venerdì, luglio 30, 2004

Sketsa Hati {4}

Narasi Rini Ardiansyah

Saat mama berusia 18 tahun, mama telah dua kali 365 hari lulus dari smu. Mama tak dapat melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi karena masalah ekonomi. Nenek menderita penyakit yang notabene membutuhkan banyak biaya. Semua itu terjadi saat mama lulus smu.

Mama akhirnya memilih bekerja pada sebuah warnet sebagai operator. Pekerjaan itu membawa hidup mama pada gerbang dunia maya yang penuh kelicikan dan kebohongan. Tapi mama wanita jujur yang selalu mempercayai insting dan feeling. Mama kemudian mengenal seorang pria bernama Ardiansyah, pria usia 28 yang bekerja pada perusahaan asing di China. Dialah papaku. Menyukai kata-kata pria itu, mencintai kata-kata pria itu ternyata menyeret mama ke dalam arus cinta yang tak dapat dibendung lagi. Mama mencintai pria yang sama sekali belum pernah ditemuinya!!

Cinta mama berlanjut dengan saling mengirim email, chatting dan sms. Terkadang papa menelpon mama meskipun waktu bicara mereka hanya satu atau dua menit. Mungkinkah cinta itu begitu besarnya? Sampai-sampai mama pernah menolak lamaran pria-pria yang mencoba menyuntingnya. Mama pernah mencoba mencintai salah satu dari pria-pria itu, namun sayang, cinta mama pada papa begitu besar. Mama tak sanggup pindah ke lain hati. Pria itu terluka dan mama tak pernah mau mencoba lagi. Hati mama telah mati rasa terhadap pria lain selain papa.

Perhatian dan peduli papa adalah kunci utama yang telah membuka hati mama untuk mencinta. Mama bahagia, itu lah yang diceritakan mama padaku. Papa memiliki pesona dan kharisma seorang pria sejati. Pada papa, mama bisa bermanja-manja, bisa marah-marah, bisa menangis sekaligus tertawa pada saat yang bersamaan. Papa adalah satu-satunya pria yang mampu membuat wajah mama memerah saking tersipunya meskipun mereka tak saling bertatap!

Cukup setahun mama dan papa pacaran, sampai pada satu titik puncak dimana bahagia dan sakit bertahta di udara. Dua hal yang sama-sama dilimpahkan papa pada mama. Papa pulang ke Indonesia, langsung menemui mama. Malam bertabur bintang, desiran angin malam dan senyum genit sang bulan menemani mereka menghabiskan waktu bersama. Kebersamaan yang telah lama dinantikan mama, 1 tahun. Ternyata waktu 1 tahun itu tak pernah cukup untuk dapat mengetahui papa seutuhnya.

Papa jujur pada mama, papa ingin menikahi mama karena papa mencintai mama. Namun ternyata papa telah mempunyai kebahagiaan yang lain yang tak dapat ditembusi mama sama sekali. Papa telah menikah dan memiliki dua orang putra. Mereka adalah abang-abangku juga bukan? Papa menyerahkan semua keputusan pada mama. Tinggalkan papa dan membunuh cinta di hati, atau terus memilih papa dan menjadi orang kedua dalam hidup papa. Apa yang dipilih mama???? Mama memilih pertimbangan ke 2! Mama bersedia dinikahi papa dan hidup dalam cintanya untuk papa. Mama rela menjadi istri kedua demi cintanya pada papa!! Pecinta sejati kah mama?? Atau kebodohan seorang gadis usia 19 tahun?! Mama adalah wanita, demikian pula istri pertama papa. Bukan kah sesama wanita tak pantas untuk saling merebut pria yang dicintai? Itu lah yang penjadi pedoman mama sampai mama memilih pertimbangan ke 2.

Dalam waktu satu minggu, papa dan mama mengurusi surat-surat pernikahan pada lembaga pernikahan Islam, KUA. Lalu mereka resmi menikah. 1 minggu berikutnya adalah 7 hari terindah dalam hidup mama tanpa pernah tergantikan oleh kebahagiaan yang lain. Mereguk nikmatnya cinta di sebuh hotel tanpa perlu orang lain tau. Nenek dan semua saudara mama tak pernah tau bahwa mama telah menikah, memiliki buku nikah sah dan menyerahkan hidupnya secara total pada papa, pria yang ditemuinya di ruang maya dan dicintainya setengah mati. Ah .. cinta!!

