martedì, marzo 02, 2004

OH LIFE, SO BEAUTIFULL

Manda memacu sepeda federal metaliknya penuh semangat. Kegiatannya setiap pagi setelah sarapan secangkir kopi adalah memacu sepeda birunya itu dengan semangat hidup tinggi menuju toko buku yang terlekat di dekat pasar buah. Toko buku mungil itu nampak mencolok karena merupakan satu-satunya toko buku di tengah pasar buah. Cewek dengan rambut berkepang dua itu setiap harinya berkerja dengan mengelola toko buku mungil peninggalan bundanya. Bunda yang sebelum meninggal mewasiatkan semua miliknya kepada Manda. Rumah Manda yang dibeli ayah atas nama dirinya saat ini dikontrakan kepada suami istri pekerja yang jatuh hati sama model rumah yang sedikit kuno dan dekat dengan tempat kerja mereka. Manda setuju mengontrakan rumah itu, lagian dia sendiri capek kalau harus mengurusi rumah sebesar itu. Sebagai gantinya, Manda menyewa satu kamar kost besar yang punya kamar mandi nya sendiri. Biar lebih privacy.

Manda sendiri telah ditinggalkan ayah tercinta saat masih berumur lima tahun. Untunglah, sebelum meninggal ayah telah membeli tanah beserta rumah atas nama putri tunggalnya, Manda. Bunda, setelah ditinggal pergi ayah harus bekerja sendiri membanting tulang dengan mengelola toko buku mungil di pasar buah. Bunda wanita yang ulet, mampu membesarkan dan mendidik Manda dengan kedua tangannya sendiri, tanpa bantuan keluarga. Mengingat saat menikah dulu, ayah memberontak dari keluarganya. Pihak kakek nenek (dari ayah) tidak menyetujui ayah menikahi bunda. Dengan alasan bunda berasal dari kalangan rendah, rakyat biasa yang tidak memiliki harta sama sekali. Mereka mempunyai pilihan sendiri untuk ayah, wanita yang masih saudara jauh ayah, yang memiliki perusahaan sendiri. Untunglah, sebagai pegawai negeri, gaji pensiun ayah tidak sedikit. Setiap bulannya Manda mengambil gaji pensiun ayah dan ditabung, hidupnya dapat berjalan dari keuntungan toko buku. Biaya hidup untuk satu orang memang kecil, Manda sanggup menghidupi dirinya sendiri setelah bunda akhirnya pergi meninggalkannya dua bulan sebelum dirinya tamat smu. Manda sendiri tidak punya keinginan untuk kuliah. Lebih suka mengelola toko buku.

Oma opa dari pihak bunda, yang berada di Ujung Pandang telah berkali-kali memanggilnya pulang. Merek tau, di kota metropolis mana mungkin cucu mereka mendapat perhatian dari pihak keluarga ayah. Namun Manda bersih keras tetap tinggal di dalam hingar bingarnya metropolis. Berusaha menghidupi dirinya sendiri. Dia berjanji, bila saatnya nanti sudah tidak mampu menghidupi dirinya lagi, dia bakal pindah ke Ujung Pandang dan harus kuliah di sana, seperti perintah opa. Setiap bulannya, opa dan oma masih mengirimkan uang untuk Manda. Karena bunda adalah seorang putri tunggal juga, maka opa dan oma merasa wajib mengirim sejumlah nominal setiap bulannya. Semuanya ditabung oleh cewek dengan rambut berkepang dua itu. Kalau belum butuh, mending uangnya ditabung saja, begitu selalu kata hatinya.

Pagi ini Manda datang lebih dahulu. Toko bunga bu Intan yang terletak di depan toko bukunya belum buka. Demikian juga dengan toko bunga pak Atmo dan mbak Heli. Manda tersenyum lega. Selalu diingatnya kata bunda, bangunlah sebelum ayam berkokok, bukalah toko sebelum orang lain membuka toko mereka dan jangan lupa berdo'a. Manda tersenyum puas. Dibukanya pintu toko mungil itu, mulai menata buku-buku sesuai kelompoknya masing-masing. Buku masakan, buku cerita anak-anak, novel dan majalah. Sepuluh menit pekerjaannya telah selesai. Manda masih menunggu warung dekat pasar bunga buka. Kalau di rumah Manda hanya sarapan dengan secangkir kopi, di pasar Manda terbiasa sarapan nasi campur pinggir jalan yang rasanya lumayan enak. Hidup mandiri begitu, ngapain susah kan? Diletakkan ransel ke dalam laci meja dan duduk santai sambil denger radio. Kegiatan rutinnya setiap pagi.

