lunedì, ottobre 18, 2004

Adilkah??

(catatan: cerita ini sudah pernah diposting di blog mami vi3-thx)
by : tuteh--

Malam telah lama menyapa, rembulan mengintip dari balik awan dan menyungingkan senyum. Aku berdiri di bawah jendela kamar dan menatap langit hitam bertabur bintang dengan bercak hitam awan di atas sana. Satu jam yang lalu teman-temanku pamit pulang setelah perayaan ulangtahunku yang ke 29 berakhir. Bukan pesta besar seperti layaknya para abg merayakan kebahagiaan hari lahir ini, hanya sekedar ngobrol bersama mengenang masa lalu dan makan-makan. Itu cukup bagiku. Aku merasa telah amat tua untuk berpesta pora merayakan ulang tahun.

“Fi, udah tau kabar Sandy belum?”

Pertanyaan Rena tadi membuatku sedikit tersentak. Kabar? Sandy? Ah,.. Sandy yang pernah kucinta. Kutarik napas panjang dan membalas senyuman rembulan dari atas sana. Getir. Kubiarkan angin malam menerpa wajahku, perlahan tapi pasti memoryku bersama Sandy melintasi lorong waktu, menembusi dinding jiwa lalu menyatu bersama kepingan puzzle dari masa kini, aku.

Aku mengenal Sandy saat kami sama-sama tercatat sebagai siswa smu Biru dan selalu sekelas. Ketertarikanku padanya rasanya wajar saja, mengingat Sandy adalah cowok cool yang terkadang suka jaim terhadap kaum hawa. Sikapnya yang cuek bila berdekatan dengan teman-teman cewek membuatku begitu menyukainya. Namun ada yang salah dari rasa ini, saat itu aku telah memiliki dan dimiliki Pram, cowokku.

Aku tau, Sandy agak kesal padaku karena sikapku yang katanya ‘centil’ dan sok imut. Ah, masih kuingat bagaimana Sandy dan teman-temannya meledek kepang dua rambutku.

"Idih idih, norak deh ah!" Romi mengikuti langkahku dan menarik-narik kepang dua rambutku. Aku melotot, pura-pura hendak marah, namun begitu melihat cengiran lebar dari satu sosok di samping Romi, semua marahku seakan luruh begitu saja.
"Mau jadi siti nurbaya nih?" aku menepis tangan Romi dari rambutku.
"Sirik aja kamu!" umpatku. Tangan Romi kembali menarik kepangan rambutku dan berucap,..
"Terotet!!! Persis terompet bunyinya hahahaha." sebelum hantaman ranselku mengenainya, Romi telah jauh menghindar. “Maafin Romi yah.” Ucap Sandy.

Hubunganku dengan Sandy awalnya biasa-biasa saja, selayaknya para remaja bersahabat. Lagi pula hubungan cintaku dengan Pram bukan lagi menjadi rahasia, rasa-rasanya semua orang pun tau kalau aku adalah milik Pram, demikian pula Sandy. Lambat laun semuanya berubah saat kami ternyata sama-sama menjadi anggota kelompok belajar. Awalnya aku menolak, masa sih aku sekelompok dengan Sandy? Namun pak Yunus, guru Bahasa Indonesia kami itu, tak pernah mau berkompromi. Meskipun ada lima orang yang tergabung di dalam kelompok belajar kami, namun nampaknya hanya aku dan Sandy lah yang paling aktif.

Saat itu kami murni sobatan, meskipun ada rasa suka padanya, aku tak mau merusak persahabatan kami. Pada pelajaran tertentu aku dan Sandy malah sering diskusi bareng dan saling debat. Tak jarang kami justru menjadi partner untuk urusan mencari data di perpustakaan sekolah yang berbuntut makan bareng di kantin. Yang aku herankan adalah, aku lebih menyukai kebersamaanku dengan Sandy dibandingkan dengan Pram.

Sampai pada suatu waktu, aku dan Pram ribut. Gara-gara Pram ketahuan mengirim surat cinta untuk Linia. Aku marah besar padanya. Pram mengelit, membantah kalau surat itu berasal darinya, namun setelah kudekati Linia dan bertanya langsung, Linia membiarkan aku membaca surat itu .. air mataku tumpah. Ada sesal, namun kelegaan lebih menguasaiku saat itu. Lega? Ya lega, karena dengan berpisah dari Pram, akan lebih besar kesempatanku mendekati Sandy.

