mercoledì, novembre 23, 2005

Dibawah Jendela

Mara duduk di bawah jendela kamarnya. Gadis usia 17 tahun ini bengong menatap rinai hujan yang belum berhenti juga sejak siang tadi saat ia pulang sekolah. Rintik hujan berubah menjadi hujan deras, kemudian kembali melemah dan berubah menjadi rintik kembali. Seperti itu terus menerus selama hampir 2 jam!

Di saat seperti ini, pikiran Mara langsung meloncati peristiwa demi peristiwa, dari saat yang paling membahagiakan dalam hidupnya. Saat dimana ia masih merenda kasih bersama Ario.

Ketika duduk di kelas 1 SMU, Mara sudah tahu kalau Ario menyukainya. Hal tersebut ditunjukkan Ario dengan perhatian-perhatian kecil cowok ganteng itu. Mulai dari pertanyaan "Pulangnya sama siapa, Ra?" atau "Nanti malam aku telpon ke rumah boleh ya?"

Mara dan Ario memang sekelas, dan hal tersebut seakan menjadi gerbang yang memberikan kesempatan pada Ario untuk lebih mendekatkan diri pada Mara. Walhasil, setelah 6 bulan mereka sekelas, Ario pun berani menyatakan perasaan sukanya pada Mara. Mara yang memang menyukai Ario pun menerima uluran cinta yang menanti sambutan cintanya itu.

Naik ke kelas 2, Mara dan Ario tidak sekelas dikarenakan mereka memilih jurusan yang berbeda. Mara memilih IPS sedangkan Ario memilih IPA. Namun cinta mereka kian lengket. Tiada hari tanpa pulang bareng, ke perpustakaan bareng, nyari kaset favorit bareng atau sekedar kongkow di kafe.. mereka menikmati indahnya jalinan cinta yang kian bersemi.

Ketika Mara merayakan ulangtahunnya yang ke-17 pada dua bulan yang lalu, ia mengundang semua teman-temannya, baik yagn sekelas atau yang tidak sekelas lagi. Acara malam itu cukup ramai meskipun di luar rumah, hujan turun dengan derasnya. Pukul 10 malam, pesta pun bubar. Sebelum pulang, Ario menarik Mara ke sudut teras dan melingkarkan tangannya ke leher cewek tercinta itu. Kaki mereka mulai basah terkena cipratan air hujan...

"Apa ini?" tanya Mara di malam itu.
"Ini bukti cintaku padamu, Ra. Cinta yang tiada ujung.. cinta kita akan seperti kalung ini, gak ada ujungnya, selalu bertemu dan bersatu. I love you, Ra." bisik Ario di kuping Mara.
"Love you too.." balas Mara...

Pukul 10 lebih 15 menit, Ario nekat pulang ke rumah mengendarai motornya. Sementara itu, Mara langsung ke kamar karena kak Ipeh si pembantu rumah tidak mengijinkan ia ikut membereskan rumah.

Pukul 11 malam, Mara menerima telepon dari Fikri, adik si Ario. Dan semuanya menjadi gelap.

Mara mengusap air mata yang menetes di pipi. Dia masih duduk di bawah jendela kamar, menatap bengong hujan yang turun di luar sana. Setiap kali hujan turun, sadar atau tidak, Mara akan duduk di bawah jendela, menatap kosong ke luar sana.. membiarkan pikirannya meloncati peristiwa demi peristiwa yang ia alami.

Dua bulan yang lalu, di malam pesta ulang tahunnya yang ke-17, ia ditinggalkan Ario untuk selamanya. Ario yang tidak memakai helem dalam perjalanan pulang ke rumah mengendarai Kawasaki Ninjanya, mejadi kabur penglihatannya.. dan dalam keadaan ngebut, Ario tak bisa lagi menghindari bongkahan batu yang diletakkan nyaris di tengah jalan, yang tertutupi oleh genangan air hujan; entah oleh siapa.. tujuan batu tersebut diletakkan disitu adalah agar para pengendara tidak menambah kecepatan ketika melewati genangan air.. namun sayang, yang terjadi justru sangat fatal.. hilangnya nyawa seorang Ario...

Mara kembali mengusap air mata. Ia mengelus kalung pemberian Ario.. lalu ia bergumam, "Rio, seandainya malam itu bukan malam nahasmu, maka cinta kita akan tetap seperti kalung ini, tiada ujung.. cinta kita adalah cinta yang tiada ujungnya. Tapi sekarang, ijinkan aku melepaskan kalung ini. Dia akan menjadi sejarah dalam hidupku..."

6 November 2005

0 Commenti:

Posta un commento

Iscriviti a Commenti sul post [Atom]

<< Home page