Keasyikannya mendengar radio terganggu saat bu Intan datang.
"Halo non Manda!!" sapa bu Intan ramah. Manda menyukai wanita bertubuh gemuk ini. Orangnya ramah dan suka berbagi. Apa saja yang dipunyainya pasti dibagi untuk Manda. Dulu semasa bunda masih hidup, bu Intan adalah teman dekat bunda. Saling berbagi adalah kegiatan kedua ibu itu sebelum pasar mulai ramai.
"Pagi bu Intan! Semoga hari ini ramai yah ..." jawab Manda sopan. Bu Intan tersenyum bijak sambil membuka pintu toko bunganya.
"Insya Allah, amiennnn hehehe." balas bu Intan tulus. Manda kembali mendengarkan radio. Lalu mulai bermunculan mbak Heli dan pak Atmo. Juga pedagang bunga lainnya. Well, meskipun mereka berusaha di bidang yang sama, rejeki siapa yang tau kan? Kecuali Manda, dia betul-betul beda usaha. Pasar mulai ramai dengan celoteh para pedagang. Warung dekat pasar pun mulai nampak aktifitasnya. Manda memegangi perutnya yang kriuk kriuk.

Saat Manda hendak memesan nasi ke warung itu, mbak Heli menghampirinya dengan dua rantang makanan.
"Manda, nih mbak bawakan nasi kuning dari rumah. Enak loh hehehe. Bikinan emak di rumah. Cobain yah! Ga usah beli nasi di depan dulu." Manda tersenyum haru. Orang-orang ini, yang berada di sekelilingnya adalah orang-orang sederhana namun berhati mulia. Manda menerima rantangan berisi nasi kuning plus lauknya dari tangan mbak Heli.
"Wah, makasih banget yah mbak hehehe. Manda sih ga bisa bawa beginian dari kost. Di sana hanya ada kopi dan gula hahaha." mereka tertawa. Tak berapa lama bu Intan gabung di depan toko buku Manda, ngobrol ngalor ngidul.

Ketika ketiganya lagi serius ngobrol tentang apa saja, munculah beberapa pria, pria muda berpakaian necis ke situ. Mbak Heli langsung menyikut Manda.
"Man, yang tengah cakep loh, masih muda lagi hihihi ..." mbak Heli cekikikan. bu Intan meng-iya kan. Manda mengalihkan perhatiannya dari nasi kuning ke pria muda itu. Tinggi, hidungnya mancung dengan pakaian resmi yang bagus. Terlalu pagi untuk membeli bunga, begitu batin Manda. Sesaat mata Manda dan pria itu bersirobok, pria itu menatap tajam ke arah tokonya! Toko buku mungilnya. Pria itu menghampiri mereka. Mbak Heli tersenyum manis.
"Selamat pagi. Maaf pagi-pagi saya mengganggu. Apa ada yang tau siapa pemilik toko buku ini?" tanya pria itu sopan. Tutur katanya manis. Dari cara dia berbicara nampak kalau dia terbiasa berbicara di depan umum. Tidak grogi dan sangat sangat tenang.
"Saya." jawab Manda mantap. Diletakannya rantang di meja toko. Lalu kembali menjumpai pria itu.
"Ada yang bisa saya bantu pak?" tanya Manda tak kalah sopan. Well, meskipun dirinya bukan anak kuliahan, namun kesopanan dan tata cara berbicara selalu diterapkannya dengan baik. Ajaran bunda tercinta.
"Oh.. kamu?" tanya pria itu tidak percaya. Manda menggangguk mantap.
"Iya, saya pak. Ada apa?" tanya Manda. Hatinya mulai terasa tidak enak. Gelagat pria di hadapannya ini bukan seperti pembeli yang mencari novel picisan atau majalah lokal.

