di sekolah, dia juga ga tau kalau gue kadang suka punya pikiran ngeres kalau lihat cewek seksi. Gila ga tuh?! Bahkan Rani bilang kalau dia ga main-main cinta ma gue. Masya Allah, dunia dah terbalik apa yah. Surat itu gue simpan begitu saja di laci meja belajar di kamar. Segera gue lupakan setelah melakukan aktifitas harian gue. Menikmati hidup dengan ngejomblo, manis kok rasanya.

Sebulan, dua bulan, lima bulan gue naik ke kelas tiga. Gue bahkan hampir sudah melupakan surat dari Rani kalau cewek manis itu tidak dengan berani datang ke rumah gue! Ampun mak, mami sampai interogasi gue setelah si Rani pulang.
"Den, gue cinta elu. Sumpah, berbulan-bulan gue nunggu balasan surat dari elu, tapi ga satu pun surat itu datang. Den, gue manusia, punya rasa. Gue rasa elu juga manusia kan? Punya rasa juga kan?" kata Rani sore itu. Gue duduk bengong kayak sapi ompong di ruang tamu, nemenin Rani nyeloteh sendiri.
"Jadi gue harus bilang apa? Gue ga bisa bilang cinta kalau gue ga cinta Ran. Sedangkan surat elu itu seolah-olah memaksa gue buat nerima elu! Sumpah Ran, gue ga bisa." gue berkata jujur. Rani memang manis, hidungnya bangir, matanya seperti bola pimpong, rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai bebas tertiup angin. Lalu apa karena itu gue bisa jatuh cinta?
"Den, gue pulang. Sampai kapan pun gue tunggu elu ..." belum sempat gue jawab, Rani sudah keluar dari rumah gue. Gue terdiam sampai mami datang menghampiri gue. Bertanya macam-macam, lebih tepatnya menginterogasi gue.

Kelas tiga smu ini gue lebih sibuk dari kelas dua. Para guru yang terhormat seolah-olah ga mau murid kelas tiga bersantai sejenak. Dalam sehari pe er bisa bejibun melebihi tumpukan salak yang dijual di pasar! Gue sampai puyeng mikirin sekolah. Belum lagi ulangan harian yang setiap hari membutuhkan energi yang tidak sedikit. Eh, si Rani malah lebih gencar menghubungi gue. Setiap hari ada saja sms yang masuk darinya. Anjrit dah yang sudah membocorkan nomor hp gue ke Rani. Gue sampai sumpah-sumpah tujuh turunan. Ini anak-anak maunya apa sih? Gue dipaksa harus mencintai Rani gitu? Bleh.

++Den, malam nanti ada acara ga? Temenin gue ke rumah sodara dong-Rani. Sms itu ga gue balas. Ga pernah satu pun sms Rani yang gue balas. Nganterin Rani ke rumah sodaranya? Bagaimana bisa! Ah Rani, elu tuh seperti benalu yang mengganggu hidup gue! Yang mengganggu ke-jomblo-an gue tau! Gue merutuk sendiri setiap kali datang sms dari Rani. Apa sih maunya? Walhasil dengan kekesalan segudang, gue samperin Rani di suatu siang saat jam istirahat sekolah. Rani terpana melihat kedatagan gue.
"Ran, plis, hentikan sms-sms lu selama ini. Gue terganggu." kata-kata gue yang tanpa basa basi itu membuat Rani tersentak. Bola matanya yang bening mulai berair. Shit! Gue ga suka lihat cewek menangis. Gue berlalu dari situ tanpa ba bi bu lagi. Gue kesel.

Rupanya tindakan gue telak mengena hatinya. Sejak siang itu Rani sudah ga berani sms-in gue lagi. Rani seakan menjauh dari gue. Syukurlah, begitu kata hati gue. Gue menyukai kesendirian gue. Gue happy kok. Kemana-mana sendiri. Kadang pergi bareng temen cowok, kadang nganterin mami dan papi. Gue suka ngejomblo. Apa karena gue anak tunggal dan terbiasa hidup sendiri tanpa sosialisasi? Ga juga tuh, buktinya gue baik-baik saja bersahabat dengan teman-teman sekolah gue. Gue baik-baik saja dengan keadaan gue ini. Gue ga rendah diri kok meskipun ngejomblo. Gue lebih suka gitaran di kamar, hunting filem terbaru atau nongkrong bareng teman-teman sekelas di kantin. Ngecengin cewek cakep di tempat hiburan anak muda tanpa beban sedikit pun. Hidup gue normal-normal saja tuh, sampai Rani dengan berani-beraninya ngirim surat, datang ke rumah gue dan sms-in gue saban hari! Huh ...

Ga terasa ujian ebtanas kian dekat. Yess, kalau gue lulus smu, gue bakal ngelanjutin kuliah di Jogja. Gue lebih memilih Jogja ketimbang kota-kota lainnya. Niat gue, harus bisa masuk UGM. Gue toh punya otak brilian juga. Dan impian gue betul-betul terwujud. Gue lulus dengan nilai yang memuaskan, diterima kuliah di UGM setelah ngikutin UMPTN, dan gue pindah ke Jogja. Hidup mandiri di kost berbaur dengan teman-teman dari berbagai daerah lainnya yang juga menuntut ilmu di Jogja ini. Terus terang, sampai gue diterima di UGM sini, Rani telah betul-betul hilang dari otak gue. I'm free like a bird lah!

Kehidupan kota besar yang enak. Enak dan bikin gue jadi badboy. Awal kuliah gue masih jadi anak manis yang selalu ada setiap di telepon mami dan papi. Finansial gue memang ga terbatas. Barangkali karena gue anak satu-satunya, mami dan papi selalu menuruti kehendak gue, mengirimkan digit-digit gede ke atm gue tanpa pikir dua kali. Itu awalnya, karena setahun kemudian gue mulai mengenal ganja. Ga sengaja sih, seorang teman kost menawarkannya untuk gue. Gue nolak, ga berani. Tapi cemoohannya dan iming-iming gue bakal melayang-layang kayak di surga memberanikan mental gue untuk mencoba. Memang enak, enak dan menyesatkan. Dari ganja gue lari ke inex. Awalnya hanya brani setengah, trus berani satu. Ga puas sama inex, gue lari ke putaw. Seperti kata orang, semakin lama semakin ketagihan, gue akhirnya berkubang shabu-shabu. Duit kiriman orang tua yang niatnya untuk biaya kuliah dan tetek bengeknya gue pake buat nyabu bareng temen kost. Gue betul-betul jatuh saat itu. Seminggu bisa tiga kali gue nyabu. Teman gue bagian tabung ma sedotan dan lain lainnya, gue bagian shabu-shabunya. Sumpah, nurani gue terus menerus membunyikan sirene untuk berhenti. Tapi ego gue lebih kuat. Gue cowok, apa salahnya mencoba? Meskipun boleh dibilang, gue bukan sekedar mencoba lagi, melainkan sudah menjadi pecandu narkoba!!!!!

Tubuh gue semakin kurus dan ringkih. Kuliah keteteran dan duit habis buat beli shabu-shabu yang ga murah itu. Sampai suatu hari saat lagi ngikutin kuliah, gue Sakaw! Keringat dingin, mulut berbusa, kejang-kejang. Gue dilarikan ke rumah sakit oleh teman-teman kuliah atas perintah dosen. Gue ga sadar apa yang terjadi, gue seolah-olah tertidur selama bertahun-tahun. Gelap! Apa yang gue temuin saat gue membuka mata adalah hal yang bahkan bisa bikin gue nangis. Rani duduk dengan cemas disamping tempat tidur rumah sakit. Matanya yang seperti bola pimpong itu memerah, kantung mata bagian bawahnya menghitam. Tangannya meremas-remas tangan gue. Gue sesaat bingung, gue dimana? Di rumah sakit sih iya, tapi apakah gue masih di Jogja? Kenapa Rani bisa ada di sini? Mami papi apakah telah mengetahui hal ini? Mati gue!!

"Den! Deny!! Alhamdulillah ... Akhirnya elu sadar juga .. bentar yah gue panggil dokter." Rani, masih seperti yang dulu. Yang berubah hanya matanya, nampak letih dan sayu. Gue menatap dinding rumah sakit yang putih. Menarik napas panjang. Dokter masuk kamar bersama Rani dan seorang perawat. Entah apa yang dilakukan terhadap tubuh gue, kegiatan medis lainnya. Gue pasrah. Setelah dokter pergi Rani kembali ke kamar, duduk di samping tempat tidur menatap gue prihatin dan penuh cinta. Bleh! Cinta lagi! Gue jomblo!!!

