martedì, gennaio 11, 2005

First Flight Out

Jakarta. Aku duduk di depan komputer sebuah warnet yang selalu ramai. Disinilah tempat aku menghabiskan waktukku dari hari ke hari tiga bulan terakhir ini. Mencoba menghilangkan pesona Firly dari otakku. Huh, gadis itu, brengsek! Kalau tau dia dijodohkan dengan laki-laki pilihan orangtuanya, tidak mungkin aku bertahan pada hubungan kami, cinta kami. Kenapa tidak dari awal dia jujur padaku? Kenapa dia membiarkan cinta yang ada dihatiku tumbuh dan berkembang selama hampir setahun?

Aku telah lama mengenal Firly. Dia adik kelasku di smu, smu negeri di Ende - Flores. Lulus smu aku melanjutkan kuliah di Universitas Flores di Ende. Meskipun telah beda dalam dunia pendidikan, aku masih sering ketemu Firly, karena dia termasuk murid privat Matematika di rumah. Duduk di bangku kelas tiga, orangtuanya berharap nilai-nilai-nya lebih bagus di mata pelajaran yang satu ini, mengingat jurusan yang dipilihnya adalah IPA. Oke, Firly memang manis, rambut ikalnya, kulit sawo matangnya, mata indahnya dan hidung bangirnya selalu membuatku gemas. Lambat laun perasaan itu muncul. Aku tak lagi sekedar mengagumi kecantikan dan pribadinya, lebih dari itu, aku jatuh cinta padanya.

Wajar aku jatuh cinta padanya. Dalam seminggu 3 kali dia datang ke rumahku untuk mengikuti privat Matematika. Seperti kata pepatah, cinta datang dari sebuah rutinitas. Yah, itulah yang aku alami. Daripada perasaan ini kusimpan dan membuat sikapku bertambah grogi didepannya, mending ku utarakan saja. Maka, dengan modal dekat, suatu sore di rumah, aku bilang ke dia "Firly, ka'e cinta kamu." diantara buku-buku dan kalkulator. Kae, panggilan kakak laki-laki bagi masyarakat Ende. Dan tau apa jawab dia? "Aku juga cinta ka'e." Nah loh, aku bahagia bukan main. Gayung bersambut! To the point! Tanpa basa basi kan?

Kita pun pacaran. Layaknya orang pacaran, aku sering maen ke rumahnya setiap malam minggu dan orangtuanya menerimaku dengan baik. Well, bagiku, ini awal yang baik. Hubungan kita berjalan mulus, nyaris tanpa halangan berarti. Firly lulus smu dan melanjutkan kuliah di Universitas yang sama denganku. Dia menolak kuliah di luar pulau. Otomatis kita bertemu hampir setiap hari dan bunga cinta itu berkembang setiap harinya. Bila tidak ke rumahnya, maka aku mengajak dia ke pantai, menikmati sunset di pantai Ende yang jaraknya amat dekat dari kampus satu, Universitas kami. Atau aku mengajaknya nonton bola berdua bila ada pertandingan sepak bola yang berlangung tepat di depan kampus kami.

Firly pun masih sering ke rumahku, bukan untuk privat Matematika lagi, melainkan untuk bertemu aku, cintanya. Cinta yang indah bukan? Sederhana namun berkesan. Hmm, aku bahagia. Saat-saat yang paling menyenangkan adalah bila sedang berdua dengannya, menghirup aroma orchid dari tubuhnya dan menatap wajahnya yang manis. Ugh, aku cinta Firly. Papa dan mama, rasa-rasanya telah mencium gelagat cinta kami. Thanks God, aku memilik orangtua yang sangat pengertian. Mereka tak terlalu turut campur, yang penting bagi mereka adalah baiknya saja.

