sabato, marzo 20, 2004

LUV part.3

Ini hari Rabu, hari yang ditunggu Cova karena Ningsih berjanji akan datang ke Surabaya menemuinya. Pagi-pagi cowok itu bangun dan membersihkan kamar kostnya lalu mandi. Tak lupa membawa pakaian kotor ke tukang cuci. Maklum, kost Cova ga seperti kost Lisa dan Flo yang punya jasa laundrynya. Biarpun begitu, Cova enjoy kok. Lagi pula teman-teman kostnya asik-asik semua. Anak gaul yang paling tau tempat nongkrong asik di kota buaya ini. Sehabis beres-beres dan mandi, Cova berjalan kaki ke RSJ Menur. Lima menit dirinya telah nampak duduk menunggu dibawah pohon johar yang rimbun sepanjang jalan. Duduk mengaso di trotoar Cova memperhatikan sekitar, angkot yang lewat, becak, para mahasiswa dan tak lupa motor. Cova teringat tiger 2000 merah miliknya di Ende yang saat ini pasti dipakai ayahnya.

Sepuluh menit Cova menunggu, dia kehausan. Chek hp, jam sepuluh kurang lima menit, harusnya sosok Ningsih telah ada dalam pelukannya sekarang. Cova beranjak dari situ menuju warung di seberang jalan untuk membeli rokok dan sebotol coca cola. Duduk di bangku warung memperhatikan seberang jalan. RSJ Menur berdiri dengan megahnya. Siapa yang tau kalau di dalam gedung itu terdapat ratusan orang sakit jiwa? Cova terkekeh sendiri. Cowok itu mengamati semua angkot yang berhenti di sekitar pagar rumah sakit. Namun sosok Ningsih belum datang juga. Dihisapnya rokok dalam-dalam, menikmati aroma djisamsoe yang jantan. Itu lah salah satu alasan mengapa Cova memilih kost yang jauh dari Flo dan Lisa, biar dirinya bisa menikmati rokok sepuasnya. Baru kemudian Cova teringat, kenapa tidak di smsnya sang pujaan hati? Dengan tampang blo'on Cova memencet tombol hp nya. =Ningsih, kamu dimana?= Namun sayang, pesannya gagal, tak terkirim, dengan kata lain, Ningsih sedang menonaktifkan hpnya. Cova mendengus kesal. Dimatikannya hp.

Duapuluh menit lewat dari jam sepuluh, nampak sebuah mobil, mazda, berhenti di tempat Cova duduk tadi. Mata Cova menyipit, seorang wanita turun dari dalam mobil. Itu kan Ningsih?!!! Cova berdiri dan Ningsih saat itu pas melihatnya. Gadis jawa yang semakin ayu dan feminin itu menyeberang jalan menghampiri Cova. Hampir saja Cova memeluk Ningsih kalau tidak diingatnya ini di tempat umum!
"Ningsih!!!" teriak Cova, padahal gadis itu tinggal lima langkah lagi mendekatinya.
"Pst Cova .. jangan ribut! Bersikap biasa yah ... Cova, duduk lah, saya perlu bicara padamu." Cova nampak bingung.
"Bersikap biasa bagaimana? Eh, kita ke kost yuk ..." ajak Cova tak sabar, namun Ningsih menggeleng pasti.
"Cova, saya ga punya waktu banyak. Ini hal yang saya sembunyikan dari kamu selama ini, dalam sms dan telepon kamu. Cova ... saya kesini bersama suami saya, dia menunggu di mobil. Saya tadi bilang mau ketemu teman lama, dan dia bersih keras mengantar. Cova, maafkan saya yah .. saya harus menemui kamu sendiri untuk bicara, saya ga mau lewat telepon atau sms. Saat pulang kemarin, saya dijodohkan eyang kakung sama kerabatnya, saya ga bisa menolak Va, itu keputusan keluarga." bicara Ningsih cepat, tanpa nada, datar dan seperti dikejar setan. Cova seolah melihat hantu dihadapannya. Jijik pada kebohongan Ningsih selama ini! Cova ga mau bicara, menanggapi pun enggan.
"Cova, .. maafkan saya .. saya pamit .. saya ga mau suami saya curiga." Ningsih bangkit dan berlalu.
"Jangan pernah hubungi saya lagi, kamu bagi saya sudah mati!" kata-kata itu meluncur keras dari bibir Cova. Ningsih ga menoleh lagi, masuk ke mazda dan hilang seiring dengan berlalunya mazda dari situ.