Pria itu duduk di bangku plastik. Manda ikutan duduk. Pria ini membuatnya resah bukan main.
"Uhm, maaf, nama kamu bu Wisnu?" tanya pria itu. Bu Wisnu adalah panggilan untuk bunda di pasar bunga. Diambil dari nama ayah, Wisnu Duarta.
"Bukan, saya Manda, anak bunda. Bunda telah meninggal dan saya lah yang mengelola toko buku ini." jawab Manda sesantai mungkin. Dia tak ingin pria di hadapannya tau kalau hatinya sedang berdegup kencang. Bukan karena si pria yang gentle, namun takut, ada apa dibalik semua ini.
"Oh .. baiklah. Saya orang baru." pria itu mengulurkan tangannya, disambut Manda. Ya taulah dirimu orang baru, batin Manda. Teman-teman pria itu entah menghilang kemana. Mencari bunga atau ...
"Uhm, mungkin kamu ga kenal saya, saya saudara sepupu kamu." Manda tersentak! Saudara sepupu? Dari mana kah datangnya? Mata Manda membulat tak percaya. Terbiasa hidup sendiri sebagai anak tunggal tanpa saudara, apalagi saudara sepupu, itu membuat jantung Manda seolah dipacu lebih cepat.
"Sepupu?!!!!!!!!!!!!!!" hampir saja Manda berteriak. Entah karena senang atau lebih tepatnya kaget.
"Ya, saya anak Heru S. Duarta, kakak ayah kamu." dunia seolah berputar. Hidupnya yang tenang seolah dirusak ribuan kumbang. Manda memang tak tahu menahu soal keluarga ayah. Kata bunda dulu, tak usah mencari sanak saudara dari pihak ayah, mereka tidak mau mengenal kita. Mereka memiliki hidup papan atas yang lain dari kita. Ayah hanya pegawai negeri biasa yang meninggal di usia muda. Ayah lebih memilih menjadi pegawai negeri biasa yang diperintah atasan ketimbang menjadi direktur salah satu perusahaan kakek. Jadi, Manda memang tidak tahu menahu soal Heru S. Duarta juga soal kakek neneknya yang dikenal lewat foto. Ah, foto itu pun rasanya sudah raib.
"Saya Wisnu." Manda kembali dibikin kaget. Wisnu? Otak Manda belum mampu dipaksa berpikir. Dari mana mereka tahu soal kami? Soal bunda? Soal toko buku ini? Manda bengong.
"Hei, jangan bengong gitu dong. Saya lega, akhirnya bisa menemukan toko buku ini juga. Tadi pagi-pagi sekali saya ke rumah paman Wisnu, namun suami istri yang tinggal disana mengatakan kalau rumah itu telah dikontrak mereka dan pemiliknya tinggal di sebuah kost. Saya ke tempat kost kamu, namun kamu ga ada. Kata pemilik kost, setiap pagi kamu sudah ke toko buku. Saya kesini, awalnya saya langsung tau, kamu pasti Manda, anak paman Wisnu, tapi saya pura-pura menanyakan soal bu Wisnu, bibi saya." Manda tambah bengong.

Ini adalah hal yang tidak diduga olehnya sama sekali. Bertemu sanak saudara dari pihak ayah. Malah anak dari pamannya sendiri. Lebih mengherankan lagi, dia diberi nama persis nama ayah, ditambahi S, Sosial Duarta. Wisnu S. Duarta. Manda memandang lekat-lekat wajah gentle dihadapannya. Dunia memang selebar daun kelor.
"Saya cari kamu, dipanggil kakek." itu kata-kata yang paling tidak ingin didengarnya. Kakek memanggilnya? Kakek yang pernah menghina bunda? Kakek yang selama ini telah membuang ayah dari hidup mereka yang bergelimang harta?
"Untuk apa? Apa saya harus percaya kamu adalah saudara sepupu saya? Apa saya harus percaya saya dipanggil kakek? Saya memang tau, saya memiliki kakek dan nenek yang tidak merasa memiliki saya. Mereka menolak ayah dan bunda. Saya sendiri tidak tau kalau ayah memiliki berapa saudara? Berapa adik? Berapa kakak? Saya bingung." jawab Manda. Pria itu tersenyum.
"Kamu boleh tidak percaya bahkan mengingkari kakek dan nenek, juga papa saya dan saudara paman Wisnu yang lain. Tapi darah Duarta mengalir dalam tubuh kamu dan itu ga bisa kamu pungkiri." kata Wisnu tajam. Setajam matanya yang menikam bening bola mata Manda.
"Saya tidak mengingkari mereka! Tapi mereka lah yang mengingkari kami! Mengingkari ayah, bunda dan saya!!!!! Saya mohon, pergi saja dari hadapan saya, pergi jauh dari hidup saya yang tenang ini." Manda meneteskan air mata. Hatinya teriris-iris. Ini luka masa lalu yang berdarah kembali. Luka ayah dan bunda, lukanya juga. Manda masuk ke dalam toko, duduk di kursinya, telungkup di meja dan menangis. Suara berita di radio terdengar. Manda tak peduli, dunianya seolah berhenti.

