martedì, aprile 20, 2004

I MISS U LIKE CRAZY

Kamar kost Juan di daerah Janti, Jogja.
Di kamar kost yang tak luas itu, terdapat satu kasur, satu lemari, satu meja belajar berikut komputer dan printer, satu rak sepatu dan sandal dan satu pigura foto yang berdiri dengan manisnya disamping komputer, berjejer dengan weker imut berwarna biru. Biru, warna favorit cowok ceking itu. Juan, anak rantau dari Flores yang melanjutkan kuliah di kota Jogja, ngambil Hukum dan telah masuk semester dua. Setahun sudah dia menjadi mahasiswa UII, Universitas Islam Indonesia. Perokok berat.

Pigura foto itu berwana biru, lebih tua sedikit dari weker imut. Disitu, tersenyum dengan manisnya seorang gadis hitam manis, berambut ikal dan berlesung pipi. Pipi gadis itu, temben nian! Yakin deh, orangnya pasti gendut. Giginya berbaris rapih dan putih, menghiasi senyumnya. Foto yang setahun ini menemani setiap waktu Juan di kamar kost. Foto yang selalu memberinya semangat belajar. Gadis di dalam foto itu adalah Jeni. Sahabat smunya. Jeni, gadis usil dan suka men-cap dirinya. Mereka berdua ibarat tom and jerry. Kalau satunya usil, satunya pasti mencak-mencak. Keduanya kalau ketemuan pasti saling nge-cap.

Jeni sendiri ikut kursus di Jogja juga. Kurus komputer, kursus bahasa, kursus menjahit dan sebagainya. Pokoknya kursus yang nambah pengetahuan deh, emang ada kursus yang ngurangin pengetahuan? Sutralah, ga tau ini kok. Nah, Juan dan Jeni ini sering ketemuan, sekali seminggu, setiap malam minggu. Padahal mereka ga pacaran, hanya terikat sebagai sahabat dekat. Sama-sama berasal dari Flores, eks dari smu yang sama dan menimba ilmu di kota yang sama.

Kamar kost Jeni, di daerah Condong Catur, Jogja.
Di kamar kost yang lumayan gede itu, ada satu lemari baju, satu filecabinet yang isinya underwear dan asesoris, satu rak sepatu, satu keranjang baju buat laundry, satu meja belajar berikut komputer, Satu jam dinding tweety, satu rak tivi lengkap sama vcd playernya, satu kasur dan satu kamar mandi. Rata-rata, nuansanya kuning menyilaukan. Jeni sama kayak Juan, perokok berat.

Jeni, cewek gendut yang suka banget sama warna kuning, bikin seger mata katanya. Apa ga salah tuh? Sutralah, favorit orang ini kok. Kamar Jeni lebih mewah dari Juan, juga beda harga. Disamping komputernya, ada pigura foto berwarna kuning dengan ornamen tulip yang isinya adalah foto Juan. Sahabat setianya sejak smu. Sahabat yang selalu dijadikannya tempat menumpahkan kata-kata kasar dan umpatan dengan balasan yang lumayan pedas juga. Juan yang kerempeng dengan tampang 'kasihanilah saya tuan'.

"Ju, foto saya masih di samping kompi?" tanya Jeni suatu sore, Sabtu sore, saat mereka menghabiskan waktu berdua menyusuri Malioboro.
"Masih, padahal, lebih bagus foto Doraemon loh Jen." jawab Juan. Jeni terkekeh.
"Huhuhu. Tau gitu mending itu foto saya kirim ke tom cruise, dia kan pernah rengek2 minta foto saya."
"Tom cruise aja bangga, saya dong dibanggakan!" seru Juan.
"Kamu? Bentar bentar, 'lalu ngakak dengan dahsyatnya' ngapain banggain papan penggilasan kayak kamu Ju? Malu-maluin deh." Jeni masih ngakak. Juan tersenyum simpul. Jeni menyulut sebatang rokok, demikian pula Juan.

