mercoledì, marzo 17, 2004

LUV part. 1

Flo, disingkat dari Floresian. Flo menyukai nama kecilnya ini, nama kecil yang diberi Cova misannya, anak om Jack. Flo, gadis Flores yang unik. Tak seperti gadis lainnya yang lebih suka mementingkan urusan dandan, dia lebih memilih naik sepeda keliling Ende, kota mungil yang ramai atau sekedar nongkrong di perpustakaan mini salah seorang kerabat dekat ayahnya. Saat ini, gadis berkulit sawo matang itu duduk di kelas tiga bangku smu negeri. Dan selalu bangga menjadi orang Flores. Perasaannya pada Cova sebenarnya melebihi perasaan antara misan, namun Flo berusaha keras menutupi hasrat hatinya yang begitu besar pada sosok ganteng Cova.

Orang tua Flo, pak Ray dan bu Firda adalah orangtua pekerja yang giat demi anak-anak mereka. Flo anak kedua dari empat bersaudara. Kakak sulungnya, Lisa, saat ini tengah mengenyam pendidikan kedokteran di salah satu perguruan tinggi di Surabaya. Adik setelah dirinya adalah Fiko, masih kelas satu smu. Mereka beda sekolah, Fiko lebih memilih smu Syuradikara yang terbilang paling elite dan terbonafid sekota Ende. Si bungsu Mondan masih duduk di bangku smp negeri. Kepintaran pak Ray dan bu Firda turun pada ke empat anak mereka. Semuanya cakap, pandai dan rendah hati.

Cova adalah misan cowok Flo yang gila. Gila pada hal-hal berbau jawa. Apa pun yang menyangkut pulau Jawa selalu membuat Cova bersemangat. Cova lebih tertarik pada gadis Jawa yang menurutnya ayu dan manis. Bahkan saat ini Cova sedang gencar-gencarnya mendekati Ningsih, gadis Sidoarjo yang ikut orangtuanya yang ditugaskan sebagai kepala bagian personalia di salah satu bank ternama. Bila Cova main ke rumah Flo, maka topik yang dibicarakan hanya seputar Ningsih dan impian Cova untuk kuliah di Jawa. Di kota mana saja, yang penting di pulau Jawa. Kalau sudah begitu, Flo hanya bisa cengar cengir menanggapi niat misannya itu. Namun jauh di lubuk hati Flo, gadis itu menyimpan sesuatu. Rahasia hatinya.

Pak Jack dan tante Ratna adalah orangtua Cova. Pak Jack itu kakak lelaki satu-satunya bu Firda, tak heran, pak Jack amat menyayangi bu Firda yang lemah lembut. Kelembutan bu Firda dan keras hati pak Ray menyatu dalam diri Flo. Si hitam manis dengan rambut model shaggy kegemarannya. Berbeda dengan Flo, Cova itu anak tunggal yang cenderung manja dan malas. Namun dirinya selalu menjadi malaikat pelindung Flo. Tubuhnya berotot dan jagoan basket di smu negeri, tempat dirinya dan Flo mengenyam pendidikan saat ini. Pak Ray dan om pak Jack sama-sama pemilik modal dari perusahaan tenun ikat daerah yang terkenal di Ende. Sedangkan bu Firda seorang guru matematika pada sd swasta dan tante Ratna lebih memilih menjadi ibu rumah tangga.

Usia Flo terpaut dua bulan dari Cova. Flo lahir pada bulan Juni dan Cova di bulan April. Hubungan mereka dekat, sedekat anak kembar, kemana-mana selalu berdua, kecuali saat Cova lagi ngincar Ningsih, Flo terpaksa ditinggalkannya. Flo pasrah bila keadaannya seperti itu, soalnya Cova wataknya keras, bila ingin sesuatu harus terpenuhi. Biasanya untuk mengisi kekosongannya tanpa Cova, Flo naik sepeda keliling kota kecil Ende, atau ke perpustakaan. Banyak buku dan novel yang telah dilahapnya, tak heran, otak Flo memang cerdas. Beda dari Cova, cowok itu lebih mementingkan urusan cinta ketimbang pelajaran, maka tak heran bila malam hari Cova tergopoh-gopoh ke rumah Flo, sekedar pinjam catatan atau minta dibikinin pe er. Flo sih mau saja membantu misannya itu, lagian Cova pun sering membantunya. Cova itu ibarat malaikat pelindungnya. Siapa pun yang coba-coba menyakiti Flo, maka akan disakiti Cova terlebih dahulu. Namun kian lama, sesungguhnya hati Flo kian tak dapat melepaskan bayang-bayang Cova.