Sebagai istri ke dua, mama cukup tau diri dan tak banyak menuntut pada papa. Karena bagi mama, dengan dinikahi papa, kebahagiaannya terlengkapi. Papa kembali ke kotanya sendiri, menemui istri pertamanya dan abang-abangku disana. Sedangkan mama telah menetukan pilihannya. Hidup tanpa papa, cukup dengan cinta papa di dalam hatinya. Semuanya terbongkar oleh keluarga mama begitu mama mulai merasakan kehadiranku di dalam rahimnya. Mama hamil. Paman-paman marah dan menuntut jawab dari mama, siapa? Mengapa? Untuk apa? Hanya satu yang bisa diberikan mama sebagai jawaban. Buku nikah, sah! Sah sebagai istri papa.

Kebisuan keluarga mama pada akhirnya memberi mama peluang untuk membenahi hidupnya sendiri. Papa menghubungi mama, bahagia mendengar kehamilan mama dan mengirimkan sejumlah uang untuk mama. Uang itu, tak pernah terpakai hingga kini. Uang itu, masih terus berada dalam tabungan mama yang lain, uang itu disimpan mama untukku. Keluarga mama akhirnya turun tangan. Para paman dan tante mulai membuat cerita yang cukup masuk akal. Mama menikah diam-diam dan suaminya meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil.

Kemudian aku lahir ke dunia sebagai yatim. Yatim yang sama sekali bohong! Aku masih memiliki papa! Aku masih memiliki pria yang dicintai mama seumur hidupnya! Namun menurut cerita mama atau hanya untuk menyenangkan hatiku(?), saat mama melahirkan, papa datang ke kota ini untuk memeluku, menciumku dan menggendongku sampai aku terbuai tanpa seorang pun tau. Cukup sampai disitu, karena papa harus kembali ke China, kembali pada tuntutan pekerjaannya. Betapa ribetnya mama mengurusi akte kelahiranku. Betapa pusingnya mama mengurusi sekolahku dan membiayai hidupku sampai sekarang. Nenek yang begitu baik jatuh iba lalu memberi mama modal untuk membuka usaha warnet, karena nenek tau, hanya warnet lah yang menjadi pilihan dan ketertarikan mama.

Warnet yang maju, pendapatan yang besar, manajemen yang memuaskan itu menghasilkan satu buah rumah untuk mama. Rumah kami, rumah mama dan aku. Rumah yang kutempati sejak usiaku 3 tahun! Rentang waktu 14 tahun aku hidup, semua ini tertutup begitu rapat. Aku tak tau dimana makam ayahku berada. Aku tak tau kemana harus kucari nisan bertuliskan Ardiansyah itu! Bagaimana aku bisa mencarinya? Papaku belum lagi meninggal, papaku masih ada di kota itu, yang akhirnya dipindahkan bekerja dari China di kota itu kembali dan berkumpul bersama istri pertamanya juga para abang-ku.

Aku Rini Ardiansyah, saat ini yang aku inginkan hanyalah satu, membahagiakan mamaku. Mama yang hidup penuh cinta pada papa tanpa perlu menuntut untuk memiliki papa secara utuh. Mama yang telah mengajari aku untuk menjadi manusia baik, moral dan akhlak. Mama yang telah menyerahkan hidupnya pada cinta yang memberinya kebahagiaan terbesar tanpa perlu tergantikan. Aku mencintai mamaku. Aku juga mencintai papaku. Bila Tuhan mengijinkan, ingin sekali rasanya aku mendengar suara papaku. Agar aku dapat seperti mama, merasa terlengkapi tanpa perlu dilengkapi. Aku cinta papa dan mama!!

"Halo? Perlu sama siapah?"
"Citra?"
"Bukan, ini Rini."
"Rini? Ini ..."
"Papa???"
"Rini?""Papa?"
"Rini!!"
"Papa!! Rini sayang papa!!"
"Papa juga .. anen Rini .. jadi gadis baik yah?"
"Rini sayang papa!!"
"Papa lebih sayang lagi padamu Rin. Jaga mama baik-baik yah?"
"Iya papa."
"Mama dimana?"
"Mama sudah tidur .."
"Katakan pada mama,.. papa merasakan sesuatu sampai papa .."
"Sampai papa menelpon .. karena itu lah yang selama ini telah terjadi diantara papa dan mama. Setiap kali papa merasakan perasaan tak nyaman, papa akan menelpon mama. Bukan kah begitu pa?"
"Iya sayang .. Rin .. "

Tut!! Tut!! Telepon ditutup segera. Ah .. apakah abang-abangku itu mendekati papa? Atau istrinya? Yang jelas aku bahagia. Dia papa ku .. tiada tapi ada. Ada tapi tiada ...

