venerdì, febbraio 27, 2004

C R A Z Y

Itu kata-kata yang keluar dari pikiran saya setiap kali saya berpapasan dengan sosoknya. Gila, memang gila, gimana ga gila, dia itu cowok terkeren di kantor ini. Dia itu atasan saya. Saya hanya sekretaris biasa. Ga cantik, ga tinggi, dengan ukuran kaki yang berbeda. Saya cacat di bagian itu. Herannya, dulu pak Hendro dengan tangan terbuka menerima lamaran kerja saya sebagai sekretarisnya. Apakah saat itu matanya sedang buta sesaat atau karena memang dia lagi butuh sekretaris, saya langsung diterima kerja setelah melewati sesion wawancara.

I must be crazy, karena setiap kali saya berhadapan dengannya, tubuh saya keringatan karena ac sama sekali ga bisa mengademkan tubuh ini. Setiap kali pak Hendro menatap saya, entah berterima kasih atas kerja yang memuaskan atau karena sebal sama kerjaan yang ga beres, tubuh saya bergetar. I must be crazy! Dia bos saya meskipun usia kita ga beda jauh. Dia bos muda dengan segudang kepintaran. Makanya perusahaan konstruksi yang dibangunnya ini sukses berat. Pak Hendro memulai semuanya dari nol besar. Kesuksesan yang diraihnya sekarang ini adalah bukti nyata dari kerja kerasnya selama ini.

My alarm bawah sadar berbunyi. Saya tengadah, betul, Pak Hendro saat ini sedang berdiri di hadapan saya dengan setumpuk map. Saya berdiri, dengan susah payah. Kaki saya selalu sulit diajak berdiri dengan cepat.
"Wid, saya harap urusan ardin perusahaan ini bisa selesai secepatnya. Masa sih urusan segini gampang ga bisa diselesaikan?" saya, lagi-lagi keringatan. Gerah rasanya berhadapan dengan raksasa ganteng di hadapan saya ini.
"Iya pak, akan segera saya selesaikan dengan bagian administrasi." jawab saya patuh. Takut-takut saya tatap matanya. Oh my god!
"Oke. Saya mau keluar makan siang dulu. Nanti sore ada agenda apa?" tanya pak Hendro tegas.
"Jam empat meeting dengan bapak Bupati, mengenai kontrak perbaikan jalan Kabupaten yang rusak." jawab saya. Dia manggut-manggut.
"Ya udah kalau gitu, jam empat saya kesana. Langsung ke ruang rapat Bupati kan?" entah itu pertanyaan atau pernyataan. Kan bukan baru sekali pak Hendro meeting sama pak Bupati. Saya mengangguk lemah. Selemah kaki saya yang selalu tidak kuat berdiri lama.
Thanks God, pak Hendro akhirnya berlalu dari meja saya. Untung meja saya berada di luar ruang kantornya. Jangan sampai deh saya seruangan dengannya. Bisa mati berdiri saya. Di kota kabupaten ini, perusahaan konstruksi pak Hendro termasuk yang paling elite. Bangunannya elit, interiornya bagus. Sistem kerja yang diterapkannya sendiri juga mantap.

Malam telah merambat turun saat saya selesaikan satu surat terakhir yang memang harus selesai hari ini juga. Surat-surat permohonan rekanan kerja, pajak, ngatur agenda pak Hendro dan lain-lainnya sering membuat kaki saya menjerit. Ugh, saya cepat-cepat membereskan meja, mematikan komputer dan mengunci laci. Setelah pamit pada satpam jaga malam itu saya pulang. Jalan kaki. Rumah saya hanya berjarak beberapa meter dari tempat kerja. Saya paksa kaki saya yang cacat untuk berjalan. Kaki yang besar sebelah ini telah menjadi bagian dari diri saya sejak lahir. Sebenarnya ga terlalu nampak perbedaannya kalau ukuran panjang keduanya sama. Phew, ini lah saya, Widi, si cacat kaki yang suka berdebar-debar hatinya bila berdekatan dengan si bos yang bak coverboy raksasa itu. I must be crazy!