"Syukurlah Den, elu belum seberapa parah. Elu ga sampai ikut rehabilitasi. Elu masih bisa diselamatkan. Elu sakaw saat ngikutin kuliah. Gue ... gue selama ini kuliah di UII Den, biar lebih dekat sama lu, paling ga kita se kota dan gue masih bisa tau berita lu dari temen gue yang kuliah di UGM" sahhhhh, seperti itu kah cinta? Rela melakukan apa saja demi orang yang dicintai? Rela mengikuti kemana cintanya pergi? Saat Rani menyentuh tangan gue, hati gue bergetar. Cewek ini, cewek yang pernah gue tolak, cewek yang pernah bikin hati gue kesal bukan main, ada di sini, merawat gue, nemenin gue, mengaku sebagai kerabat gue ke pihak rumah sakit. Belakangan gue tau, Rani lah yang menanggung semua biaya yang ditagih oleh pihak rumah sakit! Shit! Satu yang bikin gue lega, mami papi tetap ga tau menahu soal ini. Thanks God.

Sebulan gue dirawat, sebulan pula Rani bolak balik antara kuliah, menjaga gue, ngerawat gue, ke kost gue dan beres-beres di sana, sampai kadang dia tidur di sofa rumah sakit! Gila, gue pengennya Rani pergi saja, ga usah berkorban seperti itu ke gue. Tapi gue butuh Rani. Butuh ketulusan dan kebaikan cewek berhidung bangir itu. Berhari-hari dilewatkan bersama di rumah sakit, hati gue mulai suka padanya. Pada semua ketulusan hatinya. Suck gue!

Tiga bulan lewat sudah. Gue kembali hidup normal. Gue kembali ke kost gue yang dulu, namun teman gue yang pernah ngajak gue ke dunia hitam itu telah pergi entah kemana. Beruntunglah gue pemilik kost masih mau nerima gue kost di situ. Gue tobat dan lebih mendekatkan diri pada Allah SWT. Gue bersyukur masih dikasih kesempatan memperbaiki semua kesalahan gue sama Allah. Gue kuliah lagi dan ketemu teman-teman gue. Tapi Rani kemana? Cewek itu seolah menghilang ditiup angin. Kadang gue sering ngelamun di kamar, berpikir tentang Rani. Gue harus menghubungi dia. Bagaimana? Gue ga tau nomor hpnya, ga tau kost-nya dimana, ga tau temannya yang sekampus ma gue. Rupanya Tuhan masih mendengar do'a gue, do'a cowok jomblo yang hampir putus asa. Siang pulang kuliah gue lihat Rani tengah duduk di serambi kost. Rani!!!! Hati gue bersorak gembira.

"Hei! Gue cari kemana-mana ga ketemu." katanya. Ah Rani, gue juga cariin elu! Gue kangen! ...... k a n g e n??? Pppffftttt.
"Tapi sekarang ketemu kan. Eh Ran. Gue juga sebenarnya cariin elu kemana-mana. Hm, gimana kalau elu temenin gue makan? Bentar yah gue ganti baju dulu." gue ajak Rani makan di warung dekat kost. Makanannya enak. Sambil makan gue ajak Rani bicara. Gadis manis itu tersenyum penuh arti.
"Ran, gue mau bilang thanks berat atas semua bantuan elu selama ini. Gue lagi ngumpulin kiriman di atm nih, ga ngambil banyak-banyak biar gue bisa gantiin semua duit lu Ran. Sorry kalau ga bisa cepat gue kembaliin duitnya." Rani terbeliak lalu tertunduk. Gue ... gue suka lihat dia tertunduk begitu. Suck! Sedetik kemudian bahunya terguncang-guncang. Dia menangis! Gue ga suka lihat cewek menangis!! Cepat-cepat gue selesaiin makan, membayar dan menyeret Rani keluar dari warung. Gue tarik tangan Rani ke kamar kost gue.

Betul dia menangis. Cairan bening itu menetes satu-satu di pipinya. Gue belai rambutnya, mengajaknya duduk dan bicara.
"Ran ... sumpah gue ga suka lihat cewek menangis. Plis Ran, jangan menangis disini, biarkan gue bicara." kata gue sambil menghapus air matanya dengan punggung tangan gue. Rani mengambil tisu, mengeringkan airmata di pipinya. Namun mata indah itu masih berkaca-kaca.
"Den, gue cinta elu, sudah dari dulu waktu masih smu. Gue telah dengan lancang mengirim surat ke elu, gue malu, tapi gue harus, harus membiarkan elu tau perasaan gue. Gue nekat ke rumah elu, berharap mata dan hati elu bisa lebih terbuka untuk gue. Tapi hasilnya, gue malah lebih malu lagi. Tapi karena cinta, gue nekat cari tau nomor hp elu. Gue tau elu kesal bukan main sama gue. Tapi gue, entah bagaimana caranya, ga bisa merubah cinta gue ke elu. Cinta ini seolah terbentuk dan membatu di hati gue tanpa bisa gue pungkiri. Sampai gue nekat ikut kuliah di Jogja, demi bisa lebih dekat elu. Temen gue kuliah di UGM, jadi gue bisa tau keadaan elu dari dia .... Gue akan terus membuntuti elu kemana pun elu pergi Den, sampai gue yakin, bila elu sampai menikah dengan cewek lain, elu bukan takdir gue. Tapi selama elu belum menikah, gue akan terus mengekori elu, terus menunggu elu Den ... maafin gue ..." tanpa jeda sedikit pun kata-kata itu mengalir dari bibirnya. Inikah cinta?! Deny, ini lah cinta! Ga perlu kata-kata romantis, tapi buktikan saja. Gue masih ingat surat Rani dulu itu, ga ada kata-kata romantis sama sekali. Tapi Rani sudah membuktikan ke gue, kalau dia cinta gue.

Gue diam. Bukan karena gue kesal atau marah. Tapi gue mengkaji semua ini. Gue memang menikmati ke-jomblo-an gue selama ini. Gue lebih memilih menjomblo ketimbang pacaran dan disibukkan dengan urusan yang ga ada penting-pentingnya sama sekali. Tapi kasus ini berbeda. Cinta Rani pada gue, melewati begitu banyak duri. Haruskah gue menolaknya lagi? Mengingat hati gue sendiri sudah bisa menerima kehadirannya? Dukungan moril darinya amat membantu kesembuhan gue dulu. Haruskah gue terus menerus membiarkan cewek ini berkubang penderitaan gara-gara cinta dia ke gue? Masih gue ingat kata-katanya dulu saat nekat datang ke rumah gue "Den, gue cinta elu. Sumpah, berbulan-bulan gue nunggu balasan surat dari elu, tapi ga satu pun surat itu datang. Den, gue manusia, punya rasa. Gue rasa elu juga manusia kan? Punya rasa juga kan?" Yeah, gue juga manusia. Punya rasa yang bisa berubah-ubah juga.

"Den ..?? Hmm .. gue pulang dulu yah .." Rani membuyarkan pikiran gue. Rani berdiri, mengambil ranselnya hendak pulang.
"Ran .. tunggu ..." kata gue.
"Gue memang akan selalu menunggu elu Den. Selalu ..." jawab Rani.
"Maksud gue, gue masih ingin bicara .. well, meskipun dari tadi gue ga bicara sepatah kata pun .." gue sadar. Rani tersenyum manis. Kembali duduk di hadapan gue.
"Oke .. " gue tatap bola matanya yang indah itu. Makhluk manis yang ditawarkan Tuhan untuk gue. Yang pernah gue tolak mentah-mentah. Gue bersyukur, Tuhan masih meluruskan cinta cewek ini buat gue. Gue yang ga tau malu, yang suka ngejomblo, yang ga berani ngambil resiko jatuh cinta!
"Ran, dengar yah ... dengar baik-baik. Gue, Deny, hari ini bilang ke elu. Gue cinta elu .." mata Rani terbeliak. Antara percaya dan tidak.
"Tap .. tapi Den .. bukan maksud gue ..." gue raih jemarinya.
"Ran, you change my life completely. No tendens, just by love. Cinta elu telah menyentuh nurani gue yang paling dalam meskipun butuh waktu bertahun untuk itu. Elu sanggup merubah patung menjadi manusia ber-hati, berperasaan. Gue tau, gue bukan cowok baik dan tepat untuk elu, tapi gue akan berusaha untuk itu. Gue akan membayar semua pengorbanan elu selama ini." gue tulus.
"Deny ... jangan bilang begitu setelah apa yang gue lakukan selama elu dirawat di rumah sakit. Siapa pun pasti akan melakukannya untuk elu. Sebagai sesama manusia, teman sekolah ..." Rani melepaskan jemarinya dari genggaman gue.
"Tidak, bukan karena itu .. tapi karena cinta elu telah merubah diri gue, menjadi manusia seutuhnya. Manusia yang punya perasaan. Gue jadi mengerti cinta itu seperti apa. Gue ga tau harus bilang apa Ran, untuk hari ini gue hanya bisa bilang, gue cinta elu .. gue cinta elu Ran .. Please, kasih gue waktu untuk membuktikannya." gue raih tubuhnya, mendekapnya erat. Ternyata disini, di dirinya, gue temuin arti cinta dan mencintai. Gue temuin arti hidup. Ngejomblo memang menyenangkan, tapi ga ada tantangan mempertahankan sesuatu di dalamnya. Tak ada kata-kata lagi, hanya tangis bahagia yang keluar dari mata indah itu. Gue benci cewek menangis! Tapi melihatnya menangis dalam senyum, gue terharu. Terharu pada ketegaran cinta Rani. Rani, maafkan gue!

