lunedì, marzo 08, 2004

SEPENGGAL KISAH SEORANG PETUALANG

Bimo memandangi orang yang bersileweran disekitarnya. Bungurasih yang ramai, selalu ramai dan tak pernah sepi. Terminal yang berada diluar hiruk pikuk Surabaya namun tetap sibuk ini adalah terminal yang kesekian dari perjalanannya mencari jati diri. Bimo menyulut sebatang rokok dan mulai menghisap dalam-dalam. Paru-parunya dipenuhi asap dan dihembuskan kuat-kuat, sekuat dirinya berjuang mati-matian untuk tidak pulang ke Flores, tempat dimana kehangatan dan canda tawa keluarganya berada. Dimana Ema dan Bapaknya selalu menanti kepulangannya dari perjalanan panjang, yang baru dimulai atau bahkan akan segera berakhir? Bimo mendesah.

Seorang gadis cantik lewat di depannya. Pakaian yang tak pantas untuk ukuran perjalanan jauh dengan kendaraan umum apalagi bis antar kota! Rok mini dan baju setengah terbuka. Kaca mata hitam bertengger di rambutnya yang terjuntai bebas di bahu. Rambut yang menutupi mulusnya punggung gadis itu dari sengatan matahari dan mata-mata nakal para sopir dan kondektur. Bimo terkekeh sendiri melihatnya. Seperti sebatang emas di tumpukan pasir.

Untuk sesaat selepas gadis itu lewat memori cowok cuek itu melompat pada suatu masa, bagian dari hidupnya, Arini. Oh, berbeda sekali gadis itu dari Arini. Arini yang tomboy dan sama cueknya dengan Bimo dan suka berpetualang juga. Bimo terkekeh lagi. Arini itu gadis berwatak keras yang kadang susah ditebak apa maunya. Sahabat masa kecil hingga dewasa yang menemaninya melewati masa-masa sekolah yang sulit. Arini yang selalu siap bila dibutuhkan bahkan saat Bimo naksir cewek sekelas! Arini siap menjadi mak comblang. Cewek tomboy itu telah menjadi saudari tersayangnya meskipun kadang Bimo berlaku cuek dengan keberadaannya. Namun Arini yang juga cuek tak peduli, bagi Arini, Bimo pun saudara yang mengerti keadaannya. Yang juga siap membantunya bila dia butuh pertolongan. Arini sekarang sedang apa? Bimo tersenyum nakal. Hampir 6 bulan mereka tidak bertemu, apakah saudarinya itu telah menikah? Membayangkan Arini menikah dan memakai kebaya Bimo terkekeh lagi, lebih keras dan lebih lepas, sampai beberapa pasang mata menatap aneh kepadanya. Sebodo lah.

Hari ini Bimo berniat menuju Yogyakarta. Kata orang kota pelajar dan penuh gadis-gadis cantik meskipun banyak yang sudah tidak gadis lagi. Sebelum Surabaya, Bimo sempat lama di Kupang, menjelajahi ibukota Propinsi NTT yang berdiri diatas pulau karang, Timor. Setelah Kupang, dengan ketidaksengajaan Bimo mengenal pak tua yang mengajaknya ke Sumba. Di Sumba Bimo tinggal di perkampungan para Rambu dan Umbu yang khas. Dengan kuda-kuda Sumba yang bergerak bebas setiap harinya di savana, padang rumput hijau yang terbentang luas. Bahkan Bimo sempat menjadi guru Bahasa Inggris untuk para bocah desa yang ingin sekali mempelajarinya dikarenakan bertebarannya wisatawan asing di situ. Sedikit uang yang didapatnya, cowok petualang ini pamit melanjutkan perjalannya menuju Denpasar menggunakan kapal laut dari Pelabuhan di Waingapu, Sumba Timur. Turun di Benoa, Bimo memulai perjalanan barunya di pulau Dewata dengan modal nekat dan cuek. Ringan, tanpa beban. Entah keberuntungan mungkin selalu menaunginya, dengan mudah pula dia dapat bekerja sebagai guide paruh waktu untuk sebuah agen wisata. Lumayan, dengan hasil menabung selama dua bulan, Bimo melanjutkan perjalanannya menuju Perak - Surabaya.