Mana mau sih pak Hendro menatap saya meskipun dengan sebelah matanya saja? Kalau pun harus menatap saya, itu masih dalam urusan kerja, ga ada hubungannya sama urusan pribadi. Kadang saya saja yang sering kege-eran bila pak Hendro mengirimkan buah & cake ke rumah. Apalagi setelah kita menang tender besar. Pak Hendro bahkan tanpa sungkan mengajak saya makan malam bersama. Katanya kesuksesan perusahaannya adalah berkat kerja saya juga. Iya sih, kalau dihitung-hitung, kerjaan saya memang paling banyak. Ada saja yang harus saya kerjakan setiap harinya. Bahkan sering kerjaan yang bukan bidang saya pun harus saya selesaikan. Pak Hendro menaruh kepercayaan besar pada saya.

Apakah karena itu saya jadi ga karuan bila berhadapan dengannya? Ah, sadar dong, saya bukan apa-apa. Saya bukan tipe gadis idaman pak Hendro. Saya cacat dan ga cantik. Banyak cewek-cewek cakep nan modis yang datang ke kantor bertemu pak Hendro. Saya sering menderang derai tawa mereka dari dalam ruang kerjanya. Banyak pula cewek yang menelepon. Well, lebih banyak masuk telepon dari cewek yang mencari pak Hendro ketimbang telepon yang berhubungan sama kerjaan. Sudah saya bilang, I must be crazy. Saya menaruh rasa simpati, lebih dari itu, suka, mungkin lebih dari suka, cinta. Kalau tiba-tiba bayangannya melintas di benak, kerjaan saya jadi keteteran. Ga bisa konsentrasi sama sekali. God Help me, I'm fallin for him. Fallin in love with him.

Sesampai di rumah, saya cepat-cepat mandi air hangat dan makan. Ayah, ibu, mbak Kiki dan Rudi sering menunggu saya pulang untuk makan malam. Padahal saya telah menegaskan, jangan lah saya ditunggu, makan lah lebih dahulu. Namun ayah selalu bersih keras makan malam dengan anggota keluarga yang komplit. Ayah yang pensiunan Polisi selalu bersikap tegas terhadap kami, anak-anaknya. Ga heran kalau kami menjadi orang baik, paling tidak orang yang mengerti moral. Mbak Kiki sekarang menjadi pegawai negeri di Departemen Koperasi dengan pangkat yang lumayan. Saya sendiri bekerja pada perusahaan konstruksi milik pak Hendro. Dan adik kami, Rudi, tahun ini lolos menjadi anggota Polisi. Ibu adalah ibu rumah tangga yang ramah dan hangat. Rumah dan keluarga adalah tempat saya berbagi suka dan duka. Kehangatan rumah ini memanjakan jiwa saya.

Selepas makan malam saya pamit, tidur. Capek sekali rasanya tubuh saya, terlebih kaki saya. Saya raih hp lalu tidur dengan posisi kaki lebih tinggi. Selalu ada dua bantal tambahan untuk mengganjal kaki saya. Saya lihat hp, ada sms masuk. Oh, dari pak Hendro. -->Wid, sudah tiba di rumah?-Bos Hp. Saya tersenyum. Pak Hendro memang selalu perhatian. Barangkali perhatiannya itu yang membangkitkan arus listrik di dalam diri saya. Ada lagi sms ke dua, -->Wid, kamu lagi dimana?-Bos Hp. Saya kembali tersenyum. Sms ke tiga, -->Widi, tolong balas sms saya! Saya butuh bantuanmu sekarang!-Bos Hp. Eh, apa ga salah? Pak Hendro membutuhkan saya? Uhm, bantuan saya maksutnya. Saya balas smsnya. Pulang kantor tadi tas saya biarkan di kamar, jadi saat sms-sms itu masuk, saya ga mendengar.