Saat ini gue juga ga perlu buka kamus untuk mencari arti kata cinta atau pacaran seperti dulu saat gue ga ngerti arti kata jomblo. Gue defenisikan sendiri saja. Kata kuncinya, cinta = indah. Hu`uh, itu lah yang gue alamin. Gue ga bisa bertahan menjomblo. Ego gue runtuh karena cinta Rani. Ibarat batu cadas yang bisa berlubang karena ditetesi air terus menerus. Itulah gue. Toh meskipun gue ga sendiri lagi, gue masih bisa melakukan kegiatan apa pun yang gue suka. Gue masih gitaran di kamar kost, masih suka ke kantin bareng teman-teman dan hunting filem terbaru. Gue masih bisa melakukan apa pun meskipun gue ga menjomblo lagi. Ouf Rani, don't you know, now, everything you do make me wanna go ugh ugh ugh ugh!! Ga jomblo lagi!

tootyee, 14 Feb 2004

SAMPAI NANTI

Ini bulan Februari. Tanggal 14. Tidak ada yang salah dengan bulan dan tanggal ini. Yang salah adalah hati saya, sampai detik ini saya masih belum bisa melupakan sosok bang Ariel dalam hati dan cinta saya. Bang Ariel, sedang apakah dia disana? Bermain bersama malaikat dan para dewa? Dua puluh empat hari yang lalu, bang Ariel tercinta pergi dari dunia. Bang Ariel boleh saja meniggalkan dunia fana ini, tapi tidak dari hati saya. Cinta saya padanya begitu besar. Meskipun selama ini saya selalu tersenyum, namun dalam hati saya menangis. Saya mencintainya sepenuh jiwa raga, namun nasib tidak berpihak pada kami, dalam kondisi koma di rumah sakit, bang Ariel yang terpisah negara dan benua dari saya, pergi untuk selamanya. Meninggalkan saya, dengan cinta ini, sendiri disini.

Siapa yang mengira sebelumnya kalau kecelakaan tragis itu akhirnya merenggut nyawa bang Ariel tercinta? Siapa yang tau takdir yang telah digariskan Tuhan untuk umatnya? Tapi kenapa bang Ariel? Kenapa harus dia? Untuk ke sekian kalinya saya menangis, di sini .. di kamar saya. Merutuki nasib dan tak berdaya. Dari luar saya boleh nampak kuat dan tegar, tapi di dalam saya rapuh. Seperti elang kehilangan sayap. Saya kembali menangis menatap sosok di cermin. Ini lah saya sekarang, tambah sehat dan ceria. Tidak!! Itu hanya apa yang nampak dari luar, tidak di sini, di hati ini. Apa yang terjadi di hati ini, tak kan ada seorang pun yang tau ... saya hancur berkeping-keping tanpa sisa. Cinta yang begitu bahagia harus berakhir seperti ini.

Dua puluh empat hari yang lalu, saat sms dari Adit, adik bang Ariel belum saya terima, masih banyak harapan dari dalam hati saya. Harapan untuk bersama bang Ariel. Harapan untuk merayakan Valentine berdua. Karena sesuai janjinya, bang Ariel akan pulang ke Banjarmasin tanggal 10 Februari dan akan ke Jogja sebelum Valentine. How stupid I am! Bang Ariel koma saat itu, tapi harapan-harapan bersamanya terus ada. Saya seakan menolak kondisi bang Ariel yang sedemikian parah di sana. Hati saya menjerit-jerit memohon kesembuhan untuknya. Tuhan, beri bang Ariel kesempatan hidup, dia cowok baik, dia cowok tercinta saya, saya ingin bersamanya di hari penuh cinta ini. Dan hati saya menjerit-jerit saat sms dari Adit saya terima. Sungguh tidak adil! Saya, lagi lagi menangis, di sini ... di kamar saya.

Masih segar dalam ingatan saya kala bang Ariel datang ke Jogja, bertemu saya. Masih terasa getar-getar cinta di dada. Bang Ariel yang begitu baik dan cinta pada saya telah memberi saya nafas dan langkah baru dalam hidup untuk meraih mimpi-mimpi. Seminggu sebelum Idul Fitri itu adalah hari-hari terindah dalam hidup saya. Dimana saya melewatinya bersama kehangatan bang Ariel tercinta. Bang Ariel adalah semangat saya selain keluarga. Bang Ariel adalah yang terbaik bagi saya. Orang baik, orang baik selalu dipanggil duluan oleh Tuhan. Orang baik selalu mendapat kesempatan hidup lebih sedikit dari orang jahat ... Saya menangis, di sini ... di kamar saya.

Tedy bear sebesar jempol itu menatap saya. Kosong, sekosong hati saya setiap kali saya menatapnya. Salah satu hadiah bang Ariel yang selalu saya bawa kemana pun saya pergi. Tedy, taukah kamu, dia yang telah memberikanmu pada saya saat ini telah pergi jauh meninggalkan kita. Tedy, jangan tatap saya seperti itu! Hati saya luka Tedy .. meskipun saya nampak tegar. Meskipun saya selalu berusaha tersenyum setelah kejadian dua puluh empat hari yang lalu. Tapi tau kah Tedy? Separuh nafas saya telah hilang kini ... walaupun it's not end of the story, of my life, but I do down! Saya cinta bang Ariel!!! Saya kembali menangis, di sini ... di kamar saya.

Ini bulan Februari, tanggal 14. Hari ini hari Valentine, tidak ada yang salah dengan hari ini. Yang salah hati saya, karena saya masih belum sanggup melupakan sosok tercinta bang Ariel. Bang, setiap kali mengingatmu, taukah dirimu kalau saya masih teramat dalam mencintaimu? Bang, masih cintakah dirimu pada saya? Saya membuka gordyn, membiarkan angin malam Valentine menyapu wajah. Saya tatap bintang-bintang di langit hitam, jauh, amat jauh, namun dekat di hati ... disitukah dirimu berada bang? Dari situkah dirimu tersenyum pada saya? Saya yang rapuh karena kepergianmu? Ah bang, ketahuilah, tiada indah dunia ini rasanya tanpa kehadiranmu. Tapi apa daya, saya hanyalah manusia biasa seperti mu jua, tak mampu menolak kehendak Tuhan, zat yang menggenggam kita di tangannya.

Bang Ariel tercinta, maafkan kalau sampai hari ini, dua puluh empat hari setelah kepergianmu, saya masih belum bisa melupakanmu. Sudah takdir kita untuk tidak bersama. Kita, sekali lagi hanya manusia biasa, terjebak di dalam garis tangan yang kita bawa sejak lahir. Bang Ariel tercinta, saya mencintaimu. Baik-baiklah di alam sana, saya berjanji, akan selalu menemanimu dengan do'a yang saya panjatkan. Semoga do'a kecil saya bisa lebih membuat rohmu tentram di alam sana. Bang, saya mencintaimu, tiada batas untuk cinta ini. Cinta yang tumbuh dengan subur di hati walaupun kita terpisah negara dan benua. Isn't it? Love have a magic thing in it.

Bang Ariel tercinta, Valentine ini saya sendiri, menangis di sini ... di kamar saya. Air mata memang tidak bisa menyelesaikan segalanya, tapi air mata membantu hati saya lebih ringan. Membuat hati saya sedikit dapat bernapas dalam himpitan duka yang merajalela. Saya kembali ke cermin, menatap sosok saya yang tersenyum disitu. Senyum yang rapuh! Saya tidak mau munafik bang. Makanya saya menolak menghadiri pesta Valentine yang diadakan Thia dan teman-teman lainnya. Saya lebih memilih di sini, di kamar saya, mengenangmu dan menangis. Paling tidak hari ini saya merasa dekat denganmu. Entah karena tedy bear mungil itu atau karena cinta yang masih ada di dalam hati ini. Air mata saya tak mungkin kering bang, tidak mungkin bisa. Dahaga kerinduan saya akan dirimu tidak akan bisa terobati. Saya mencintaimu bang.