"Mending papan penggilasan, daripada Fuso kayak kamu? Uhikzz menuh-menuhin tempat." balas Juan.
"Fuso yang bikin kamu bermimpi setiap malam kan?" tanya Jeni lugu.
"Iya, mimpi buruk!! Nightmare deh pokoknya kalau abis liat foto kamu Jen." mereka ngakak lagi.
"Ju, ga terasa yah, udah setahun kita disini." ujar Jeni.
"Iya, ga terasa udah setahun, saya jadi neg tiap malam minggu keluar sama kamu Jen hihihi."
"Wahaha, kok sama Ju?! Habis jalan sama kamu, saya muntah-muntah loh." cerita Jeni.
"Oh yah? Padahal saya ga ngapa-ngapain ... berabe neh, emak bapak kamu di Flores bisa nuntut saya tanggung jawab dong."
"Oh my G, jangan!! Jangan sampai kamu deh yang tanggung jawab. Biarkan tom cruise yang bertanggung jawab." Juan terkekeh.

"Lagian kasihan anaknya, bakal terlahir dengan wajah memalukan di dunia, persis kamu!" ledek Jeni.
"Loh, itu kan dominan dari 'ibu'nya." balas Juan.
"Ibunya cakep gini kok!" sambar Jeni.
"Cakep? Huahahahaha, cakep dari hongkong! Fuso .. fuso .." Juan sok geleng-geleng kepala, prihatin.
"Penggilasan ga tau diri, kerempeng, jelek!!" umpat Jeni. Juan terkekeh.
"Jelek tapi kalau ditaksir Dian Sastro kan lumayan Jen." Juan siul-siul.
"Dian Sastro kalau lagi buta hihihi." ledek-ledekan gitu terus terjadi sampai mereka capek trus istirahat minum di warung pinggir jalan, menikmati es degan yang segar.

"Kemarin emak telpon ke kost." Jeni kembali berbicara.
"Ngapain telpon? Kamu itu pantasnya ditempeleng, bukan di telpon wahaha." ledek Juan. Tapi kali ini Jeni tidak membalas, wajahnya sedikit suram.
"Ju .. saya disuruh pulang ke Flores kalau kursus terakhir, bahasa Jerman saya kelar." ujar Jeni. Juan tersedak es degan yang diseruputnya.
"Apa? Pulang? Oh No! Ga boleh pulang!" seru Juan kaget.
"Emang kamu menteri? Bikin Undang-Undang, dilarang pulang kampung bagi manusia yang lagi nimba ilmu di Jogja." Juan tertawa.
"Kalau jadi menteri, kamu malah saya bikinkan UU, harus tidur bareng di kost saya." Jeni terkikik.
"Amit-amit, jangan sampai deh." sambar Jeni.

"Jen, please ngasih alasan dong ke emak dan bapak kamu, bilang kamu harus ikut ujian ulang kek, apa kek, yang penting jangan pulang ke Flores dulu." pinta Juan dengan wajah tanpa dosa, tanpa beban.
"Oh yeahhhh, kamu pikir segampang itu? Duit mereka sudah banyak habis cuman buat saya. Kamu mau biayain saya disini?!" semprot Jeni.
"Lha, kan anak bungsu, biar saja duit mereka habis buat kamu Jen. Kalau perlu, bagi dua sama saya." balas Juan.
"Pala kamu peyang!" Juan tertawa senang.
"Saya terus terang, ga sanggup biayain kamu Jen. Bagi Fuso, biayanya tinggi." ledek Juan.
"Jelas ga sanggup. Biayain diri sendiri aja ga sanggup, apalagi saya? Ngaca tuh, kerempeng kayak tripleks gitu kok." balas Jeni.
"Kerempeng tapi seksi huaahahaha." mereka tertawa lagi.

"So, intinya, saya tetap harus pulang ke Flores begitu kursus Jerman saya selesai. No comment!"
"Siapa juga yang mau ngasih koment. Trimakasih deh." Juan tersenyum.
"Padahal, sebenernya saya ga rela ninggalin Jogja Ju, ga rela ninggalin kamu sendirian di sini, bisa-bisa kamu pulang ke Flores tinggal kentut sama tulang aja." ujar Jeni kalem.
"Weee pulang gih sono!!!!!" Jeni terkekeh. Mereka lanjut jalan lagi, menyusuri Malioboro yang selalu ramai.