-tuteh@9Julai04^bersambung-

sabato, luglio 24, 2004

Sketsa Hati {3}

Begitu langkah kakiku terayun memasuki rumah, ku dengar sayup-sayup lagu yang pernah menjadi kegemaranku. Lagu yang kemudian kuputuskan sendiri menjadi lagu kami, lagu aku dan dia. Meskipun dulunya dia menolak menjadikan lagu ini sebagai 'lagu kita' toh aku tetap kukuh. Biar saja tak menjadi lagu kita, biar saja menjadi laguku!! Duet Air Supply yang kusuka.

When you say, "I miss the things you do"
I just want to get back close again to you
But for now, your voice is near enough
How I miss you and I miss your love
 
And though, all the days that pass me by so slow
All the emptiness inside me flows
All around and there's no way out
I'm just thinking so much of you
There was never any doubt
I can wait foreverI

f you say you'll be there too
I can wait forever if you will
I know it's worth it all, to spend my life alone with you

When it looked as though my life was wrong
You took my love and gave it somewhere to belong
I'll be here, when hope is out of sight
I just wish that I were next to you tonight
 
And though, I'll be reaching for you even though
You'll be somewhere else, my love will go
Like a bird on it's way back home
I could never let you go
And I just want you to know

I can wait forever
If you say you'll be there too
I can wait forever if you will
I know it's worth it all, to spend my life alone with you

Telah aku buktikan, aku akan menunggu selamanya. Selama Tuhan masih memberiku waktu untuk bernafas dan tersenyum menyambut hangatnya sinar mentari, maka aku akan terus menanti. Selama Tuhan masih memberiku kesempatan untuk hidup bersama rasa ini, maka aku akan terus menanti. Meskipun muara penantianku bukan pada asa yang selama ini menemani impian-impianku untuk hidup bersama dia. Rini keluar dari dalam kamarnya dan lagu ini semakin keras terdengar.

"Mama sudah pulang? Suka sama lagunya?" ah Rini. Tentu saja aku menyukai lagu ini! Ini lagu ku! Pernyataan rasa hatiku pada dia!
"I... iya Rin, mama suka." jawab ku terbata. Kulepas sepatu dan blazer. Bi Surti membawakan segelas air putih untukku. Aku duduk di meja makan bersama Rini. Kami terdiam sampai dentingan nada itu berakhir. Tak ada kelanjutan? Tak diulang kah lagu itu? Ah, Aku begitu meresapinya. Jujur saja kuakui, aku terlena dengan lagu ini.

"Mama masih suka menunggu juga?" aku terkejut, kupandangi Rini yang kali ini berani menatap kedalaman mataku. Mengapa? Mengapa Rini berani menatapku seperti itu? Dan mengapa pula aku seperti dilingkupi ketakutan dengan pandangan mata gadisku ini?
"Menunggu? Menunggu apa Rin?" tanyaku pura-pura bingung. Tuhan!! Tolong aku! Jangan biarkan semua ini terbongkar. Jangan biarkan gadisku ikut merasakan kehilangan yang amat dalam.
"Menunggu papa." deg! Jantungku seperti dihantam godam dan itu membuat ulu hatiku nyeri. Ini kah rasa tak enak yang sempat terbersit sepintas lalu tadi? Jantungku kian cepat berpacu. Loteng!! Bodohnya aku membiarkan Rini membersihkan loteng! Tentu saja dia akan memeriksa isi setiap kardus yang ada disana dan membaca diary itu!! Arhh!!!
"Papa telah .." aku tak bisa meneruskan kata-kataku. Ucapan Rini berikutnya seakan memotong pita suaraku dan memaksaku untuk patuh mendengarkannya.
"Mama bohong kan dengan cerita itu? Nenek juga bohong kan? Tante-tante dan para paman juga berbohong kan?" mataku basah. Lihatlah Citra, dia telah 14 tahun sekarang, sudah saat nya dia mengetahui dan mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi. Aku menggigit bibir pasrah.

"Papa masih hidup kan? Papa sekarang berada di kota yang nggak jauh dari kita kan? Papa hidup bersama keluarganya sendiri kan? Rini masih punya papa!! Papa Rini belum meninggal seperti yang mama ceritakan sejak dulu!" aku memejamkan mataku, air bening keluar dari sudut-sudut mataku. Rini, tau kah kamu bahwa begitu susahnya mama memisahkan kamu dari semua realita pahit ini? Begitu susahnya mama mengurusi akte kelahiran kamu! Begitu sulitnya mama menghadapi semua ini sendiri. Begitu sulitnya mama menjejali otakmu dengan cerita bohong itu?!

