venerdì, aprile 09, 2004

Cinta Itu ...

Aku masih disini, di bangku taman kota yang ramai. Menatap kosong pada sekitar yang ramai pengunjung. Aneh rasanya, aku sendiri ditemani sepi dan senyap sedangkan disekitarku semua nampak saling berpasang-pasangan atau bersama keluarga melewatkan sore yang indah di taman kota. Taman kota, sebulan belakangan aku menghabiskan lebih banyak dari waktuku di sini. Setelah kuliah aku pasti ke sini, duduk di bangku panjang yang dinaungi pohon beringin sambil menatap lepas pada rerumputan hijau. Setelah mandi sore, aku pun pasti ke sini, membawa discman dan sebuah majalah sambil duduk santai di bangku taman yang sama, pemandangan yang sama dengan pengunjung yang berbeda. Hanya aku yang sama, pohon beringin yang sama, bangku taman yang sama dan petugas taman yang sama yang tentu bosan melihat sosokku setiap hari selalu duduk di tempat yang sama.

Sebulan terakhir aku memang seperti makhluk dengan separuh nafas, dimana nafas lainku diterbangkan Glen. Separuh jiwaku dibawanya terbang entah ke negeri ke sembilan, atau ke atas langit biru. Glen yang selama ini menjadi panutan dan cintaku, ternyata memang bukan untukku. Aku yang ringkih, malangnya telah memberikan seluruh cinta ini tanpa syarat kepada cowok ambon yang penuh kharisma itu. Sebulan, waktu yang terlalu singkat bagiku untuk bisa melupakan bayang-bayang Glen dari hidupku. Sebulan untuk melupakan setelah lima tahun menjalin cinta? Lima tahun penuh cinta dan kebersamaan yang sangat berarti bagiku? Seribu tahun pun rasanya tak cukup untuk hati ini melupakannya. Melupakan sosok ganteng itu.

Aku memang gadis lemah, seperti yang pernah diungkapkan Glen padaku. Aku gadis ringkih yang mudah dibodohi oleh siapa pun. Terlalu percaya pada orang, sepenuhnya mencoba menjadi bagian dari hidup orang lain. Aku ternyata tak mendapat ganjaran yang setimpal dari ketulusan hati, justru semua itu dibalas dengan pengkhianatan menyakitkan dari Glen, orang yang pernah mengatakan semua itu padaku. Tak heran bila aku menjadi manusia lumpuh bathin seperti ini karena cinta, karena cintaku telah kuberikan semuanya, tanpa sisa pada Glen. Malang oh malang nasibku, Glen yang kucinta dan kupercayai sepenuh hati, malah mengkhianatiku dan menikamku dari belakang.

Aku menjadi kekasih Glen saat kelas satu smu hingga kami lulus smu dan melanjutkan pendidikan di kota pelajar ini. Masuk pada universitas yang sama dan fakultas yang sama kian mendekatkan kami hari demi hari. Pandangan syirik teman-teman sekolah waktu masih smu dulu kembali kurasakan saat masuk kuliah. Glen yang ganteng, wajah timur nan eksotis dengan tinggi melampaui rata-rata menurut mereka mungkin tak sebanding dengan diriku yang tidak cantik dan amat mungil. Aku mempercayai Glen, separuh nafasku itu, mengecap manisnya cinta bersama. Glen nyaris sempurna, he has everything. He gives me all his life. Paling tidak, itulah yang kurasakan saat menjadi miliknya dan memilikinya. Tapi kini semua itu tinggal kenangan yang hampir tak mampu aku lupakan.

Bangku taman kota masih tetap disini, menungguku setiap sore menghabiskan waktu, mendengar lagu atau membaca majalah, memperhatikan orang-orang yang nampak begitu bahagia. Mengapa kebahagiaan yang mereka temui di taman ini tak jua kudapatkan? Mengapa hanya kesedihan dan kesedihan yang pedih lah yang terus menghiasi perasaanku? Tak mudah memang melupakan Glen, namun lebih tak mudah lagi menerima kenyataan pahit akibat pengkhianatannya pada cinta kami. Cinta yang terjalin indah pada awalnya dan berakhir dengan kepahitan.