"Kursus Jerman kamu kapan selesainya?" tanya Juan. Jeni menarik napas dalam-dalam.
"Minggu depan ujian, nunggu hasilnya seminggu lagi. Kalau lulus, bulan depan saya sudah harus pulang." ada nada kecewa dalam nada suara Jeni.
"Ikut kursus lagi dong Jen. Kursus menguruskan badan gitu, biar ga kayak fuso." usul Juan. Jeni melotot.
"Enak aja kursus diet, gendut is seksi tauk!"
"Huahahaha, hanya orang-orang bego dan buta yang bilang gendut itu seksi, please Jen, dunia belum buta!" Jeni melepaskan sebelah sepatunya.
"Upz, salah ngomong... la la la .." Juan siul-siul. Jeni tersenyum penuh arti dan memakai sepatunya kembali. Dan kepala Juan tak jadi benjol.

"Pulang yuk Jen, dah malam." ajak Juan.
"Oke. Saya juga masih harus belajar, minggu depan ujian." sahut Jeni. Keduanya lantas pulang ke kost masing-masing. Jeni naik taxi ke Condong Catur dan Juan naik kendaraan umum.

Seminggu berlalu. Minggu ini Jeni mengikuti ujian terakhirnya dari rangkaian kursus bahasa Jerman yang diikutinya. Hasil belajarnya mati-matian membawa berkah. Dia sanggup mengerjakan soal-soal ujian dengan mudah. Ada satu atau dua nomor yang agak susah, tapi rasanya itu bukan masalah. Tiga hari ujian akhirnya selesai. Siang ini, usai ujian terakhir Jeni tak langsung pulang, melainkan mampir dulu di kost Juan. Juan yang lagi asyik membaca buku KUHP yang tebalnya makjang itu kaget.

"Tumben Jen, kangen yah?" Jeni melepaskan ranselnya di lantai dan tiduran di kasur Juan.
"Kangen sama kamu? Rugi dong .." jawab Jeni.
"Widih siapa bilang rugi? Selalu menguntungkan bila berhubungan sama Juan!" Jeni tertawa sambil menatap plafon kamar Juan. Pintu dibiarkan terbuka, mencegah terjadinya gosip miring, meskipun di kost Juan, bukan hal tabu lagi bila pacar-pacar temannya menginap disitu. Kost cowok yang 'agak' bebas.
"Tadi ujian terakhir. Tinggal nunggu hasilnya minggu depan, sekaligus kalau lulus, ngurus sertifikatnya." terang Jeni. Juan melepaskan buku tebal itu di lantai.

"Kamu betulan nih pulangnya? Minta waktu lagi dong ke emak dan bapak." Juan duduk di dekat Jeni, menyalakan sebatang rokok. Jeni bangkit duduk bersila, mengambil rokok Juan dan menyulutnya satu. Dihisapnya rokok itu dalam-dalam dan menghembuskan asapnya sekuatnya.
"Saya kesal Ju. Saya masih ingin disini." Juan manggut-manggut.
"Jangan kayak ayam jago aja kamu, manggut-manggut ga karuan!" cerocos Jeni. Juan, lagi-lagi hanya tertawa.

"Wahahaha. Biar ayam, tapi jago kan?"
"Najis deh." rutuk Jeni.
"Kalau pulang nanti naik apa Jen?" tanya Juan.
"Kapal laut, ke Surabaya dulu kayaknya." jawab Jeni.
"Mending renang aja Jen hihihi, biar kurus gitu."
"Musang! Keburu diterkam hiu saya." mereka tertawa lagi. Suasana ramah dan menyenangkan bila kedua sahabat ini bertemu.

"Kalau pulang, saya harus jadi anak baik dong Ju. Ga bisa ngerokok lagi. Padahal, hidup tanpa rokok itu sama juga dengan mati."
"Ya mati aja deh, ga ada yang bakal tangisi kok Jen, suer!"
"Iya, abis mati, saya jadi hantu trus cekek kamu biar ikut mati juga hehehe."
"Trus jadi deh berita santer, sepasang hantu jahil hiihihi."
"Iya, hantu yang satunya gendut imut, satunya lagi kerempeng mengerikan."
"Walah, imut??? Item mutlak?? Hihihi."
"Weeee .. eh kalau saya beberes, bantuin yah Ju."
"Asssiiikk ketemu temen-temen kost kamu yang cakep-cakep itu? Asikk deh. Biar mata rada fresh dikit, muak lihat tampang kamu melulu Jen." dan bantal Juan mendarat manis di kepalanya.

