martedì, aprile 20, 2004

I MISS U LIKE CRAZY

Kamar kost Juan di daerah Janti, Jogja.
Di kamar kost yang tak luas itu, terdapat satu kasur, satu lemari, satu meja belajar berikut komputer dan printer, satu rak sepatu dan sandal dan satu pigura foto yang berdiri dengan manisnya disamping komputer, berjejer dengan weker imut berwarna biru. Biru, warna favorit cowok ceking itu. Juan, anak rantau dari Flores yang melanjutkan kuliah di kota Jogja, ngambil Hukum dan telah masuk semester dua. Setahun sudah dia menjadi mahasiswa UII, Universitas Islam Indonesia. Perokok berat.

Pigura foto itu berwana biru, lebih tua sedikit dari weker imut. Disitu, tersenyum dengan manisnya seorang gadis hitam manis, berambut ikal dan berlesung pipi. Pipi gadis itu, temben nian! Yakin deh, orangnya pasti gendut. Giginya berbaris rapih dan putih, menghiasi senyumnya. Foto yang setahun ini menemani setiap waktu Juan di kamar kost. Foto yang selalu memberinya semangat belajar. Gadis di dalam foto itu adalah Jeni. Sahabat smunya. Jeni, gadis usil dan suka men-cap dirinya. Mereka berdua ibarat tom and jerry. Kalau satunya usil, satunya pasti mencak-mencak. Keduanya kalau ketemuan pasti saling nge-cap.

Jeni sendiri ikut kursus di Jogja juga. Kurus komputer, kursus bahasa, kursus menjahit dan sebagainya. Pokoknya kursus yang nambah pengetahuan deh, emang ada kursus yang ngurangin pengetahuan? Sutralah, ga tau ini kok. Nah, Juan dan Jeni ini sering ketemuan, sekali seminggu, setiap malam minggu. Padahal mereka ga pacaran, hanya terikat sebagai sahabat dekat. Sama-sama berasal dari Flores, eks dari smu yang sama dan menimba ilmu di kota yang sama.

Kamar kost Jeni, di daerah Condong Catur, Jogja.
Di kamar kost yang lumayan gede itu, ada satu lemari baju, satu filecabinet yang isinya underwear dan asesoris, satu rak sepatu, satu keranjang baju buat laundry, satu meja belajar berikut komputer, Satu jam dinding tweety, satu rak tivi lengkap sama vcd playernya, satu kasur dan satu kamar mandi. Rata-rata, nuansanya kuning menyilaukan. Jeni sama kayak Juan, perokok berat.

Jeni, cewek gendut yang suka banget sama warna kuning, bikin seger mata katanya. Apa ga salah tuh? Sutralah, favorit orang ini kok. Kamar Jeni lebih mewah dari Juan, juga beda harga. Disamping komputernya, ada pigura foto berwarna kuning dengan ornamen tulip yang isinya adalah foto Juan. Sahabat setianya sejak smu. Sahabat yang selalu dijadikannya tempat menumpahkan kata-kata kasar dan umpatan dengan balasan yang lumayan pedas juga. Juan yang kerempeng dengan tampang 'kasihanilah saya tuan'.

"Ju, foto saya masih di samping kompi?" tanya Jeni suatu sore, Sabtu sore, saat mereka menghabiskan waktu berdua menyusuri Malioboro.
"Masih, padahal, lebih bagus foto Doraemon loh Jen." jawab Juan. Jeni terkekeh.
"Huhuhu. Tau gitu mending itu foto saya kirim ke tom cruise, dia kan pernah rengek2 minta foto saya."
"Tom cruise aja bangga, saya dong dibanggakan!" seru Juan.
"Kamu? Bentar bentar, 'lalu ngakak dengan dahsyatnya' ngapain banggain papan penggilasan kayak kamu Ju? Malu-maluin deh." Jeni masih ngakak. Juan tersenyum simpul. Jeni menyulut sebatang rokok, demikian pula Juan.