Angin Valentine kian kencang ... saya menutup jendela. Kembali ke pembaringan dengan mata yang masih basah. Thanks mama, papa and my 'lil bro. Pilihan kalian untuk membiarkan saya di kamar ini sendiri, menangis dan berpikir amat menolong saya meringankan himpitan duka di hati ini. Bang Ariel, yakinlah .. saya cinta padamu, biarkanlah cinta ini terus di sini, sampai saatnya nanti dia harus pergi dan tergantikan dengan cinta yang lain. Bang Ariel, saya ingin tidur, peluk lah erat saya dan cinta ini ... saya mencintai bang Ariel ... sepenuhnya. Sampai nanti bang .. sampai nanti ...
Ini bulan Februari. Tanggal 14. Saya menangis, di sini ... di kamar saya.

tootyee, 5 Februari 2004
Twinie Phie, this story based on your true story. I think I have to made this, not for you, not for me, but for Him, your beloved Ariel. Pray for him. Pray for his love to you. Life so short. Remember that song? If life is so short why won't you let me love you before we run out of time ... He'd did it. In his short life, he gives you his big love. He gives you all the good thing of his life. Then ... if life is so short ... and I cry again!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

tootyee, Feb 04

KARENA KUTAU ENGKAU BEGITU

Lantunan lagu Andre Hehanusa dan petikan gitarnya membawa anganku melayang pada sosok Dre. Gadis manis berlesung pipi yang putih dan berjilbab. Manis, Dre memang manis, siapa pun mengakuinya. Hanya orang dungu dan sirik yang berani bilang Dre tidak manis. Aku bersenandung kecil mengikuti lirik lagu romantis akustik itu. .... kuyakin dalam hatiku, kau satu yang kupeluk, kurasa hanya dirimu yang membuat ku rindu ... Yah, aku begitu menyukai Dre. Senyumnya yang ceria, tatapan matanya yang lembut, jilbabnya yang selalu melambai-lambai tertiup angin dan bibirnya yang penuh. Wow, sejuta pesona Dre membuat hatiku terasa dialiri air sejuk.

Aku mengenal Dre pada suatu sore yang basah. Hujan turun membasahi bumi Jogja. Saat itu, aku terperangkap hujan disebuah warnet yang penuh. Tidak disangka, di dekat pintu, berdiri seorang cewek manis berjilbab, Dre. Jilbab hijau pupusnya terlihat kontras dengan kemeja kotak-kotak hijau dan bluejeans. Dia sedang mengantri komputer. Yup, hujan-hujan begini memang paling enak nge-net. Dan warnet yang satu ini adalah warnet favorit anak-anak Jogja. Selain letaknya berada di pusat kota Jogja, fasilitasnya banyak. Full musik dan AC. Selain itu aksesnya lancar dan cepat. Senyum manis Dre saat bersirobok denganku membuat hatiku bagai disiram air es. Entah siapa yang memulai, kami kemudian berkenalan dan cepat akrab. Selain Dre cewek supel yang selalu bisa mengudang percakapan seru, Dre juga lucu dengan tebakan-tebakan konyolnya.

Sejak hari itu setiap malam tiba aku jadi gelisah. Aku selalu berkhayal dan bermimpi, seandainya Dre menjadi milikku. Jantungku berdebar keras bila memori ini mulai bermain dengan bayang-bayang Dre, Inikah cinta? Sungguh. Kalau tidak meng-smsnya sekali saja, hatiku jadi tak karuan. Meskipun sms-ku itu nampak dibuat-buat. Misalnya hanya menanyakan sudah makan Dre? Ga kuliah hari ini? Pakai jilbab berwarna apa hari ini? Dan pertanyaan-pertanyaan basi lainnya. Namun Dre selalu dengan baik hati membalas sms-smsku itu. Mengingat sebagai seorang pegawai rendahan pada perusahaan yang bergerak di bidang percetakan, maka aku harus bisa menghemat pulsa. Tapi dorongan kuat dari dalam hati tentu tidak bisa kutahan.

Apa yang kutunggu? Kalau memang cinta, nyatakan saja toh. Namun aku masih ragu untuk menyatakan cinta. Bingung harus bagaimana bersikap. Well, ketakutan terbesar dari seorang pria adalah ditolak cewek bila ditembak. Apa yang harus kukatakan bila dia menolakku? Aku memang menikmati rasa-rasa indah yang tumbuh di hatiku, masih menikmati keadaan yang sekarang berjalan. Saling sms, saling tanya kabar. Lebih dari itu aku pengen, tapi belum tau cara tepat untuk menyatakannya. Bingung rasanya. Dre, dengan sejuta pesonanya telah menjerat hatiku tanpa ampun.

***

Siang ini aku disibukkan dengan pekerjaan yang menumpuk. Banyak surat dan artikel yang harus segera kuselesaikan. Fiuh ... bosan juga rasanya duduk seharian dari pagi jam tujuh hingga jam satu siang ini. Perutku sudah minta di isi. Aku teringat Dre. Sudah makan kah cewek manis itu? Ah, ingin rasanya bertemu, namun apa daya, tugas-tugas ini begitu mengekangku. Tiba-tiba hpku berbunyi, sms masuk. Kubaca segera, siapa tau berita penting. Dan hampir saja aku terlonjak, dari Dre! Mas Adji, sore nanti ada acara?-Dre. Aku segera membalas, Ga ada acara tuh, napah?-Aku. Dre mau cari jilbab, tapi ga ada yang temenin-Dre. Oh, boleh, jam 4 mas jemput ke kost yah.-Aku. Oke, jam 4 Dre tunggu-Dre. Oh my God, apakah ini berarti jalan telah terbuka untukku? Dre kan bisa saja meminta salah satu penghuni kost untuk menemaninya, tapi justru aku yang dipilihnya. Segera kuselesaikan semua tugas ini dengan penuh semangat. Tak kuhiraukan perutku yang terus bernyanyi sejak tadi.

Jam 3 lewat 30 menit aku akhirnya terbebas juga dari kerjaan. Pamit pada bos dengan alasan belum makan, aku melesat ke kost-an Dre dengan skuter kebanggaanku. Sesampai di sana Dre telah menunggu. Senyuman manis dan jilbab biru yang melambai-lambai menyejukkan hatiku.
"Assalamualaikum ..." Dre menjawab salamku. Tak menunggu lama, Dre kemudian telah kubonceng ke daerah pertokoan busana muslim. Kuikuti kemana pun langkahnya terayun. Mengubek-ngubek toko busana muslim. Namun apa yang dicarinya belum ketemu juga. Perutku semakin keroncongan. Dre rupanya menyadari hal ini, dia menatapku iba.
"Mas Adji dari kantor langsung jemputin Dre yah? Aduh, maaf ya mas ngerepoti. Kita makan dulu yuk kalau begitu." fiuh, syukurlah Dre memiliki hati sebaik ini. Thanks God! Kita menuju salah satu warung pinggir jalan yang cukup bersih. Aku makan dengan lahap, sedangkan Dre hanya menyeruput jus advokad. Selesai makan kita tidak jadi melanjutkan niat mencari jilbab. Dre beralasan tidak ada jilbab yang dicarinya.

"Mas Adji pasti marah ya ... sudah capek-capek kerja, malah nganterin Dre cari jilbab. Eh, yang dicari malah ga ketemu-ketemu ..." ujar Dre setelah dia kembali berada di boncengan skuterku. Aku menggeleng. Justru sore ini adalah sore terindah bagiku. Aku bisa menemaninya, membuntutinya kesana kemari dan menghirup aroma Dre yang lembut. Hadiah terindah setelah capek bekerja, sungguh.
Kuantar dia kembali ke kost dengan janji saling sms. Aku kembali ke rumah dengan perasaan senang, rasanya tak ingin semua ini berakhir. Rasanya ingin Dre berada dalam boncenganku selamanya. Hanya pada Dre rasanya aku bisa setotal ini mencinta.

