venerdì, settembre 10, 2004

Si Jutek!! [[ 3 ]]

Mine menggigit bibirnya, menahan perih yang kembali basah di hati. Dipejamkan matanya ...

"Kamu boleh saja terlihat sebagai bocah SD, tapi tubuhmu .. ck ck ck .."
"Ampun pak .. ampun .. bebaskan saya ... Bapak mau apa???? Saya masih kecil pak ..."

Pak Kristo, guru Matematikanya yang sekaligus Kepala Sekolah itu bahkan seperti kesetanan setiap kali mendengar rintihan yang keluar dari bibir mungil Mine kecil. Mine kecil yang tak berdaya berada dalam himpitan pak Kristo. Mine sempat mendengar ketukan kecil di pintu kantor kepala sekolah, dan suara seorang wanita terdengar memanggil pak Kristo.

"Pak Kris .. pak Kris .. bapak masih di dalam?"

Mine ingin menjerit, tapi pisau itu melengket erat di lehernya. Bocah SD yang nggak punya keberanian. 'Siapa pun diluar!! Tolong saya'. Hanya itu yang terucapkan di dalam hati Mine. Mine kecil dinodai oleh kepala sekolahnya sendiri. Mine kecil yang nggak berdaya. Hidup begitu nggak adil baginya. Apakah seperti ini nasib semua makhluk kecil yang tak berdaya? Mine menangis dalam keputus asaan. Siapa pun nggak mampu menolongnya dari nafsu bejad sang kepala sekolah seperti siapa pun seakan nggak dapat menolongnya dari kehidupan yang sangat individual yang dianutnya sejak kejadian itu.

Mine kecil yang malang. Menjadi pemurung dan kehilangan jati diri setelah kejadian itu. Disesalinya panggilan kepala sekolah usai jam sekolah dengan alasan memberinya materi tambahan sebagai siswi yang dicalonkan untuk mengikuti olimpiade Matematika antar SD se-rayon. Bukan materi tambahan yang didapatkannya, melainkan petaka terbesar dalam hidupnya. Mine masih ingat saat dirinya memang menjadi juara dalam olimpiade Matematika dan memenangkan piala, uang berikut piagam. Masih diingatnya kata-kata pak Kristo saat upacara bendera yang memujinya habis-habisan di hadapan ratusan teman sekolahnya, tapi Mine meludah penuh nista dan menatap pak Kristo dengan tatap seorang pembunuh.

Tiga bulan sebelum ujian EBTANAS, Mine kecil telah matang menyusun rencana balas dendam yang dianggapnya sebanding dengan kebejatan yang dilakukan pak Kristo pada dirinya.

Mine membuka matanya perlahan .. menatap Tide yang masih tertidur. Air matanya membanjir kini .. kembali memorinya meloncat pada berita kematian pak Kristo yang mengejutkan setelah meneguk teh manis dari gelas minumnya sendiri. Mine menggigit bibirnya lebih keras, sekeras hatinya saat itu sembunyi-sembunyi ke dapur sekolah, memasukan cairan baygon secukupnya ke dalam gelas pak Kristo yang ada tanda nama sang kepala sekolah, lalu kembali bermain bersama teman-temannya tanpa rasa bersalah. Botol kecil bekas baygon cair itu dilenyapkannya ke dalam wc sekolah saat seisi sekolah panik atas kematian pak Kristo yang amat tiba-tiba.

Kasus tersebut sempat ditangani pihak yang berwajib. Namun siapa yang sangka gadis kecil yang sebentar lagi meninggalkan sekolah itu lah pelakunya? Siapa yang dapat mengkaitkan kematian pak Kristo dengan dendam seorang bocah karena diperkosa guru Matematika yang sekaligus kepala sekolah itu? Mine kecil yang polos, lolos dari jerat hukum dan melanjutkan hidupnya yang tersisa dengan ke-ketusan dan kejutekan. Kasus itu ditutup setelah sekian lama tak pernah ditemukan pelakunya. Mine menutup diri dari dunia manusia, selain menjalankan lakonnya sebagai anak dari keluarga mampu dan menjadi murid sekolah.

Mine bangkit dan menghapus air matanya. Allah, maafkan hamba. Batin Mine berulang-ulang setiap kali kejadian itu terlintas di benaknya. Mine membenci semua manusia, laki-laki, perempuan .. semua!! Mine membenci laki-laki yang menurutnya bajingan semua. Mine membenci wanita .. wanita yang 'mengapa saat itu nggak mendobrak pintu kantor kepala sekolah?' Mine merutuki semuanya .. semua!!

Ketukan di pintu kamar kembali mengganggunya.

"Mine sayang .. ada telepon untukmu."
"Dari siapa tante Da?"
"Temanmu."