Bu Intan, mbak Heli dan pak Atmo yang diam-diam menyaksikan tontonan gratis itu menghampiri Wisnu. Entah apa yang mereka bicarakan, Wisnu kemudian pulang bersama beberapan temannya. Teman? Atau bodyguard? Manda tak peduli. Dia menangis. Bu Intan menemaninya di dalam toko. Membelai lembut kunciran rambutnya dan berusaha menenangkannya. Manda masih terus menangis. Sampai dirasakannya air mata seolah bosan keluar, Manda mengangkat muka. Dipandangnya bu Intan yang baik hati itu.
"Bu .. saya ga tau harus bilang apa. Mereka tiba-tiba datang dan mengusik hidup saya .. saya benci mereka!!!!" kata Manda, melepas uneg-unegnya.
"Ibu mengerti. Ibu mengerti semuanya. Bunda mu dulu juga pernah bercerita pada ibu soal sikap mereka yang menolak bunda dan ayahmu. Barangkali kini kakek nenek mu telah sadar nak. Mereka ingin menebus kesalahan di masa lalu. Karena kedua orangtuamu telah tiada, maka kamu lah yang dicari mereka." hibur bu Intan. Namun Manda menggeleng lemah.
"Tidak bu, kalau saya mau, saya lebih memilih pindah ke Ujung Pandang, ke rumah opa dan oma yang selama ini memperhatikan saya dari jauh." kata Manda mantap. Bu Intan masih memberi nasihat-nasihat lagi pada cewek itu. Saat pasar benar-benar ramai, bu Intan kembali ke tokonya.

Hari itu dilewati Manda dengan perasaan yang tak menentu. Dilayaninya orang-orang yang membeli buku dengan ramah dan penuh senyum. Tapi tidak dihatinya. Hatinya sakit. Hari itu Manda memesan beberapa buku pada Tohir, penyedia buku untuk toko buku mungilnya. Setelah beres semua, Manda berniat menutup toko lebih siang.
"Loh, belum jam empat loh." tegur mbak Heli dan pak Atmo saat Manda mulai membereskan buku-buku untuk disimpan kembali ke dalam toko.
"Masih ada urusan yang harus saya selesaikan ... sampai ketemu besok yah mbak Heli, makasih atas nasi kuningnya, pak Atmo, jaya terus hehehe, bu Intan, saya pulang yah ..." setelah mengunci dan menggembok tokonya Manda mengambil sepeda federal biru metaliknya di tempat penitipan dan mengayuh sepeda itu pulang. Pulang!!

Tiba di kost Manda memasukan sepeda ke halaman belakang kost dan menguncinya disana. Masuk ke tempat kost, ibu pemilik kost menghampirinya.
"Manda, tadi ada orang yang mencarimu kesini." ceritanya. Manda tersenyum.
"Iya, sudah kok bu, tadi ketemu di toko." jawab Manda lagi. Ibu kost kemudian menyerahkan satu bungkusan besar untuknya.
"Apa ini bu?" tanya Manda tak mengerti.
"Orang itu datang lagi kesini, lalu menitipkan ini untukmu." Manda menerima bungkusan itu, masuk kamar. Diletakkannya bungkusan itu di ranjang, ke kamar mandi dan mandi.