"Ju, kalau saya pulang nanti, kamu akan tetep inget saya kan?" tanya Jeni.
"Ya tetep lah Jen, kita kan sahabat sejati. Keburukan kamu itu yang jelas paling utama saya ingat. Utang-utang dilunasi yah Jen, biar ga ada yang nagih ke saya." jawab Juan.
"Huhuhuhu. Ngaca nih ceritanya? Utang kamu kan lebih banyak Ju, utang di warung terutama. Heran deh, banyak makan kok tapi ga pernah gemuk. Orang kok isinya tulang melulu." sambar Jeni cepat.
"Daripada kamu? Orang kok isinya perut semua muanya! Hihihihi." Juan terkekeh. Mereka masih ngobrol ngalor ngidul lagi hingga sore. Selepas sholat Ashar Jeni pun pamit pulang.

Seminggu setelah hari itu, Juan dan Jeni nampak asik di kost Jeni. Ada beberapa teman kost Jeni yang menemani mereka dan itu membuat semangat Juan meledak-ledak. Dia jadi bertenaga mengepak barang-barang Jeni. Melihat itu, Jeni tergelak. Dasar Juan, mata keranjang. Ga tau apa tampang ga sesuai sama hasrat. Blas Jeni ngakak.

Akhirnya, jadi juga Jeni pulang ke Flores. Juan mengantarnya. Barang-barang Jeni dipak di dos-dos trus dikirim lewat titipan kilat. Jeni sendiri hanya bermodal ransel dan satu tas pakaian ganti buat di kapal. Naik bis malam, tiba di Surabaya subuh. Keduanya lantas ke kost salah seorang teman yang sebelumnya telah dihubungi Jeni. Yang mana teman mereka itu dimintai tolong buat beli tiket kapal. Semalam di Surabaya, esoknya Jeni pun diantar ke pelabuhan Perak Surabaya.
"Jen, jangan nangis yah." pinta Juan pede.
"Saya ga nangis, cuman nyesel aja, kenapa dulu kita bersahabat, berat juga ternyata menyadari kita bakal pisah gini." ujar Jeni tulus.
"Yeah, si kerempeng yang selalu membuat kamu kangen .. hihihi." Jeni meninju lengan Juan keras.

KM Titian Nusantara membawa Jeni kembali ke Flores. Juan masih terus berdiri di dermaga, menatap Kapal tersebut terus menjauh, berbaur dengan kapal-kapal lainnya. Jeni, selamat kembali ke kampung halaman! Jeni pun demikian, terus memandangi tubuh Juan yang semakin kecil dan berubah menjadi titik kecil di kejauhan. Flores, I'm coming home!

Ini adalah tahun ke empat perpisahan mereka. Setelah kepergian Jeni, tahun pertama mereka masih saling kirim kabar. Namun, 3 tahun berikutnya mereka sama sekali hilang kontak. Setiap kali dihubungi di rumahnya, Jeni pasti tak ada. Kata orangtuanya sih, Jeni ke kampung, kampung yang mana? Kadang mereka bilang, Jeni sibuk. Sibuk apa sih Jeni sampai melupakannya begitu saja?! Oh no, ada apa gerangan? Juan ingin sekali bertanya soal Jeni ke orang tuanya, paling tidak mereka tau keadaan Jeni. Tapi niat itu selalu diurungkannya, Juan yakin dalam hati, Jeni masih tetap seperti Jeni yang dulu. Meskipun mereka menjadi aneh seperti ini, kehilangan kontak! Dia amat menyayangi Jeni.