Hati Cova garang bukan main. Ini kah cinta seorang gadis jawa yang selalu diagungkannya?! What a suck! Dirinya seperti barang rombeng yang dibuang ke tempat sampah tanpa ampun. Semua angan-angannya tentang kebersamaannya dan Ningsih kini terbang, hilang dikaburkan angin, menguap oleh panasnya Surabaya. Dalam hitungan menit, Ningsih merubah cintanya menjadi angkara tak bertepi. Cova tak langsung pulang ke kost. Diikuti kemana arah hatinya ingin pergi. Naik angkot dari Menur, Cova turun di Sahid dan berjalan kaki menuju Delta Plaza. Hingar bingar plaza membuat hati Cova tambah kesal. Naik turun eskalator, sempat mengisi perutnya di Pujasera, Cova jalan tanpa arah. Hatinya begitu benci melihat gadis-gadis jawa dengan dandanan modis hilir mudik tanpa tujuan. Tsah!! Jalan tanpa arah, sebentar sudah di lantai satu, lalu tiba-tiba di lantai empat. Cova seperti orang linglung. Lalu masih dengan rasa marah di hati, menjelang sore Cova akhirnya pulang. Jalan kaki lima menit ke Sahid, dan naik angkot dari situ ke Menur.

Tiba depan kost, Cova melihat Flo! Untuk apa Flo kemari? Flo menatap Cova garang. Buang waktu dari tadi hanya untuk menunggu kedatangan misannya ini. Hatinya, masih ga bisa berbohong, melihat sosok Cova, cinta yang terkubur itu seolah ingin bangkit dan berteriak.
"Cova! Dari mana saja kamu?! Saya telpon ke hp ga masuk-masuk dari tadi." semprot Flo kesal. Rupanya gadis itu telah menunggu lama. Di meja teras kost terdapat satu cangkir teh yang telah kosong.
"Apa urusanmu?!" bentak Cova. Flo menggeram marah. Dilemparinya bungkusan ditangannya ke tubuh cowok itu.
"Nih!!!! Saya kesini hanya mau bawain kiriman dari tante Ratna untuk kamu karena kebetulan hari ini saya ada kuliah siang!" Flo meraih ranselnya dan berlalu. Namun Cova lebih gesit menyeret tangannya masuk ke kost yang juga di tingkat dua, bedanya, tangga ke tingkat dua itu terletak di luar rumah. Flo berusaha melepaskan cengkeraman tangan Cova. Kesetanan Cova menghempaskan Flo di kasur dan kemudian menindih gadis itu. Dengan beringas bibir Cova menyerang wajah manis Flo. Awalnya Flo kaget, bengong. Aroma musk Cova yang jantan seperti melumpuhkan persendian tubuhnya. Namun kesadarannya pulih, dia berontak lagi, keras dan berusaha teriak, namun bibir Cova dengan buas membungkam bibirnya.

Cova ga berbuat lebih jauh dari itu. Sampai Flo lemas, menyerah pada tenaganya yang terkuras, ciuman Cova mengendur. Cova tersadar melihat air mata di pipi misannya.
"Cova, kenapa kamu lakukan ini?! Hargai saya! Hargai saya please!" Flo menangis di sudut ranjang, sedang Cova duduk lesu dihadapannya. Cova menatap Flo dalam.
"Maaf, saya terbawa emosi tadi. Tapi, toh kamu senang juga kan?! Menurut isu yang saya dengar, kamu mencintai saya ..." sekilas kata-kata Ningsih di lapangan basket saat masih smu dulu, melintas di benaknya. Flo terkejut mendengarnya. Apa Cova bisa merasakan teriakan cinta dihatinya?!
"Ga pantas Cova!!!!!" Flo menghapus air matanya.
"Apanya yang ga pantas? Kita toh sudah tunangan dan ga ada yang berani melarang saya untuk berbuat itu!" Flo terperangah. Tunangan? Hal yang sejenak dilupakannya itu terngiang di telinga. Dilihatnya cincin tunangan di jarinya. Cincin itu juga masih ada di jari Cova.
"Saya pulang .." Flo bangkit. Cova menahannya.
"Saya antar. Rapihkan dulu pakaian dan rambutmu ... saya ambil bungkusan tadi dibawah." Cova keluar kamar, mengambil titipan yang dibawa Flo tadi. Untungnya, sore itu teman-teman Cova ga nampak batang hidungnya. Kalau ga kuliah, paling juga ke warnet.