Teman? Mine nggak merasa telah memberikan nomor telepon rumahnya pada siapa pun. Bahkan Mine memilih untuk menyimpan semua handphone yang dibelikan ayahnya di lemari, ketimbang harus bersosialisasi dengan teman-temannya melalui handphone. Diusutnya air mata dan membersihkan wajahnya dengan tisue. Keluar kamar, Mine meraih gagang telpon yang tergeletak di meja kecil.

"Ya?"
"Tuan putri .. apa kabar?"
"Jangan pernah memanggil saya dengan sebutan itu."
"Oh tuan putri .. marah? Apakah hanya tuan putri saja yang bisa marah?"
"Denis, maaf .. sekarang waktu saya untuk berisirahat."
"Ouw .. jadi saya harus membuat janji dulu bila ingin berbicara dengan tuan putri?"
"Denis .. jangan pernah memanggil saya .."
"Tuan putri .. oke .. kalau saya panggil si jutek mau?"
"Sama saja, saya punya nama."
"Ya ya ya .. punya nama, tapi nggak punya hati nurani!"
"Hentikan!!"
"Kalau saya nggak mau bagaimana dong."
"Saya yang akan menutup telepon .. beres."

Mine membanting gagang telpon dan berlalu ke dapur.

"Tante Da .. kalau ada yang menelpon lagi, bilang saja saya tidur siang."
"Baik Mine sayang."

Mine menggeretakkan gerahamnya dengan rasa marah yang amat sangat dan kembali ke kamar. Kali ini Mine benar-benar ingin tidur dan melupakan semua kejadian yang menggangu pikirannya. Masa lalu .. masa sekarang .. masa depan .. Mine ingin melupakan semuanya .. semua. Enam tahun sudah kejadian itu, semua berubah .. Mine nggak berubah, tetap menjadi gadis individual yang nggak peduli pada sekitarnya. Cukup ironi memang, seorang mantan pemenang olimpiade Matematika yang memang jago dalam urusan berhitung kemudian memilih jurusan Bahasa saat kelas 3 smu. Mine sesungguhnya muak pada Matematika .. pada pak Kristo.

Seminggu sudah kejadian perkelahian antara Genio dan Denis. Seminggu itu pula Mine berusaha menghindari Denis, dia nggak ingin cowok itu merecoki kehidupannya lagi. Dia muak. Rupanya Denis tau dan mengerti, cowok itu nggak berniat mengganggu Mine lagi. Cukup sudah pembicaraan di telpon diputuskan Mine saat dirinya tengah berniat menggoda cewek itu, namun dengan maksut meminta maaf di akhirnya. Denis tau salah, telah menghempaskan tangan Mine ke meja dan membuat gadis itu meringis kesakitan. Namun sikap Mine sungguh nggak bisa dipahami dan ditolerir, seperti Mine nggak mampu mentolerir orang lain di sekitarnya. Denis berpendapat, Mine sebentar lagi akan menjadi gila. Si jutek yang gila.

Sampai pada suatu siang yang mendung. Mine berdiri mematung di pelataran parkir yang mulai sepi kendaraan. Motornya ngadat, entah apa yang terjadi, motornya nggak mau hidup saat distater. Mine mencoba terus, namun hasilnya nihil. Saat yang nggak menguntungkan itu, sosok Denis muncul di kejauhan, berjalan bersama beberapa teman cowok sekelas mereka. Mine membuang muka, pura-pura melihat ke tempat lain. Tapi gerombolan Denis kian mendekat. Mobil Denis diparkir nggak jauh dari motornya. Denis tau, nggak ada gunanya mencoba menyapa Mine, demikian pula teman-temannya. Mereka menganggap Mine nggak ada disitu, seperti Mine selalu menganggap mereka nggak ada.

Denis melihat kecemasan di wajah Mine. Kenapa? Apa yang terjadi? Biasanya Mine kan memilih pulang lebih dahulu, kenapa sekarang gadis jutek itu justru berdiri mematung disamping motor-nya? Mau nggak mau Denis mendekati Mine, barangkali dengan jalan ini dia dapat berbaikan kembali dengan gadis ini, meskipun dia tau usahanya mungkin akan membawanya pada kesia-siaan.

"Hai Mine .. kok belum pulang?"
"Bukan urusanmu."
"Hei .. saya bertanya baik-baik. Cobalah untuk menoleh pada sekitarmu!"
"Dan berhentilah berbicara kasar pada saya!!"
"Oke oke.. saya bicara baik-baik sekarang. Kenapa kamu belum pulang? See?? Saya bicara baik-baik bukan? Saya nggak memanggilmu dengan tuan putri lagi bukan? Saya bicara tanpa membentak lagi bukan?"
"Ya .."
"Lalu?"
"Motor saya ngadat."
"Oh .. biar saya lihat."
"Nggak perlu!"
"Mine .. saya hanya ingin menolong, nggak lebih!"
"Saya nggak butuh pertolonganmu. Pulang sana."
"Sampai kapan kamu mau terus disini? Sebentar lagi pasti turun hujan. Oke oke.. pakai lah handphone saya untuk menelepon siapa saja yang kamu anggap dapat membantu."
"Tidak, terima kasih."