Aku memang gadis lemah. Menghadapi cobaan seperti ini saja rasanya seperti mati. Aku memang bodoh. Begitu mengagungkan cinta yang tak seharusnya aku puja, tapi dulu aku atau siapa pun tak tau bahwa cinta itu salah kan? Aku memang gadis aneh. Tidak berusaha bangkit dari jatuh, berusaha sedikit, namun belum pulih seratus persen, tapi akan aku coba. Mungkin betul kata orang, hidup sendiri lebih menyenangkan, namun menurutku, hidup bersama Glen dengan cinta kami itu lebih menyenangkan. Oh, bagaimana aku bisa melupakan dia bila setiap desah nafasku selalu menyebut namanya? Kapan aku bisa berhenti mendatangi taman kota dengan tujuan melupakan Glen? Kapan aku bisa bila setiap memoriku meloncat ke arahnya begitu melihat kemesraan orang lain? God help me.

Hari ini tepat dua bulan perpisahan menyakitkan kami. Di sore yang dingin, aku kembali berada di taman kota, duduk pada bangku yang dinaungi pohon beringin dan menatap ke arah pengunjung yang lain. Mereka, para pengunjung itu, mungkin memiliki masalah yang lebih berat dariku, tapi mereka nampak bahagia, terpancar dari wajah yang tersenyum dan sinar mata yang hangat. Sedangkan aku? Masih terus membatu-hati, marah pada ulah Glen dan merutuki diriku setiap hari hanya karena dikhianati olehnya. Hanya karena? Oh, cinta kami begitu indah, apakah ada cinta yang lebih indah dari cinta kami sebelum ini? Entahlah, aku tak tau, karena sampai detik ini belum kutemukan atau tak ingin lagi kutemukan.

Gugusan awan mulai kelam, menghitam dan pasti sebentar lagi akan turun hujan. Bangkitlah, untuk apa duduk sendiri di taman kota, dibawah siraman hujan lebat menangisi cinta yang hilang, sedangkan orang-orang mulai meninggalkan keindahan taman satu persatu. Di kejauhan nampak petir menyambar dan guntur bersahut-sahutan. Aku pulang ke kost, mengganti baju, menyeduh secangkir teh panas dan duduk menghadap jendela menyaksikan hujan yang mulai turun ke bumi.

Sedang apa kah Glen saat ini? Menghangatkan Mirna dengan pelukan kokohnya? Pelukan yang dulu selalu melindungiku dan menenangkan jiwaku? Bodoh bodoh!! Masih saja sosoknya menghiasi kepalaku, sedangkan dia belum tentu memikirkan aku. Masih saja hatiku berontak mengingat kenangan manis kami berdua, sedangkan sekarang Glen telah menjadi milik orang lain dan memiliki cinta yang lain. Cinta itu indah, cinta itu menyakitkan. Aku telah merasakan keduanya, keindahan cinta yang menggelora dan kepedihan cinta yang mengoyak batinku tanpa ampun. Saat seperti ini aku berharap akan ada kepedihan yang melampaui kepedihan hatiku saat ini hingga pedih hati akibat ulah Glen bisa pergi dari sini, hatiku.

Kuseruput teh yang mulai menghangat, hangatnya menjalari kerongkonganku dan perutku. Teh yang manis, sayang cintaku tak semanis teh ini. Diriku pun tak semanis teh ini. Mirna, sosoknya mungkin sepadan dengan rasa secangkir teh manis. Mirna memang manis dan tinggi tentu saja, tak seperti aku yang kecil mungil. Mirna memiliki segala cira rasa seorang wanita, cantik, manis, proposional yang tentunya cocok bersanding dengan Glen, ramah dan punya banyak teman. Glen dan Mirna, sepasang kekasih baru, tersenyum diatas duka ku. Ah, yang benar saja, Mirna tak salah, dia menerima Glen karena Glen berkata cinta, bukan merebut Glen dariku. Haruskah aku menyalahkan Mirna? Tentu tidak, sekali lagi, Glen lah yang salah.