"Mending papan penggilasan, daripada Fuso kayak kamu? Uhikzz menuh-menuhin tempat." balas Juan.
"Fuso yang bikin kamu bermimpi setiap malam kan?" tanya Jeni lugu.
"Iya, mimpi buruk!! Nightmare deh pokoknya kalau abis liat foto kamu Jen." mereka ngakak lagi.
"Ju, ga terasa yah, udah setahun kita disini." ujar Jeni.
"Iya, ga terasa udah setahun, saya jadi neg tiap malam minggu keluar sama kamu Jen hihihi."
"Wahaha, kok sama Ju?! Habis jalan sama kamu, saya muntah-muntah loh." cerita Jeni.
"Oh yah? Padahal saya ga ngapa-ngapain ... berabe neh, emak bapak kamu di Flores bisa nuntut saya tanggung jawab dong."
"Oh my G, jangan!! Jangan sampai kamu deh yang tanggung jawab. Biarkan tom cruise yang bertanggung jawab." Juan terkekeh.

"Lagian kasihan anaknya, bakal terlahir dengan wajah memalukan di dunia, persis kamu!" ledek Jeni.
"Loh, itu kan dominan dari 'ibu'nya." balas Juan.
"Ibunya cakep gini kok!" sambar Jeni.
"Cakep? Huahahahaha, cakep dari hongkong! Fuso .. fuso .." Juan sok geleng-geleng kepala, prihatin.
"Penggilasan ga tau diri, kerempeng, jelek!!" umpat Jeni. Juan terkekeh.
"Jelek tapi kalau ditaksir Dian Sastro kan lumayan Jen." Juan siul-siul.
"Dian Sastro kalau lagi buta hihihi." ledek-ledekan gitu terus terjadi sampai mereka capek trus istirahat minum di warung pinggir jalan, menikmati es degan yang segar.

"Kemarin emak telpon ke kost." Jeni kembali berbicara.
"Ngapain telpon? Kamu itu pantasnya ditempeleng, bukan di telpon wahaha." ledek Juan. Tapi kali ini Jeni tidak membalas, wajahnya sedikit suram.
"Ju .. saya disuruh pulang ke Flores kalau kursus terakhir, bahasa Jerman saya kelar." ujar Jeni. Juan tersedak es degan yang diseruputnya.
"Apa? Pulang? Oh No! Ga boleh pulang!" seru Juan kaget.
"Emang kamu menteri? Bikin Undang-Undang, dilarang pulang kampung bagi manusia yang lagi nimba ilmu di Jogja." Juan tertawa.
"Kalau jadi menteri, kamu malah saya bikinkan UU, harus tidur bareng di kost saya." Jeni terkikik.
"Amit-amit, jangan sampai deh." sambar Jeni.

"Jen, please ngasih alasan dong ke emak dan bapak kamu, bilang kamu harus ikut ujian ulang kek, apa kek, yang penting jangan pulang ke Flores dulu." pinta Juan dengan wajah tanpa dosa, tanpa beban.
"Oh yeahhhh, kamu pikir segampang itu? Duit mereka sudah banyak habis cuman buat saya. Kamu mau biayain saya disini?!" semprot Jeni.
"Lha, kan anak bungsu, biar saja duit mereka habis buat kamu Jen. Kalau perlu, bagi dua sama saya." balas Juan.
"Pala kamu peyang!" Juan tertawa senang.
"Saya terus terang, ga sanggup biayain kamu Jen. Bagi Fuso, biayanya tinggi." ledek Juan.
"Jelas ga sanggup. Biayain diri sendiri aja ga sanggup, apalagi saya? Ngaca tuh, kerempeng kayak tripleks gitu kok." balas Jeni.
"Kerempeng tapi seksi huaahahaha." mereka tertawa lagi.

"So, intinya, saya tetap harus pulang ke Flores begitu kursus Jerman saya selesai. No comment!"
"Siapa juga yang mau ngasih koment. Trimakasih deh." Juan tersenyum.
"Padahal, sebenernya saya ga rela ninggalin Jogja Ju, ga rela ninggalin kamu sendirian di sini, bisa-bisa kamu pulang ke Flores tinggal kentut sama tulang aja." ujar Jeni kalem.
"Weee pulang gih sono!!!!!" Jeni terkekeh. Mereka lanjut jalan lagi, menyusuri Malioboro yang selalu ramai.