Sebulan, dua bulan, enam bulan, sembilan bulan .. cintaku terbentur dinding dan aku dibuat menjadi laki-laki separuh nyawa. Kembali pada suatu sore di rumah saat Firly datang ke rumah dengan wajah kuyu.
"Hei, ayo duduk. Wajahmu kenapa? Habis nangis?" tanyaku begitu dia duduk di sofa ruang tamu. Aku duduk di hadapannya dan dia tertunduk.
"Ada apa?" tanyaku.
"Aku .. ka'e, maafkan aku." Ujarnya kemudian dengan mata berkaca-kaca. Hei hei, ada apa ini?
"Maaf untuk apa? Ada apa sebenarnya Ly?" berondongku. Kuseka air mata yang mulai jatuh di pipinya. Penasaran aku dibuatnya. Aku pindah duduk disampingnya, menggenggam tangannya lembut dan aroma orchid itu kembali menikam jiwaku.
"Ka'e .. selama ini aku tidak jujur. Aku begitu takut kehilangan cinta kita. Aku salah ka'e, amat salah." Aku menarik napas dalam. Ada apa sebenarnya? Hal apa yang menjadi penyebab mendung di wajahnya yang manis?
"Sekarang minum dulu, nanti baru cerita, oke?" kusodori cangkir teh kehadapannya, dia menerima dan meneguknya sedikit lalu meletakkan kembali cangkir ke meja. Come on baby, talk to me!! Tereak batinku.
"Hmm Ka'e janji tidak akan marah?" aku menggangguk pasti.
"Selama ini aku telah berbohong. Pada ka'e dan pada orangtuaku. Pada ka'e aku menerima cinta yang begitu tulus, karena aku memang mencintai ka'e!! Pada orangtuaku aku bilang, ka'e datang ke rumah untuk mengajariku mata kuliah yang tidak kumengerti. Karena aku .. telah dijodohkan oleh mereka dengan keponakan papa yang tinggal dan kuliah di Denpasar." Deg!! Jantungku seperti berhenti berdetak. Omong kosong apa ini?! Firly menatap aku takut-takut.
"Ka'e??" aku menarik napas panjang.
"Jelaskan sekali lagi .." pintaku. Seakan-akan berharap aku pasti mendapatkan penjelasan yang berbeda kali ini. Tapi tidak, aku semakin kecewa.
"Maafkan aku ka'e. Tolong, mengertilah aku. Aku mencintai ka'e makanya aku menerima cinta ka'e saat itu. Tapi aku tidak jujur pada ka'e kalau aku telah dijodohkan dengan Danu, keponakan papa itu. Aku berharap ada keajaiban yang bisa menyatukan kita. Kepada papa dan mama aku mengaku ka'e datang ke rumah untuk mengajariku mata kuliah yang kurang aku pahami." Lagi-lagi aku menarik napas panjang. Aku telah berjanji untuk tidak marah. Tapi hatiku? Cintaku? Aku kecewa. Ini cintaku yang paling indah dan akhirnya amat sangat pahit!
"Pulanglah sekarang Ly, lupakan aku karena kita memang harus berpisah. Jangan ingat ka'e lagi, oke?" dia terperangah tak percaya.
"Tapi ka'e, aku mencintaimu, aku sama sekali tidak mencintai Danu dan kita … aku dan Danu baru bertemu dua kali, lebih dari itu, tak ada hubungan apa pun antara aku dan Danu. Ka'e …!!!" aku menggeleng. Jangan mencintaiku lagi, itu salah!!

Aku bangkit, meninggalkan dia sendiri, aku keluar, memacu tiger 2000 ku dengan perasaan tercabik-cabik. Angin sore Ende menerpa wajahku. Firly, aku mencintaimu, tapi apa daya, takdir berbicara lain. Padahal bila kamu mau jujur sejak awal, keadaannya tidak akan seperti ini. Sore itu aku keliling kota kecil tercinta tanpa tujuan, tanpa teman. Aku perlu sendiri, menenangkan pikiran dan hatiku. Tak mudah bagiku menerima semua ini, tapi aku harus. Aku tidak mau Firly dimarahi orangtuanya karena mencintai aku. Biarlah, dia perlu belajar mencintai Danu, keponakan papanya. Menjelang malam baru aku kembali ke rumah dan mendengar laporan mama kalau Firly menangis cukup lama sebelum pulang. Biarlah.

Keesokan harinya aku bertemu Firly di kampus. Tapi sikapku kubuat biasa-biasa saja. Toh sekarang tidak ada apa-apa lagi diantara kami. Putus. Broke! Pisah! Bah! Aku muak! Firly, berusaha menyapaku, tapi tidak, dia hanya bisa menunduk, tanpa kata. Lebih baik bagiku dan dirinya untuk tidak saling bertegur sapa dulu agar kami bisa saling melupakan tanpa rintangan yang berarti. Aku laki-laki, pantang bagiku untuk merebut cewek yang bukan milikku!!