Di Surabaya Bimo ke tempat temannya yang kuliah di kota buaya ini. Teman masa sma-nya yang paling Gila, si Tolip. Tolip sendiri kaget melihat kedatangan sahabatnya itu. Mereka menyusuri jalan-jalan Surabaya yang ramai di siang hari dan sepi di tengah malam dengan cerita masa lalu yang heboh. Mendengar cerita Bimo dari satu daerah ke daerah lainnya, sempat Tolip bertanya,
"Sampai kapan?" pertanyaan yang selalu dielitnya. Ya, sampai kapan? Sebenarnya dirinya sedang mencari apa? Jati diri? Oh .. yah, jati diri.
"Sampai ja'o menemukan jati diri, seperti apa bentuknya ... mungkin sampai Jakarta, mungkin sampai Batam .. who knows?" jawab Bimo santai. Dirinya sendiri waktu itu tak tau, sampai kapan petualangannya berakhir. Barangkali sampai dirinya sendiri sudah tak sanggup menahan rindu pada Flores? Bimo menggeleng ... entah sampai kapan.

"Mas mas .. mau ke Jogja? Ayok mas, bis saya sebentar lagi berangkat!" seorang kondektur, sopir atau calo bis? Mengajaknya ikut bis, biasa, bukan patas. Bimo tersadar dari memo perjalananya dan tersenyum.
"Nanti aja pak, belum niat berangkat, masih suka disini hehehe." jawab Bimo santai. Si bapak malah ikutan duduk disamping Bimo, menatap penat pada keramaian Bungurasih.
"Rokok mas?" bapak tadi mengeluarkan sebungkus rokok Marlboro dan menawarkannya pada Bimo. Cowok ini menyambut dengan sopan.
"Terima kasih pak. Gimana pak, setiap hari makin ramai yah?" tanya Bimo sekedar berbasa basi.
"Oh .. penumpangnya? Ya begitulah mas. Selalu ramai, ada saja orang yang melakukan perjalanan dengan bis, keuntungan buat kita kan? Kalau tau dulu saya bakal jadi sopir bis, kan nggak usah sekolah tinggi sampai dapat gelar sarjana .." pandangan mata bapak itu menerawang, entah kemana. Bimo ikut menerawang. Sekolah tinggi, namun hanya jadi sopir bis. Itu lah hidup!
"Saya malah hanya tamatan smu pak." seru Bimo. Si bapak menoleh dan tersenyum bijak.
"Nggak pa pa toh biar pun hanya lulusan smu, yang penting dalam hidup ini akhlak loh mas, bukan sekolahnya ... percuma juga sih sekolah tinggi-tinggi kalau akhlaknya tetap kayak penyu." ujar si bapak sambil menghembuskan asap rokok jauh-jauh. Bimo mengangguk-angguk. Kata-kata bapak itu betul. Seperti si Mahfut, temannya di Flores. Sekolah tinggi, pulang kampung malah jadi pemabuk dan penjudi, bahkan sempat jadi bandar sabu-sabu dan ditahan di sel. Bimo tersenyum mengejek. Buktikan dong kalau ijazah bisa bermanfaat! Apalagi untuk orang kecil seperti kita ... Bimo menggeleng.

"Ya sudah mas, kalau gitu saya jalan dulu. Sampai ketemu." ujar si bapak sambil menawarkan satu batang rokok lagi pada Bimo. Bapak tersebut langsung cabut. Sampai ketemu ... kapan bisa ketemu lagi? Kalau dunia memang betul-betul hanya selebar daun kelor, pasti ketemu. Batin Bimo dalam hati. Bimo bangkit. Jalan-jalan keliling, melemaskan otot-otot kakinya dan mulai mencari-cari, bis mana yang segera berangkat, tanpa perlu menunggu lagi. Bis bapak tadi? Ah, bis itu masih saja berhenti di depan sana. Nanti saja lah berangkatnya, batin Bimo lagi.

Bimo masuk ke ruang tunggu, duduk santai disana sambil memperhatikan siaran televisi kecil 14" yang kabur di pojok ruangan. Dibelinya sebotol coca cola dan kembali duduk. Disampingnya duduk sepasang suami istri senja, dengan wajah cemas dan panik. Di depannya, agak jauh, nampak tulisan wartel. Sebenarnya ada keinginan untuk menelepon ema dan bapak di Flores setelah 6 bulan ini sama sekali tak kasih kabar. Perlukah? Perlukah orangtuanya tau dimana dia berada, masih hidup atau sudah mati, masih ingin berpetualang atau akan menyudahi? Bimo menggeleng sendiri, tidak. Untuk saat ini, tidak. Bimo masih belum mencapai Jakarta! Masih belum menemukan sebentuk jati diri yang dicarinya selama ini. Belum bisa membuktikan pada orangtua dan keluarganya kalau dirinya yang selama ini dianggap anak sombong keluarga ternyata mampu hidup mandiri, mampu menjaga diri mengelilingi sebagian Indonesia tanpa uang. Tanpa fasilitas orangtua yang selalu mendukungnya di Flores. Bimo ingin membuktikan itu. Dengan apa? Dirinya saat ini hanya seorang petualang biasa yang miskin dengan duit pas-pasan di dompet, cukup untuk perjalanannya sendiri. Bila duit itu habis, Bimo harus pandai mencari kerja paruh waktu agar bisa mendapat duit lagi.