"Kursus Jerman kamu kapan selesainya?" tanya Juan. Jeni menarik napas dalam-dalam.
"Minggu depan ujian, nunggu hasilnya seminggu lagi. Kalau lulus, bulan depan saya sudah harus pulang." ada nada kecewa dalam nada suara Jeni.
"Ikut kursus lagi dong Jen. Kursus menguruskan badan gitu, biar ga kayak fuso." usul Juan. Jeni melotot.
"Enak aja kursus diet, gendut is seksi tauk!"
"Huahahaha, hanya orang-orang bego dan buta yang bilang gendut itu seksi, please Jen, dunia belum buta!" Jeni melepaskan sebelah sepatunya.
"Upz, salah ngomong... la la la .." Juan siul-siul. Jeni tersenyum penuh arti dan memakai sepatunya kembali. Dan kepala Juan tak jadi benjol.

"Pulang yuk Jen, dah malam." ajak Juan.
"Oke. Saya juga masih harus belajar, minggu depan ujian." sahut Jeni. Keduanya lantas pulang ke kost masing-masing. Jeni naik taxi ke Condong Catur dan Juan naik kendaraan umum.

Seminggu berlalu. Minggu ini Jeni mengikuti ujian terakhirnya dari rangkaian kursus bahasa Jerman yang diikutinya. Hasil belajarnya mati-matian membawa berkah. Dia sanggup mengerjakan soal-soal ujian dengan mudah. Ada satu atau dua nomor yang agak susah, tapi rasanya itu bukan masalah. Tiga hari ujian akhirnya selesai. Siang ini, usai ujian terakhir Jeni tak langsung pulang, melainkan mampir dulu di kost Juan. Juan yang lagi asyik membaca buku KUHP yang tebalnya makjang itu kaget.

"Tumben Jen, kangen yah?" Jeni melepaskan ranselnya di lantai dan tiduran di kasur Juan.
"Kangen sama kamu? Rugi dong .." jawab Jeni.
"Widih siapa bilang rugi? Selalu menguntungkan bila berhubungan sama Juan!" Jeni tertawa sambil menatap plafon kamar Juan. Pintu dibiarkan terbuka, mencegah terjadinya gosip miring, meskipun di kost Juan, bukan hal tabu lagi bila pacar-pacar temannya menginap disitu. Kost cowok yang 'agak' bebas.
"Tadi ujian terakhir. Tinggal nunggu hasilnya minggu depan, sekaligus kalau lulus, ngurus sertifikatnya." terang Jeni. Juan melepaskan buku tebal itu di lantai.

"Kamu betulan nih pulangnya? Minta waktu lagi dong ke emak dan bapak." Juan duduk di dekat Jeni, menyalakan sebatang rokok. Jeni bangkit duduk bersila, mengambil rokok Juan dan menyulutnya satu. Dihisapnya rokok itu dalam-dalam dan menghembuskan asapnya sekuatnya.
"Saya kesal Ju. Saya masih ingin disini." Juan manggut-manggut.
"Jangan kayak ayam jago aja kamu, manggut-manggut ga karuan!" cerocos Jeni. Juan, lagi-lagi hanya tertawa.

"Wahahaha. Biar ayam, tapi jago kan?"
"Najis deh." rutuk Jeni.
"Kalau pulang nanti naik apa Jen?" tanya Juan.
"Kapal laut, ke Surabaya dulu kayaknya." jawab Jeni.
"Mending renang aja Jen hihihi, biar kurus gitu."
"Musang! Keburu diterkam hiu saya." mereka tertawa lagi. Suasana ramah dan menyenangkan bila kedua sahabat ini bertemu.