Telepon berdering, Rudi memanggil saya. Dengan setengah terpaksa dan setengah mati saya ajak kaki saya keluar kamar, meraih handle telepon.
"Widi? Saya smsin kamu dari tadi. Saya butuh bantuan kamu. Saya jemput sekarang yah, kita ke rumah sakit." belum sempat saya menjawab satu kata pun telepon sudah ditutup dari seberang .. tut.
Saya jelaskan ke ayah dan ibu kalau harus ikut pak Hendro ke rumah sakit, ada hal mendesak. Detail nya nanti dijelaskan pak Hendro saja. Ayah dan ibu maklum, pak Hendro sendiri dekat dengan mereka. Mereka percaya sepenuhnya padanya. Mobil pak Hendro tiba sepuluh menit kemudian. Kita langsung menuju rumah sakit. Wajah nya yang tampan itu nampak tegang. Cemas bercampur gelisah. Ada apa?
"Wid, golongan darahmu A kan? Kamu dah biasa donorin darah kan?" tanya pak Hendro memecahkan kesunyian diantara kami, membelah malam kelam.
"Iya .. empat bulan lalu saya baru mendonor rutin untuk palang merah. Jadi sekarang sudah boleh mendonor lagi." jawab saya.
"Syukur lah. Cewek saya kecelakaan tadi sore dan membutuhkan banyak darah." deg. Saya tercekat. Ceweknya? Pacarnya kah? Yang mana? Begitu banyak cewek yang masuk keluar ruangan kerjanya. Semuanya cantik dan modis. Semunya nampak mesra dengannya. Batin saya menjerit. I must be crazy cuz I want you tell me that you love me too!

Nama cewek itu Fifi. Pacar pak Rudi. Golongan darah A. Mengalami kecelakaan, ditabrak sepeda motor saat hendak menyeberang, menuju sisi jalan lain dimana mobil pak Hendro diparkir. Pak Hendro setelah meeting sama pak Bupati langsung menjemput pacarnya itu, dan kecelakaan itu tak dapat dihindari. Tubuh Fifi terpelanting, kepalanya bocor dan luka dimana-mana. Dengan tulus saya mendonorkan darah, membiarkan jarum besar itu menancap di perbatasan tangan dan lengan. Dari nadi saya keluar darah segar, ditampung dalam kantong darah. Selesai sudah. Fifi memang hanya membutuhkan satu kantong darah. Cacat bukan berarti ga bisa membantu sesama kan?

Setelah mendonor darah, saya diantar pulang.
"Wid, terima kasih." hanya itu yang pak Hendro ucapkan. Tatap matanya seperti menyimpan sesuatu yang besar yang ingin terungkap namun terus ditahan. Saya mengangguk tulus, turun dari mobilnya. Bercerita pada ayah ibu, minum susu hangat buatan mbak Kiki dan masuk kamar. Tidur. Saya letih sekali. Bagi pak Hendro, apa yang baru saja saya lakukan mungkin hal biasa, tapi bagi saya, itu luar biasa. I must be crazy, he doesn't love me, but I still want to do anything for him!

Bangun pagi ini saya lekas-lekas mandi air hangat. Ibu selalu menyediakan air hangat untuk mandi saya, berbeda dari mbak Kiki dan Rudi. Karena kaki saya suka kram dan rasanya ngilu bila terkena air dingin. Dengan langkah tertatih saya berangkat menuju tempat kerja. Berjalan kaki. Menghirup udara pagi yang bersih. Ditemani beberapa pelajar yang juga berjalan kaki. Mereka adalah sahabat-sahabat setiap pagi. Yang rutin, sama seperti saya, berangkat kerja dengan berjalan kaki.