Aku berani membiarkan cinta ini tumbuh dan berharap karena setauku Dre belum memiliki cowok. Bila saja dia telah punya cowok, aku akan mundur dengan pasti. Tidak akan meng-sms dirinya bahkan tak berani rasanya aku sekedar membayangkannya. Namun kesendiriannya dan kesendirianku membuat aku berani membiarkan cinta ini tumbuh dengan bebasnya, mengisi relung hatiku yang paling dalam dan merasakannya tumbuh subur kian harinya.

***

Aku terduduk lesu di depan komputer kerja. Menatap layar komputer dengan lesu. Dua hari lagi Valentine. Menilik usiaku yang tidak muda lagi, paling tidak aku sudah bukan abg lagi, sebenarnya tak pantas Valentine menjadi beban di hati. Namun setelah sekian lama aku bermain dengan hati dan pikiranku, aku berniat menyatakan cintaku pada Dre di saat paling romantis dalam setahun ini. Mungkinkah aku berani menyatakannya? Bagaimana?

Cukup sudah .. cukup sudah aku menunggu. Ini lah saatnya aku bicara. Aku sebelumnya memang harus menyiapkan mentalku bila ditolak Dre. Tapi aku yakin, Dre-lah wanita satu-satunya yang akan menjadi sahabat hatiku. Dengan keyakinan itu, aku berniat mencari jilbab untuknya. Jilbab hijau, bukan pink. Kupilih warna hijau, karena saat melihatnya pertama kali dulu, Dre memakai jilbab hijau. .... bila saat nanti kau milikku, kuyakin cintamu, takkan terbagi takkan berpaling .. karena kutau engkau begitu ... karena kutau engkau begitu ... Lirik romantis akustik milik Andre Hehanusa itu kembali terngiang di telingaku ... hingga kupasti menunggu, selama apa pun itu, demi cinta yang kurasakan, yang hanyalah kepadamu, percayalah ku sungguh-sungguh, mengatakan semua, yakinkan hatimu kau milikku .... Terlintas satu ide lagi. Setelah selesai mencari jilbab hijau lembut itu kakiku kuayun ke toko kaset. Lagu lama, susah dicari. Dimana bisa kudapat lagu itu?

Akhirnya aku pulang. Dengan bungkusan jilbab hijau di tangan. Jilbab itu kumasukan ke tas kertas yang berwana hijau juga. Apa hanya itu? Kata-kata, kata yang kira-kira bisa mewakili seluruh, atau separuh cinta ini padanya. Kembali kuingat lirik lagu lama Andre itu. Binggo!!! Aku pun mulai menulis. Dan selesai sudah. Besok, sehari sebelum Valentine aku sudah harus menyerahkan kado ini untuknya. Tidak mahal namun menyiratkan hatiku. Lebih baik mencoba dari pada tidak sama sekali, begitu batinku bicara.

***

Kupencet nomor telepon kost Dre. Kebetulan sekali Dre sendiri yang menerima. Kusampaikan niat untuk ke kost-nya sore itu. Dre dengan senang menunggu. Selepas jam kantor, kupacu skuterku ke kost-nya. Dre lagi lagi telah menantiku di teras kost. Aku tersenyum, kuberi senyum yang paling manis. Dre mengajakku duduk.
"Ada perlu apa nih mas Adji sore-sore pulang kantor langsung ke sini?" tanya Dre setelah kuteguk es teh yang disuguhkannya.
"Mau kasih ini..." kusodor tas kertas hijau, kado Valentine dariku untuknya. Dre sempat terkejut. Binar matanya membuatku ingin memeluknya!
"Tapi, bukanya nanti malam saja yah ... jangan sekarang. Itu kado Valentine buat Dre .." kataku. Bola matanya kembali berbinar. Kupastikan, hatinya pasti berbunga, mimpi seorang cowok!
"Oke, wah... makasih banget ya mas Adji .. aduh Dre bahkan belum membeli kado Valentine buat mas Adji." katanya. Ah Dre, tak usah kado, jawab saja cintaku! Jeritku dalam hati. Ngobrol sebentar aku pamit pulang. Dre mengantarku sampai pagar kost. Aku melambai sebelum memacu skuterku pulang ke rumah.

Malam ini aku tak bisa tidur. Dre, sambutlah cintaku ... jangan biarkan aku merana karena cinta ini. Bolak balik di tempat tidur, gerah. Aku tak bisa tidur! Sedang apa kah Dre? Hampir jam 12 malam dan mataku belum mau terpejam. Sudahkah Dre melihat jilbab hijau itu? Dre, Dre, Dre! Hpku berbunyi, sms masuk. Aku meraih hp dari meja dan membaca. Mas Adji, thx atas kadonya, thx telah membuat Dre berhenti bermimpi-Dre. Hah? Bermimpi? Apa maksudnya? Dre, bangun, ke telepon, mas Adji mau nelpon sekarang-Aku. Aku bangkit, keluar kamar, memencet no telepon kost gadis berlesung pipi itu.
"Assalamulaikum. Dre ..." kataku.
"Wa'alaikumsalam .. ya mas Adji .. makasih yah ... ternyata selama ini Dre tidak bertepuk sebelah tangan ..." aku terlonjak gembira, thanks God! Akhirnya, akhirnya, batinku.
"Dre ... thanks ... ini kado Valentine terindah bagi mas." gitu kataku. Dre tertawa pelan .. mendesah ... Dre, love u sweety!
"Lirik lagunya bagus, Dre punya kasetnya ... tadi Dre dengerin lagi lagu itu. Karena kutau engkau begitu .. ya kan mas?" aku mengangguk, bego, mana tau Dre kalau aku mengangguk?
"Ya ya .. itu lagunya ... oke Dre ... besok malam mas jemput yah?" kataku tak sabar.
"Oke, Dre tunggu besok malam ... " jawabnya dari seberang.
"Love u Dre ..." akhirnya keluar juga kata-kata itu dari bibirku.
"Love u too mas Adji ..." klik. Telepon kututup. Dengan perasaan gembira aku kembali ke kamar, justru aku semakin gelisah. Karena kutau engkau begitu .... Kali ini aku bersenandung ... penuh ...

Kuyakin dalam hatiku, kau satu yang kupeluk
Kurasa hanya dirimu, yang membuat kurindu
Bila saat nanti kau milikku, kuyakin cintamu
Takkan terbagi takkan berpaling ...
Karena kutau engkau begitu, karena kutau engkau begitu

Hingga kupasti menunggu, selama apa pun itu
Demi cinta yang rasakan, yang hanyalah kepadamu
Percayalah ku sungguh-sungguh, mengatakan semua
Yakinkan hatimu kau milikku ...
Karena kutau engkau begitu, karena kutau engkau begitu

Oh .. na na na na

Bila saat nanti kau milikku, kuyakin cintamu
Takkan terbagi, takkan berpaling
Karena kutau engkau begitu, karena kutau engkau begitu
Percayalah ku sungguh-sungguh, mengatakan semua
Yakinkan hatimu kau milikku ...
Karena kutau engkau begitu, karena kutau engkau begitu

Aku jatuh tertidur, pulas dan lelap. Cinta begitu indah. Cinta begitu romantis. Ketakutan cowok bila ditolak cewek sebenarnya tak beralasan. Paling tidak harus mencoba kan? Well, aku bisa bilang begini karena aku telah mengalaminya. Dre, love you. Karena kutau engkau begitu, juga mencintaiku.

tootyee, 3 Feby 2004
Inspiration from Andre Hehanusa - Karena Kutau Engkau Begitu.

BE MY VALENTINE

Sekali ini saya sudah tidak tahan lagi. Sungguh, kelakuan Raynold telah melampaui batas akal sehat dan hati saya untuk menerima dan mengalah. Dengan keyakinan pasti saya melangkah ke mejanya dengan gelas berisi es jeruk di tangan lalu menuangkan es jeruk itu di kepalanya. Raynold kaget, seisi kantin lebih kaget lagi. Saya cuek.
"Biar otak kamu lebih adem Ray, ga selalu panas bila melihat saya." dengan santai saya meninggalkan Ray yang berlumuran es jeruk ditingkahi tawa anak-anak yang siang itu tengah mengisi perut di kantin. Saya sudah tidak peduli lagi. Hati saya kesal bukan main. Ya Ray, kali ini dirimu kena batunya. Jaga mulutmu! Ini Tahun baru, maaf, sikap saya pun harus baru padamu. Tak mau saya menerima omongan pedasmu lagi. Tak mau saya disindir dan dilecehkan lagi. Siapa sih dirimu? Bukan apa-apa saya. Saya bahkan tak mengenalmu. Yang saya tau, dirimu selalu merasa tidak nyaman bila berdekatan dengan saya. Mengapa? Saya bahkan tidak mengenalmu.