Disadari atau tidak, nama Jeni telah terpatri kuat di dalam hati Juan. Oh tidak, dia mencintai gadis ndut yang sering dipanggilnya Fuso itu! Adakah rindu di hati Jeni seperti rindu yang dia rasakan? Sanggupkah Juan terus terlena tanpa Jeni disisinya? Oh, seperti lirik lagu saja. Juan terkekeh. Bila Jeni tau ini, dia pasti bakal di ledek habis-habisan. Dia ternyata memang kangen pada Jeni! Pada canda tawa yang selalu memeriahkan kebersamaan mereka selama itu. Dia ternyata mencintai Jeni. Kesadaran yang timbul setelah Jeni pergi. Kesadaran yang timbul akibat rasa rindunya yang menggunung. Miss you like crazy Jen. Sungguh!

Juan, diwisuda dengan gelar Sarjana Hukum. Nilai-nilainya memuaskan. Bahkan salah satu dosennya menawarkannya kerja sebagai pengacara di sebuah firm yang baru dibuka. Juan menolak, dia ingin pulang kampung dulu. Dia ingin memamerkan ke-sarjanaannya pada Jeni, membuktikan kalau dirinya akhirnya bisa meraih gelar tersebut. Juan masih ingin kembali ke Jogja, ingin kerja di Jogja, makanya kost-nya telah dibayar lunas untuk tiga bulan ke muka. Jadi kamarnya ga disewakan. Sebagian besar barang-barangnya pun masih di situ. Juan pulang ke Flores. I miss you Jeni, so much. Batin Juan berkali-kali. I want to meet you. Miss you .. Masihkan kamu sama seperti yang dulu? Seperti yang tertulis dalam surat-surat yang telah lama terhenti? Suaramu masih sama seperti yang saya dengar di telepon saat dulu awal perpisahan kita? Juan terus membatin. Oh, yang diinginkan olehnya sekarang adalah bertemu Jeni, sahabat setianya, yang dicintainya, justru bukan orangtua dan keluarganya.

KM Titian berlabuh di pelabuhan Ippi, Ende, Flores. Juan turun dari kapal, menapakkan kakinya di tanah Flores yang 5 tahun telah ditinggalkannya. Dengan senyum ramah Juan menyapa satu dua orang yang 'mungkin' dikenal dan mengenalnya. Dia pun naik ojek, pulang ke rumah. Setelah melepas rindu dengan keluarganya, Juan langsung menelepon rumah Jeni. Sedang apa kah si tukang cap yang satu itu?

"Haloooo..." suara anak kecil disana. Oh, barangkali salah satu keponakan Jeni.
"Halo adek, tante Jeni ada?" tanya Juan pasti. Si kecil terdiam.
"Tante Jeni tidak ada om, Jeni itu mama .. nama mama Jeni .." tess!! Seperti dipanah ribuan anak panah, Juan tak mampu berkata-kata lagi. Telepon kembali diletakkannya tanpa menjawab atau berkomentar. Jadi, setelah setahun mereka surat-suratan dan telpon-telponan tehenti, Jeni menikah? Jeni menikah dan tak mau lagi berhubungan dengannya? Suck Juan!!

Juan sontak marah. Marah pada apa dan siapa saja. Dia rindu setengah mati pada Jeni, ga bisa melepaskan pesona Jeni yang ndut itu dari pikirannya. Ga bisa melupakan semua kebersamaan mereka. Sial, dia merindukan Jeni, melebihi musafir merindukan setetes air. Juan kesal. Hari itu dia tak jadi membongkar pakaiannya yang masih di dalam tas. Juan mandi trus makan. Orangtuanya sedikit heran melihat perubahan Juan yang drastis. Baru tiba dengan segudang tawa, cerita dan foto-foto yang menyenangkan, eh, sekarang dia malah terlihat bete abis.

Juan memutuskan untuk pulang besok malam, dengan KM Titian Nusantara yang kembali dari Kupang dan menuju Perak. Orangtuanya jelas kaget. Mereka masih rindu pada Juan yang telah meninggalkan mereka 5 tahun lebih lamanya. Lalu sekarang dia ingin kembali ke Jogja? Juan mengemukakan alasan yang tepat. Dia dipanggil kerja, peluang ini ga mungkin disia-siakan olehnya begitu saja. Maka, dengan berat hati, orangtuanya pun menyetujui niat Juan untuk kembali besok malam dengan KM Titian.