Di kantor pak Hendro sudah datang duluan. Mobilnya ada di tempat parkir. Saya sedikit kaget melihat raksasa ganteng itu duduk di kursi kerja saya.
"Pagi pak, maaf agak telat." sapa saya ramah. Dia tersenyum.
"Ga telat kok, saya saja yang datang lebih pagi dari kamu Wid. Wid, makasih yah semalam sudah membantu Fifi. Sebelum ke kantor saya sempat ke rumah sakit, nengokin dia. Kata dokter keadaannya sudah mulai membaik." saya turut gembira mendengarnya, bantuan saya yang tulus bermanfaat juga. Saya mulai gerah, keringatan. Keadaan yang amat saya benci.
"Sama-sama pak." jawab saya pendek. Saya mulai saat ini harus bisa menjaga jarak dengannya. Saya ga boleh membiarkan baju saya basah karena keringat bila berhadapan dengannya. Bila rasa itu pergi, tanda-tanda ini pasti pergi juga. Saya bukan apa-apa dalam hidupnya.

Sebulan kemudian Fifi sudah diperbolehkan keluar rumah sakit. Cewek cantik itu secara khusus mengucapkan terima kasihnya pada saya. Saya jadi ga enak menerima ucapan terima kasih berulang-ulang itu. Fifi mulai dekat dengan saya. Setiap kali ke kantor bertemu pak Hendro, Fifi sering membawakan oleh-oleh untuk saya. Kue, buah, jus atau majalah. Hati saya miris bila melihat mereka keluar berdua, tertawa berdua penuh cinta. Namun masih sempat saya menangkap, atau hanya perasaan saya saja, pak Hendro suka mencuri lihat ke arah saya saat berdua Fifi, demikian pula dengan Fifi, Ufpt, apa ini? Namun keduanya nampak saling mencintai. Sedangkan saya, yang mencintai pak Hendro setengah mati, berkutat dengan pekerjaan dan tenggelam di balik komputer. Inilah hidup. I must be crazy if I'm still waiting for his love! God help me to forget him.

Tapi bagaimana bisa saya melupakannya bila setiap hari dan separuh dari waktu saya adalah bersamanya? Saya bekerja untuknya. Hampir sembilan jam waktu saya dalam sehari adalah bersama pak Hendro. Well, kalau pak Hendro sedang ada meeting atau keluar kota memantau buruh kerjanya, saya bisa sedikit plong. Namun bila pak Hendro ga keluar untuk acara apa pun? God help me, this guy gives me big influence in my life. I want his love. Stupid I am.

Saya harus melupakan pak Hendro dan mimpi-mimpi saya. Seberapa lama saya dapat bertahan menghadapi semua ini? Miris hati saya melihat mesranya Fifi dengannya. Jalan satu-satunya yang terbaik adalah, saya harus berhenti kerja. Saya harus, karena itu satu-satunya cara agar saya lepas dari pesona pak Hendro. Agar saya ga berdosa dengan mengutuk kemesraan mereka. Saya harus pergi jauh dari sosok raksasa mempesona ini. Agar saya tidak harus menjadi gila karenanya, karena cinta saya yang bertepuk sebelah tangan ini. Saya bicara pada ayah ibu kalau saya butuh waktu untuk istirahat. Saya harus berlibur untuk menyenangkan kaki saya. Ayah awalnya marah-marah. Toh saya bisa minta cuti pada si bos kan? Tapi saya bersih keras. Ibu, dengan naluri keibuannya, barangkali tau dilema yang sedang saya hadapi saat ini. Ibu, ntah apa yang dibicarakannya pada ayah, akhirnya ayah setuju. Saya diijinkan untuk mengajukan surat pengunduran diri. Saya harus.