Tak terasa, sebentar lagi keduanya memasuki masa Ebtanas. Dan Cova akhirnya dapat menggaet hati Ningsih. Dengan senyum bangga dipamernya surat cinta dari gadis Sidoarjo yang memang ayu itu saat Flo tengah membantunya mengerjakan pe er matematika.
"Sukses ternyata ..." komentar Flo. Seperti ada yang hilang dari hari-harinya begitu tau Cova telah resmi menjadi pacar Ningsih. Seperti separuh dari hidupnya melayang di bawa pergi Ningsih. Flo mendesah.
"Kok hanya begitu tanggapannya .." tuntut Cova sembari merapihkan anak rambut Flo yang jatuh ke wajah. Flo menepis tangan Cova keras.
"Hei .. sakit tauk ..." protes Cova. Flo tersenyum. Seolah ingin menyembunyikan gejolak hatinya. Dirinya dilanda kemarahan besar, tepatnya cemburu mendengar Cova akhirnya meraih kebahagiaannya bersama Ningsih.
"Biyarin .. kalau dilihat Ningsih, bisa memar saya ditonjoknya. Dah ah, pe er matematika kamu kerjain sendiri, ngantuk!" Flo melenggang santai masuk kamarnya, meninggalkan Cova sendiri di ruang tamu gigit jari.

Hari-hari mendekati Ebtanas Flo berjuang keras mati-matian. Bukan hanya karena ingin meraih nilai terbaik, melainkan agar dirinya bisa sedikit melupakan Cova. Kesal rasanya bila melihat Cova jalan berdua Ningsih di koridor sekolah. Rasa cemburu yang meluap-luap selalu membuatnya tak mampu bersikap manis pada Cova. Hatinya teriris-iris melihat kemesraan keduanya. Perasaan kesal karena orang terdekatnya seolah direbut Ningsih? Atau cemburu tanpa alasan? Flo melengos, cemburu pada Cova, pada misan sendiri, aneh terdengar di telinga. Tapi Flo masih belum bisa meredakan marahnya, cemburunya melihat itu semua. Flo, siapa sih kamu? Hanya saudara sepupu yang tidak ada artinya di depan Cova selain sebagai tempat meminjam catatan dan ngerjain pe er dia. Flo menarik napas panjang. Susahnya bila cinta bertepuk sebelah tangan!

Cova sendiri sebenarnya menangkap gelagat yang ga enak dari Flo, hanya saja cowok itu masih menahan diri untuk tidak bertanya. Untuk apa? Cova mendengus kesal pada sikap Flo.
"Kenapa Va?" tanya Ningsih perhatian. Koridor sekolah nampak lenggang, banyak siswa yang memilih kantin untuk menghabiskan jam istirahat.
"Ga pa pa .. ga pa pa .." jawab Cova. Saat mereka akan berbelok ke lapangan basket, dilihatnya Flo berjalan menuju kelas. Aneh! Cova mencoba berkonsentrasi pada sosok manis disampingnya, namun otaknya masih saja terarah pada sikap Flo.
"Va, bukannya saya mau merusak hubungan saudara antara kamu dan Flo, tapi kayaknya Flo cemburu deh melihat kita." Ningsih berhati-hati sekali memilih kata-kata, takut Cova malah salah menanggapi maksutnya.
"Emang kenapa harus cemburu? Aduh Ningsih, Flo itu misan saya, hubungan kami sebatas hubungan saudara misan. Saya ga mau pikiran kamu teracuni pada hal yang ga benar seperti itu, oke?" ujar Cova panjang lebar. Ningsih hanya bisa tersenyum, manisnya gadis itu sungguh membuat Cova terpikat tanpa syarat.