***

Saya sendiri tidak ingat sejak kapan perseteruan antara saya dan Ray dimulai. Seingat saya, sejak menginjakan kaki di kampus ini sebagai mahasiswi, Raynold sudah membenci saya. Entah apa yang telah saya perbuat sehingga dia begitu kejam setiap kali melihat saya. Kata-kata pedis yang keluar dari mulutnya membuat kuping saya panas, hati saya ikut panas. Namun saya masih memaafkannya, dia tidak tau apa yang diperbuatnya. Karena saya, sama sekali tidak tau apa kesalahan saya. Kami bahkan tidak saling kenal!! Bayangkan, dua orang yang saling tidak kenal, namun Ray seakan telah memupuk kebencian pada saya jauh sebelum kami bertemu di kampus ini.

Tidur-tiduran sore di kamar kost saya yang cukup luas membuat saya kembali pada kejadian siang tadi. Kejadian di kantin, ya .. entah dari mana keberanian itu datang. Keberanian itu paling tidak telah membuka mata seorang Raynold, bahwa sikap diam saya selama ini bukan karena saya pasrah pada ejekan-ejekannya, melainkan saya lebih memilih untuk mengalah. Namun cukup sudah, ya .. cukup sudah dia berjaya dengan hal yang saya sendiri tidak tau kejelasannya. Kesalahan saya dimana?! Kami, sekali lagi, tidak saling mengenal! Ugh, bila saya mengingat semua kata-kata busuknya, ingin rasanya saya tadi tidak sekedar menyiraminya dengan es jeruk, melainkan dengan tamparan keras di pipinya. Cowok kok bermulut wanita!

Ketukan di pintu kamar membuyarkan semua lamunan saya.
"Ya .. siapa?!" tanya saya dari dalam. Malas rasanya diganggu sore-sore begini setelah pagi tadi hingga siang saya harus mengikuti kuliah. Capek.
"Ju .. ada temanmu datang." eh suara mbak Rika, penghuni kost tertua di tempat ini, usianya menginjak kepala tiga, namun belum menikah. Saya meloncat dari kasur dan membuka pintu.
"Teman saya mbak? Siapa? Si Mine? Atau ..." mbak Rika tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya. Loh, ada apa ini.
"Sudah sana temuin .. masa cowok cakep gitu dibiarkan nunggu lama Ju? Rugi dong hehehe ... dah ya, mbak mau ke kamar dulu .." saya terkejut. Cowok? Dalam sejarah saya menjadi penghuni kost ini, belum ada satu teman cowok saya yang pernah bertamu ke sini. Dan sore ini, saya kedatangan tamu seorang cowok? Setelah sisiran dan merapihkan baju saya menuju teras depan kost. Dan apa yang saya lihat di sana? Raynold! Duduk dengan gagahnya di bangku teras ... gagah? Saya merutuki diri sendiri. Cowok banci seperti itu kok gagah? Uhm, mau rasanya kembali ke kamar, tak perlu meladeninya. Tapi hati kecil saya memaksa saya untuk duduk dan bicara.

Raynold mengalihkan pandangannya dari jalanan ketika menyadari kehadiran saya di situ. Tampang jahilnya selama ini entah disembunyikan di mana.
"Hai Ju .. maaf sore-sore begini mengganggu waktumu." eh? Apa tak salah? Dia mengenal kata sopan santun juga rupanya. Saya duduk di hadapannya. Mencoba membangun benteng pertahanan yang kuat. Ray telah saya anggap musuh. Saya harus siap.
"Ga pa pa. Ada perlu apa Ray?" tanya saya to the point. Terus terang, gerah juga rasanya duduk berdua dengannya. Kenapa di saat-saat begini, Raynold malah keluar gentlenya? Huh, kembali saya merutuki diri sendiri.
"Well, kamu mungkin sudah tau, kedatangan saya kemari untuk apa. Saya ingin minta maaf Ju. Atas semua kesalahan saya selama ini." saya, terus terang tidak kaget mendengarnya. Setelah dia berbuat salah, seharusnya memang meminta maaf kan? Saya menarik napas panjang.
"Yup, ga pa pa kok Ray, sudah saya maafkan. Saya juga minta maaf, siang tadi ga bisa mengontrol emosi ... sudah terlalu lama saya tahan marah itu." kali ini saya berkata jujur. Ya, saya juga salah.
"Tidak Ju, kamu ga salah apa-apa. Saya lah yang bersalah dan bermasalah. Yea .. mungkin kamu akan bilang saya ini abnormal. Saya terima kok dibilang begitu." saya hampir tertawa mendengarnya. Abnormal? Sama dengan gila kan? Hanya karena kejadian demi kejadian selama ini, saya menganggapnya gila? Tak mungkin, sama sekali ga ada pikiran seperti itu di dalam kepala saya, yang ada hanya rasa heran dan kesal.
"Uhm, ada-ada saja kamu Ray. Kenapa saya harus menganggap kamu gila sih?" kata saya lagi. Ray mengusap wajahnya, mengacak pelan rambutnya. Demi Tuhan, tampan sekali dia. Segera saya tepis pikiran itu.
"Karena saya ... uhm ... karena saya mencintai kamu, sejak pertama kali melihatmu di kampus. Dan cinta saya bertambah setiap kali melihat ekspresi marah dan kesal dari wajahmu. Sungguh .. saya .. ah, sudahlah .. kamu toh akan menganggap saya gila .." saya, mungkin juga siapa pun yang mendengar ini akan mendapat serangan jantung seketika. Saya betul-betul kaget mendengar pengakuan seorang cowok. Cowok yang justru selama ini telah membuat hari-hari saya panas bagai di neraka.
"Ray, saya tidak tau harus bilang apa sekarang ... saya ..." kata-kata saya tak berarah, tak bertujuan. Saya tatap matanya. Namun tak lama ... mata itu begitu tajam menusuk relung-relung hati.
"Saya ga memaksa kamu untuk menerima cinta saya yang aneh ini Ju. Saya sadar, kita bahkan tidak saling berkenalan secara formil ... yang jelas, ini adalah kata hati saya yang sesungguhnya, saya aneh ... saya pamit .. Assalamualaikum." saya terperangah ...
"Wa'alaikumsalam Ray ..." saya tatap punggungnya yang menjauh, hilang di dalam mazda hitamnya. Saya menarik napas panjang .. lagi dan lagi .. Ray, hidup saya seakan terbebani dengan hal-hal yang kamu tawarkan.

***

Mata Farah, sahabat saya terbeliak. Baru selesai cerita saya padanya tentang kedatangan Raynold kemarin. Termasuk tentang cinta Raynold.
"Hah?!!! Edan apa si Raynold! Huh .. tapi .. cakep sih Ju." Farah mengedipkan matanya. Saya tertawa menanggapinya.
"Trus kamu jawab apa? Suka juga? Jangan deh Ju, kasih dia waktu dong. Masa sehabis perang langsung merit? Ga lucu tauk!" saya memukul pundaknya. Gemas sekali mendengar celotehnya.
"Uhm .. saya ga tau. Kita lihat saja nanti deh .. oke?" Farah mengangguk setuju. Kita berdua tersadar saat melihat jam, hampir saja terlambat mengikuti kuliah. Bergegas kita menuju kelas. Perhatian saya, tidak bisa terfokus pada mata kuliah yang diberikan. Pikiran saya, hati saya melayang tak menentu di udara bebas. Yang kesemuanya berakhir pada sosok Raynold. Pada wajahnya di sore kemarin, tampan dan gentle.

Pulang kuliah, saya dah Farah berniat langsung ke Gramedia, mencari novel atau buku-buku bagus. Sudah kebiasaan kami untuk saling share dalam soal buku dan novel. Belinya kadang patungan. Namun hasil akhir dari buku-buku tersebut adalah di rak buku kamar saya. Alasan Farah, di rumahnya masih ada adik nya yang suka mengobrak abrik kamar milik gadis bermata coklat itu. Saya, yang memang menyukai novel, buku, majalah dan sejenisnya enjoy saja dengan semua itu. Toh saya lebih beruntung, karena bila ingin membaca, tinggal mencari di rak buku.

