giovedì, luglio 22, 2004

Sketsa Hati {2}

"Mbak, pemasukan kemarin banyak sekali!!" Juliet, salah seorang operator warnetku menyerahkan laporan pembukuan dan sejumlah uang padaku. Jam masih menunjukan pukul delapan namun ketepatan waktu bekerja telah kuterapkan sejak dulu, sejak warnet ini di buka, hingga warnet satunya lagi ikut dibuka. Ya, aku bangga pada diriku sendiri, cermin kepintaran dia yang kupakai membuahkan hasil yang memuaskan bagiku. Di warnet ini semua kegiatanku berpusat. Kepala operator warnet cabang akan mendatangiku pada jam yang sama untuk melaporkan pendapatan kemarin dan setelah itu aku langsung menuju bank untuk menyimpannya. Untuk kelangsungan warnet dan tentu saja kelangsungan hidupku bersama Rini.

"Jam berapa kamu tutup warnet semalam Jul?" tanyaku perhatian. Gadis usia dua puluhan ini selalu menyukai perhatian. Bukan kah aku harus pandai mengambil hatinya agar dia tak sampai kehilangan dedikasi dan kejujuran dalam bekerja?
"Jam sembilan mbak, capek banget, soalnya banyak usernya." jawab Juliet sembari menghitung pendapatan kemarin dan mencocokkannya.
"Alhamdulillah kalau banyak user, pendapatan pun meningkat. Tapi kamu sabar dulu yah Jul, saya belum bisa menaikkan gajimu dan operator yang lain." hiburku padanya. Juliet tersenyum dan menatapku penuh sayang.
"Mbak, mbak Citra sudah saya anggap seperti kakak saya sendiri, jadi mbak nggak usah sungkan sama saya." katanya lagi. Aku mengangguk setuju dan menandatangi pembukuan manual itu. Juliet kembali membereskan warnet dan aku menunggu kedatangan Saras, ketua operator dari warnet cabang.

Tak berapa lama kulihat Saras di depan ruang kerjaku. Gadis ini usianya sepantaran dengan Juliet, namun kematangannya melebihi Juliet. Tak salah aku mempercayainya mengurusi warnet cabang.
"Pagi mbak!! Saya selalu telat kemari!" kata Saras.
"Nggak mengapa. Toh bank belum dibuka pada jam-jam begini." balasku. Saras duduk di hadapanku dan mengeluarkan pembukuan beserta amplop berisi uang pendapatan kemarin.
"Maaf yah Sar kalau mbak selalu merepotkanmu setiap hari kerja begini. Maklum, mbak nggak ngerti pembukuan elektronik dan rasanya pas banget dengan pembukuan model kuno begini." kataku. Saras tertawa, memamerkan barisan giginya yang putih.
"Nggak apa lah mbak, toh buktinya, dengan pembukuan kuno begini usaha warnet mbak kian maju!" pujinya. Ah, meskipun dipuji begitu, pipiku tak dapat merona saking tersipunya. Aku hanya bisa dibuat tersipu oleh dia. Hanya dia.

Setelah semuanya selesai Saras pamit kembali ke warnet cabang dan tak lupa menggoda Juliet dan Rufus. Aku menyukai anak-anak muda yang setia ini. Mereka memiliki jiwa bekerja yang kuat dan memiliki keinginan untuk maju, secara positif tentu saja. Terkadang aku mengajak mereka menikmati suasana cafe atau sekedar piknik bersama pada hari minggu. Karena setiap hari Minggu warnet ditutup. Mereka membutuhkan hari libur juga kan? Sama seperti aku. Tapi tidak dengan cintaku pada dia, cinta ini tak butuh untuk diliburkan.

Jam sepuluh tepat aku berangkat ke bank untuk menyimpan pendapatan kemarin dan langsung kembali ke warnet. Hampir dua jam waktuku habis di bank, maklum saja lah, tanggal muda. Kesibukan bank mencapai puncaknya dan aku harus sabar mengantri. Saat aku tengah membaca koran hari ini, Juliet masuk ke ruang kerjaku.
"Mbak, telepon dari Rini." ah gadisku itu! Kulihat, jam telah menunjukan pukul satu, tentu saja dia telah pulang sekolah. Kuraih telpon yang tersambung secara pararel. Sampai mendengar salah satu saluran ditutup baru deh aku bicara di telpon.

"Ya sayang? Sudah makan? Bi Surti masak semur kegemaranmu kan? Sudah sholat kan?" tanyaku. Pertanyaan yang dulu sering dia lontarkan padaku. Dari seberang Rini tertawa dan menjawab.
"Iya sudah. Makasih yah ma. Oh iya ma, hari ini Rini ingin memberesi loteng, boleh kan?" Rini memang selalu bersemangat dan penuh ide. Loteng yang sekaligus gudang itu memang sudah lama terlupakan olehku.
"Tentu saja boleh. Kalau menurutmu ada barang yang nggak diperlukan lagi, buang saja Rin." kataku.
"Iya ma. Nanti Rini bersih-bersih dan menata kembali barang-barang di sana." ujarnya semangat. Aku tertawa senang.
"Bagus!! Tapi kalau capek jangan diteruskan. Jangan sampai waktu sholatmu terganggu, apalagi waktu belajar." saranku.
"Sip!! Oke ma, Rini beres-beres dulu yah." aku tersenyum. Ah, senyum yang tak mungkin dilihat oleh gadisku itu. Ku tutup telepon dan meneruskan membaca, menambahi wawasanku agar aku tak menjadi orang yang paling belakang mengetahui berita.

