mercoledì, settembre 29, 2004

Firs, Last Kiss

Sinar matahari menembusi kisi-kisi jendela dan membias di pelupuk mataku. Ah, sudah pagi rupanya. Pulas sekali tidurku sampai-sampai aku lupa bangun untuk menjalankan sholat Subuh. Capek, letih dan lemes,.. itu lah yang membuat aku tidur seperti orang mati. Pekerjaan kantor begitu menyita waktu ku akhir-akhir ini. Seandainya aku bisa memilih, aku lebih suka bila bos yang lama tak dimutasikan ke daerah lain. Bos yang baru begitu gila kerja dan menganggap semua karyawan ibarat robot!!

Kuraih handphone dan mengaktifkan nya. Rentetan sms yang masuk kemudian membuatku tertawa bahagia. Ah, hari ini aku berulang tahun! Hampir saja aku lupa. Berapa sudah usiaku sekarang? Tiga puluh dua. Pria dewasa dengan usia tiga puluh dua masih saja mendapat sambutan yang hangat di hari ulang tahunnya. Sebetulnya aku tak begitu memikirkan hari ulang tahun, namun aku tetap berterima kasih kepada mereka yang telah begitu peduli padaku.

Kubaca satu persatu sms itu. Yang paling jorok adalah sms dari Rudi, teman mainku ke cafe bila malam hari aku suntuk. Dasar Rudi. Satu sms yang datang kemudian cukup membuat kening ku berkerut,..
"Selamat Ulang Tahun Hero, I just wish you luck .. always luck."
Wo wo wo .. seumur hidupku, hanya satu orang yang pernah begitu familiarnya memanggilku dengan sebutan 'hero' ... dia adalah seseorang dari masa lalu, yang telah terlupa setelah sepuluh tahun ini .. pagi ini dia datang dengan sms yang membuat perasaanku larut dalam haru biru. Dari mana pun dia mengetahui nomor handphoneku aku hanya bisa bilang, Yuli, terima kasih masih mengingatku, maaf bila aku tidak membalas sms darimu, aku tak boleh karena aku tak ingin.

Benar kata orang bijak, sesuatu yang pernah menjadi masa lalu akan terlintas jua meskipun dalam bentuk yang samar-samar. Masa lalu akan kembali jua meskipun kita telah lama menguburnya. Kenangan memang selalu menjadi kenangan, tapi kenangan itu pernah menjadi bagian dari hidup kita dan mengisi salah satu dari episode hidup kita. Kenangan adalah kita dimana kita adalah kenangan itu sendiri. Dia, Yuli,....

Aku mengenal Yuli saat menginjak bangu smu. Tercatat sebagai siswa yang selalu bersaing dalam urusan nilai pelajaran. Kuakui, seandainya saja aku malas belajar, Yuli pastilah lebih unggul dariku. Tapi ego ku sebagai laki-laki tentu saja tak mau, aku harus mengungguli Yuli dan aku bisa. Yuli, gadis biasa dengan kecerdasan yang tidak biasa. Aku mengenalnya, dekat dengannya dan menghabiskan begitu banyak waktu bersamanya.

Kedekatanku bersama Yuli memuncak saat naik ke kelas dua smu. Yuli dan aku, dua remaja haus petualang dan selalu mencoba sesuatu yang baru, yang ditawarkan oleh dunia. Menjadi dekat dengannya membuatku tersadar, kami begitu mirip satu sama lain. Meskipun di sekolah kami terlihat sebagai siswa yang pintar dan baik, namun tidak lah begitu bila kami berada di luar lingkungan sekolah. There's so many adventure yang ingin kami arungi bersama. Dunia malam menjadi sahabat kami bila otak telah penat dan suntuk. Minat kami pada buku dan musik pun sama. Bahkan tak jarang kami menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan hanya untuk membaca satu buah buku bersama-sama!

Naik kelas tiga smu, banyak gosip yang beredar bila kami pacaran. Santer nya gosip itu akhirnya membuat kami berhadapan di suatu malam, dibawah cahaya bulan .. romantis namun terjaga.
"Yul, gosip itu .."
"Aku tau, biarkan saja."
"Biarkan saja?"
"Iya, kalau memang tak benar, biarkan saja, nanti gosip itu hilang sendiri."
Jawabnya .. pasti dan tegas. Aku terdiam. Biarkan saja gosip itu .. biarkan saja, toh nanti akan hilang sendiri, diterbangkan angin jahil yang membawa gosip hangat lainnya sebagai pengganti. Semuanya terlewati hingga kami lulus smu.