Juan pun meninggalkan tanah Sanua, hanya dalam satu hari! Dia tak ingin berlama-lama disitu, untuk apa? Jeni telah menjadi milik orang lain. Nama mama Jeni .. polos anak kecil itu bicara. Jeni, taukah kamu kalau saya merindukan kamu lebih dari segalanya? Lebih dari perempuan yang telah melahirkan saya? Juan mau nangis rasanya. Jangan Juan, kamu cowok, ga boleh nangis, begitu batinnya terus memberi semangat. Dalam perjalanan kembali ke Jogja, pikiran Juan tak bisa lepas lagi dari Jeni. Telah menikah, punya anak, ngurus keluarga. Pantas saja sibuk. Sampai-sampai bercerita padanya saja Jeni ga mau. Huaaaaahhh, di dek paling atas, Juan berteriak sekuatnya. Melepaskan kesal dan rindunya pada Jeni. Malam telah lama jatuh, bintang-bintang bersinar di atas langit, di kejauhan nampak titik-titik lampu perahu nelayan. Bila mereka melewati pulau, maka nampak titik-titk kecil lampu-lampu di kejauhan.

Kembali ke Jogja, kembali pada kenangannya bersama Jeni. Meskipun berat, Juan berusaha melupakan Jeni. Dia menghubungi dosennya yang pernah menawarkannya kerja. Dan dia diterima kerja tanpa harus melewati banyak birokrasi yang mbulet. Pengacara muda.

Juan bekerja dengan tekun. Tiga bulan gaji pertamanya dikirim penuh ke Flores. Bulan-bulan berikutnya, orangtuanya meminta dia untuk berbagi saja, jangan semuanya dikirim ke Flores. Nanti bagaimana dia menyokong hidupnya sendiri? Kebutuhan pokok Juan ditanggung perusahaan. Berapa sih besarnya pengeluaran seorang bujangan? Tapi toh orangtuanya ngotot, Juan harus menabung. So, satu tahun berlalu dengan kerja dan kerja. Juan melakukan itu agar pikirannya bisa sedikit melupakan Jeni. Sering dia dikenalkan oleh teman-teman kantornya dengan cewek-cewek cantik yang seksi. Cocok untuk seorang pengacara muda. Namun Juan menolaknya mentah-mentah. Pikirannya, terutama hatinya masih belum bisa berpaling dari Jeni. Jeni yang telah menjadi milik orang lain. Pigura foto biru itu pun masih setia berdiri dengan manisnya disamping komputer di kamarnya. Jeni, bayangmu saja masih betah tinggal terus di dalam lamunan saya, bagaimana saya bisa melupakan kamu?

Lambat-lambat lagu dari Marcell terdengar dari radio miliknya,
Semuanya tlah terjadi, cintaku telah pergi
Tak ingin kusendiri, tanpa dirimu lagi
Tak mudah, menepis cerita indah
Semusim, tlah kulalui
Tlah kulewati, tanpa dirimu
Tetapi bayang wajahmu, masih tersimpan dihati ...
Tak pernah kubayangkan, kau putuskan cintaku
Kucoba tuk lupakan, semua tentang dirimu
Tak mudah, bagiku, melupakanmu
Semusim, tlah kulalui
Tlah kulewati, tanpa dirimu
Tetapi bayang wajahmu, masih tersimpan dihati ...

Oh, lebih dari semusim! Lebih dari semusim Marcell! Bukan semusim saya melewati hari-hari tanpa Jeni dan keceriaannya. Meskipun masa-masa itu belum cinta yang tersadari, sebatas persahabatan. Kini, cinta itu muncul setelah rasa rindu yang meluap-luap. Tapi apa daya, Jeni telah benar-benar pergi dari hidupnya bersama keceriaannya.

Hari ini Juan disibukkan dengan urusan perceraian klien-nya. Klien wanita yang cerewetnya bukan main. Mumet rasanya Juan mendengar gerutuan kliennya itu yang suaranya cempreng dan bicara dalam irama yang sangat cepat. Menjelang sore Juan pulang ke kost, siap-siap persidangan pertama besok pagi jam sepuluh. Juan mandi dan bersantai sejenak di depan komputernya. Foto Jeni dengan pipinya yang tembem menatapnya, tersenyum manis. Duh Jeni ... dosa saya, masih terus memajang foto kamu yang telah bersuami, bisik hati Juan.