Tiga minggu Flo menjauhi Cova dan itu membuat cowok itu sengsara. Ga ada tempat buat minjem catatan, ga ada peri yang mau membantunya ngerjain pe er. Apalagi jurusan Ipa yang ruwet. Cova menyesal dulu kenapa memilih Ipa? Dan kenapa pula para guru brengsek itu masukin dia ke kelas Ipa? Apa karena ayahnya termasuk orang terhormat di kota kecil ini? Brengsek! Malam ini Cova berkutat dengan rumus-rumus Fisika yang sumpah bikin bete. Akhirnya dengan langkah pasti cowok ganteng itu memacu motornya menuju rumah Flo. Mengingat motor, Cova tersadar, tiga minggu sudah Flo tak diboncenginya. Tak dijemputnya menuju sekolah dan pulang sekolah. Posisi itu telah digantikan Ningsih, pacarnya. Apa gara-gara itu sikap Flo jadi aneh belakangan ini? Atau apa yang disimpulkan Ningsih benar?

Motor Cova memasuki halaman rumah Flo. Pak Ray dan bu Firda, orangtua Flo tengah duduk di teras rumah. Mereka tersenyum senang begitu melihat kedatangan Cova.
"Assalamu'alaikum paman bibi .." ujar Cova sopan.
"Wa'alaikumsalam Cova .. lama ga keliatan kemana saja?" tanya bu Firda. Cova gugup mendengarnya. Ya, kemana saja dirinya? Terbang bersama mimpi indah yang ditawarkan Ningsih? Menghilang dari peredaran keluarga pamannya dengan sukses.
"Uhm, saya banyak kerjaan bi, maklum, bentar lagi kan Ebtanas, banyak yang harus saya isi ke dalam otak hehehe." jawab Cova. Bu Firda manggut-manggut. Kali ini pak Ray berbicara.
"Mau ketemu Flo? Dia lagi nonton tuh. Oh iya Cov, kalau nanti kalian telah selesai Ujian, paman perlu membicarakan sesuatu denganmu." Cova mengangguk mantap.
"Boleh paman. Kalau gitu saya ke dalam dulu, temuin Flo." Cova masuk ke dalam rumah. Lebih ke dalam lagi, Flo lagi asik nonton vcd Doraemon kesayangannya. Cova mendekati gadis itu dari belakang, mengendap-endap trus menutup mata Flo dengan kedua tangannya. Flo terlonjak kaget.

"Heiii siapa nih!" bentak Flo. Namun aroma musk itu menyusup ke dalam ruang batinnya. Itu Cova. Flo melepaskan tangan Cova dari wajahnya dan menoleh.
"Mau apa kemari?" tanya Flo ketus. Jantungnya memompa lebih cepat.
"Kok ketus gitu sih Flo .. ada apa .. saya kesini mau .. biasa, minta tolong." Cova menyodorkan buku pe er Fisikanya ke Flo. Gadis itu ga menanggapi, malah semakin serius nonton Doraemon. Aduh, padahal Doraemon ga memerlukan seluruh tenaga buat ditonton. Cova duduk disamping Flo, ga tau harus ngomong apa. Sikap Flo yang aneh sejak dirinya jadian sama Ningsih membuatnya jadi takut bersikap dan berbicara. Fiko melintasi ruang tivi dengan cangkir ditangan.
"Ehem ehem .. belajar apa belajar nih kak Cova ... hahaha. Fiko ke depan dulu ya, mau ngobrol sama ayah dan ibu." Flo blingsatan mendengar perkataan Fiko barusan. Cova tersenyum hangat.