Barangkali ini takdir bila aku dan Yuli dapat terus bersama, karena kami berdua tercatat sebagai mahasiswa pada universitas dengan fakultas yang sama. Takdir kah? Atau memang ada keinginan kuat dari hatiku dan hatinya untuk terus bersama? Entah lah, yang masih dapat kuingat, sejak berpredikat sebagai mahasiswa, kami tak hanya dekat dalam batas sahabat .. lebih dari itu, hidupku adalah hidupnya, demikian pula sebaliknya. Seperti dua sayap yang saling berdampingan demikian dekatnya tanpa dapat bersatu. Seperti sepasang telinga yang begitu dekatnya namun tak dapat bersatu. Gengsi kah dinding itu? Pemisah rasa hati yang bergelora? Tidak .. itu adalah komitmen. Komitmen yang tercetus dari bibir Yuli sendiri,..

"Kita adalah sahabat, teman sejati sampai kapan pun .. kamu adalah hero ku, yang setia dan selalu sedia untukku... sahabat sejati!!" ah! Ingin sekali aku memintanya untuk meralat kata-kata itu karena aku tau, Yuli tak mungkin melanggar apa saja yang telah ditetapkannya sebagai suatu komitmen walaupun dia harus meregang nyawa. Harga diri kah? Gengsi!! Mengapa? Tak suka kah dia padaku? Aku suka dia! Tak cinta kah dia padaku? Aku cinta dia! Bila dia tak suka dan tak cinta padaku, mengapa sikapnya begitu membuat aku terpesona? Aku tau diri, aku bukan lah pengemis cinta, kami akan tetap seperti ini, teman sejati meskipun sesungguhnya aku mengharapkan kami lebih dari sekedar berteman. Gosip yang kembali beredar berikutnya kami tepis. Kami adalah sahabat .. tapi aku?? Ah.

Dia pernah menangis semalaman dibahuku, dalam kegelapan mobil bututku. Dia pernah memaki ku habis-habisan bila kugoda dia pacaran sama dosen mbeling yang terkenal sablengnya itu. Dia pernah mengajariku caranya membuat martabak. Dia pernah memusuhiku gara-gara aku tak mampu melepas kebiasaanku merokok. Dia pernah mencuci dan menyeterika baju-bajuku di saat aku tergolek lemah karena thypus. Dia pernah menyuapiku saat aku kecelakaan mobil dan terluka parah. Dia pernah tidur bersama ku tanpa hasrat dari seorang wanita terhadap laki-laki. Atau, mungkin saja ada, namun demi komitmen bodoh yang pernah diucapkannya, dia menahan? Yang pasti, aku merutuki hasratku yang brutal untuk menyentuhnya.

Dari semua yang ada pada Yuli, hanya satu yang paling kubenci. Kesetiaan dia menjaga sebuah janji, sebuah komitmen, sebuah sumpah yang pernah dilontarkannya, baik sadar atau tidak sadar. Aku benci itu!! Aku pernah memohon pada Tuhan agar Yuli tak usah menjadi gadis yang terlalu setia pada sebuah ikrar, tapi do'a ku tak jua terjawabkan.

Menjelang tahun terakhir dari rangkaian masa kuliah, aku mengenal seorang gadis Manado yang manis. Cintaku tersambut. Citra, nama gadis itu, menerima hasratku untuk menjadikannya kekasihku. Sudah saatnya lah aku melupakan cintaku pada Yuli. Sudah saatnya lah aku membagi sebagian waktuku bersama Yuli untuk orang lain,.. gadis lain,.. yang dapat kumiliki seutuhnya. Yang dapat menjawab semua cinta di hati ini. Bukan gadis yang (mungkin) cinta, tapi terlalu besar egosentrisnya untuk mengakui perasaan yang sama dari hatinya. Satu hal yang kemudian membuatku tersadar, bukan kah aku dan Yuli adalah pesaing nilai pelajaran? Bukan kah kami sebetulnya musuh untuk meraih nilai terbaik? Apakah karena itu Yuli lantas memendam rasa di dalam hatinya? Karena dia tak mau diperbudak cinta dan terpaksa harus mengakui kekalahan? Kalah akan penguasaan rasa hati atas otak?

Mengapa aku begitu yakin? Karena setelah Yuli mengetahui hubunganku bersama Citra, dia menjauh dariku. Aku dapat melihat luka itu, menganga lebar dari pancaran bola matanya. Aku menyaksikan kemarahan yang tersirat dari wajahnya bila secara kebetulan aku, Yuli dan Citra bertemu. Dapat kudengar ketusnya jawabannya untuk semua pertanyaan yang Citra lontarkan. Soal kedekatan kami yang seperti saudara kandung!! Aku gamang, harus bagaimana aku menyikapi Yuli? Aku tak bisa berbuat apa pun lagi, sungguh tak bisa ... tak ada yang bisa menolong aku dan Yuli karena .. satu kesalahan fatal telah aku lakukan .. fatal.