"Ma,.. Rini telah membaca semuanya tanpa satu pun tersisa. Rini nggak jadi membersihkan loteng setelah dua buah diary ini Rini temukan dalam kardus yang diletakkan paling sudut dan tersembunyi. Rini mohon, jangan sembunyikan apa-apa lagi dari Rini .. ceritalah ma, Rini ingin mendengarkan semua cerita itu dari mama, malam ini juga,..." aku menarik napas panjang. Sesak napas. Setiap kali sesak napas begini, aku pasti mengingat dia,.. suamiku, suami sah ku!! Meskipun aku hanya menjadi istri keduanya .. tapi dia suamiku juga. Aku mengetahui dirinya luar dalam .. seluruhnya! Sampai pada asma yang sama-sama kami idap!

Haruskan kuceritakan semua ini pada gadisku yang penuh tuntutan ini? Haruskah? Harus .. aku harus! Karena dia adalah bagian dari cerita ini. Dia adalah buah cinta cerita ini. Aku menarik napas dalam kembali. Yang kurasakan saat ini adalah menelan jelaga hitam yang pernah kuperbuat dulu. Seperti butiran pasir yang memasuki kerongkonganku hingga aku rasanya perlu tersedak dan muntah agar semua ini dapat kuceritakan. Wajah Rini adalah wajah dia. Senyum Rini, gerak-gerik Rini dan tatapannya yang menusuk adalah milik dia pula. Rini adalah putri sahnya pula dari pernihakannya yang kedua bersamaku. Pernikahan yang kami sembunyikan. Pernikahan yang kemudian diketahui oleh keluargaku saat aku mulai merasakan kehadiran seorang Rini di dalam rahimku.
Dia memiliki dua kebahagiaan sedangkan aku cukup satu. Karena aku bahagia. Apa kah Rini dapat mengerti bahwa bahagia adalah kunci kehidupan yang paling utama? Dengan bahagia manusia tak akan punya niat mencoba mencari masalah. Itu lah yang kupilih. Dan itu lah realita yang mau tak mau harus kuceritakan pula pada gadisku ini. Tuhan, malam ini Rini harus mengetahui semuanya dari aku sendiri meskipun cerita itu telah dibacanya dari dua buah diary usang yang sempat menjadi pelarianku dahulu.

Tuhan, aku mohon, kuatkan aku agar cerita ini nantinya dapat selesai mengalir dari bibirku tanpa perlu aku tersedak atau terisak. Kuatkan pula hati gadisku agar dia tak perlu membenci papanya sendiri karena nasib memang tak memihak pada aku dan suamiku sendiri. Tuhan, biarkan malam ini menjadi saksi terbukanya rahasia hidupku yang paling dalam .. lukisan jiwaku, sketsa hatiku yang selama ini kujaga rapat sampai-sampai tak ada celah sedikitpun kubiarkan terbuka. Biarkan Rini mengetahui, alasan mengapa mama nya terlihat sering melamun dan terkejut bila ditegur. Semua itu untuk satu rahasia .. satu sketsa hati.

-tuteh@9Julai04^bersambung-

giovedì, luglio 22, 2004

Sketsa Hati {2}

"Mbak, pemasukan kemarin banyak sekali!!" Juliet, salah seorang operator warnetku menyerahkan laporan pembukuan dan sejumlah uang padaku. Jam masih menunjukan pukul delapan namun ketepatan waktu bekerja telah kuterapkan sejak dulu, sejak warnet ini di buka, hingga warnet satunya lagi ikut dibuka. Ya, aku bangga pada diriku sendiri, cermin kepintaran dia yang kupakai membuahkan hasil yang memuaskan bagiku. Di warnet ini semua kegiatanku berpusat. Kepala operator warnet cabang akan mendatangiku pada jam yang sama untuk melaporkan pendapatan kemarin dan setelah itu aku langsung menuju bank untuk menyimpannya. Untuk kelangsungan warnet dan tentu saja kelangsungan hidupku bersama Rini.