Menjelang maghrib mereka sampai di kost. Nampak banyak pasien yang mengantri. Flo sempat menyapa dokter Feri, dokter muda cakep yang praktek disitu. Cova masih ingin ikuti langkah Flo.
"Tidak Cova, disini teman cowok ga boleh masuk kluar bebas. Pulanglah, apa pun yang terjadi tadi, lupakan." Flo bilang permisi pada para pasien dan naik ke tingkat dua. Masuk ke kamar, Lisa tengah membaca buku.
"Hei! Kok pulangnya rada telat?" tanya Lisa. Flo ga tau harus bilang apa. Mengantar kiriman Cova? Kenapa bisa lama begitu? Flo merutuki dirinya sendiri, sebenarnya dia bisa saja menitipkan bungkusan itu pada pemilik kost yang berusia senja, namun ada sisi hatinya yang menolak. Dirinya menunggu.
"Uhm, tadi masih diajak Cova jalan-jalan kak." jawab Flo senormal mungkin.
"Bagus lah kalau begitu. Kalian ini tunangan, tapi kakak ga pernah sekalipun melihat Cova jemputin kamu ke sini atau telpon. Gitu dong, kalau sudah tunangan itu, harusnya lebih mesra! Kalian berdua kebanyakan diamnya sih!" nasihat Lisa mau tidak mau membuat Flo tersenyum.

Gadis itu mandi. Lama di kamar mandi, memperhatikan wajahnya di cermin. Bibir itu, tadi baru saja dilumat habis oleh bibir Cova. Flo gamang, senang kah? Atau harusnya marah? Cova punya dalih, boleh melakukan itu, karena toh mereka telah terikat cincin tunangan. Tapi cara Cova yang kasar tadi membuat otak Flo berpikir keras. Kenapa? Hal itu pantas, bila tanpa paksaan seperti tadi. Flo berontak, ga ingin diperlakukan semena-mena oleh Cova. Tadi Cova nampak marah .. marah pada siapa? Flo menggeleng lesu, menyelesaikan mandinya dan memesan satu jus tomat di kantin mini. Dibawanya gelas jus itu ke kamar.
"Mau kak?" tawarnya ke Lisa. Lisa menggeleng.
"Ga usah, makasih. Kakak harus belajar keras, besok ada ujian. Kamu minum aja, nanti jam delapan kita cari makan di luar, oke? Sekarang kakak belajar dulu." Flo mengangguk setuju, tiduran di kasur. Besok ada kuliah pagi, namun enggan rasanya kalau harus bangun pagi-pagi untuk kuliah jam setengah delapan itu. Tak berapa saat Ruly meneleponnya, disusul kemudian sms dari Nia. Flo senang pada kedua temannya itu. Merek bertiga selalu kompak. Hp Flo bergetar ... dirinya sengaja ga pakai nada, takut mengganggu konsentrasi belajar kakaknya.

=Flo, maafkan saya. Sikap saya tadi sore, memalukan. Besok kuliah apa? Saya mau ngajak kamu keluar==Cova Hp. Flo membaca sms itu berulang kali. Angin apa gerangan yang menggerakkan hati cowok itu untuk sms? Flo menarik napas panjang. Jerit-jerit kecil dari dasar hatinya kembali menguak setelah sekian bulan diterlantarkan. Ciuman Cova kembali melintasi benaknya. Flo merutuki dirinya lagi. Rasa cinta itu ga bisa pergi juga dari hatinya. Cova adalah malaikat pelindung yang 'dulu' selalu menjaganya tanpa letih. Cinta itu tumbuh dengan bebasnya, sampai Ningsih masuk dalam ruang gerak mereka. Flo merasa tersingkir dan berusaha mengubur cinta itu dalam-dalam. Sayang, cinta itu tak mau pergi juga. Bahkan setelah kejadian yang cukup memalukan tadi, dia seakan bersemi lagi dan lagi di dalam hati Flo.