Namun niat saya itu terhalang sesuatu. Fifi, pada suatu siang yang panas mendatangi kantor. Pak Hendro sedang keluar kota.
"Siang Wid. Sibuk ga? Temani saya makan siang yuk. Kebetulan bos mu lagi ga ada hehehe ..." saya menolak awalnya. Namun permohonan Fifi demikian gencar, saya mengalah, naik mobilnya, keluar makan siang bersamanya. Di sebuah rumah makan padang Fifi berbicara. Panjang lebar. Sampai hampir budeg saya mendengarnya.
"Wid. Terima lah bang Hendro." saya langsung pusing. Kaki saya hampir kram begitu terkejutnya saya.
"Apa? Fifi kalau bercanda jangan berlebihan deh." saya berusaha menutupi kegugupan ini. I must be crazy when I hear it. Very crazy.
"Saya serius. Saya mohon Wid." kebohongan macam apa ini? Saya harus menerima pak Hendro setelah saya dibikin gila setengah mati? Apa artinya ini?!
"Wid ... saya dan bang Hendro telah membuat keputusan untuk pisah. Kamu tau saat saya kecelakaan? Itu saat saya harus menjelaskan padanya kalau kami ga bisa meneruskan hubungan ini. Saya telah dijodohkan Wid, dan saya harus pergi jauh dari kota tercinta ini ke Balikpapan." saya melihat butir-butir bening mulai merebak di pelupuk matanya. Cewek cantik. Tetap cantik walaupun sedang menangis. Ga seperti saya, tetap jelek meskipun tersenyum. Saya menggeleng. Apa pun ini, saya ga terima diperlakukan seperti ini. Saya bukan tong sampah!

"Sebulan setelah saya pulih, setelah benar-benar pulih dan benar-benar bisa sedikit menampik budi baiknya, baru saya bisa bicara jujur." pengakuan yang ga pada tempatnya. Pantas saja, pak Hendro lebih memilih keluar kota ketimbang ngendon di ruang kerjanya. Apa gara-gara ini? Setiap manusia memiliki dilema sendiri-sendiri. Saya diam membisu. Lidah saya kelu. Haruskan saya mensyukuri perjodohan Fifi? How crazy I am!
"Widi, kamu tau apa yang dibilang bang Hendro pada saya sampai saya berani meminta kamu untuk menerimanya? Dia sebenarnya juga mau mengatakan hal yang sama pada saya. Dia mencintai cewek yang telah menjadi bagian hidup dan kerjanya. Itu jelas bukan saya, itu kamu Wid! Kalian cocok dalam segala hal. Kalian sama-sama pintar dan ulet. Kalian cocok ..." saya tercekat. Mana mungkin raksasa tampan itu mencintai saya. Ga mungkin dia menyimpan cinta pada saya, cewek biasa yang tidak cantik dengan cacat kaki yang menyolok bila diajak berjalan. Saya yang selama ini hampir gila gara-gara cinta saya padanya! Saya kembali menggeleng. Miris! Hati saya miris mendengar semua ini.
"Fi, itu hal yang ga mungkin." jawab saya. Fifi meraih tangan saya.
"Wid, saya ga rela bila bang Hendro mencintai cewek lain, betul-betul ga tega! Dia ga dapat apa-apa dari cewek-cewek itu, justru dirinya diperalat mereka. Saya baru bisa tenang ke Balikpapan bila kamu lah yang menjadi kekasihnya. Bila kamu menerimanya." I must be crazy, crazy, God, please help me, I can't breathe. I am crazy now. Segalanya gelap.