"Jam berapa kamu tutup warnet semalam Jul?" tanyaku perhatian. Gadis usia dua puluhan ini selalu menyukai perhatian. Bukan kah aku harus pandai mengambil hatinya agar dia tak sampai kehilangan dedikasi dan kejujuran dalam bekerja?
"Jam sembilan mbak, capek banget, soalnya banyak usernya." jawab Juliet sembari menghitung pendapatan kemarin dan mencocokkannya.
"Alhamdulillah kalau banyak user, pendapatan pun meningkat. Tapi kamu sabar dulu yah Jul, saya belum bisa menaikkan gajimu dan operator yang lain." hiburku padanya. Juliet tersenyum dan menatapku penuh sayang.
"Mbak, mbak Citra sudah saya anggap seperti kakak saya sendiri, jadi mbak nggak usah sungkan sama saya." katanya lagi. Aku mengangguk setuju dan menandatangi pembukuan manual itu. Juliet kembali membereskan warnet dan aku menunggu kedatangan Saras, ketua operator dari warnet cabang.

Tak berapa lama kulihat Saras di depan ruang kerjaku. Gadis ini usianya sepantaran dengan Juliet, namun kematangannya melebihi Juliet. Tak salah aku mempercayainya mengurusi warnet cabang.
"Pagi mbak!! Saya selalu telat kemari!" kata Saras.
"Nggak mengapa. Toh bank belum dibuka pada jam-jam begini." balasku. Saras duduk di hadapanku dan mengeluarkan pembukuan beserta amplop berisi uang pendapatan kemarin.
"Maaf yah Sar kalau mbak selalu merepotkanmu setiap hari kerja begini. Maklum, mbak nggak ngerti pembukuan elektronik dan rasanya pas banget dengan pembukuan model kuno begini." kataku. Saras tertawa, memamerkan barisan giginya yang putih.
"Nggak apa lah mbak, toh buktinya, dengan pembukuan kuno begini usaha warnet mbak kian maju!" pujinya. Ah, meskipun dipuji begitu, pipiku tak dapat merona saking tersipunya. Aku hanya bisa dibuat tersipu oleh dia. Hanya dia.

Setelah semuanya selesai Saras pamit kembali ke warnet cabang dan tak lupa menggoda Juliet dan Rufus. Aku menyukai anak-anak muda yang setia ini. Mereka memiliki jiwa bekerja yang kuat dan memiliki keinginan untuk maju, secara positif tentu saja. Terkadang aku mengajak mereka menikmati suasana cafe atau sekedar piknik bersama pada hari minggu. Karena setiap hari Minggu warnet ditutup. Mereka membutuhkan hari libur juga kan? Sama seperti aku. Tapi tidak dengan cintaku pada dia, cinta ini tak butuh untuk diliburkan.

Jam sepuluh tepat aku berangkat ke bank untuk menyimpan pendapatan kemarin dan langsung kembali ke warnet. Hampir dua jam waktuku habis di bank, maklum saja lah, tanggal muda. Kesibukan bank mencapai puncaknya dan aku harus sabar mengantri. Saat aku tengah membaca koran hari ini, Juliet masuk ke ruang kerjaku.
"Mbak, telepon dari Rini." ah gadisku itu! Kulihat, jam telah menunjukan pukul satu, tentu saja dia telah pulang sekolah. Kuraih telpon yang tersambung secara pararel. Sampai mendengar salah satu saluran ditutup baru deh aku bicara di telpon.

"Ya sayang? Sudah makan? Bi Surti masak semur kegemaranmu kan? Sudah sholat kan?" tanyaku. Pertanyaan yang dulu sering dia lontarkan padaku. Dari seberang Rini tertawa dan menjawab.
"Iya sudah. Makasih yah ma. Oh iya ma, hari ini Rini ingin memberesi loteng, boleh kan?" Rini memang selalu bersemangat dan penuh ide. Loteng yang sekaligus gudang itu memang sudah lama terlupakan olehku.
"Tentu saja boleh. Kalau menurutmu ada barang yang nggak diperlukan lagi, buang saja Rin." kataku.
"Iya ma. Nanti Rini bersih-bersih dan menata kembali barang-barang di sana." ujarnya semangat. Aku tertawa senang.
"Bagus!! Tapi kalau capek jangan diteruskan. Jangan sampai waktu sholatmu terganggu, apalagi waktu belajar." saranku.
"Sip!! Oke ma, Rini beres-beres dulu yah." aku tersenyum. Ah, senyum yang tak mungkin dilihat oleh gadisku itu. Ku tutup telepon dan meneruskan membaca, menambahi wawasanku agar aku tak menjadi orang yang paling belakang mengetahui berita.