"Flo, please bantuin saya dong .. nanti saya beliin coklat .. mau kan?" bujuk Cova, mencoba mencairkan ketegangan diantara mereka. Flo melengos.
"Coklat? Apa ga bakal bikin Ningsih ngamuk tuh? Beliin buat dia dong, masa buat saya?" tanggapan dari Flo mengagetkan Cova meskipun dari rumah cowok itu telah siap mental pada sikap ketus Flo.
"Flo!! Kenapa sih semua yang saya omongin atau lakukan harus ada hubungannya sama Ningsih?" tanya Cova. Flo mematikan vcd dan televisi dan berniat masuk kamar. Cova menarik tangan Flo hingga gadis itu terjerembab ke sofa dengan keras.
"Apa-apaan sih kamu!!" bentak Flo. Cova menyilangkan telunjuknya di bibir gadis itu. Flo menampik tangan Cova.
"Yang harusnya tanya begitu kan saya Flo. Kamu itu kenapa? Ada apa?" tuntut Cova. Ditatapnya wajah Flo lekat-lekat. Flo membuang pandangan ke arah televisi.
"Jangan liat tivi, liat saya!" hardik Cova. Kristal bening itu mulai menguak di pelupuk mata Flo.
"Ga ada apa-apa. Sini buku pe er kamu, saya kerjakan di kamar, besok ambil di kelas." usai bilang begitu, Flo merampas buku pe er Cova dan secepat kilat melesat ke kamar tanpa mendengar protes Cova lagi.

Di kamar Flo menangis. Kristal bening itu melukis garis lurus dan kadang tak beraturan di pipinya yang mulus. Flo menangis. Hatinya teriris. Kenapa perasaan ini harus tumbuh di hatinya? Kenapa pula harus pada Cova? Bukan kepada cowok-cowok lain di sekolahnya? Apa ini akibat dari sikap Cova yang selalu melindunginya? Atau apa? Flo menghapus air matanya dan mulai mengerjakan pe er Cova. Sebenarnya bisa saja dia mencontek dari pe er miliknya yang sudah dikerjaan sejak sore tadi. Tapi gadis itu lebih suka mengerjakan kembali. Pe er itu kemudian diambil Cova di kelas keesokan paginya. Flo menitipkan pe er itu pada Saski, teman sekelas mereka.
"Lalu Flo nya kemana? Pagi-pagi gini masa ke kantin sih? Setiap pagi, bibi saya selalu nyediain sarapan di rumahnya." protes Cova. Saski hanya bisa mengangkat bahu. Cova mendesah kesal. Sikap Flo benar-benar keterlaluan.

Tak terasa, Ebtanas tiba. Flo, seperti dugaan semua orang, lulus dengan nem tertinggi untuk kelas Ipa. Sedangkan Cova lulus dengan nilai pas-pasan dan cenderung ga lulus. Flo tersenyum bahagia saat orangtuanya dipanggil ke depan aula untuk menerima lembar nem, ijazah dan raport. Tiga hal yang akan mendukungnya menuju Surabaya. Gadis itu berencana melanjutkan kuliah di Stiesia Surabaya. Keputusan yang diprotes banyak pihak, termasuk Saski dan beberapa guru. Seharusnya otak brilian membawanya ke fakultas kedokteran seperti kakaknya, Lusi. Tapi Flo telah bulat pada tekatnya. Menjadi sarjana ekonomi dan mengurusi perusahaan keluarga lebih menyemangati langkahnya, ketimbang memilih fakultas mipa atau kedokteran. Lepas dari semua ketegangan itu, di rumah Flo secara mengejutkan dipanggil pak Ray untuk bicara.

"Flo, niatmu ke Stiesia sudah pasti?" tanya pak Ray. Flo mengangguk mantap. Sesaat Cova seperti menghilang dari pikirannya.
"Bagus, kalau gitu kita nunggu Cova. Ada hal yang harus ayah bicarakan dengan kalian berdua." Cova?! Flo tersandar lesu. Kenapa harus Cova lagi? Tak berapa lama, Cova muncul dengan tampang amburadul, baju smu yang putih telah berubah warna menjadi grafiti ngawur.
"Ayok, duduk sini Cov." ajak pak Ray. Keduanya duduk dalam diam. Sesekali mata Cova melirik Flo yang diam membisu disampingnya.
"Sebenarnya ini mungkin terlalu cepat. Tapi ayah ga mau tunda lagi, mengingat minggu depan Flo sudah harus berangkat ke Surabaya kalau ga mau ketinggalan ujian masuk." hati Flo berdegup. Cova salah tingkah.
"Cova, Flo .. kalian harus tau rencana kami. Ayah dan om Jack telah membuat kesepakatan, kalian berdua boleh keluar Flores, kuliah di Jawa asal kalian memenuhi satu syarat dari kami." hati Flo tambah ga karuan. Gadis itu terpaku ditempat, mendengarkan setiap kata yang keluar dari bibir pak Ray.
"Kalian akan ditunangkan secepatnya hari ini juga. Moment yang bagus bukan? Sama-sama lulus lalu tunangan, kami sebagai orangtua melihat kalian cukup dekat. Sebentar lagi om Jack datang. Ibu-ibu kalian juga pasti sebentar lagi tiba. Membeli cincin untung tunangan dadakan ini rasanya ga terlalu sulit." deg!!! Sampai disitu wajah Flo pucat seketika. Wajah Cova sekeras batu. Flo menunduk dalam-dalam.
"Ayah ke dalam dulu. Kalian ngobrol-ngobrol lah." pak Ray bangkit menuju kamarnya. Tangis Flo pecah saat itu juga. Cova memandangnya tajam.