Ketukan dikamarnya mengagetkan konsentrasinya nge-game minesweeper. Boom!! Huh, meledak deh.
"Iya sebentar, siapa!!" Juan menyeret kakinya membuka pintu kamar." deg, hati Juan meledak. Seperti menginjak bom.
"Jeni!!!!?????" disitu, di pintu kamar, berdiri dengan anggunnya Jeni. Sosoknya sedikit kurus, lebih manis. Juan terpana. Inikah Jeni?
"Iya saya!! Kenapa? Kaget? Kayak liat artis aja." ujar Jeni, masih dengan cueknya, nyelonong masuk kamar Juan, rebahan di kasurnya. Juan masih berdiri mematung di pintu.
"Kerreeemmppeengg!!! Sini dong!! Masa berdiri terus disitu? Mau gantiin tugu Jogja kamu?! Kangen neh!!" teriak Jeni dari dalam kamar. Kangen? Juan dengan hati-hati duduk disamping Jeni.

"Kerempeng .. maaf ya, selama ini saya ngilang hehehehe." wow, mudah sekali bilang maaf. Juan terdiam. Wajahnya masam.
"Ju .. oi!! Ketemu saya malah ngelamun. Ga kangen saya?" tanya Jeni.
"Amat sangat Jen .. amat sangat." jawab Juan serius. Mau rasanya dipeluknya Jeni.
"So what?? Eh, kluar yuk, jalan-jalan ke Malioboro. Seperti dulu. Masih belum ada yang menggantikan posisi saya kan?" usul Jeni. Menggantikan? Tidak ada dan saya tidak mau, batin Juan.
"Nanti dulu .. kamu sama siapa ke sini Jen?" tanya Juan ingin tau. Sama suaminya kah?
"Saya kesini sendiri dong Ju! Sama siapa lagi?!" jawab Jeni sengit.
"Ga sama suami dan anak?" Juan langsung pada pokok hal yang ingin diketahuinya langsung dari Jeni. Sekian lama memendam rasa, untuk apa bertele-tele? Jeni melotot, dahinya berkerut. Kembali bantal mengenai kepala Juan, dug!

"What?! Suami?! Ngaco kamu Ju!! Ga tau apa kalau saya itu hanya bisa memikirkan kamu?!" well, Juan mau pingsan rasanya mendengar itu. Wajah Jeni memerah seketika. Jeni lalu terkekeh.
"Kenapa ketawa? Apa kamu ga tau kalau saya juga selalu memikirkan kamu selama hampir enam tahun kamu menghilang seperti ditelan bumi?! Kamu tau, saya pulang ke Flores usai di wisuda. Tujuan saya yang utama adalah bertemu denganmu. Setelah semua surat dan telepon saya tak terbalaskan selama tiga tahun!? Kamu tau, saat menelepon ke rumahmu dan yang menerima adalah seorang anak kecil yang mengaku Jeni adalah nama mamanya?! Kamu tau perasaan saya saat itu Jen? Hancur!! Saya langsung kembali ke Surabaya dengan kapal yang sama dalam waktu sehari di Ende. Saya ga bisa melupakan kamu Jen, saya cinta kamu!!!! Ngerti kamu?!" cerocos Juan tanpa jeda, tanpa mau memberikan kesempatan pada Jeni untuk menyela sebelum semua rasa dihatinya tertumpahkan. Jeni terperangah.