Masih tiga jam lagi waktuku di sini. Bosan membaca koran, aku beranjak ke ruang user dan melihat penuhnya pengunjung hari ini. Alhamdulillah, Tuhan memberiku kemudahan dalam menjalani hidup ini meskipun dalam kesendirian. Terkadang masih ada yang nyeri dari dalam hati ini bila mengingat ini semua dapat berlangsung berkat bantuan dan saran dia. Dia yang penuh ide dan nasihat, dia yang penuh cinta dan sayang. Sayang sekali kami tak dapat bersatu dalam raga, cukup dalam jiwa. Jiwa kami menyatu erat dan tak dapat dipisahkan lagi. Itu lah alasan mengapa aku memilih untuk terus sendiri sampai saat ini. Dia dan pesonanya telah membuat hatiku mati rasa untuk pria lain yang mencoba mengusiknya.

Sinting kah aku dengan semua ini? Aku pernah mencoba bertanya pada angin laut yang berhembus menampar wajahku dan menerbangkan anak-anak rambutku. Namun tak satu pun jawaban yang dapat kutemui di sana. Pernah pula aku mencoba bertanya pada pekatnya malam dengan taburan bintang di langitnya yang menghitam, namun tak pernah jua kutemukan jawabnya. Artinya aku tak sinting! Artinya wajar saja aku menentukan hal ini untuk kujalani. Bukan kah aku manusia yang tak pernah memiliki kesempurnaan? Kesempurnaan sejati hanya dimiliki oleh sang khalik! Bukan aku, bukan pula dia. Aku kembali ke ruang kerjaku dan melamun.

Melamun bukan lah pekerjaan sia-sia yang baru saja kulakukan. Sudah sejak dulu aku sering melamun. Berkhayal tentang mimpi indahku untuk bersama dia tanpa pernah tau apakah mimpi itu dapat berakhir nyata pada akhirnya? Sampai sekarang mimpi-mimpi itu terus menemani kesendirian yang kupilih ini. Bila manusia hidup untuk sesuatu yang nyata, sesuatu yang dapat mereka raih dan dekap, maka aku tidak. Aku memilih untuk hidup dalam mimpi dengan impian yang sama sekali tak dapat kusentuh, apalagi kudekap. Dekap? Aku pernah didekapnya! Aku pernah memberinya senyum kepuasan setelah ijab kabul! Aku telah menyerahkan diriku secara total pada dia! Hanya pada dia.

Sedang apa kah dia disana? Memikirkan aku seperti aku memikirkannya? Merindukan aku seperti aku merindukannya? Menginginkan aku seperti aku menginginkannya? Mengharap ciumanku seperti aku selalu mengharapkan ciuman panasnya? Membutuhkan aku seperti aku membutuhkan dirinya atas diriku dan menguasai seluruh sarafku yang lumpuh begitu melihatnya? Tuhan, bila aku telah menjadi gila karena semua ini, aku mohon, jangan pernah sembuhkan aku, karena dengan kegilaan ini aku menemui kebahagiaan. Kuhidupkan kembali komputer, mendengar alunan lembut musik yang keluar melalui celan-celah serabut speaker active.

Begitu banyak cerita ada suka ada duka
Cinta yang ingin ku tulis bukanlah cinta biasa
Dua keyakinan pisah masa'alah pun tak sama
Ku tak ingin dia ragu mengapa mereka selalu bertanya?

Cintaku bukan diatas kertas cinta getaran yang sama
Tak perlu dipaksa tak perlu di cari
Karena ku yakin ada jawabnya,..
Andai ku dapat merubah semua hingga tiada orang terluka
Tapi tak mungkin ku tak berdaya
Hanya yakin menunggu jawabnya,..

Janji terikat setia masa merubah segala
Mungkin dia kan berlalu ku tak mau mereka tertawa
Diriku hanya insan biasa milik naluri yang sama
Tak ingin berpaling tak ingin berganti
Jiwaku sering saja berkata,..
Andai ku mampu ulang semua kupasti tiada yang curiga
Kasih kan hadir tiada terduga
Hanya yakin menunggu jawaban,..

Seandainya istana cinta ini hanya istana yang terbuat dari pasir, maka keajaiban tangan Tuhan telah bermain bersamanya sehingga istana pasir ini begitu kuat dan terus berdiri kokoh sampai detik ini. Bila cinta ini hanya dipandang selayaknya kupu-kupu kertas, maka keagungan Tuhan pula lah yang telah memberi kupu-kupu kertas ini nafas penuh cinta sehingga kupu-kupu kertas ini masih terus mengepakkan sayapnya tanpa kenal lelah. Jika dia memiliki dua kebahagiaan, biarlah aku cukup dengan satu kebahagiaan saja. Bersama Rini, akan kutepis segala badai yang menghadang langkahku. Bersama Rini aku akan membuktikan pada dunia kalau rasa ini tak perlu mereka tertawakan, karena ini bukan lelucon tanpa lakon dan layar.