"Apa?! Ngapain liat-liat gitu!" bentak Flo. Gadis itu gundah, antar senang, kesal atau marah pada keadaan ini? Seperti dirinya tak laku saja!
"Kamu yang ngapain nangis! Ini ulah kamu kan?!" sembur Cova kesal. Flo melempar Cova dengan bantal. Hampir saja asbak ikutan jadi senjatanya.
"Jangan sekali-kali menghina saya seperti itu! Ingat itu!! Saya mending ga usah kuliah kalau harus begini caranya!" Flo menangis. Rahang Cova gemeretuk. Brengsek!! Perjodohan yang brengsek! Maki Cova dalam hati. So how? Kalau dirinya ga nurutin kemauan keluarga ini, artinya dia ga bisa ikut Ningsih. Ningsih melanjutkan sekolahnya di Surabaya juga. Kalau mau keluar dari Flores, artinya dirinya harus mengikuti kehendak orangtua mereka. Fuck!! Maki Cova dalam hati. Lama mereka terdiam. Lalu Cova bicara.
"Saya setuju perjodohan ini, tapi hanya untuk kebohongan. Kamu setuju? Kita ikuti saja kemauan mereka, toh tau apa mereka sama keadaan kita di sana nanti?!" ide itu tiba-tiba saja melintas di benaknya. Cova seolah mendapat ide penolong. Flo tengadah, manis sekali dia kalau bengong gitu.
"Maksutnya?!" tanya Flo ... mengerti sih, tapi ga percaya.
"Kita setuju saja sama niat orang-orang tua itu. Tapi kita tetap ga ada ikatan apa pun!!" Cova memegang bahu Flo, seolah memaksa gadis itu untuk menyetujui usulnya. Flo, mengangguk. Bimbang. Gamang.
"Lalu bagaimana kalau kak Lisa tau?" pikiran Flo amburadul. Gadis itu rasanya ingin terjun ke dalam lubang buaya.
"Itu beres. Di depan kak Lisa, kita pura-pura saling cinta ... pokoknya gampang lah!" Cova menjentikan jarinya. Puas dengan ide cemerlang yang datang tiba-tiba itu.

Akhirnya hari itu, bersamaan dengan kelulusan mereka, keduanya pun tunangan. Sederhana tanpa ritual macam-macam, cincin tunangan melingkar dengan manis di jari keduanya. Selepas acara tunangan, keluarga Cova pamit pulang, Flo masuk ke kamar dan menangis lagi. Nasib seperti mempermainkannya. Dalam bimbang Flo mulai mengemasi barang-barangnya, surat-surat yang dibutuhkan di Jogja nanti. Demikian pula Cova. Cowok cakep itu memberesi urusannya, ketemuan sama Ningsih dan berjanji untuk berangkat bersama menggunakan satu kapal laut, Titian Nusantara. Flo sengaja meninggalkan dua kardus berisikan barang pribadinya yang nanti akan dikirim pak Ray setelah menetap Surabaya. Hari keberangkatan tiba, Flo menitikan air mata meninggalkan pak Ray, bu Firda, om Jack, tante Ratna juga kedua orang adiknya, Fiko dan Mondan. Km Titian Nusantara bertolak dari Dermaga Ippi Ende menjelang sore hari. Bias matahari senja seperti lukisan hati Flo yang gamang.

To be continued!!

0 Commenti:

Posta un commento

Iscriviti a Commenti sul post [Atom]

<< Home page