Tuhan!! Sampai kapan aku terus berkutat dengan mimpi buruk ini? Sampai kapan kepedihan ini berlalu. Kepedihan yang selalu mengaitkan Glen di dalamnya dan Mirna disampingnya. Aku harus bangkit, aku harus bisa melupakan semua ini, harus harus harus! Ketukan di kamar membuyarkan lamunanku, kuletakkan cangkir teh di meja dan membuka pintu. Hilar, teman kostku menyerahkan sepucuk surat.
"Dari siapa?" tanyaku.
"Dari Glen, tadi siang diserahkannya padaku, baru sore ini aku ketemu kamu." jawab Hilar. Aku tersenyum, mengucapkan terima kasih dan kembali ke jendela, duduk disana menatap hujan.

Surat dari Glen, beramplop putih. Untuk apa surat ini setelah 2 bulan perpisahan kami? Lebih tepatnya untuk apa dia mengirim surat? Haruskan kubaca atau kubuang saja? Bila kubaca, tentu niatku melupakan Glen akan terhambat, bila kubuang, isi surat itu tak mungkin kuketahui. Hatiku berperang sendiri, baca atau tidak? Dengan tangan gemetar kurobek salah satu sisi amplop putih itu dan membuka lembar suratnya perlahan. Tanganku bergetar.

Huruf Glen ... masih seperti yang dulu, tak rapih namun lumayan. Kubaca baris pertama.

Dear Fla ..

Oh .. dear, masih pantaskan dear itu untukku? Kubaca isinya ..

Fla, aku menulis surat karena susah bagiku untuk menemukanmu di kampus. Kemana saja? Hp mu sering dimatikan yah?

Kemana pun aku pergi bukan urusanmu lagi Glen! Jangan coba-coba memarahi atau menghakimiku karena dirimu tak dapat menemukanku di kampus! Aku terus membaca isi surat itu.

Aku mencarimu kemana-mana Fla, banyak hal yang ingin kuceritakan dan kubagi denganmu, meskipun dirimu pasti akan meludahi aku. Fla, aku salah, aku lah yang begitu bodoh menyukainya, suka, bukan cinta, itu kusadari begitu menjalin sesuatu dengannya.
Mirna bukan untukku Fla, Mirna bukan dirimu, yang kucinta dan mencintaiku. Mirna berbeda darimu, dia tak sepertimu yang mau menerima semua kekuranganku apa adanya. Dia bukan kamu, yang mau menggunting kuku-ku bila mulai tumbuh, yang mau mengomeliku bila celana jinsku tak kucuci sebulan lamanya. Dia hanya tau menghinaku dengan semua kekuranganku tanpa mau berbuat sesuatu untuk kekurangan itu. Aku menulis ini bukan untuk membandingkan, karena tak pantas dirimu dibandingkan dengan siapa pun juga.

Kutarik napas dalam-dalam ... Glen ... hem ...

Disini aku temui arti cintaku padamu. Aku berada disisi dia, hanya sebagai sosok tinggi yang dibanggakannya, bukan sebagi sosok kekasih yang saling menerima dan memberi. Terus terang, bagaimana aku bisa mencintai Mirna bila yang ada di kepalaku hanya dirimu bila bersamanya? Aku berkata ini bukan untuk menyesali Fla, namun untuk meraih kembali cintamu, bersujud pun aku mau. Terlalu banyak yang ingin kusampaikan, namun surat ini tak mampu memuat semuanya, bertemulah denganku Fla, hidupkan hp-mu, karena akan banyak sms yang kukirim tertunda disana. Sms yang sejak sebulan lalu selalu kukirim untukmu dan gagal. Aku sesungguhnya tak bisa pindah ke lain hati.