Aku tersadar. Nafasku sedikit tersengal. Sudah jam empat dan aku harus pulang. Meskipun Juliet dan Rufus tak membutuhkan aku, aku harus terus di sini sampai batas waktu yang telah kudisiplinkan pada diriku sendiri. Selebihnya waktuku hanya untuk Rini di rumah. Ah gadisku itu, sudah selesai kah dia membereskan loteng? Ku harap sudah, agar aku masih dapat menemaninya berceloteh tentang sekolahnya, temannya, gurunya dan suasana hatinya saat ini. Sekelebat kurasakan rasa tak enak di hati, namun segera kuhalau .. aku pulang.

-bersambung-

domenica, luglio 18, 2004

Sketsa Hati {1}

Matahari senja semakin tak tampak seiring dengan bergulirnya waktu yang semakin tua untuk satu hari ini. Di depan jendela ini aku berdiri mematung menatap lukisan alam di kala senja yang tercoret melalui kuas sang Pencipta, Penguasa alam semesta. Senja,.. usiaku pun semakin senja. Tak terasa telah 33 usiaku sekarang. Sebentar lagi aku telah menjadi wanita dengan usia berkepala 4! Betapa cepatnya waktu berlalu dan aku masih saja seperti ini, menggantung sejuta impian di langit biru dan berharap keajaiban itu akan terjadi. Keajaiban yang terus menerus bermain dalam pikirku yang sempit ini.

Kemana kah hari-hari itu perginya? Sampai-sampai aku tak merasakan perginya mereka? Kemanakah aku selama ini? Sampai-sampai tak menyadari usiaku sendiri? Ya, aku tau. Sejak 19 aku telah merasakan berhentinya usiaku di saat itu. Aku yang sekarang, tetap merasa layaknya aku yang dulu, gadis usia 19 yang penuh mimpi. Aku hanya dapat bermimpi tanpa mampu berbuat apa pun untuk meraih mimpi itu meskipun hati kecilku amat menginginkannya. Sampai sekarang pun aku terus bermimpi. Mimpi seorang wanita kesepian dengan cintanya.

Adzan maghrib mulai berkumandang dari mushola terdekat. Bergegas kututupi jendela, menarik gordyn hijau muda berbahan satin dan berganti baju. Sudah saatnya sholat. Karena dengan sholat kudapati kemurnian hati dan kedamaian jiwa. Karena dengan mendekatkan diri pada Allah aku akan merasa lebih kuat untuk merajut hidup yang tersisa ini, bersama impian-impian mulukku. Lebih kuat dari masa itu, masa dimana aku masih bersama dia, merangkai manisnya cinta di usia muda. Aku tak muda lagi, 33 tahun sudah usiaku kini. Aku seharusnya telah menjadi wanita dewasa yang mampu berpikir lebih dewasa menggunakan logika dan berdasarkan realita yang ada. Tapi?

"Ma, sholat yuk?" suara itu, suara putri tunggalku yang amat kucinta."Ayuk Rin." kami bersama-sama menuju mushola dan sholat berjamaah bersama jemaah yang lain dalam kekhusyukan do'a dan penyerahan diri secara total kepada Allah SWT, sang pemilik abadi hidup ini. Kepada Dia yang sudah memberiku hidup juga kesempatan untuk mengenal dunia secara luas dan meyiapkan waktuku untuk bertemu dengan dia dalam hidupku yang sederhana ini. Dia yang dulunya, sampai sekarang pun, telah memberiku masa yang paling indah yang pernah ku kecap.

Usai sholat aku mengajak Rini menuju warung sate ayam yang terletak di ujung gang rumah kami yang terletak di tengah pemukiman rakyat jelata namun kami berdua bahagia. Pat Mamat, si tukang sate, langsung tersenyum senang begitu melihat kedatanganku bersama Rini."Bu Citra, silahkan duduk. Pesan berapa porsi bu?" tanya pria tua itu ramah. Aku menghormati pak Mamat, tanpa memandang dirinya hanya seorang tukang sate yang mencari makan dengan menggantungkan nasib pada rejeki pembeli setiap harinya."Ma! Ditanya pak Mamat tuh, pesan berapa porsi?" aku gelagapan. Aku tau, Rini sering menemukanku sedang melamun dan terkejut begitu ditegur. Gadisku ini telah 14 usianya, sebentar lagi tumbuh menjadi remaja periang."Dua saja yah? Mama nggak makan malam ini, masih kenyang Rin. Dua saja, buat kamu dan bi Surti." jawabku segera. Rini menarik bibirnya kesal."Mama tuh harus makan biar nggak ngelamun terus!" ah dia,.. pemerhati yang jeli. Kuakui, terkadang aku tak dapat banyak komentar terhadap Rini. Rini begitu mirip dia. Pintarnya, telitinya, kritikannya, sampai pada pola pikirnya.