Usai diwisuda, aku terus dibikin repot dengan persiapan pernikahan. Tak hanya itu, aku juga harus menyusun konsep surat lamaran pada perusahaan sahabat ayahku. Semua itu begitu menyita waktuku sampai-sampai Yuli seolah terlupakan begitu saja. Sampai pada suatu malam, dimana keesokan harinya aku harus berangkat ke Manado untuk melangsungkan akad nikah, Yuli datang padaku. Terkejut .. haru .. semua tercampur aduk di dalam hatiku.

"Aku mendoakanmu hero, semoga kamu bahagia." ada yang mengalir di kedua pipinya .. Yuli menangis.
"Terima kasih Yuli." lihat lah .. sampai detik ini pun dia sama sekali tak mau mengakui perasaan hatinya.
"Hero .. entah ini apa .. tak usah kamu jelaskan .. aku merasa kehilangan yang amat sangat. Aku merasa hidupku tak lagi sempurna sejak kamu menjadi kekasih Citra. Semua bertambah tak sempurna lagi saat kemarin kuterima undangan dari adikmu. Hero,.. entah ini apa .. aku salah .." my God! Kuraih kepalanya, kubenamkan ke dalam dekapan .. everything is over now Yul, semua itu karena kerasnya hatimu memegang sebuah prinsip!!

"Itu cinta Yuli .. itu cinta. Cinta yang tak pernah mau kamu akui walaupun seribu cara telah kutempuh agar kamu mau mengakuinya." Yuli terisak, menumpahkan semua sesak di hati.
"Tak usah jelaskan .. tak usah .. tak usah jelaskan lagi ini apa .. tak usah hero. Karena semuanya sudah usai .. aku selalu berpikir bahwa aku gadis yang cerdas, yang dapat membuat rencana dan mewujudkannya. Bahwasanya saat kita diwisuda nanti, aku dapat mengakui rasa ini padamu. Tapi aku lupa, ada Dia diatas sana yang menjadi dalang hidup kita .. ada rentang waktu yang sedetik saja dapat membuat manusia berubah. Aku sadar, aku takkan pernah diberi kesempatan ke dua oleh Tuhan atas rasa percaya diri dan ego yang begitu besar .. aku sama sekali tak berharga di mata Tuhan karena aku telah menolak rasa indah yang dianugerahiNya padaku ..." ah!! Seandainya waktu dapat diputar kembali pada masa itu,.. aku tetap tak mungkin memilihmu lagi Yuli .. tak mungkin. Bila kamu pernah mempunyai komitmen, demikian pula aku. Aku laki-laki, sepenuhnya bertanggung jawab pada diriku sendiri dan pada Citra, yang telah membuatku belajar untuk mencintainya dengan kasih sayang nya yang tulus.

"Yuli, semua yang pernah terjadi pada kita akan tetap menjadi kenangan di dalam hidup kita. You are the best for me, meskipun kita tak mungkin bersatu. Seandainya Tuhan memberi mu kesempatan sekali lagi dengan yang lain, belajar lah dari hal ini ..." Yuli mengangguk getir. Kupandangi dua bola matanya. Aku akan pergi darimu Yul, untuk selamanya, mengarungi hidupku yang baru, yang lain, dengan gadis yang lain pula.

Perlahan kugenggam wajahnya dengan jemariku, kudekati wajahnya dan aku mencium bibirnya lembut. Bibir yang selama ini ingin aku rasakan dan nikmati. Ini adalah ciuman pertama kami, yang akan menjadi ciuman terakhir kami. Delapan tahun bersama, berakhir dengan satu ciuman lembut .. yang berubah menjadi panas dan dalam .. very deep kissing .. first kiss, last kiss!! Masih terasa dinginnya bibir itu. Masih dapat kurasakan tapi harus kusingkirkan. Aku tak mau itu menjadi duri dalam kehidupan rumah tanggaku.

"Mas? Pagi-pagi kok ngelamun! Tuh ditungguin sulung ma bungsu, mereka tak mau sarapan bila papa nya belum meniup lilin ulang tahun." Citra, my woman, my wife forever.
"Lilin ulang tahun? Sejak kapan?" tanyaku.
"Sejak bungsu mulai bersosialisasi dengan teman sebaya di playgrup dan diundang ke pesta ulang tahun temannya tahun lalu. Bungsu selalu merengek lilin ulang tahun hihihihih." aku terpana. Bungsu ku telah pintar!! Dia dan si sulung adalah malaikat kecil yang membuat hidupku terasa lebih berwarna. Bila dulu alasanku untuk hidup adalah demi membahagiakan Yuli, maka sekarang alasanku untuk hidup adalah untuk menghidup dan membahagiakan tiga malaikat ku ini, Citra, sulung dan bungsu .. I love you ^^

tuteh--

0 Commenti:

Posta un commento

Iscriviti a Commenti sul post [Atom]

<< Home page