Salam sayang,
Glen

Kulipat kembali surat itu. Di luar hujan mulai reda, meniggalkan rintik gerimis di sore hari. Langit mulai cerah dengan warna jingga yang mulai membias di cakrawala. Surat Glen kuletakkan di meja dan meraih cangkir teh yang mulai dingin, sedingin udara sore ini. Surat dari Glen. Sebulan lalu mengirim sms padaku? Hp ku memang tak pernah aktif setelah dia berpaling dariku, aku memilih menyimpan Hp itu di lemari. Kutarik napas dalam, mencoba mencerna dan mengerti apa yang sedang terjadi padanya. Apa yang sedang berkecamuk di dalam batinnya. Glen, taukah kamu, cintaku pun tak bisa pindah ke lain hati? Tau kah kamu, aku terus merutuki diriku yang malang ini karena tak bisa melupakan cinta kita? Tau kah kamu, di sudut batinku aku selalu berharap hal seperti ini terjadi?

Aku melangkah ke lemari, mengambil benda mungil yang kubiarkan membisu di sana. Hp kuaktifkan. Betul, begitu banyak sms yang masuk, sms 1 minggu lalu. 25 sms dalam satu minggu! Aku yakin, sms-sms nya sebulan terakhir banyak yang expired. Kubaca satu persatu sms itu ... hem .. Glen? Maaf? Kembali? Bersujud? Meraih kembali cintaku? Lima tahun dalam hubungan yang indah? Kangen? Tak bisa pindah ke lain hati? Glen!!! Aku pun begitu! Kutatap rintik hujan yang mulai reda seiring dengan dering ringtone risalah hati - dewa. Call masuk dari Glen. Haruskah kuterima? Aku belum siap. Bukan belum siap menerima telepon darinya, lebih lagi aku belum siap berhadapan dengannya. Mendengar suaranya sama artinya dengan mengembalikan semua cinta dan kenangan di hati yang 2 bulan terakhir ini, yang ingin kuhilangkan namun tak mampu. Mendengarkan suaranya sama dengan melemahkan hatiku untuknya.

Lalu apa yang kutunggu, bukankah aku selalu berharap dia kembali? Ini bukan suatu kebetulan, ini jalan yang diberi Tuhan untukku setiap mendengar rintihan hatiku. Dia Yang Diatas sana, barangkali tak mau membiarkan aku dimiliki pria lain, yang tak mengerti keadaanku selain Glen. Aku menapat layar Hp dan menarik napas dalam.

"Ya .."
"Fla! Oh, thanks God!"
"Ya .."
"Fla, lagi dimana?"
"Di kost."
"Aku kesana yah sekarang, hujan sudah berhenti."
"Jangan sekarang Glen."
"Please Fla, sekarang. Aku ga mau semua ini berlarut-larut."
"Tapi aku belum ...."
"Sekarang, tunggu aku yah .."
"Glen, tapi .. oh .. aku ..."
"Okay, sampai ketemu setengah jam lagi. bye"
"Glen!!"

Terlambat, Glen sudah menutup pembicaraan tanpa memberiku pilihan. Aku melempar Hp ke ranjang dan duduk lagi di depan jendela. Teh manisku telah habis. Surat Glen menatapku dari meja penuh harap. Cinta itu ... indah, sakit, indah ... Ah .. entahlah. Aku memang gadis ringkih, setelah dikhianati mau saja dihubungi. Maukah aku kembali dalam pelukannya? Pelukan yang selalu kurindukan selama ini? Maukah aku kembali pada cintanya? Cinta yang telah membuatku seperti orang dengan separuh nafas 2 bulan terakhir? Hatiku deg degan, aku harus mandi.

Selesai mandi kudengar ketukan halus di pintu. Hilar kah itu? Kubuka pintu, dan kutemui sosok Glen disana. Berdiri mematung, tertunduk menatapku dengan pandangan penuh cinta, masuk tanpa perlu kupersilahkan lagi trus duduk di dekat jendela, tempat yang baru saja kududuki sebelumnya, merasakan kepedihan akibat cintanya yang berpaling. Kututup pintu kost dan duduk di ranjang, menghadapnya tanpa kata. Diam, membisu.