Saat kami berdua sedang menunggu angkot itu lah, mazda hitam berhenti tepat di depan kami. Ah, pasti Raynold. Betul, itu memang Raynold. Dia turun dari mobil, menghampiri kami berdua.
"Hai Ju, hai Farah ..." Farah menginjak kaki saya keras. Aduh, sakitnya.
"Hai Ray .." balas saya santai.
"Mau kemana?" tanya Raynold. Belum sempat saya menjawab, Farah telah mendahului saya.
"Ke Gramedia .. dari tadi ga ada angkot yang lewat. Kalau pun ada, terlalu penuh ... " Ray mengangguk-angguk.
"Kalau gitu sekalian sama saya saja yuk?! Biar saya antar ke Gramedia." tawaran yang so so sweet. Farah langsung setuju. Saya masih bimbang. Haruskah? Haruskah saya menerima niat baik Raynold? Tak perlu berpikir lama, karena Farah telah menyeret saya untuk masuk ke mobil Raynold. Saya, antara sadar dan tidak duduk berdua Farah di belakang. Saya tau, sesekali dari spion Raynold melempar pandangan matanya ke saya. Saya pura-pura tidak tau saja. Farah, lagi lagi menginjak kaki saya. Oh please Farah, bisa memar kaki saya diinjak-injak terus dari tadi.

Di Gramedia kami hanya sebentar. Buku yang dibeli Farah adalah novel karya Sidney Sheldon, Nothing Last Forever. Well, saya juga menyukai buku tersebut. Sepulang dari Gramedia Raynold tidak langsung mengantar saya dan Farah, melainkan mengajak kami makan. Menawarkan sebuah kebaikan lagi? Saya pasrah, Farah sangat tidak bisa menolak bila digratisin.
Saya lebih memilih gado-gado dan es jeruk. Melihat es jeruk, ekspresi Raynold jadi aneh. Memori saya mengajak saya bermain dengan kejadian dua hari lalu di kantin sekolah. Betapa kejadian saat ini begitu bertolak belakang dengan kejadian dua hari lalu itu.
"Ehm .. Ju, kamu ga akan menyirami saya dengan es jeruk lagi kan?!" canda Raynold membuat Farah dan saya tertawa.
"Tidak, tentu saja tidak ... " jawab saya disela-sela tawa.
"Oh, syukurlah!" kami pun mulai makan. Lagi-lagi Raynold melemparkan pandangan matanya pada saya. Jangan tuntut saya dengan mata kamu Ray, saya belum bisa menjawab apa-apa. Saya tak mampu memberi harapan padamu, pada cinta siapa pun jua. Saya belum yakin, mampukah saya mencintai seseorang? Siapa pun dia, dirimu atau cowok lain, saya belum yakin. Saya belum pernah mencintai. Setelah mengisi perut kami pun pulang. Raynold, dengan sengaja atau tidak, mengantar Farah terlebih dahulu.
"Oke Ju, saya duluan yah" kata Farah sembari turun dari mobil. Saya menjadi kalut seketika. Semobil berdua Raynold?
"Uhm .. Ju .. pindah ke depan yuk, masa duduk sendiri di jok belakang?" sudah saya duga, kejadiannya akan seperti ini. Saya turun dari mobil, masuk lagi dan duduk di depan, bersebelahan dengan Raynold. Duduk diam membisu sampai mobil Raynold kembali membelah jalanan.
"Uhm .. Ju." kebiasan Raynold yang saya catat hari ini, berbicara dengan kata Uhm terlebih dahulu. Gugup kah?
"Ya saya?" saya menoleh, dia tetap menatap ke depan, ke arus lalu lintas yang ramai.
"Saya mau tanya, tentang .. uhm .. tentang perasaan Ju, terhadap saya." saya menelan ludah. Cowok ini, penuh kejutan. Apakah membiarkannya hidup di dalam hati saya akan membuat saya bahagia?
"Perasaan saya? Maksut Ray .. jawaban saya pada cinta Ray kan?" tebak saya. Raynold mengangguk pasti.
"Saya masih belum bisa Ray. Belum bisa menjawab sekarang. Apalagi memberi janji sekarang. Kita lihat saja nanti yah?" jawaban yang sama saya berikan pada Farah. Raynold mengangguk lagi.
"Oke ... saya tunggu ... saya akan selalu tunggu ... ngomong-ngomong, liburan ini kamu mau kemana? Mudik ke Surabaya? Atau ke Solo, ke tempat mbah?" saya terperanjat. Lagi-lagi cowok ini mengejutkan saya. Dari mana dia tau tentang keluarga saya?
"Maaf .. jangan kaget dulu dong. Saya mencintaimu Ju, saya juga harus mencintai keluarga kamu ... Jangan dikira selama ini, selama saya mengejek kamu itu, saya diam-diam saja. Saya mencari tau semua informasi sedetailnya tentang dirimu ..." ya Tuhan. Dia sungguh aneh, namun tidak gila.
"Boleh .. kenapa tidak boleh mencari tau tentang saya? Seperti asl pls dalam berchating kan?" dia tertawa, memamerkan barisan giginya yang putih. Mobil memasuki ujung jalan kost. Kemudian berhenti tepat di depan kost-an saya.
"Makasih Ray atas hari ini." kata saya tulus. Dia menggeleng.
"Apa yang saya lakukan ini karena cinta ... jangan ada kata terima kasih. Saya ga minta pamrih ... saya hanya menunggu jawaban hati kamu ..." saya mengangguk dan turun dari mobil. Mazda hitam itu melesat pergi. Saya pun melangkah masuk.

Memasuki kamar saya, hati saya tertambat pada sebuah boneka panda besar yang diletakkan di atas kasur. Dari siapa? Cepat-cepat saya meraihnya, mencium harumnya panda biru itu. Ada secarik kertas yang menempel di lehernya. Tulisan tangan, tak begitu bagus, namun kata-katanya bagus.

Ju,
Ini untukmu .. saya, Ray

Ah, dari dia ... jadi ... kapan dia membawanya kemari? Saya menoleh ke pintu begitu mendengar suara pintu dibuka. mbak Rika dan Mila.
"Hei, dah pulang? Tadi si .. siapa namanya? Oh Ray, ngantar itu kemari. Katanya buat kamu Ju. Ehem ehem ... cakep loh Ju ... time to get love now! Jangan ngejomblo terus hihihi, lagian bulan depan kan Valentine Ju .." ceracau Mila membuat saya tersadar, ini lah aksi cinta Raynold. How sweet yah?
"Iyah Ju, terima saja. Mbak lihat dari matanya, dia serius sama kamu. Lagian apa salah nya mencoba sesuatu yang baru?" mbak Rika menimpali. Saya terdiam. Mencoba sesuat yang baru? Andai saya mereka tau, Raynold itu bukan sesuatu yang baru, dia musuh ... musuh dalam selimut cinta, atau cinta dalam selimut musuh ... whatever.
"Ah, dia teman kok. Teman kuliah. Bukan hal baru kan?" jawab saya.
"Kalau gitu mah terima saja Ju ... " ujar Mila lagi. Saya butuh waktu!
"Uhm ... nanti deh .. saya kan harus pikir-pikir dulu .. oke?" kata saya lagi. Semenit kemudian mbak Rika dan Mila meninggalkan kamar saya. Saya sendiri, mengunci kamar dan terbaring di atas kasur. Memeluk panda biru itu disamping saya. Blue Panda .... saya jatuh tertidur.

***

Keesokan pagi, bayangkan, keesokan paginya saya baru bangun. Masih dengan pakaian kuliah. Betapa joroknya saya. Tertidur .... dengan panda dalam pelukan, lelap. Perut saya berbunyi. Bahkan saya tidak bangun saat makam malam tiba. Saat keluar kamar, mbak Rika menyapa saya di ruang makan. mbak Rika, menyelesaikan makannya dengan santai.
"Ju, semalam Ray nelpon. Tapi kamu ga bangun-bangun saat mbak gedor pintu kamar. Pulas sekali tidurnya?" tanya mbak Rika saat saya mengambil satu bungkus mi instant dan satu butir telur.
"Iya mbak, sampai kelaparan begini hihihi ..." jawab saya. Ray menelepon?
"Katanya pagi ini dia mau nelpon lagi Ju." lanjut mbak Rika. Saya tersenyum. Baiklah kalau dia menelepon lagi, siapa takut? Saya ke dapur, membuatkan sarapan yang amat sederhana, mengisi perut yang terus berbunyi. Selesai sarapan, saya langsung mandi dan duduk santai di ruang tamu, ngobrol sama Keke, salah satu penghuni kost di sini. Tiba-tiba telepon berdering. Saya memandang Keke, Keke balas memandang saya. Saya tetap diam.
"Oke oke, saya yang ngangkat!" Keke menerima telepon.
"Oh .. ya ada .. Juuuuu telepon." saya bangkit, menerima gagang telepon darinya. Suara Raynold di seberang.
"Ju, semalam saya telpon, tapi kamu sudah tidur. Sudah sarapan? Hari ini ada kuliah ga?" saya mencoba mencari kata yang tepat.
"Sudah, baru selesai sarapan Ray. Kuliah nanti jam sebelas." jawab saya. Ray mendesah. Entah karena apa.
"Uhm .. kalau begitu, nanti malam saya ajak kamu keluar boleh?" ya Tuhan Ray, ... saya bahkan belum sempat bilang terima kasih soal boneka itu.
"Nanti malam? Saya usahakan bisa ... eh .. saya mau bilang, terima kasih atas bonekanya ya ..." kata saya.
"Ya ya .. boneka gitu aja kok Ju .. oke .. nanti malam, saya jemput jam tujuh ya, bye .." dia menutup telepon. Saya terpaku di tempat. Nanti malam? Ah Ju, ada apa dengan dirimu, mau diajak cowok itu keluar malam-malam? Apakah panda itu telah menjeratmu? Saya ingin meralat, namun ... saya pasrah. Keke menatap saya dengan pandangan mata yang penuh arti.
"What?!" saya pelototin dia. Keke tergelak. Ya .. berita tentang Ray dan pandanya pasti telah tersebar luas ke seluruh penghuni kost.