"Kalau pulang, saya harus jadi anak baik dong Ju. Ga bisa ngerokok lagi. Padahal, hidup tanpa rokok itu sama juga dengan mati."
"Ya mati aja deh, ga ada yang bakal tangisi kok Jen, suer!"
"Iya, abis mati, saya jadi hantu trus cekek kamu biar ikut mati juga hehehe."
"Trus jadi deh berita santer, sepasang hantu jahil hiihihi."
"Iya, hantu yang satunya gendut imut, satunya lagi kerempeng mengerikan."
"Walah, imut??? Item mutlak?? Hihihi."
"Weeee .. eh kalau saya beberes, bantuin yah Ju."
"Asssiiikk ketemu temen-temen kost kamu yang cakep-cakep itu? Asikk deh. Biar mata rada fresh dikit, muak lihat tampang kamu melulu Jen." dan bantal Juan mendarat manis di kepalanya.

"Ju, kalau saya pulang nanti, kamu akan tetep inget saya kan?" tanya Jeni.
"Ya tetep lah Jen, kita kan sahabat sejati. Keburukan kamu itu yang jelas paling utama saya ingat. Utang-utang dilunasi yah Jen, biar ga ada yang nagih ke saya." jawab Juan.
"Huhuhuhu. Ngaca nih ceritanya? Utang kamu kan lebih banyak Ju, utang di warung terutama. Heran deh, banyak makan kok tapi ga pernah gemuk. Orang kok isinya tulang melulu." sambar Jeni cepat.
"Daripada kamu? Orang kok isinya perut semua muanya! Hihihihi." Juan terkekeh. Mereka masih ngobrol ngalor ngidul lagi hingga sore. Selepas sholat Ashar Jeni pun pamit pulang.

Seminggu setelah hari itu, Juan dan Jeni nampak asik di kost Jeni. Ada beberapa teman kost Jeni yang menemani mereka dan itu membuat semangat Juan meledak-ledak. Dia jadi bertenaga mengepak barang-barang Jeni. Melihat itu, Jeni tergelak. Dasar Juan, mata keranjang. Ga tau apa tampang ga sesuai sama hasrat. Blas Jeni ngakak.

Akhirnya, jadi juga Jeni pulang ke Flores. Juan mengantarnya. Barang-barang Jeni dipak di dos-dos trus dikirim lewat titipan kilat. Jeni sendiri hanya bermodal ransel dan satu tas pakaian ganti buat di kapal. Naik bis malam, tiba di Surabaya subuh. Keduanya lantas ke kost salah seorang teman yang sebelumnya telah dihubungi Jeni. Yang mana teman mereka itu dimintai tolong buat beli tiket kapal. Semalam di Surabaya, esoknya Jeni pun diantar ke pelabuhan Perak Surabaya.
"Jen, jangan nangis yah." pinta Juan pede.
"Saya ga nangis, cuman nyesel aja, kenapa dulu kita bersahabat, berat juga ternyata menyadari kita bakal pisah gini." ujar Jeni tulus.
"Yeah, si kerempeng yang selalu membuat kamu kangen .. hihihi." Jeni meninju lengan Juan keras.

KM Titian Nusantara membawa Jeni kembali ke Flores. Juan masih terus berdiri di dermaga, menatap Kapal tersebut terus menjauh, berbaur dengan kapal-kapal lainnya. Jeni, selamat kembali ke kampung halaman! Jeni pun demikian, terus memandangi tubuh Juan yang semakin kecil dan berubah menjadi titik kecil di kejauhan. Flores, I'm coming home!

Ini adalah tahun ke empat perpisahan mereka. Setelah kepergian Jeni, tahun pertama mereka masih saling kirim kabar. Namun, 3 tahun berikutnya mereka sama sekali hilang kontak. Setiap kali dihubungi di rumahnya, Jeni pasti tak ada. Kata orangtuanya sih, Jeni ke kampung, kampung yang mana? Kadang mereka bilang, Jeni sibuk. Sibuk apa sih Jeni sampai melupakannya begitu saja?! Oh no, ada apa gerangan? Juan ingin sekali bertanya soal Jeni ke orang tuanya, paling tidak mereka tau keadaan Jeni. Tapi niat itu selalu diurungkannya, Juan yakin dalam hati, Jeni masih tetap seperti Jeni yang dulu. Meskipun mereka menjadi aneh seperti ini, kehilangan kontak! Dia amat menyayangi Jeni.