Mungkin ini lah yang akan dirasakan oleh semua insan yang patah hati akibat putus cinta. Aku seperti hidup dengan separuh nafas. Seperti kata pepatah, hidup enggan mati tak mau! Apa pun yang aku lakukan terasa hambar tanpa Firly. Parahnya lagi, aku bahkan menolak memberi privat Matematika pada lima orang muridku! Tiga orang siswa smp dan dua orang siswa smu. Untuk apa aku mengajari mereka lagi? Pikiranku buntu, di hadapan mereka aku lebih banyak bengong. Actually, aku malah tak mengajari mereka, mereka justru belajar sendiri. Tak ada gunanya kan? Dan hal itu justru semakin memperburuk keadaan. Papa ngamuk-ngamuk padaku.

"Mau kamu apa sebenarnya?" tanya papa.
"Tidak ada pa."
"Tidak ada? Kasihan anak-anak itu, mereka muridmu, tanggung jawab dong Stef!"
"Stef hanya ingin istirahat pa."
"Istirahat? Seperti petani yang ingin istirahat? Buruh pabrik yang ingin melepas lelah? Kamu tidak secapek dan seletih mereka Stef, hanya sepersekian jam dari waktumu mengajari anak-anak itu!!"
"Papa tak mengerti, Stef belum bisa .. "
"Belum bisa melupakan Firly? Jangan cengeng kamu!"
"Papa memang betul-betul tak mengerti!!"
"Apa katamu?!"
"Ah sudahlah pa .. Stef bosan! Stef jenuh .. ingin sendiri .."
"Kamu!! ...."

Pertengkaran yang paling hebat dalam hidupku itu semakin menyudutkan aku. Aku memilih untuk hengkang sementara waktu dari Ende. Aku manusia, bila jatuh butuh dukungan dan hiburan. Papa mungkin tak mengerti perasaanku dan aku mencintai kedua orangtuaku juga kedua adik perempuanku. Makanya, bagiku lebih baik pergi untuk sementara waktu dari mereka, dari pada timbul lagi pertengakaran berikutnya yang lebih hebat. Aku tak ingin bertengkar, apalagi dengan papaku sendiri. Aku mencintai papa.

Sekarang, aku di Jakarta. 3 bulan sudah kejadian itu lewat. 3 bulan yang sulit, karena otakku masih belum mampu melupakan pesona Firly. Gadis manisku itu! Cintaku itu! Waktuku habis di warnet bila temanku berangkat kuliah. Disini, aku bergaul dengan dunia maya, dunia tanpa batas. Meskipun usahaku untuk melupakan Firly masih belum berhasil, aku harus mencoba. Harus! Karena Firly bukan untukku, telah ada Danu, pria yang dijodohkan orangtuanya. Sheat! Biarpun telah terpisah ribuan kilo dari Flores, masih saja otak ini tak sanggup melupakannya. Fiuh. Hari telah menjelang malam, aku pulang ke kost Glen, sahabatku itu. Jarak warnet dan kostnya amat dekat.