"Tunggu-tunggu .. suami? Siapa yang menikah Ju? Saya? Mana mungkin saya menikah dengan pria lain kalau yang ada di hati saya hanya kamu? Meskipun, menurut saya kamu mana mau memiliki rasa yang sama dengan saya?!" balas Jeni tak mau kalah.
"Lalu?!" todong Juan penasaran.
"Hmm .. saya menghilang yah? Hehhehe. Setahun setelah pulang ke Flores, saya diterima kerja pada sebuah LSM yang mengurusi program pendidikan anak-anak putus sekolah. Lokasinya di Moni. Jauh dari Ende dan ga punya fasilitas telepon sama sekali. Terus terang, saya amat sibuk Ju, apalagi begitu mereka tau saya menguasai banyak bahasa. Trus, LSM itu memberikan pendidikan pada anak-anak putus sekolah yang berada di desa-desa sekitar kampung Moni. Well, amat sangat sibuk. Saya bahkan ga diijinkan pulang ke Ende bila keadaan tidak mendesak. Saya tenaga andalan mereka selain Lisa, gadis asal Philipina." cerita Jeni.
"Lalu? Anak kecil yang menerima telepon itu?!" tanya Juan, ingin tau sekali.
"Dia anak angkat saya Ju. Dia terlahir dari orangtua yang tidak siap menerimanya. Tinggal bersama kakek neneknya dan tak terurus. Saya bawa dia pulang ke Ende, tinggal bersama emak dan bapak." jawaban Jeni kemudian seperti air es yang mengalir ke hatinya.

"Jadi, selama ini saya salah persepsi? Saya .. saya .. kacau!!" ujar Juan.
"Yup!! Amat sangat kacau!! Hahahaha. Dasar kerempeng! Papan penggilasan!!" ledek Jeni.
"Fuso!! Fuso .. Fuso, saya sadar, setelah kepergian kamu, setelah hilang kontak dari kamu, saya ternyata mencintai kamu amat sangat .. maafkan untuk rasa yang tumbuh dalam persahabatan kita." ujar Juan jujur. Jeni tersenyum.
"Sama Ju. Tapi untuk apa minta maaf? Toh ternyata saya juga menyadari, saya mencintai kamu. Saya kangen pada hari-hari kita. Makanya saya minta cuti. Malah LSM tempat saya bekerja mau memberi saya beasiswa untuk mempelajari bahasa Prancis! Jadi saya bisa enam bulan disini." Juan balas tersenyum. Diraihnya Jeni kedalam pelukannya. Pelukan pertama sebagai seorang kekasih, bukan sahabat.
"I miss you like crazy, Fuso .." ujar Juan pelan di telinga Jeni.
"Miss you too krempeng, more than crazy." jawab Jeni pelan. Malam itu, keduanya jalan-jalan kembali di Malioboro, menyusuri jalan kenangan mereka, penuh canda, penuh ledekan.

"Setahun lebih saya hidup dengan pikiran yang salah. Saya bahkan meninggalkan Flores begitu cepat karena perasaan saya hancur .. hancur yang sebetulnya tidak ada." Jeni terkekeh.
"Sok ahhhhhhhhhhhhh kerempeng sekarang hebat dah kalau ngomong. Mentang-mentang dah jadi pengacara mudah hihihi." Juan tersipu. Ah, paling tidak kini dia telah kembali bersama Jeni, kembali menjalin sesuatu yang indah bersama gadis yang sudah tidak terlalu ndut itu. Dalam suasana yang lain, bukan hanya persahabatan, tapi juga cinta.

Haruskah kuulangi lagi,
Kata cintaku padamu,
Yakinkan dirimu,
Masih kah terlintas di dada,
Keraguanmu itu,
Susahkan hatimu,

Takkan ada cinta yang lain,
Pastikan cintaku hanya untukmu,
Pernahkah terbesit olehmu,
Aku takut kehilangan dirimu,

Ingatkah satu bait kenangan,
Cerita cinta kita, tak mungkin terlupa,
buang semua kenangan mulukmu itu,
percaya takdir kita, aku cinta padamu,

Takkan ada cinta yang lain,
Pastikan cintaku hanya untukmu,
Pernahkah terbesit olehmu,
Aku takut kehilangan dirimu,

Akankah nanti terulang nanti,
Jalinan cinta semu,
Dengarlah bisikku,
Bukalah mata hatimu ...

tuteh, 12 April 2004
song : Semusim by Marcell & Takkan Ada Cinta Yang Lain by Dewa19

0 Commenti:

Posta un commento

Iscriviti a Commenti sul post [Atom]

<< Home page