Disadari atau tidak, nama Jeni telah terpatri kuat di dalam hati Juan. Oh tidak, dia mencintai gadis ndut yang sering dipanggilnya Fuso itu! Adakah rindu di hati Jeni seperti rindu yang dia rasakan? Sanggupkah Juan terus terlena tanpa Jeni disisinya? Oh, seperti lirik lagu saja. Juan terkekeh. Bila Jeni tau ini, dia pasti bakal di ledek habis-habisan. Dia ternyata memang kangen pada Jeni! Pada canda tawa yang selalu memeriahkan kebersamaan mereka selama itu. Dia ternyata mencintai Jeni. Kesadaran yang timbul setelah Jeni pergi. Kesadaran yang timbul akibat rasa rindunya yang menggunung. Miss you like crazy Jen. Sungguh!

Juan, diwisuda dengan gelar Sarjana Hukum. Nilai-nilainya memuaskan. Bahkan salah satu dosennya menawarkannya kerja sebagai pengacara di sebuah firm yang baru dibuka. Juan menolak, dia ingin pulang kampung dulu. Dia ingin memamerkan ke-sarjanaannya pada Jeni, membuktikan kalau dirinya akhirnya bisa meraih gelar tersebut. Juan masih ingin kembali ke Jogja, ingin kerja di Jogja, makanya kost-nya telah dibayar lunas untuk tiga bulan ke muka. Jadi kamarnya ga disewakan. Sebagian besar barang-barangnya pun masih di situ. Juan pulang ke Flores. I miss you Jeni, so much. Batin Juan berkali-kali. I want to meet you. Miss you .. Masihkan kamu sama seperti yang dulu? Seperti yang tertulis dalam surat-surat yang telah lama terhenti? Suaramu masih sama seperti yang saya dengar di telepon saat dulu awal perpisahan kita? Juan terus membatin. Oh, yang diinginkan olehnya sekarang adalah bertemu Jeni, sahabat setianya, yang dicintainya, justru bukan orangtua dan keluarganya.

KM Titian berlabuh di pelabuhan Ippi, Ende, Flores. Juan turun dari kapal, menapakkan kakinya di tanah Flores yang 5 tahun telah ditinggalkannya. Dengan senyum ramah Juan menyapa satu dua orang yang 'mungkin' dikenal dan mengenalnya. Dia pun naik ojek, pulang ke rumah. Setelah melepas rindu dengan keluarganya, Juan langsung menelepon rumah Jeni. Sedang apa kah si tukang cap yang satu itu?

"Haloooo..." suara anak kecil disana. Oh, barangkali salah satu keponakan Jeni.
"Halo adek, tante Jeni ada?" tanya Juan pasti. Si kecil terdiam.
"Tante Jeni tidak ada om, Jeni itu mama .. nama mama Jeni .." tess!! Seperti dipanah ribuan anak panah, Juan tak mampu berkata-kata lagi. Telepon kembali diletakkannya tanpa menjawab atau berkomentar. Jadi, setelah setahun mereka surat-suratan dan telpon-telponan tehenti, Jeni menikah? Jeni menikah dan tak mau lagi berhubungan dengannya? Suck Juan!!

Juan sontak marah. Marah pada apa dan siapa saja. Dia rindu setengah mati pada Jeni, ga bisa melepaskan pesona Jeni yang ndut itu dari pikirannya. Ga bisa melupakan semua kebersamaan mereka. Sial, dia merindukan Jeni, melebihi musafir merindukan setetes air. Juan kesal. Hari itu dia tak jadi membongkar pakaiannya yang masih di dalam tas. Juan mandi trus makan. Orangtuanya sedikit heran melihat perubahan Juan yang drastis. Baru tiba dengan segudang tawa, cerita dan foto-foto yang menyenangkan, eh, sekarang dia malah terlihat bete abis.