Seperti hubungan cintaku bersama Pram yang diketahui semua orang, perpisahan kami pun menjadi bahan gosip di mana-mana. Setiap kali ke kantin, kuping ku menangkap obrolan tentang diriku. Melewati teman-teman yang bergerombol pun masih saja aku mendengarnya. Tidak hanya itu, saat aku tengah serius mencari bahan diskusi di perpustakaan, masih jua mereka menggosipkan perpisahanku dengan Pram.

Salahkah bila aku memilih untuk berpisah dari Pram? Pram telah melukaiku dengan berselingkuh bersama Linia. Untuk apa mempertahankan hubungan yang telah ‘patah’ seperti itu? Hanya akan membawa kami pada pertengkaran demi pertengkaran akibat dari curiga dan tak ada lagi kepercayaan dariku.

“Fi, tabah yah, aku tau mereka selalu membicarakanmu.” Ujar Sandy di suatu sore, diantara buku-buku pelajaran yang berserakan di atas meja ruang tamu rumahku.
“Makasih San.” Ujarku tulus.
“Seringkali orang bertanya untuk hal yang sebenarnya telah mereka ketahui dengan maksut memperluas jawaban yang sudah ada.” Bijak.

Itu lah Sandy. Menyikapi segalanya dengan kepala dingin. Aku akui, setelah putus dari Pram, Sandy lah tempatku berbagi suka dan duka. Sandy lah yang setia mendengar uneg-uneg dan sumpah serapahku. Dengan setia dia akan menjadi pendengar yang baik lalu memberikan solusi yang tepat untukku. Lambat laun, rasa suka itu berubah menjadi cinta. Benar kata pepatah, cinta akan datang karena kebersamaan. Bagaimana tidak? Awalnya saja aku telah menyukainya,.. kebersamaan kami selama ini rasanya cukup pantas merubah suka menjadi cinta.

“San, pacarmu siapa sih?” tanyaku, berusaha mencari tau statusnya.
“Ga ada.” Jawab Sandy tegas.
“Masa iya sih kamu ga punya pacar?” tanyaku tak percaya.
“Emang. Kenapa? Mau jadi pacarku yah?” ah,.. pertanyaan atau pernyataan? Yang jelas wajahku memerah karenanya.
“Memangnya kamu bersedia menjadi pacarku?” tanyaku lagi.
“Bila mungkin, kenapa tidak?” yea, asa jiwa seolah terjawab sudah. Tanpa penegasan,.. tersamar tapi pasti.

Aku memejamkan mata .. berusaha mengingat kejadian apa yang berlaku setelah itu.

Ah,.. kukuhnya Sandy agar mendapat restu dari orangtuaku untuk pacaran. Aku amat terkejut mendengarnya. Mana mungkin papa mengijinkan aku pacaran? Well, aku memang pernah pacaran dengan Pram, namun itu pun secara sembunyi-sembunyi. Tapi Sandy? Dia tak mau pacaran ala ‘backstreet’ yang katanya amat kekanakan. Dia ingin menjalin cinta yang direstui oleh orangtuaku.

Malam itu Sandy nekat bicara pada orangtuaku.
“Om ga ngijinin kalian pacaran, titik!” kiamat!

Duniaku terasa runtuh. Tanganku sedingin es, duduk di samping Sandy, menerima kuliah yang diberikan papa tanpa memberi kami kesempatan untuk membantah apalagi melawan. Sandy pulang dengan tangan hampa, aku merasa kehilangan. Kekecewaan menyelimuti perasaanku malam itu.

“Fi, aku tau alasan orang tuamu ga ngijinin kita pacaran.” Lagi-lagi perpustakaan kota menjadi tempat kami melepas rasa. Digenggamnya tanganku.
“Apa?” tanyaku penasaran.
“Keyakinan.” What? Keyakinan?
“Maksutmu?”
“Fi, mengertilah, aku moslem dan kamu nasrani .. lihat lah perbedaan itu. Orang tua mu mana mungkin setuju?!”

Kutatap matanya yang dingin namun berakhir dengan basahnya mataku. Demi Tuhan aku mencintai cowok ini, aku tak mau berpisah darinya sedetik pun.