"Adik mau kemana?" tiba-tiba pak tua bertanya. Pada dirinya kah? Bimo menoleh.
"Saya pak?" tanya nya sopan. Pak tua mengangguk.
"Iya .. adik mau kemana?" ulang pak tua yakin.
"Oh, ke Jojga pak, tapi entahlah .." jawabnya asal.
"Ke Jogja? Kami juga mau ke Jojga." sambung pak tua lagi. Satu tujuan dong, batin Bimo.
"Pulang ke Jogja ya pak?" gantian Bimo yang bertanya.
"Bukan, bapak dan ibu mau melihat anak yang kecelakaan kemarin di Jogja. Kasihan, waktu mau berangkat kuliah ketabrak ojek. Ibu dari kemarin nangis terus, takut anak kami kenapa-kenapa di sana. Namanya juga orangtua ya dik, pasti khawatir sama keadaan anak. Padahal anak kami yang satu itu paling bandel! Minta ampun deh kurang ajarnya sama orangtua...." Bimo seperti mendengar bapaknya sendiri yang berbicara. Orangtua ... namanya juga orangtua. Seperti itu juga kah kekhawatiran ema dan bapaknya di Flores? Melihat wajah ibu tua yang cemas, panik dan sedih, hati Bimo tersentuh. Seperti itu kah wajah ema? 6 bulan ini, bagaimana kah kabar mereka?

Bimo seperti mendapat guru yang paling berharga di dunia. Pak tua ini seolah membuka matanya tentang kasih sayang, cinta dan perhatian orang tua terhadap anak. Bimo masih ingat wajah ema waktu dia mengutarakan maksutnya pergi. Bapak hanya diam dengan wajah membeku. Bimo menarik napas panjang. Beruntunglah pak tua dan istrinya, masih tau dimana keberadaan anak mereka. Alamatnya pasti jelas. Sedangkan dirinya? Orangtua yang masih tau dengan jelas keberadaan anaknya saja nampak khawatir seperti itu, bagaimana dengan orangtuanya? Bapak dan ema hingga saat ini tidak tau dimana dirinya berada, sedang apa, masih hidup atau? Bimo berperang melawan kata hatinya sendiri. Haruskah petualangnya berakhir sampai disini? Berakhir setelah sepasang suami istri senja ini bertutur?

Egonya mulai mencuat. Kalau pulang, artinya Bimo tidak mampu membuktikan dirinya mampu, mampu hidup tanpa orangtua, mampu menaklukan kota-kota yang dijelajahinya. Namun kalau tidak pulang, Bimo akan menyusahkan hati orangtuanya, orangtua yang selalu khawatir, itu pasti, tentang keadaan dirinya. Bimo tersentak sendiri. Dirinya harus pulang. Jangan mempertaruhkan nasib lagi, jangan berpetualang lagi, untuk apa? Untuk jati diri yang selalu dicarinya? Toh bentuk jati diri itu seperti apa Bimo tak tau. Untuk pembuktian dirinya mampu? Untuk apa? Toh lebih bagus lagi bila bisa membuktikan dirinya mampu, di depan orangtua. Untuk menuruti darah muda dan ego mudanya? Batin Bimo berseteru sendiri. Pelan-pelan dia berdiri, pamit pada sepasang suami istri senja itu, melangkah keluar terminal. Pulang!