Denis menarik napas panjang dan kesal pada sikap Mine yang ketus ini. Wajar saja Mine dijauhi semua orang!

"Den! Kita cabut duluan yo!"
"Selamat merayu patung dewi congkak! Huahahahah."

Teman-teman Denis meninggalkan mereka disitu. Denis masih berdiri mematung dan menatap Mine dengan pandangan tak mengerti. Gadis congkak yang bodoh! Belagu amat pintar dalam pelajaran, tapi sesungguhnya benar-benar bodoh! 'Mengapa saya harus peduli?' Denis bertanya dalam hati .. iya mengapa? Toh Mine nggak butuh dipedulikan. Tapi ada sesuatu dari hati Denis .. sesuatu yang menyebabkannya terus bertahan menemani kebisuan diantara mereka.

"Mine, saya antar pulang saja yuk?"
"Tidak. Terima kasih."
"Mine, motormu saya titipkan ke penjaga sekolah dan kamu ikut saya pulang!"
"Tidak, saya bilang tidak. Terima kasih."
"Well Mine, ini sudah jam tiga! Orang tua mu pasti sibuk mencari kamu. Berbuatlah sesuatu untuk dirimu sendiri."
"Ayah dan ibu nggak pernah peduli saya mau berbuat apa .. itu hak saya."
"Hak dan hak!! Hanya itu yang bisa kamu katakan heh??"
"Itu hak saya!!"
"Hak!! Tau apa kamu tentang HAK!!!"
"Saya tau! Seperti saya tau hak saya dibungkam sejak dulu!!"
"Hei ... ???"

Denis dapat melihat mata Mine berkaca-kaca. Hak dan air mata? Sheat!! Apa yang sebenarnya telah terjadi? Denis mendekati Mine, mencoba mencari celah agar Mine mau menitipkan motornya pada penjaga sekolah dan mau diantari pulang. Mine menjauh dan menatap Denis dengan pandangan jijik. Dia nggak ingin sosok yang mendapat sedikit perhatian hatinya ini mendekatinya.

"Mine .."

Denis menyentuh pundah gadis itu .. yang terjadi sesudahnya sungguh di luar perkiraan Denis. Mine menjerit ketakutan dan histeris. Untung sekolah telah sepi. Kalau tidak? Bisa-bisa Denis dianggap berniat melakukan tindak senonoh pada Mine.

"Mine??"
"Jauhi saya!! Jauhi saya sekarang juga atau nasibmu akan sama seperti pak Kristo!! Jauhi hidup saya!! Pergi pergiiii!!!!!!"
"Mine sudah!! Jangan bersikap kekanakan begitu ..Mine .."

Denis meraih Mine ke dalam pelukannya dan membiarkan dadanya menjadi sasaran tinju Mine yang berapi-api. Napas Mine memburu di dera rasa takut dan trauma masa lalu .. laki-laki!! Dia benci laki-laki! Dia nggak sudi disentuh laki-laki!! Tapi pelukan Denis menguat .. napas Mine ngos-ngosan, histeris dan rasa takut yang dalam membuatnya berkeringat. Denis mendekapnya erat seakan nggak akan melepaskannya lagi. Mine sesenggukan.

"Mine .. saya antar pulang sekarang, oke? Entah .. seperti katamu nasib saya akan seperti pak Kristo yang .. ah who ever!! Saya nggak kenal!! Ayo .."

Mine terperangah .. ini kah cowok congkak itu? Ini kah Denis? Ini kah cowok yang pernah membuatnya sedikit memperhatikan sekaligus dibencinya? Namun dapat dirasakannya kehangatan dan kebaikan cowok itu begitu dirinya di dekap? Seakan Denis ingin mengalirkan rasa aman di hatinya? Mine menghapus air matanya. Baru lima belas menit sesudahnya dirinya mau pulang bersama Denis, membiarkan motornya dititipkan pada penjaga sekolah. Disini dia sekarang, disamping Denis, di dalam mobil cowok ini. Mine duduk menjauhi Denis .. bersandar pada pintu mobil. Denis hanya dapat menggelengkan kepala nggak mengerti .. Otaknya betul-betul blank atas semua ini. Blank!! Gerimis mulai turun membahasi bumi, titik air itu tetap halus dan tak menjadi kasar, hanya gerimis.

-bersambung-

0 Commenti:

Posta un commento

Iscriviti a Commenti sul post [Atom]

<< Home page