“Aku cinta kamu Pram.”
“Aku juga Fi, ketahuilah, kamu cinta pertamaku meskipun aku bukanlah cinta pertamamu. Kamu lah wanita pertama yang pernah menyentuh sisi batinku yang paling dalam.” Aku pun menangis.
“Then let me love you and be your love.” Harapku.
“Hhhhh .. sebenarnya aku tak setuju pacaran seperti ini. Aku akan bicara kembali pada papamu.” Berbicara kembali denga papa? Apakah Sandy mengira papa akan merubah keputusannya?
“Tapi San, papa ga mungkin merestui kita pacaran!”
“Let me try again honey.” katanya.

Kembali Sandy dan aku bicara pada papa. Duh sulitnya prinsip yang dipegang teguh oleh Sandy!
“Om, mungkin om sudah tau maksut kedatangan saya. Om, biarkanlah kami pacaran karena saat ini kami ga mungkin lagi dipisahkan.” Papa menatap tajam ke arah kami. Tanganku kembali dingin, keringat halus membasahi keningku.
“Hmm,...” papa berdehem.
“Untuk saat ini saja om.” Pintanya pasti. Aku rasa, tak semua cowok bisa se-gentle Sandy.
“Hmmm,.. baiklah. Kalian tau kalau kalian berdua ga mungkin bersatu karena hal-hal tertentu .. mengerti kan? Oke lah untuk sekarang kalian pacaran, tapi dengan satu komitmen, kalian harus berpisah setelah lulus smu. Terima atau tidak?” aku dan Sandy terkejut mendengarnya.
“Terima om.” Apa?

Sakit. Tapi bahagia. Perasaanku saat itu amat lah sulit dijabarkan dengan kata-kata. Pacaran dengan komit putus. Tapi toh aku jalani semuanya bersama Sandy. Mencintai Sandy ibarat melempar senyum pada dua buah cermin pada saat yang bersamaan. Akan terpantul dua senyum yang lebih manis dari senyumku. Sandy begitu baik dan penuh pengertian padaku. Perlahan sikapku yang sok imut dan kecentilan berubah menjadi lebih dewasa. Aku belajar dari dia.

Tiga tahun mencintai Sandy dan dicintai oleh nya membuatku berharap agar waktu tak usah berjalan, biarlah semuanya terhenti dalam keadaan yang seperti ini. Dimana ada cinta dan bahagia yang bersatu erat dalam jiwa. Gerimis cinta dan kasih sayang membasahi kami setiap waktu dalam perjumpaan dan kebersamaan. Dari Sandy pula aku mengerti, bahwa cinta bukan lah hal yang sulit untuk di mengerti. Biarkan cinta mengalir apa adanya dia, sampai pada satu titik dimana cinta tak dapat mengalir lagi .. berpisah.

Dari sosoknya aku menerima kelapangan jiwa untuk ‘siap kehilangan’ orang yang paling kita cintai pada suatu saat nanti. Belajar lah untuk sebuah kehilangan yang telah ‘pasti’ menanti kami di depan. Semua ini adalah ‘kesepakatan’ bersama antara papa, Sandy dan aku. Sakit. Amat sangat sakit bila mengingat kami harus berpisah setelah manisnya cinta yang kami reguk bersama. Namun lagi-lagi Sandy selalu dapat membuatku tersenyum,.. nikmatilah hati ini, karena hari ini takkan terulang esok. Esok akan datang dengan hakikatnya sendiri.

Tiga tahun yang indah pun akhirnya usai. Setelah lulus smu, kami mengejar deadline yang tersepakati meskipun secara terpaksa. Mengapa waktu berjalan begitu cepat?! Aku masih haus akan cinta dan curahan kasih sayangnya. Aku masih ingin terus bersamanya dan tak ingin berpisah darinya sedetik pun. Aku masih ingin merasakan hangatnya dekapan dan lembut bibirnya. Aku masih mencintai Sandy.

“Fi, harus sampai disini lah jalan yang kita tempuh. Semua nya terasa indah yah?”
“San,.. aku engga mau.”
“Ga mau apa? Ingat apa kata papamu.”
“San,.. kesannya kamu ga cinta aku yah?”
“Siapa bilang? Sudah kubilang kamu cinta pertamaku, pertama Fi, ga mudah melupakan yang pertama.”
“San,..”
“Episode hidup kita yang ini telah berakhir Fi, kuatkan lah hatimu, terapkan pembelajaran yang kita jalani selama ini. Bukan kah kita telah banyak belajar selama tiga tahun ini? Mengertilah bahwa ..”
“Cinta bukanlah hal sulit untuk di mengerti. Biarkan dia mengalir apa adanya sampai pada satu titik dia ga bisa mengalir lagi .. pisah.” Kulengkapi kalimatnya. Sandy tersenyum dan mengacak rambutku mesra.