Dinaikinya bis menuju terminal Bratang. Turun di Bratang Bimo berjalan kaki menuju kost Tolip di daerah Menur. Lumayan dekat sih jaraknya. Disana Tolip kembali kaget melihat kedatangan sahabatnya.
"Hoi!!! dua hari ngilang, kemana saja? Jadi ke Jogja seperti niatmu?" tanya Tolip saat Bimo tengah melepas penat di atas kasur tipis. Bimo menggeleng.
"Ja'o mau pulang. Ke Jogja bisa kapan-kapan. Cukup sudah Lip. Ja'o harus pulang ... " hanya itu yang diucapkan Bimo, dia hampir tertidur.
"Tidak ada yang mencari ja'o kan?" tanya Bimo lagi, matanya berat.
"Tidak ada .. selama ini memang tidak ada." jawab Tolip. Jawaban terakhir yang didengar Bimo sebelum dirinya benar-benar tertidur! Pulas! Semua mimpi yang selama ini seolah menjauhinya seakan datang bertubi-tubi menghiasi mimpinya.

Keesokan harinya Bimo pamit pada Tolip.
"Kemana? Kembali ke Bungurasih? Jadi ke Jogja nih?" tanya Tolip. Bimo menggeleng mantap.
"Tidak, ja'o mau pulang ke Flores, ja'o rindu Ende .. " jawab Bimo.
"Oh, baguslah! Eja, akhiri saja semua omong kosong ini." ujar Tolip.
"Ya .. oke, ja'o mau ke Perak dulu. Kalau Kirana pas mau berangkat, ja'o tidak kembali ke sini, oke?" mereka toz diudara dan berpelukan. Bimo meraih ransel kecilnya trus menuju jalan besar. Mencari angkot disana.

Dua kali ganti angkot Bimo akhirnya sampai juga di Perak. Beruntunglah saat itu km Kirana nampak dari kejauhan. Bimo berlari kecil menuju kapal, mencari-cari sopir ekspedisi yang mungkin dikenalnya. Bila ikut truk ekspedisi, Bimo tak perlu membayar, paling juga dua puluh ribu untuk si sopir. Sayang, tak satu pun sopir ekspedisi yang dikenalnya. Bimo duduk lesu. Memperhatikan satu per satu truk ekspedisi yang masuk ke kapal. Sampai kemudian bahunya ditepuk seseorang. Bimo menoleh.
"Hei ..." sapa cowok itu.
"Mau ke Ende?" tanya cowok itu. Bimo mengangguk.
"Ikut saya saja, saya baru membeli mobil. Jual beli mobil Ende - Surabaya menguntungkan. Kalau mau, ya ikut saya saja. Kebetulan saya sendiri." seperti mendapat angin segar, Bimo mengiyakan. Diikutinya cowok tersebut ke dalam kapal, menuju kijang baru yang diparkir paling depan, tertutupi bodi truk yang seperti raksasa. Mereka terlibat obrolan panjang seputar jual beli mobil. Sampai pada obrolan tentang satu tenaga kerja yang dibutuhkan oleh cowok tersebut.
"Yaaa ... biar saya punya teman lah kalau lagi ke Surabaya, kamu mau? Untungnya lumayan lah, kamu dapat lebih dari gaji pns golongan tiga di Ende, hahahaha ... Ini kartu nama saya." cowok itu memberikan satu kartu nama. Bimo mengenal jalan tempat cowok itu tinggal.
"Nanti saya hubungi, pasti itu. Thanks yah atas tumpangannya." kata Bimo.
"It's oke lah .. ke atas yuk, cari bangku .." mereka naik tangga menuju dek dua dan menemukan jok kosong di ruang penumpang satu. Bimo hanya bisa bilang Alhamdulillah atas kemurahan hati Allah atas keberuntungan yang selama ini selalu menaunginya.

48 jam km Kirana membelah lautan menuju pelabuhan Ippi - Ende. Sepanjang perjalanan Bimo lebih suka duduk di dek paling atas, yang dilengkapi bangku-bangku kayu untuk duduk dengan satu teropong ditengahnya. Bimo menatap pulau-pulau hijau yang dilewati kapal. Pemandangan yang indah. Saat melewati Sumba, Bimo tersenyum mengenang hari-harinya di desa kecil Rambu dan Umbu. Bimo tersenyum senang. Saat 1 jam mendekati pelabuhan Ippi, km Kirana melewati pulau Ende, memutar di belakang gunung meja, kemudian meluncur mulus menuju pelabuhan Ippi. Hampir subuh saat Kirana betul-betul merapat di pelabuhan. Khas .. suasana yang khas membuat Bimo terharu. Ema, bapak, Bimo pulang ... Bimo mengucapkan terima kasih sekali lagi pada cowok yang telah memberinya tumpangan dan berjanji akan menghubungi cowok itu lagi, kemudian melesat turun, meloncati anak tangga dengan perasaan senang. Ini lah Ende, kampung halamannya ... Hari masih subuh, Bimo duduk santai lagi di pelabuhan, menikmati satu telur rebus dan sebotol coca cola yang dijual ine-ine bersarung. Nikmatnya menghirup udara Ende yang bersih!