Selesai mandi Manda duduk santai di depan komputernya. Namun pikirannya teralih pada bungkusan besar di ranjang. Diambilnya bungkusan itu lalu dibuka. Isinya sebuah boneka panda berbulu putih dengan pita pink di lehernya dan sebuah album foto yang ukurannya juga besar. Manda tersentak. Dibukanya album itu satu persatu. Memorinya melayang pada ayah dan bunda. Disitu, ada foto keluarga besar ayahnya, ada kakek dan nenek, ayah, seorang pria dan seorang wanita. Dibawah foto tersebut ada tulisan tangan. INI FOTO KAKEK, NENEK, PAMAN HERU, AYAHMU DAN BIBI RINI. Oh, jadi ini lah keluarganya? Keluarga yang pernah menolak mereka? Selanjutnya masih ada foto ayah diwisuda, saat main softball bersama paman Heru, saat ulang tahun tante Rini dan yang terakhir, foto pernikahan ayah dan bunda. Dibawah foto itu ada foto seorang bayi mungil. Itu dirinya! Manda tersentak lagi. Dibagian belakang album, pada kertas putihnya tertulis, MANDA, KAKEK DAN NENEK MEMOHON MAAFMU. KAMI TAK MUNGKIN MEMOHON MAAF KEDUA ORANGTUAMU, KARENA MEREKA TELAH PERGI JAUH DARI KITA, NAMUN MEREKA SELALU DEKAT DI HATI KAMI. MEREKA ADALAH ANAK-ANAK KAMI JUGA. SAYANG, KESALAHAN DIMASA LALU, KESALAHAN KAKEK DAN NENEK TELAH MENYEBABKAN TALI SILATURAHMI KITA TERPUTUS. MAAFKAN KAMI ... DATANGLAH UNTUK KAMI. SALAM SAYANG, KAKEK DAN NENEK. Mata Manda berair lagi. Dia menangis. Hidupnya yang sendiri, menikmati sepi sendiri, kini dimasuki orang-orang dari masa lalu. Ah, Manda terharu sebenarnya. Ditutupnya album itu dan disimpan di lemari, bersama boneka pandanya. Tak dipercayainya, selama ini dia hidup tanpa belaian sayang seorang nenek dan nasihat seorang kakek, tanpa paman dan bibi. Yang dikenalnya hanya opa dan oma di Ujung Pandang. Karena ibu adalah anak tunggal opa dan oma, dari pihak opa dan oma Manda memang tidak memiliki paman dan bibi kandung. Manda pusing memikirkan ini semua. Cewek itu lalu jatuh tertidur dengan segudang perasaan tak menentu.

Saat adzan Subuh berkumandang, Manda terjaga. Langsung mandi dan sholat Subuh. Manda kemudian keluar kamar, ke dapur, menyediakan mi goreng instant dan telur ceplok untuk dirinya. Lapar. Itu yang dirasakannya. Tidur sejak sore hingga pagi. What a hell? Batin Manda sendiri. Selesai sarapan Manda membersihkan perangkat yang dipakainya tadi dan kembali ke kamar. Ngopi sejenak, diambilnya ransel dan keluar mengunci kamar. Ibu kost sempat menanyakan keadaannya, soalnya dia tidak keluar kamar sejak sore kemarin. Manda hanya tertawa dengan alasan sedikit sakit kepala.

Pagi ini dipacunya sepeda federal biru metaliknya dengan semangat. Semangat yang sama setiap paginya. Semangat menjalani hidup untuk sesuatu yang lebih baik dari kemarin. Manda tiba di pasar bunga, menitipkan sepeda dan membuka toko, mulai menata buku-buku ke tempatnya dan menghidupkan radio kesayangannya, radio yang selalu menemaninya di toko, ditengah riuh nya pasar bunga. Tiga puluh menit kemudian pasar mulai ramai. Bu Intan, pak Atmo dan mbak Heli pun telah memulai aktifitasnya. Karena telah sarapan mi instant di kost, Manda tidak ikutan memesan nasi campur di warung. Sambil menunggu pembeli, pikiran Manda terbagi. Kejadian kemarin pagi sampai yang dilihatnya kemarin sore. Semua itu untuk sebuah maaf. Maaf dari seorang cucu yang amat diharapkan kakek dan neneknya, juga paman dan bibinya. Bahkan dari sepupunya sendiri! Manda menarik napas panjang seolah ingin menarik semua masalah ini pulang, tak usah datang dalam hidupnya. Hidupnya yang sendiri.

Manda tersentak saat bu Intan meneriakan namanya dengan keras dan berlari menuju toko bukunya.
"Ada apa bu? Kok ..." bu Intan menetralkan napasnya yang memburu.
"Mandaaaaaaaaaaaa ... kakek nenekmu!!!!!!!! Mereka baru turun dari mobil bersama Wisnu, sepupumu yang kemarin. Kakekmu di kursi roda Manda!!!" napas bu Intan kembali ngosngosan. Berikutnya mbak Heli ikut masuk ke toko bukunya, pak Atmo menunggu di luar. Manda tau, sikap mereka ini alami, mereka menjaganya selama ini. Mereka melindunginya! Melindunginya dari orang jahat itu pasti, tapi dari kakek neneknya sendiri? Manda mendesah.
"Assalamu'alaikum ... Manda ..." Wisnu berdiri di depan toko buku, disamping pak Atmo. Nampak pria tua di kursi roda. Pria tua itu nampak letih, duduk tak berdaya di kursi roda. Itulah Duarta, kakeknya sendiri. Dibelakangnya seorang ibu tua namun masih terlihat cantik berdiri dengan air mata berlinang. Itulah kakek dan neneknya!!!! Hati Manda tersentuh.
"Kakek? Nenek? Wisnu .. " diam. Semua terdiam. Nenek yang lebih dahulu pecah tangisnya. Tangis bahagia. Nenek menyeruak ke dalam toko, Manda berdiri, hambur ke dalam pelukan neneknya. Ego dan keras hatinya runtuh saat itu juga.