Kemesraan yang harus BERAKHIR!! Sakit!! Kecewa!! Tapi aku harus menerimanya. Nelangsa hatiku. Papa pun rupanya tak mau berlama-lama membiarkan aku terus bertemu dengan Sandy. Aku dikuliahkan di luar negeri. Australia,.. terpisah jutaan jejak kaki dari Sandy. Namun hatiku masih terasa dekat dengannya.

Sampai hari ini. Setelah betahun-tahun semua itu berlalu, hati ini masih saja terasa dekat dengannya. Karena kebersamaan kami bukan hanya berlandaskan nafsu sesaat, lebih dari itu, ada pengertian, setia dan pembelajaran untuk lebih dewasa dalam menghadapi setiap cobaan yang mengiringi langkah kami. Sampai saat ini, telah 26 usiaku, rasa itu masih ada di hati walaupun kuantitasnya tak lagi sebanyak dulu,.. namun masih ada. Mataku basah kembali.

Kutatap bulan diatas sana, masih juga dia tersenyum, menghiburku dengan sinar indah yang jatuh di wajah. Aku menutup jendela kamar. Cukup sudah mengenang Sandy. Biarkan namanya tetap ada di hatiku, tertumpuk bersama nama-nama yang lain, yang pernah singgah di sana. Kubaringkan tubuhku di ranjang dan meraih handphone. Kupasang headphone dan menghubungkannya pada handphoneku. Radio .. kegemaranku sebelum tidur adalah mendengar radio siaran malam yang penuh melody romantis.

Dan lagu yang tepat kudengar saat ini, kembali mengiris perasaanku,..

Kita telah memutuskan tak lagi bersama,..
Karna rintangan yang ada tak henti menghadang,..
Haruskah ku menepis resah ini,..
Salahkah aku atas perasaan ini,..
Yang tak mampu menutupi,..
Aku masih cinta kamu,..
Biarkan aku pilih jalan tuk sendiri,..
Tanpa harus ada lagi,..
Cinta selain dirimu kasih,..
Keyakinan yang memisahkan kita,..
Buatku bertanya,..
Adilkah ini??

Ya,.. adilkah semua ini?

Tuteh--

lunedì, ottobre 11, 2004

Satu Janji

Aku kangen padanya. Pada binar indah matanya. Dua lesung pipi-nya. Rambut kriwilnya yang jatuh di pipi. Derai tawanya yang renyah. Giginya yang berbaris rapih. Ciuman lembutnya yang kemudian memanas. Tubuh langsingnya yang selalu ingin kupeluk. Pada airmatanya bila sedih melanda. Pada otaknya yang smart. Pada selera pakaiannya yang asal terkesan menyembunyikan kemolekan tubuhnya. Pada semua yang dimiliki Juli.

Aku kangen pada Juli. Pada lima tahun yang lalu perjumpaan kami di bawah gerimis. Pada motornya yang rusak, yang memberiku kesempatan untuk mengantarnya pulang. Pada ucapan terima kasih pertama yang keluar dari bibirnya atas kebaikanku. Pada secangkir teh hangat yang dibuatnya untukku. Pada hari berikutnya saat aku mengantarnya ke bengkel. Aku kangen pada semua yang ada pada Juli.

Aku kangen pada cewek berhati baik itu. Pada persahabatan yang ditawarkannya. Pada perhatian yang diberikannya untukku. Pada keterkejutannya tatkala aku bilang 'cinta',.. Pada sikap menerimanya yang tulus. Pada pengakuan cintanya kemudian setelahnya. Pada kebersamaan yang kami reguk berdua. Pada hari-hari kuliah penuh cinta, mengunjungi pertunjukan teater dan wakuncar yang romantis di rumahnya. Pada genggaman jemari pertama kami di dalam mobilku.

Aku kangen pada cewek tercinta ini. Juli. Kangen pada air mata kesedihan empat tahun lalu saat ayah-nya tercinta dipanggil Illahi. Pada kedukaan yang menyelimuti harinya. Pada kebangkitannya yang keras untuk kembali ceria. Pada jiwa tabahnya menjalani hidup ini bersama mama tercinta. Pada kepercayaannya untukku, bahwa dia tidak sendiri, selalu ada aku yang setia menemaninya. Kekasih jiwanya. Belahan hatinya. Aku kangen Juli. Cewek tercintaku,.. aku kangen padanya.