Saat matahari mulai nampak, kesibukan pelabuhan masih terlihat, masih banyak truk-truk besar yang belum masuk ke kapal dengan tujuan Kupang. Bimo meninggalkan pelabuhan, mencari ojek, pulang ke rumah. Rumah itu masih berdiri dengan gagahnya di tengah perkampungan yang masih sepi. Bimo menggedor pintu rumah. Ema pasti sudah bangun.
"Assalamu'alaikum ..." teriak Bimo, dari dalam terdengar langkah kaki. Pelan tapi pasti mendekati pintu.
"Wa'alaikumsalam ..." pintu terkuak, ema berdiri terpaku menatapnya.
"Ema ..." Bimo meraih tangan perempuan tua itu, dan menciuminya dengan segumpal rindu di dada. Mata Ema berkaca-kaca, menarik Bimo ke dalam pelukannya.
"Pergimu lama sekali Bimo .. lama sekali, sampai bapak tak sanggup menunggu dirimu tanpa kabar berita." Bimo tersentak. Jantungnya bagai dipalu. Bapak?
"Bapak .. bapak kenapa ema?" tanya Bimo tak sabar. Ema menarik tangannya, mengajaknya ke kamar ema dan bapak, duduk di atas pembaringan.
"Bapak telah pergi dua bulan yang lalu Bimo ..." Bimo menangis! Seperti akhir dari segalanya, persendian tubuhnya melemah. Tak pernah terbersit di pikirannya bila pulang telah menjadi yatim. Tak pernah diduga kalau bapak tercinta akan pergi secepat ini, disaat dirinya tengah berada jauh, berpulau-pulau dari Flores, mencari sesuatu yang sampai kini tak dapat ditemuinya, tak dapat dibuktikannya! Bimo menangis dalam pelukan ema, bahunya tergoncang, jiwanya tergoncang.

Gundukan tanah itu tak merah lagi. Bunga-bunga kering menghiasinya. Bimo duduk disamping ema, memegang buku yassin. Duduk dengan mata basah, tersedu-sedu. Dalam setiap do'anya, air mata terus menetes. Bapak pergi terlalu cepat! Dirinya bahkan belum membuktikan apa-apa. Bimo menangis, bukan menyesali petualangnya yang berakhir kesedihan seperti ini, bukan untuk semua jalan yang telah ditakdirkan sang Khalik, namun untuk kepergian bapak yang terlalu cepat. Terlalu cepat, Bimo belum bisa membuktikan apa-apa ... nothing ... Bimo menangis lagi. Ema memeluk pundaknya, menenangkan hatinya yang goncang. Saat mereka masih disitu, selesai membaca Yassin, saling bercerita, dari kejauhan nampak seorang cewek dengan tampang konyol, kaos oblong dan jeans kedodoran. Itu Arini.
"Bimo jahaaaattt!!!!!!!! huhuhuhu ..." Arini bersimpuh di samping ema, menangis disitu. Bimo mengusap wajahnya sendiri, menarik Arini duduk bersamanya.
"Ja'o memang jahat, tapi beri ja'o kesempatan sekali lagi, membuktikan pada ema dan almarhum bapak, padamu juga, kalau ja'o bisa menjadi sesuatu. Sesuatu yang ja'o cari selama ini ... Tapi semua itu akan ja'o buktikan di sini, bukan di tempat-tempat asing ..." ujar Bimo tulus.

Mereka bertiga pulang dengan sejuta perasaan berkecamuk di hati. Dari kejauhan lantunan Eagles merasuk ke jiwanya.
I was standing all alone against the world outside, You were searching for a place to hide, Lost and lonely now you given me the world to survive, When we're hungry love will keep us alive, Don't you worry sometimes you've just gotta let it ride, The world is changing right before your eyes, Now I've found you there's no more emptiness inside, When we're hungry love will keep us alive ... I would die for you climb the highest mountain, Baby there's nothing I wouldn't do ... Love will keep us alive ...

Yah, perjalanannya mungkin berakhir, tapi petualangannya terhadap hidup sendiri masih akan terus berlanjut. Hope love will keep us alive.

tootyee, 24 Februari 2004

0 Commenti:

Posta un commento

Iscriviti a Commenti sul post [Atom]

<< Home page