Siang itu saya mengikuti kuliah dengan tekun. Harus bisa konsentrasi! Setelah kuliah saya pulang bareng Farah. Farah berharap Ray akan muncul dengan mazda hitamnya. Saya menggeleng. Akhirnya kita pulang dengan angkot terakhir, menurut kita sih begitu, yang tidak terlalu penuh penumpang di dalamnya. Saya sengaja tidak menceritakan kedatangan Ray nanti malam ke kost. Saya takut Farah histeris mendengarnya, saya simpan saja dalam hati.

***

Jarum jam menunjuk angka tujuh, Raynold benar-benar datang. Saya pamit pada ibu kost, keluar bersama Raynold, dengan catatan di bawah jam sebelas Raynold sudah harus mengantar saya pulang.

Malam ini, saya berdua Raynold keliling kota. Berdua dengan nya di dalam mobil, diiringi alunan musik lembut dari radio memberi getar-getar halus dalam hati saya. Ini kali pertama saya keluar bareng cowok. Cowok yang dengan nyata telah menyatakan cintanya pada saya. Saya diam, tak banyak bicara, menjawab bila ditanya. Raynold sendiri lebih suka bersenandung mengikuti lirik lagu yang sedang mengalun.

Malam ini kami makan di restoran mewah. Saya sebenarnya tak setuju, tak cocok rasanya saya masuk ke restoran seperti itu. Namun Raynold tanpa ragu menggenggam erat jari saya dan mengajak saya menuju meja yang paling pojok. Saya patuh, seperti anak patuh pada orang tua, seperti kerbau patuh pada pak tani. Saya tidak dapat pungkiri, saya menyukai moment seperti ini. Saat Raynold memandangi saya, hati saya bergetar halus. Apakah ini? Cinta? Saya tak tau, sampai acara malam ini selesai dan Raynold mengantar saya pulang, desir-desir halus dalam perasaan saya masih terus mengalir.

"Ju, thanks atas malam yang indah ini ... " hanya itu kata Raynold saat mengantar saya pulang. Saya masuk kamar, berganti pakaian, memandang sendu pada blue panda yang tergolek diantara bantal. Saya harus tidur ...

***

Sudah sebulan lewat. Sebulan saya bermain dengan rasa-rasa indah di dalam hati ini. Haruskah saya pungkiri kalau saya ternyata mencintai Raynold? Saya tau, mencintai itu tidak mudah. Butuh waktu juga agar cinta itu bisa tumbuh. Dan Raynold yang *jahat* telah berubah menjadi Raynold yang baik. Raynold yang menjaga saya siang dan malam. Raynold yang mencurahkan semua kasih dan sayangnya pada saya. Ya, saya mencintainya. Mencintai cowok yang dulu selalu berusaha menyakiti saya, namun itu bentuk cintanya. Cowok aneh. Saya tertawa, tertawa lepas. Ini kah namanya cinta? Keinginan untuk terus menatap bola indah matanya? Keinginan untuk terus mendapatkan perhatian tulusnya? Keinginan untuk memiliki sosok Raynold seutuhnya tanpa mau berbagi dengan orang lain? Saya mencintainya kah?

"So .. gimana Ju?!" tanya Farah pada saya di suatu senja saat kita berdua tengah menikmati alunan lembut Jojga-nya Kla. Saya menoleh.
"Gimana apanya?" tanya saya. Farah mendelik. Aduh teman saya yang satu ini.
"Soal Ray. Bentar lagi valentine loh .. duhai Ju yang manis, berilah jawaban yang menggembirakan! Raynold pantas mendapatkannya!" saya tersenyum penuh arti. Jawaban yang menggembirakan? Cinta?
"Gimana?!" tanya Farah lagi.
"Ya ... lihat saja nanti ..." Farah melempari saya dengan bantal. Saya mengeluh sakit.
"Ugh, kalau saya jadi kamu Ju, sudah saya terima si Raynold sejak pertama kali dia nyatain cinta ke saya!" kata Farah sengit. Ah Farah, saya kan saya, bukan kamu, batin saya. Farah terdiam, ngambek. Saya diam juga. Memeluk panda dengan hangat. Sehangat rasa yang mengalir di dalam hati. Sehangat hari-hari saya bersama Raynold. Diantar ke kampus, diantar ke kost, diajak keluar bareng. Hunting cd dan novel. Atau sekedar menikmati, ehm, es jeruk di pojok kantin. Menurut anak-anak kami telah pacaran. Menurut kami berdua, kami belum pacaran. Karena saya belum menjawab.

***

Malam ini, 13 Februari. Besok Valentine. Apa yang harus saya lakukan? Memberikan jawaban gembira untuk Raynold? Saya mendesah, menatap panda biru lagi. Panda, beri saya cara, jalan keluar. Pintu kamar saya diketuk. Suara Keke diluar.
"Ju, Ray datang." saya segera membuka pintu, Keke menatap saya penuh arti. Saya tersenyum dan melangkah menuju teras. Disana, dibawah siraman sinar bulan dan neon, Ray duduk. Seperti kedatangan pertamanya dulu untuk meminta maaf dan memberi cinta. Saya mengagetkannya.
"Dorrr!!!" dia terlonjak. Diacaknya rambut saya dan mengajak saya duduk.
"Ju ... uhm ..." saya menggeleng. Cukup suda dirimu berbicara Ray. Cukup. Kali ini saya yang akan berbicara.
"Ray, biar saya yang ngomong yah? Ray diam dulu bisa?" pinta saya. Dia mengangguk setuju. Saya duduk disampingnya, menarik napas dalam. Saya siap. Sesiap hati saya menerima cinta Ray di dalam hati saya.
"Ray, be my Valentine ..." Ray terkejut. Dipandangi saya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Antara percaya dan tidak.
"Itu yang ingin saya katakan juga padamu malam ini Ju ... be my Valentine .. would you?!" saya mengangguk pasti. Sepasti saya akan cinta ini. Ray menarik saya ke dalam dekapannya.
"Saya menunggu lama untuk kata itu Ju .. sebulan lebih ..." saya mendongak, menatap binar bahagia di matanya, bahagia hati saya juga. Ray tertunduk, mencium bibir saya lembut. Tak lama, namun membekas di hati saya. Di dekapnya saya kian erat ke dalam pelukannya. Saya berkata dalam hati, Ray, jangan lepas lagi lingkar tanganmu di tubuh saya ... saya menginginkanmu, cintamu, hatimu, utuh .. Seutuh saya mengenal cinta dan mencintaimu.
"Cinta saya mungkin aneh ya Ju. Cinta yang menjengkelkan hatimu. Saya tidak pandai merayu. Maka saya pilih jalan *perang* untuk mendapat perhatianmu." Raynold mengenang kembali masa-masa dimana setiap hari saya selalu menjadi bahan obyekannya untuk menyindir dan mengeluarkan kata-kata pedas yang tidak enak di dengar.
"Sudah lah ... tapi Ray belum menjawab ... be my Valentine?" tanya saya lagi.
"I will .... " digenggamnya jemari saya erat.

Malam terus merambat. Bulan tersenyum tanpa awan menghalangi. Cinta itu kadang aneh. Satu hal yang pasti, mencintai itu indah, namun lebih indah bila dicintai dan saling mencintai. Cinta hal yang misterius. Siapa pun yang tercemplung ke dalamnya akan terputar dalam arus emosi yang meluap-luap. Cinta, adalah cinta.

dibuat tootyee tanggal 2 Febby 2004