domenica, luglio 18, 2004

Sketsa Hati {1}

Matahari senja semakin tak tampak seiring dengan bergulirnya waktu yang semakin tua untuk satu hari ini. Di depan jendela ini aku berdiri mematung menatap lukisan alam di kala senja yang tercoret melalui kuas sang Pencipta, Penguasa alam semesta. Senja,.. usiaku pun semakin senja. Tak terasa telah 33 usiaku sekarang. Sebentar lagi aku telah menjadi wanita dengan usia berkepala 4! Betapa cepatnya waktu berlalu dan aku masih saja seperti ini, menggantung sejuta impian di langit biru dan berharap keajaiban itu akan terjadi. Keajaiban yang terus menerus bermain dalam pikirku yang sempit ini.

Kemana kah hari-hari itu perginya? Sampai-sampai aku tak merasakan perginya mereka? Kemanakah aku selama ini? Sampai-sampai tak menyadari usiaku sendiri? Ya, aku tau. Sejak 19 aku telah merasakan berhentinya usiaku di saat itu. Aku yang sekarang, tetap merasa layaknya aku yang dulu, gadis usia 19 yang penuh mimpi. Aku hanya dapat bermimpi tanpa mampu berbuat apa pun untuk meraih mimpi itu meskipun hati kecilku amat menginginkannya. Sampai sekarang pun aku terus bermimpi. Mimpi seorang wanita kesepian dengan cintanya.

Adzan maghrib mulai berkumandang dari mushola terdekat. Bergegas kututupi jendela, menarik gordyn hijau muda berbahan satin dan berganti baju. Sudah saatnya sholat. Karena dengan sholat kudapati kemurnian hati dan kedamaian jiwa. Karena dengan mendekatkan diri pada Allah aku akan merasa lebih kuat untuk merajut hidup yang tersisa ini, bersama impian-impian mulukku. Lebih kuat dari masa itu, masa dimana aku masih bersama dia, merangkai manisnya cinta di usia muda. Aku tak muda lagi, 33 tahun sudah usiaku kini. Aku seharusnya telah menjadi wanita dewasa yang mampu berpikir lebih dewasa menggunakan logika dan berdasarkan realita yang ada. Tapi?

"Ma, sholat yuk?" suara itu, suara putri tunggalku yang amat kucinta."Ayuk Rin." kami bersama-sama menuju mushola dan sholat berjamaah bersama jemaah yang lain dalam kekhusyukan do'a dan penyerahan diri secara total kepada Allah SWT, sang pemilik abadi hidup ini. Kepada Dia yang sudah memberiku hidup juga kesempatan untuk mengenal dunia secara luas dan meyiapkan waktuku untuk bertemu dengan dia dalam hidupku yang sederhana ini. Dia yang dulunya, sampai sekarang pun, telah memberiku masa yang paling indah yang pernah ku kecap.

Usai sholat aku mengajak Rini menuju warung sate ayam yang terletak di ujung gang rumah kami yang terletak di tengah pemukiman rakyat jelata namun kami berdua bahagia. Pat Mamat, si tukang sate, langsung tersenyum senang begitu melihat kedatanganku bersama Rini."Bu Citra, silahkan duduk. Pesan berapa porsi bu?" tanya pria tua itu ramah. Aku menghormati pak Mamat, tanpa memandang dirinya hanya seorang tukang sate yang mencari makan dengan menggantungkan nasib pada rejeki pembeli setiap harinya."Ma! Ditanya pak Mamat tuh, pesan berapa porsi?" aku gelagapan. Aku tau, Rini sering menemukanku sedang melamun dan terkejut begitu ditegur. Gadisku ini telah 14 usianya, sebentar lagi tumbuh menjadi remaja periang."Dua saja yah? Mama nggak makan malam ini, masih kenyang Rin. Dua saja, buat kamu dan bi Surti." jawabku segera. Rini menarik bibirnya kesal."Mama tuh harus makan biar nggak ngelamun terus!" ah dia,.. pemerhati yang jeli. Kuakui, terkadang aku tak dapat banyak komentar terhadap Rini. Rini begitu mirip dia. Pintarnya, telitinya, kritikannya, sampai pada pola pikirnya.