"Makan yuk!" Lisa membuyarkan lamunannya. Flo meraih sandal dan mengikuti kakaknya keluar kost menuju warung nasi goreng yang aromanya tercium kemana-mana. Flo memilih nasi goreng biasa, ga pakai telur ceplok, bukan nasgorkam apalagi pakai ayam goreng crispy. Sedangkan Lisa memilih nasgorkam yang nyumi itu.
"Gimana kuliahmu Flo? Lancar?" tanya Lisa saat pesanan telah di depan mata. Flo menyeruput teh botol.
"Lancar kak. Bahkan terkesan saya lah yang paling pintar di kelas hehehe. Semua mata kuliah yang saya ambil rasanya tak begitu sulit." jelas Flo sembari mengunyah.
"Baguslah kalau begitu. Kalau ada kesulitan apa-apa, tanya ke kakak saja, kalau kakak bisa, pasti dibantu deh. Oke? Oh iya, hari minggu nanti kita jalan-jalan ke TP yuk! Cuci mata sekaligus bikin fresh otak. Puyeng nih kakak belajar terus." tawar Lisa. Mata Flo berbinar.
"Asikkk boleh boleh. Saya terhitung dua kali ini dong ke TP hihihi. Kampungan banget yah kak?" ujar Flo cekikikan. Lisa tertawa sambil mengacak rambut adiknya.
"Itu justru bagus! Artinya kamu sungguh-sungguh kuliahnya! Ingat, perusahaan orang tua kita membutuhkan tenaga handal sepertimu utnuk memanage dan melanjutkan usaha mereka kelak." Flo mengangguk mantap.
"Nanti sekalian ajak Cova. Kita bertiga saja ke sana." Cova .... Flo kembali teringat pada ciuman itu. Hatinya bergetar, seperti ada arus listrik yang masuk ke dalam tubuhnya. Flo seperti melayang bila mengingatnya. Tapi dihati Cova ada Ningsih. Flo tau, Cova lebih menyukai cewek jawa, bahkan mencintai Ningsih setengah mati. Dari mana Cova tau kalau dirinya mencintai cowok ganteng itu? Flo ingat kata-kata Cova tadi, "Maaf, saya terbawa emosi tadi. Tapi, toh kamu senang juga kan?! Menurut isu yang saya dengar, kamu mencintai saya ..." Whatever Cova .. saya memang mencintai kamu, dan sialnya cinta ini tak mau pergi juga meskipun telah diusir!!!!

Setelah mengisi perut, Lisa dan Flo pulang ke kost. Sempat ngobrol sebentar sama Wilda dan Heni, dua teman mereka di lantai atas. Saling goda dan ketawa ketiwi. Saat jam di ruang bawah berdentang sepuluh kali Lisa benar-benar menguap dan keduanya pamit tidur.
Malam itu Flo ga bisa tidur. Pikirannya melayang ke langit ke tujuh, delapan, sembilan dan seterusnya. Kejadian tadi lagi-lagi mengganggu pikirannya dan membuatnya ga bisa memejamkan mata. Diingatnya ajakan Cova untuk keluar besok, Flo meraih hpnya mengirim satu sms ke Cova =Va, jalan2nya nanti hari minggu, sekalian keluar sama kak Lisa=, terkirim. Lewat tengah malam baru gadis itu bisa tertidur.

Jauh dari situ, di kost Cova, cowok itu tengah melamun, duduk di balkon dan menatap bintang yang bertaburan di langit. Tumben malam itu banyak bintang. Langit Surabaya yang tercemar biasanya enggan disinggahi bintang. Pikiran Cova kembali pada kejadian hari ini. Pada Ningsih yang sekarang dibencinya bukan main! Hasratnya pada cewek jawa hilang sudah. Kebohongan gadis itu membuat Cova geram bukan main. Sialnya saat hatinya masih kesal, Flo malah melemparinya dengan bungkusan yang isinya satu kaleng sambal goreng hati kegemarannya dan kripik pisang yang selalu dicemilnya di Ende. Juga ada surat dari ibunya yang mengharapkan hubungannya dengan Flo baik-baik saja. Cova diharapkan bisa menjaga Flo dan Lisa tentunya selama di Surabaya. Hampir saja tadi dia tak mampu memenuhi permintaan isi surat ibunya yang telat dibaca itu. Cova ingat bagaiman Flo memohon padanya untuk menghargai gadis itu. Menghargai perasaannya kah? Betulkan kata Ningsih dulu. kalau Flo sebenarnya mencintai dirinya? Sikap marah Flo saat mereka jadian rasanya cukup membuat pikiran Cova terbuka. Cova menghabiskan lima batang rokok sebelum akhirnya diserang kantuk dan masuk kamar. Ketika hampir tertidur, hpnya berbunyi =Va, jalan2nya nanti hari minggu, sekalian keluar sama kak Lisa= Cova trus tertidur, mimpi ... diterbangkan ke alam mimpi yang tak terjamah sebelumnya.

To be continued!!

0 Commenti:

Posta un commento

Iscriviti a Commenti sul post [Atom]

<< Home page