"Fla." aku mengangkat wajahku, menatap kedalaman bola matanya.
"Aku minta maaf." ujarnya tulus.
"Ya .." jawabku. Sungguh, aku tak dapat berkata-kata.
"Sejujurnya, aku ga bisa mencintai gadis lain selain dirimu. Tak ada cinta yang lebih manis dari cinta kita berdua. Aku mohon, maafkanlah perbuatan bodohku. Maafkan aku .. meskipun aku tau, tak mudah bagimu untuk memaafkanku setelah perbuatanku padamu." kata-kata itu mengalir lancar dari bibirnya. Barangkali, dia telah menyiapkannya sebulan terakhir?
"Ya .. aku .." dia menatapku lagi.
"Fla, aku tau, mungkin ga mudah bagimu untuk menerimaku lagi. Tapi yakinlah, aku tetap seperti Glen yang kamu kenal dahulu. Glen yang mencintaimu apa adanya seperti dirimu mencintaiku. Fla, gila rasanya hidup tanpa dirimu dan cinta kita ... lima tahun Fla .. aku begitu bodoh Fla ... aku ... aku ... khilaf." aku tertunduk. Khilaf ya .. manusia, siapa pun, tentu bisa khilaf. Dan Tuhan, untuk apa pun dosa manusia, masih mau memaafkan. Masa aku tak bisa memaafkannya? Wanita super apakah diriku sampai tak mau memberi maaf untuknya, sedangkan hatiku masih terus padanya?

"Fla, bicaralah, jangan diam begitu, bicara apa saja, kalau perlu maki aku, agar batinmu puas." ingin rasanya aku tertawa. Memakimu? Untuk apa? Aku sudah cukup puas dengan merutuki diriku sendiri karena tak bisa melupakan dirimu Glen! Aku begitu mencintaimu sampai-sampai mencoba menghibur perasaanku sendiri dengan bertandang ke taman kota setiap hari!
"Fla??" Glen berjalan ke arahku, berlutut di depanku, meraih tanganku lembut. Selembut tatapan matanya yang penuh harap, seperti harapan surat yang baru saja kubaca tadi. Mataku mulai basah. Bukan karena pedihnya saat dia berkhianat, namun pada cinta kami yang begitu kuat yang ternyata tak mampu tergantikan oleh cinta yang lain.

"Glen, aku mencintaimu." itu saja yang bisa kuucapkan, mewakili seluruh kata-kata yang ada di kepalaku.
"Oh Fla, thanks God!" dia meraihku untuk duduk bersamanya di karpet dan memelukku hangat, seperti pelukan yang selalu kurindukan.
"Jangan pernah melukaiku lagi Glen, karena tak akan ada maaf untuk itu. Karena aku mungkin memilih mati dari pada menahan sakit dihati." kataku kemudian. Glen mengangguk mantap, mengecup lembut bibirku. Kecupan yang selalu aku inginkan bila berdua dengannya.
"Tak akan! Tak akan! Cukup sekali dan itu tak akan terulang lagi." kata-kata Glen, sekali lagi menghangatkan hatiku yang membeku selama 2 bulan terakhir.

Cinta itu ... indah ... sakit ... indah ... Ah, biarlah .. yang penting sekarang aku telah kembali meraih cinta itu ke dalam rangkulan jiwaku. Taman kota mungkin akan terus aku datangi, namun tidak dengan kesedihan. Aku akan membagi kebahagiaan ini bersama taman kota, yang selama ini terus kulimpahi dengan kesedihan dan kepedihan. Cinta itu telah kembali, menyatu erat dengan cinta yang ada di hatiku. Cinta itu ... sejuta rasa yang akan ditimbulkan oleh cinta. Aku cinta Glen.

tuteh, 31 maret 2004

0 Commenti:

Posta un commento

Iscriviti a Commenti sul post [Atom]

<< Home page