Masih tiga jam lagi waktuku di sini. Bosan membaca koran, aku beranjak ke ruang user dan melihat penuhnya pengunjung hari ini. Alhamdulillah, Tuhan memberiku kemudahan dalam menjalani hidup ini meskipun dalam kesendirian. Terkadang masih ada yang nyeri dari dalam hati ini bila mengingat ini semua dapat berlangsung berkat bantuan dan saran dia. Dia yang penuh ide dan nasihat, dia yang penuh cinta dan sayang. Sayang sekali kami tak dapat bersatu dalam raga, cukup dalam jiwa. Jiwa kami menyatu erat dan tak dapat dipisahkan lagi. Itu lah alasan mengapa aku memilih untuk terus sendiri sampai saat ini. Dia dan pesonanya telah membuat hatiku mati rasa untuk pria lain yang mencoba mengusiknya.

Sinting kah aku dengan semua ini? Aku pernah mencoba bertanya pada angin laut yang berhembus menampar wajahku dan menerbangkan anak-anak rambutku. Namun tak satu pun jawaban yang dapat kutemui di sana. Pernah pula aku mencoba bertanya pada pekatnya malam dengan taburan bintang di langitnya yang menghitam, namun tak pernah jua kutemukan jawabnya. Artinya aku tak sinting! Artinya wajar saja aku menentukan hal ini untuk kujalani. Bukan kah aku manusia yang tak pernah memiliki kesempurnaan? Kesempurnaan sejati hanya dimiliki oleh sang khalik! Bukan aku, bukan pula dia. Aku kembali ke ruang kerjaku dan melamun.

Melamun bukan lah pekerjaan sia-sia yang baru saja kulakukan. Sudah sejak dulu aku sering melamun. Berkhayal tentang mimpi indahku untuk bersama dia tanpa pernah tau apakah mimpi itu dapat berakhir nyata pada akhirnya? Sampai sekarang mimpi-mimpi itu terus menemani kesendirian yang kupilih ini. Bila manusia hidup untuk sesuatu yang nyata, sesuatu yang dapat mereka raih dan dekap, maka aku tidak. Aku memilih untuk hidup dalam mimpi dengan impian yang sama sekali tak dapat kusentuh, apalagi kudekap. Dekap? Aku pernah didekapnya! Aku pernah memberinya senyum kepuasan setelah ijab kabul! Aku telah menyerahkan diriku secara total pada dia! Hanya pada dia.

Sedang apa kah dia disana? Memikirkan aku seperti aku memikirkannya? Merindukan aku seperti aku merindukannya? Menginginkan aku seperti aku menginginkannya? Mengharap ciumanku seperti aku selalu mengharapkan ciuman panasnya? Membutuhkan aku seperti aku membutuhkan dirinya atas diriku dan menguasai seluruh sarafku yang lumpuh begitu melihatnya? Tuhan, bila aku telah menjadi gila karena semua ini, aku mohon, jangan pernah sembuhkan aku, karena dengan kegilaan ini aku menemui kebahagiaan. Kuhidupkan kembali komputer, mendengar alunan lembut musik yang keluar melalui celan-celah serabut speaker active.

Begitu banyak cerita ada suka ada duka
Cinta yang ingin ku tulis bukanlah cinta biasa
Dua keyakinan pisah masa'alah pun tak sama
Ku tak ingin dia ragu mengapa mereka selalu bertanya?

Cintaku bukan diatas kertas cinta getaran yang sama
Tak perlu dipaksa tak perlu di cari
Karena ku yakin ada jawabnya,..
Andai ku dapat merubah semua hingga tiada orang terluka
Tapi tak mungkin ku tak berdaya
Hanya yakin menunggu jawabnya,..

Janji terikat setia masa merubah segala
Mungkin dia kan berlalu ku tak mau mereka tertawa
Diriku hanya insan biasa milik naluri yang sama
Tak ingin berpaling tak ingin berganti
Jiwaku sering saja berkata,..
Andai ku mampu ulang semua kupasti tiada yang curiga
Kasih kan hadir tiada terduga
Hanya yakin menunggu jawaban,..

Seandainya istana cinta ini hanya istana yang terbuat dari pasir, maka keajaiban tangan Tuhan telah bermain bersamanya sehingga istana pasir ini begitu kuat dan terus berdiri kokoh sampai detik ini. Bila cinta ini hanya dipandang selayaknya kupu-kupu kertas, maka keagungan Tuhan pula lah yang telah memberi kupu-kupu kertas ini nafas penuh cinta sehingga kupu-kupu kertas ini masih terus mengepakkan sayapnya tanpa kenal lelah. Jika dia memiliki dua kebahagiaan, biarlah aku cukup dengan satu kebahagiaan saja. Bersama Rini, akan kutepis segala badai yang menghadang langkahku. Bersama Rini aku akan membuktikan pada dunia kalau rasa ini tak perlu mereka tertawakan, karena ini bukan lelucon tanpa lakon dan layar.

Aku tersadar. Nafasku sedikit tersengal. Sudah jam empat dan aku harus pulang. Meskipun Juliet dan Rufus tak membutuhkan aku, aku harus terus di sini sampai batas waktu yang telah kudisiplinkan pada diriku sendiri. Selebihnya waktuku hanya untuk Rini di rumah. Ah gadisku itu, sudah selesai kah dia membereskan loteng? Ku harap sudah, agar aku masih dapat menemaninya berceloteh tentang sekolahnya, temannya, gurunya dan suasana hatinya saat ini. Sekelebat kurasakan rasa tak enak di hati, namun segera kuhalau .. aku pulang.

-bersambung-

0 Commenti:

Posta un commento

Iscriviti a Commenti sul post [Atom]

<< Home page