Pada sosok gadisku ini, aku menemui sosok dia. Mereka begitu mirip satu sama lain. Matanya, alisnya, pipinya yang tembem, sampai pada bibirnya yang penuh! Rini adalah cloning dia dan setiap kali aku menatap gadisku ini, rasa haru biru menyelubungi lubuk jiwaku, menghadirkan butir-butir air mata terbias di pelupuk. Pak Mamat telah selesai dengan satenya. Usai membayar segera kuajak Rini pulang, menikmati indahnya malam dengan taburan bintang dan senyuman manja bulan di atas langit yang menghitam.

"Ma, kenapa sih mama sering banget ngelamun?" tanya Rini padaku dengan pandangan lurus ke depan. Rini tak berani menatap mataku, entah kenapa."Masa sih? Kamu ada-ada saja deh. Kadang-kadang sih iya, tapi sering banget enggak lah." kilahku. Aku tak mau Rini mengorek apa pun dariku."Ah mama selalu begitu kalau ditanya. Rini kan sudah besar ma, sudah empat belas tahun! Mama sudah bisa berbagi bersama Rini." katanya tanpa menoleh padaku. Kulirik dia, persis sekali garis wajah mereka. Rahangnya,.. rahang yang pernah kusentuh dulu. Aku tak ingin berkomentar lebih jauh, lebih baik diam dari pada terus berdalih padanya. Itu hanya akan membuat rasa penasaran di hatinya kian menggunung! Aku tau persis sifat dia, sifat yang diturunkan secara utuh pada Rini.
Di rumah, bi Surti telah menyiapkan peralatan makan. Rini mengajak pembantu paruh baya itu makan bersama dan aku kembali ke kamarku. Di kamar ini, kamar yang kutempati sendiri tanpa dia, aku dapat melakukan apa saja. Termasuk mendengarkan alunan lagu-lagu melankolis dan hanyut bersama iringan lembut yang mengisi ruang telingaku. Memejamkan mata kemudian merasakan sentuhan dia atas diriku. Sepenuhnya aku milik dia. Dia yang telah pergi jauh bersama cinta kami.

Bersamamu kulewati lebih dari seribu malam,..Bersamamu yang kumau namun kenyataannya tak sejalan,..Tuhan bila masih kudiberi kesempatan,..Ijinkan aku untuk mencintainya,..Namun bila waktu ku telah habis dengannya,..Biar cinta hidup sekali ini saja,..Tak sanggup bila harus jujur,..Hidup tanpa hembusan nafasnya,..Tuhan bila waktu dapat kuputar kembali,..Sekali lagi untuk mencintainya,..Namun bila waktuku telah habis dengannya,..Biarkan cinta ini,.. hidup untuk sekali ini saja,..

Suara lembut Glen mengisi relung-relung hatiku yang paling dalam. Memberi kehangatan pada kisi-kisi batin yang haus akan cintanya. Hanya cinta dia, karena aku takkan pernah dapat melahirkan cinta yang baru untuk bahagia. Cukup seperti ini dan aku bahagia. Bersama cintaku, bersama Rini yang menjadi buah cinta aku dan dia. Cinta yang terlarang menurut sudut pandang orang lain, namun cinta yang indah menurut sudut pandangku sendiri. Cinta yang telah membuatku merasa lengkap menjalani hidup ini meskipun dalam kesendirian abadi.

Malam telah semakin merambat tua. Mataku semakin terasa berat diserang kantuk dan membuatku terus-terusan menguap dari tadi. Sudah saatnya aku tidur, membiarkan mata dan diri ini istirahat setelah seharian capek menjalankan tugasku. Tugas sebagai seorang ibu dan sebagai seorang pemilik dua buah warnet yang cukup maju. Detak-detak detik jam di dinding berpacu bersama jantungku dan hembusan nafasku yang mulai teratur. Letih.

-bersambung-