Aku kangen pada cewek tegar ini. Kangen pada kenyataan pahit yang harus diterimanya saat aku mendua. Kangen pada keputusannya tiga tahun lalu untuk meninggalkanku karena kebodohanku sendiri. Pada airmata yang sempat kuusap dari pipinya dengan penuh permohonan untuk memaafkan salahku itu. Selalu kangen pada maaf yang diberikannya setiap kali aku berbuat salah. Dia cewek tercinta yang paling mengerti 'siapa aku' yang sesungguhnya. Padanya lah cintaku berlabuh.

Aku kangen pada Julie. Pada ciuman pertama kami yang lembut dan datar setelah kebodohanku. Pada lidahnya yang melilit lidahku di dalam rongga mulutnya. Pada hangatnya ciuman kami yang berikutnya. Pada panasnya ciuman kami yang ke sekian kali nya. Pada elusan jemarinya dirambutku saat kulumat mesra bibirnya. Pada erangannya atas nakalnya tanganku diatas tubuhnya. Aku kangen pada pribadinya yang tidak bergaya hidup bebas,.. keliaran dan kesopanan seorang wanita,... semua kutemui pada dirinya. Ah Juli,.. taukah kamu kalau aku kangen padamu?

Aku kangen pada Juli. Pada Setahun yang lalu saat motornya diseruduk bis dari belakang akibat rem yang blong. Pada jeritan kesakitannya setelah siuman di rumah sakit. Pada airmata yang meleleh di pipinya karena kehilangan kedua kakinya. Pada kerapuhannya yang,.. sumpah,.. ingin aku sirnakan semua pedih itu agar Juli dapat kembali menjadi cewek ceria, milikku utuh. Aku kangen untuk ikut menjerit bersamanya di jembatan,.. mengenang kedua kakinya yang telah hilang.

Aku kangen pada Juli. Pada sikap bodohnya untuk menegak arsenik lalu pergi untuk selama-lamanya meninggalkan aku disini. Terpekur di nisannya tanpa tau harus berbuat apa. Tanah itu masih merah,.. kesedihan hidupnya adalah milikku. Air mata nya adalah punyaku. Cintanya adalah hak-ku utuh!! Tapi jiwanya adalah milik Yang Kuasa. Juli pergi bukan karena menegak arsenik melainkan pergi karena ajal. Ajal yang digariskan Tuhan untuknya. Dengan cara apa pun manusia pergi dari dunia, itu karena ajal. Ajal lah yang berbicara seperti itu!!

Aku kangen Juli!! AKU BERTERIAK!! TUHAN, AKU KANGEN PADA CEWEK TERCINTAKU yang telah memberiku cinta seutuhnya dan mengajarkan padaku untuk mencintai-nya dengan tulus tanpa paksaan. Aku cinta Juli dan saat ini perasaanku begitu terdesak oleh rasa kangen. JULI!!! Aku kangen padamu,.. janjiku untukmu saat itu ga akan pernah aku lupakan,.. I WILL LOVE YOU ALWAYS. But if God want you to leave this world,.. nobody can hold it!! Aku kangen kamu Juli. Kangen.

Selama ini hanya kupendam rinduku
Walau kini hanya bayang kasihmu
Cahaya sinar dari hatimu
Kini hanya jadi teman mimpiku
Satu janji telah kuucapkan untukmu
Tapi kini sirna tanpa ada prasangka
Walaupun hanya sesaat
Seharusnya .. hatiku hanya untukmu
Seandainya .. aku menjadi milikmu
Sejujurnya .. tiada yang lebih darimu
Semestinya .. tiada yang lain darimu
Walau kini hanya hias tawamu
Yang kan temani isi hatiku
Satu janji telah kuucapkan untukmu
Tapi kini sirna tanpa ada prasangka
Walaupun hanya sesaat


"Olrait mitra muda dimana saja kamu berada, itu tadi persembahan terakhir saya untuk malam ini,.. THE LOVE MUSIC akan kembali besok mengisi malam-malam kamu semua, stay tune in Brilian Radio, after this Nuno will take my place with KISAH MALAM,.. cya!!" kuletakkan headset dan melambaikan tangan pada Nuno dari balik dinding kaca ini. Ah,.. aku kangen Juli. Lagu itu membawa perasaanku melayang pada kebersamaan kami di hari lampau. Janji itu akan selalu kupegang, aku cinta padanya. Sampai kutemukan yang bisa menggantikan Juli di hatiku.

tuteh--