"Woi, sudahlah, lupakan Firly! Untuk apa sih mikir cewek itu? Masih banyak cewek di dunia Stef, Firly bukan satu-satunya. Atau kamu mau aku jodohkan dengan teman kuliahku?!" ujar Glen begitu aku dan tampang kusutku masuk ke kamarnya.
"Ngawur, siapa yang mikir Firly?!" dia tertawa. Ah sahabat, memang susah menyembunyikan apa pun dari Glen.
"Mata kamu itu tidak pernah bisa berbohong Stef. Aku mengenalmu lebih dari orangtuamu sendiri, ingat itu." Ujarnya lagi. Benar, Stef sudah seperti saudaraku sendiri. Masa smp dan smu yang mendekatkan kami. Susah, senang, aku dan Stef selalu bersama. Dia adalah penumpang tetap tiger 2000 yang dibelikan papa begitu aku masuk smu.
"Iya iya .. sudah .. diam. Tidak usah bicara soal Firly lagi, pusing aku mendengarnya. Jauh-jauh ke sini untuk melupakannya, mana bisa kalau kamu terus menyebut namanya?" balasku. Glen kembali tertawa.
"Come on! Be a man…" eh? Emang aku banci? Dasar Glen.
"Sudah makan?" tanyaku kemudian. Dia menggeleng.
"Makan yuk .. di warung depan .." ajakku. Glen mengangguk semangat.
"Thanks God!! Lapar banget neh. Yuk!" begitu dia membuka kamar, muncul Anton, mahasiswa asal Ambon, teman kost Glen.
"Woi, ada telpon buat kamu." Aku dan Glen saling pandang.
"Siapa? Aku atau Stef?" tanya Glen lagi.
"Glen." Kata Anton cepat. Glen berlari kecil ke ruang tamu, aku menyusulnya dari belakang. Diraihnya gagang telepon dan mulai bicara di telepon. Berabe kalau itu telepon dari ceweknya. Bisa-bisa jam sepuluh kita baru mengisi perut. Glen memanggilku dengan bahasa isyarat.
"Oh, ada tante, sebentar. Stef!! Mamamu!" mama meneleponku? Ada apa kah? Aku dikeluarkan dari Universitas? Lebih bagus, aku bisa melanjutkan kuliah disini. Biar jauh sekalian dari Firly.
"Ya ma?" suara mama di seberang. Sekedar 'say hello' dan papa langsung mengambil alih pembicaraan.
"Stef, besok pagi, penerbangan pertama. Sampai di Ende sore .." hanya itu yang dikatakan papaku. Aku disuruh pulang? Tepatnya diperintahkan pulang tanpa perlu berkelit? Telepon ditutup. Aku gamang. Glen menatapku heran. Aku balas menatap sahabatku itu. Kuajak dia ke warung depan. Lebih baik aku makan dulu, perutku semakin perih. Lapar.
"Glen, tadi telepon dari Ende." Ujarku disela-sela mengisi perut.
"Tau. Kan aku yang menerima duluan." Jawabnya sambil menyeruput kopi susu panas.
"Aku disuruh papa pulang ke Ende besok pagi-pagi sekali."
"What happened? Ada yang gawat?? Ortumu baik-baik saja kan?" tanya dia lagi sambil melotot.
"Andai aku tau apa yang sedang terjadi .. intinya aku disuruh pulang besok dengan penerbangan pertama, subuh kali ye?" kataku lagi. Glen kembali melotot.
"Jadi kamu pulang besok? Kok cepet? Hehehe. Ya udah lah, kalau memang papa mu ingin kamu pulang, pulang dulu sana. Nanti kalau mau ke sini lagi, datang saja, aku siap menerima!" kata Glen bijak.

Haruskah aku pulang? Pulang ke Ende sama artinya dengan bertemu Firly kembali dan aku kembali kacau! Aku belum siap, mentalku yang 'krupuk' ini belum sanggup menatap cewek itu dulu. Tapi suara papa tadi begitu tegas. Papa memang orang yang tak suka bertele-tele kalau bicara, to the point. Adakah sesuatu yang penting dan mendesak? Yeah, deep inside my heart, I do miss them. Aku rindu papa, mama dan dua orang adikku, Leli dan Femy. Boleh lah, seperti kata Glen, bila aku masih ingin kembali ke Jakarta, aku tau kemana harus menginap.

Hasilnya, aku mengepak bajuku yang tidak banyak ke ransel, aku memutuskan pulang. Aku bingung, dan kebingunganku ini bisa terjawab bila aku pulang ke Ende, kota kecil yang aku cintai. Dimana ada sosok Firly yang aku cintai pula. Uffss, inilah hidup.