Saya letih, capek. Tubuh saya terasa berat, apalagi kaki saya yang cacat ini. Saat saya membuka mata, saya telah berada di kamar saya, dengan komputer di meja dan satu poster wanita berkebaya di dinding. Ini kamar saya. Saya coba urut kembali kejadian demi kejadian. Otak saya kembali bekerja. Saya pingsan di rumah makan padang setelah ngobrol sama Fifi. Dari luar kamar saya mendengar suara-suara. Ringan, berat. My alarm bawah sadar berbunyi. Pak Hendro kah yang tengah berbicara itu. Pintu terkuak. Ayah, ibu dan pak Hendro. Mata raksasa itu nampak cemas bukan main.
"Widi!!! Kamu ga pa pa kan?" tanya-nya cemas. Menghampiri pembaringan. God help me. Jangan biarkan dia mendekati saya, namun sisi hati saya bersorak, touch me! Touch me with your love! Ayah dan ibu keluar kamar. Saya, gerah dan keringatan. Selalu begitu. Padahal baru saja saya berniat lepas dari pesona cowok ini, agar saya ga dibikin kegerahan.
Matanya, cemas bercampur .. cinta? Menatap saya tajam. Setajam pedang yang siap membelah apa saja. Termasuk hati saya. Dia, duduk di tepi pembaringan. I love you, please say you love me too .. please .. saya menangis dalam hati, menangisi diri saya, Fifi dan pak Hendro. Menangisi jiwa saya yang selalu ga bisa tegar bila berhadapan dengannya.

"Wid, Fifi telah bicara padamu. Maaf, saya belum sempat bicara, namun niat Fifi baik. Ketahuilah Wid. I love you. Selama ini saya berperang melawan perasaan saya, perang melawan cinta saya padamu. Padahal saya tengah menjadi cowok Fifi. Cinta, kadang tumbuh sembarangan yah?" katanya menghibur. Saya tersenyum, hambar ... Pak Hendro, I must be crazy now. Maybe I dream too much, but when I'm think of you, I want to feel your touch, I want to feel your love. Sorry. Hey stupid girl! He had said that he loves you! Don't you hear it? He loves you, so much! Saya benar-benar menangis.
"Pak .. saya ga tau harus bilang apa." kata saya, disela tangis. Tangis bahagia kah? Atau tangis penyesalan? Perasaan saya saat ini sulit dijabarkan dengan kata-kata.
"Don't say anything ..." katanya lagi.
"Saya bukan apa-apa untuk pak Hendro, ga pantas rasanya. Pak .. I'm sorry, I'd loved you when I met you for the first time. When you receive me to be your secretary." ujar saya terbata-bata.
"Psstttt. Don't say anything naughty girl!" disilangkannya telunjuknya di bibir saya. He touch me now! God. Saya ingin waktu berhenti saat ini juga. Sehingga bila ini hanya mimpi, saya akan terus merasakannya.

"Tapi pak, saya ini ga sepadan dengan pak Hendro. Saya ini hanya cewek jelek yang kebetulan diberi kemampuan berpikir dan bekerja extra oleh Tuhan." saya masih ingin bicara meskipun saya letih.
"Wid, saya cinta kamu, ga peduli dengan perbedaan fisik diantara kita. Kamu tau, selama ini saya berusaha menutup-nutupi cinta saya dengan bersikap lebih profesional. Memintamu menolong Fifi adalah niat dari seorang manusia kepada manusia lainnya, tanpa cinta. Saya mencintaimu." Pak Hendro membelai rambut saya lembut. I must be crazy now. Cukup kata cinta itu pak Hendro, saya percaya pada kekuatannya.
"I love you too ..." kata saya akhirnya agak terbata. Pak Hendro tersenyum, menunduk dan mencium kening saya lembut.
"Good, don't you ever say you don't like the way you are. Cuz when you learn to love your self, I want you learn to love me too. Okay? Saya pulang dulu yah. Kamu saya ijinkan cuti dua minggu. Ga boleh lebih, bisa hancur perusahaan tanpa kamu Wid. Berliburlah. Saya ijinkan." usai bilang itu Pak Hendro pamit, keluar kamar. Saya masih terus pandangi punggungnya sampai menghilang dari pintu.

I must be crazy now. All my dream come true just by his love. I love him and there's no dream anymore. He is mine now, the handsome giant. Deep inside my heart I say Thanks God. Just thanks God. I must be crazy. Must be crazy. Be crazy. Crazy.

tootyee, 14 Feb 2004
Inspiration from Celine Dion, I love you.

0 Commenti:

Posta un commento

Iscriviti a Commenti sul post [Atom]

<< Home page