"Manda cucu nenek sayang .. Manda ... " jerit nenek histeris. Manda berlinang air mata. Semua yang ada disitu juga turut berlinang air mata. Haru dan bahagia lebur jadi satu dalam pertemuan yang tak disangka-sangka itu.
"Kakekk .. kakek ..." Manda melepaskan pelukan hangat nenek dan berhambur ke arah kakek. Berlutut di depan kursi rodanya, mencium lututnya dan menangis disitu. Seorang Duarta yang gagah di masa jayanya menitikan air mata, dirangkul pundak cucunya.
"Manda, cucu kakek, maafkan kakek ya sayang ... maafkan kakek." hanya itu, namun mewakili semua perasaan sang kakek. Manda berlutut, bersimpuh di atas lantai pasar yang kotor, mencium lutut kakeknya berulang-ulang. Semua egonya hilang, lenyap entah kemana. Yang ada saat ini adalah kebahagiaan terbesar dalam hidupnya, bertemu dengan kakek dan neneknya untuk pertama kali dalam hidupnya!

Dari luar pasar, datang mobil kedua. Turun lah paman Heru dan bibi Rini. Kedua berhamburan ke arah sang papa, papa mereka yang tengah menitikan air mata diciumi lututnya oleh Manda, cucu yang pernah mereka tolak dan singkirkan dari silsilah Duarta.
"Manda, ini paman ... " Heru S. Duarta meraih pundak Manda, memeluknya penuh sayang. Manda terus menangis. Mereka ditonton hampir seluruh pedagang bunga yang ada disitu.
"Manda sayang, ini bibi Rini sayang .. ini bibi mu .. maafkan kakek dan nenek yah sayang? Maafkan kami semua .." Rini Duarta merangkul Manda penuh cinta. Diciuminya pipi ponakannya itu. Anak dari kakaknya sendiri, Wisnu Duarta.

Hari itu juga Manda dilarang membuka toko, Manda diboyong ke rumah kakek dan neneknya yang bagai istana. Wisnu membeli hampir semua bunga yang dijual bu Intan, mbak Heli dan pak Atmo. Wisnu membawa bunga-bunga itu pulang. Manda menyaksikan rumah besar itu. Sangat besar. Hampir sepuluh kali dari rumah yang dibeli ayah atas namanya. Hampir sepuluh kali dari rumah yang ditinggalinya berdua dengan ibu berbagi suka dan duka. Manda bahagia. Senyumnya seperti mawar pak Atmo yang segar, binar matanya seperti tulip mbak Heli yang menawan, bahagianya seperti melati putih yang dijual bu Intan. Manda duduk ditengah keluarga Duarta, keluarga ayahnya.

Milyaran kata pun rasanya tak cukup untuk mewakili kebahagiaan terbesar dalam hidup keluarga Duarta. Duarta tua yang masih nampak gagah duduk di kursi rodanya tanpa melepaskan tatapan dari cucu nya yang 'hilang' itu. Nenek duduk disamping Manda dengan tangan terus membelai rambut cewek itu. Paman Heru duduk bersama istrinya dan Wisnu, putra mereka yang namanya diambil dari nama ayah Manda. Bibi Rini yang memang belum menikah ikut duduk disisi Manda menggenggam jemari cewek itu seakan tak ingin dilepas lagi. Tak ingin ponakannya pergi dari sisinya. Yang kurang dari hari itu mungkin wujud nyata dari ayah dan bundanya. Namun dari lubuk hatinya yang paling dalam Manda yakin, saat ini kedua orangtuanya tengah berada bersama mereka, tersenyum bahagia untuk hidup yang indah ini. Oh life, so beautiful. When I go on my way, alone with no one with me, I feel happy. But when I'm here with them, I feel the big happiness in my life. Manda tersenyum. Oh, life!!! So beautiful!!


tootyee, 18 Feb 2004
Isn't it? Life so beautiful ....

0 Commenti:

Posta un commento

Iscriviti a Commenti sul post [Atom]

<< Home page