Pada sosok gadisku ini, aku menemui sosok dia. Mereka begitu mirip satu sama lain. Matanya, alisnya, pipinya yang tembem, sampai pada bibirnya yang penuh! Rini adalah cloning dia dan setiap kali aku menatap gadisku ini, rasa haru biru menyelubungi lubuk jiwaku, menghadirkan butir-butir air mata terbias di pelupuk. Pak Mamat telah selesai dengan satenya. Usai membayar segera kuajak Rini pulang, menikmati indahnya malam dengan taburan bintang dan senyuman manja bulan di atas langit yang menghitam.

"Ma, kenapa sih mama sering banget ngelamun?" tanya Rini padaku dengan pandangan lurus ke depan. Rini tak berani menatap mataku, entah kenapa."Masa sih? Kamu ada-ada saja deh. Kadang-kadang sih iya, tapi sering banget enggak lah." kilahku. Aku tak mau Rini mengorek apa pun dariku."Ah mama selalu begitu kalau ditanya. Rini kan sudah besar ma, sudah empat belas tahun! Mama sudah bisa berbagi bersama Rini." katanya tanpa menoleh padaku. Kulirik dia, persis sekali garis wajah mereka. Rahangnya,.. rahang yang pernah kusentuh dulu. Aku tak ingin berkomentar lebih jauh, lebih baik diam dari pada terus berdalih padanya. Itu hanya akan membuat rasa penasaran di hatinya kian menggunung! Aku tau persis sifat dia, sifat yang diturunkan secara utuh pada Rini.
Di rumah, bi Surti telah menyiapkan peralatan makan. Rini mengajak pembantu paruh baya itu makan bersama dan aku kembali ke kamarku. Di kamar ini, kamar yang kutempati sendiri tanpa dia, aku dapat melakukan apa saja. Termasuk mendengarkan alunan lagu-lagu melankolis dan hanyut bersama iringan lembut yang mengisi ruang telingaku. Memejamkan mata kemudian merasakan sentuhan dia atas diriku. Sepenuhnya aku milik dia. Dia yang telah pergi jauh bersama cinta kami.

Bersamamu kulewati lebih dari seribu malam,..Bersamamu yang kumau namun kenyataannya tak sejalan,..Tuhan bila masih kudiberi kesempatan,..Ijinkan aku untuk mencintainya,..Namun bila waktu ku telah habis dengannya,..Biar cinta hidup sekali ini saja,..Tak sanggup bila harus jujur,..Hidup tanpa hembusan nafasnya,..Tuhan bila waktu dapat kuputar kembali,..Sekali lagi untuk mencintainya,..Namun bila waktuku telah habis dengannya,..Biarkan cinta ini,.. hidup untuk sekali ini saja,..

Suara lembut Glen mengisi relung-relung hatiku yang paling dalam. Memberi kehangatan pada kisi-kisi batin yang haus akan cintanya. Hanya cinta dia, karena aku takkan pernah dapat melahirkan cinta yang baru untuk bahagia. Cukup seperti ini dan aku bahagia. Bersama cintaku, bersama Rini yang menjadi buah cinta aku dan dia. Cinta yang terlarang menurut sudut pandang orang lain, namun cinta yang indah menurut sudut pandangku sendiri. Cinta yang telah membuatku merasa lengkap menjalani hidup ini meskipun dalam kesendirian abadi.

Malam telah semakin merambat tua. Mataku semakin terasa berat diserang kantuk dan membuatku terus-terusan menguap dari tadi. Sudah saatnya aku tidur, membiarkan mata dan diri ini istirahat setelah seharian capek menjalankan tugasku. Tugas sebagai seorang ibu dan sebagai seorang pemilik dua buah warnet yang cukup maju. Detak-detak detik jam di dinding berpacu bersama jantungku dan hembusan nafasku yang mulai teratur. Letih.

-bersambung-

0 Commenti:

Posta un commento

Iscriviti a Commenti sul post [Atom]

<< Home page