Subuh sekali aku sudah ke soekarno-hatta, beli tiket. Untunglah, penerbangan ke Surabaya tidak penuh pagi itu. Glen mengantarku dengan senyum mengembang.
"Jangan lupa kasih kabar ya bro!" katanya sambil meninju lenganku. Oke, aku balas meninjunya sebelum menuju pintu keberangkatan. Masih dengan segudang kebingungan. Pesawat transit di Surabaya. Dari Surabaya ganti pesawat lagi ke Denpasar. Di denpasar aku naik foker ke Bima dan lanjut ke Ende. Bandara H. Hasan Aroeboesman nampak di bawah begitu pesawat akan landing. Kecil. Inilah kota ku. Turun dari pesawat, di ruang tunggu kulihat papa telah menunggu. Aku berjalan ke arah papa dan mencium tangannya.
"Pa .."
"Baguslah kamu pulang. Papa tunggu dari jam tiga tadi, pesawat terlambat setengah jam." Kata papa. Aku mengangguk. Tiger 2000 ku masih sama, masih enak ditunggangi. Kuboncengi papa pulang ke rumah. Rumahku, masih sama, tak ada yang berubah dalam 3 bulan terakhir. Yang beda mungkin suara ramai dari dalamnya. Suara orang tertawa dan mengobrol. Begitu mereka mendengar derum tiger, spontan Leli dan Femy adikku berhambur keluar.
"Ka'e Stef datang!!!!" aku memeluk mereka .. ah adik-adikku. 3 bulan rasanya seperti 3 abad! Mereka menyeretku masuk ke ruang tamu. Deg! Disitu ada Firly, orangtuanya dan mamaku. Well, semoga semua ini dapat menjawab kebingunganku diperintahkan pulang segera ke Ende. Ajaib rasanya melihat Firly kembali, duduk bersama orangtuanya di ruang tamu, tempat dimana aku menyatakan cintaku padanya dan memutuskan cinta itu penuh luka.
"Hai all .." mereka tersenyum. Senyum Firly, masih sama seperti yang dulu, senyum yang aku rindukan.
"Ka'e!!!!" Firly bangkit dan memelukku. Wow, malu rasanya dipeluk dia di depan umum seperti ini. Papa mengajak aku dan Firly duduk. Duduk disamping Firly, menghirup aroma orchid itu lagi, cintaku seratus persen kembali di hati ini. Tuhan, tolong aku, jangan persulit keadaan.
"Minum dulu nak." Mama mengangsongkan segelas air es padaku. Kuteguk dengan hati-hati. Semua mata tertuju ke arahku. Hei hei, aku bukan artis!!
"Stef, sekarang saatnya kita bicara." Suara om Cepy, papa Firly. Aku menatap pria separoh baya itu. Usia om Cepy nyaris sepantaran usia papa.
"Ya om." Jawabku.
"Om dan tante mau minta maaf."
"Untuk apa? Om dan tante tidak bersalah apa pun padaku."
"Minta maaf bukan karena kesalahan saja kan? Pada keadaan pun kita patut minta maaf." Balas om Cepy cepat. Aku mengangguk.
"Keadaan lah yang membuat kami berniat minta maaf padamu."
"Ya om."
"Kamu dan Firly pacaran, benarkah?"
"Pernah pacaran, kami telah pisah."
"Ya ya .. katakanlah begitu. Kalian pacaran lalu pisah."
"Betul om."
"Telah lama Firly kami jodohkan pada Danu keponakan om yang kuliah di Denpasar."
"Aku tau om, makanya aku dan Firly pisah."
"Ya betul. Om kaget waktu tiga bulan lalu Firly pulang ke rumah dengan wajah kuyu, dia menangis. Dari situ om dan tante mengetahui, sebenarnya hubungan kalian telah lebih dari seorang guru privat terhadap muridnya, lebih dari seorang kakak angkatan pada adik kuliahnya. Selama ini kami hanya tau, kamu datang ke rumah untuk menjelaskan pelajaran yang kurang dipahami Firly. Tapi sore itu menjawab semuanya, Firly terbuka pada kami. Dia mencintai kamu."
"Aku juga mencintai Firly om, lebih dari apa pun." Disampingku, Firly meraih lenganku ke dalam gelayutannya. Hmmm .. aroma orchid itu ..
"Kami jelas kaget. Bagi kami, Firly tentu setuju dengan perjodohan itu, menurut kami, Firly bisa bahagia bersama Danu. Mengingat orangtua Danu adalah kakak om, om tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka telah dijodohkan sejak lama meskipun baru bertemu dua kali saat Danu liburan ke Ende. Kami sama sekali tak tau, setelah itu Danu sama sekali tidak mendekati Firly seperti pria yang mencintai wanita. Danu nyaris tak pernah berkomunikasi dengan Firly."
"Hmm .."
"Stef .."
"Ya om."
"Setelah kalian pisah, Firly menjadi gadis pemurung tanpa keceriaan. Dia begitu 'down' putus darimu. Dia begitu tersiksa begitu tau kamu pergi ke Jakarta. Dia stress. Tapi kami toh tak dapat berbuat apa-apa."
"Aku pun seperti itu om .. sama .."
"Sampai sebulan lalu, om mendapat telepon dari Denpasar. Danu menghamili teman kuliahnya. Om jelas kaget."
"Oh?"
"Ya .. om kaget .. kok bisa begitu?"
"Namanya juga manusia om."
"Ya ya .. dan Firly menangis kembali, tapi sinar matanya lebih ceria, kita bicara lagi. Om bertanya, apakah dia masih mencintaimu?"
"Aku memang masih mencintai ka'e pa, tidak ada yang berubah." Firly ikut bicara. Tangannya semakin erat di lenganku.
"Kami akhirnya membiarkan Firly memilih pilihannya sendiri. Dan kamu adalah pilihannya. Tak ada yang lain. Tapi masalahnya, kamu begitu jauh, di Jakarta. Firly ingin meneleponmu, tapi dia malu. Dia takut. Datang ke sini saja dia tidak berani."
"Ya .."
"Akhirnya om dan tante memutuskan, kami lah yang harus ke sini. Kami lah yang harus bicara, demi Firly, putri kami. Keputusannya, semalam kami ke sini, bicara pada orangtuamu. Mereka tidak berani mengambil keputusan dan meneleponmu ke Jakarta."
"Ya, saat itu aku dan Glen hendak keluar cari makan."
"Kami hanya berharap kamu mau pulang, mendengar sendiri semua ini dan memberi keputusan. Kami tau alasan kamu ke Jakarta. Untuk itu lah kami meminta maaf."
"Tidak usah maaf-maafan om."
"Oke, kalau begitu, kalian berdua bicaralah, kita yang tua-tua mau ke belakang dulu, rugi dong kalau satenya dibiarkan saja." Kata papa dan mengajak om Cepy beserta istrinya dan mama ke halaman belakang. Pastilah Leli dan Femmy yang ditugaskan membakar sate. Pesta penyambutan kepulanganku kah?

Ruang tamu ini, ruang tamu yang menjadi tempat aku mengajari Firly Matematika, tempat dimana aku menyatakan cintaku dan tempat cinta kami berakhir 3 bulan lalu. Kini, ruang tamu ini kembali menjadi tempat bersatunya kami. Bersatu? Ya, aku mencintai Firly, dan untuk bersatu kembali kenapa tidak?

"Ka'e .. aku .. kangen .." kurangkul Firly ke dalam pelukanku. Aroma orchid itu menenangkan jiwaku. Aku cinta Firly.
"Sama sayang, aku juga."
"Ka'e masih mencintaiku setelah semua itu?"
"Masih, tak berkurang meskipun ingin aku hilangkan."
"Aku malah tak berusaha menghilangkannya."
"Bagus."
"Ka'e .. maafkan aku sekali lagi yah?"
"Hmm ya ya .. tapi ada syaratnya."
"Apa itu?!"
"Close your eyes dear .."
"Close? Hmm .."
"Come on .." dia manut. Bibir itu!! Aku mendekati bibirnya, tanganku erat di rahangnya dan kucium dia sepenuh hati. Aku begitu menginginkan gadis yang pernah kukatai brengsek ini! Aku pernah merutuki ketidakjujurannya. Tapi aku mencintainya. Itu tak dapat aku pungkiri.
"Ngghh .. ka'e .." desahnya. Aku akhiri. Masih banyak waktu kan?!
"Luv you .."
"Luv you too."
"Makan sate yuk? Aku lapar." Kugenggam tangannya, mengajaknya ke halaman belakang, berbaur dengan yang lainnya. Aku pasti .. yeah, first flight out ku membuahkan hasil yang memuaskan. Glen, tunggu saja ceritaku nanti. Firly, luv you .. this is the end of this story, but not the end of my story.

tuteh--