Juan memutuskan untuk pulang besok malam, dengan KM Titian Nusantara yang kembali dari Kupang dan menuju Perak. Orangtuanya jelas kaget. Mereka masih rindu pada Juan yang telah meninggalkan mereka 5 tahun lebih lamanya. Lalu sekarang dia ingin kembali ke Jogja? Juan mengemukakan alasan yang tepat. Dia dipanggil kerja, peluang ini ga mungkin disia-siakan olehnya begitu saja. Maka, dengan berat hati, orangtuanya pun menyetujui niat Juan untuk kembali besok malam dengan KM Titian.

Juan pun meninggalkan tanah Sanua, hanya dalam satu hari! Dia tak ingin berlama-lama disitu, untuk apa? Jeni telah menjadi milik orang lain. Nama mama Jeni .. polos anak kecil itu bicara. Jeni, taukah kamu kalau saya merindukan kamu lebih dari segalanya? Lebih dari perempuan yang telah melahirkan saya? Juan mau nangis rasanya. Jangan Juan, kamu cowok, ga boleh nangis, begitu batinnya terus memberi semangat. Dalam perjalanan kembali ke Jogja, pikiran Juan tak bisa lepas lagi dari Jeni. Telah menikah, punya anak, ngurus keluarga. Pantas saja sibuk. Sampai-sampai bercerita padanya saja Jeni ga mau. Huaaaaahhh, di dek paling atas, Juan berteriak sekuatnya. Melepaskan kesal dan rindunya pada Jeni. Malam telah lama jatuh, bintang-bintang bersinar di atas langit, di kejauhan nampak titik-titik lampu perahu nelayan. Bila mereka melewati pulau, maka nampak titik-titk kecil lampu-lampu di kejauhan.

Kembali ke Jogja, kembali pada kenangannya bersama Jeni. Meskipun berat, Juan berusaha melupakan Jeni. Dia menghubungi dosennya yang pernah menawarkannya kerja. Dan dia diterima kerja tanpa harus melewati banyak birokrasi yang mbulet. Pengacara muda.

Juan bekerja dengan tekun. Tiga bulan gaji pertamanya dikirim penuh ke Flores. Bulan-bulan berikutnya, orangtuanya meminta dia untuk berbagi saja, jangan semuanya dikirim ke Flores. Nanti bagaimana dia menyokong hidupnya sendiri? Kebutuhan pokok Juan ditanggung perusahaan. Berapa sih besarnya pengeluaran seorang bujangan? Tapi toh orangtuanya ngotot, Juan harus menabung. So, satu tahun berlalu dengan kerja dan kerja. Juan melakukan itu agar pikirannya bisa sedikit melupakan Jeni. Sering dia dikenalkan oleh teman-teman kantornya dengan cewek-cewek cantik yang seksi. Cocok untuk seorang pengacara muda. Namun Juan menolaknya mentah-mentah. Pikirannya, terutama hatinya masih belum bisa berpaling dari Jeni. Jeni yang telah menjadi milik orang lain. Pigura foto biru itu pun masih setia berdiri dengan manisnya disamping komputer di kamarnya. Jeni, bayangmu saja masih betah tinggal terus di dalam lamunan saya, bagaimana saya bisa melupakan kamu?

Lambat-lambat lagu dari Marcell terdengar dari radio miliknya,
Semuanya tlah terjadi, cintaku telah pergi
Tak ingin kusendiri, tanpa dirimu lagi
Tak mudah, menepis cerita indah
Semusim, tlah kulalui
Tlah kulewati, tanpa dirimu
Tetapi bayang wajahmu, masih tersimpan dihati ...
Tak pernah kubayangkan, kau putuskan cintaku
Kucoba tuk lupakan, semua tentang dirimu
Tak mudah, bagiku, melupakanmu
Semusim, tlah kulalui
Tlah kulewati, tanpa dirimu
Tetapi bayang wajahmu, masih tersimpan dihati ...

Oh, lebih dari semusim! Lebih dari semusim Marcell! Bukan semusim saya melewati hari-hari tanpa Jeni dan keceriaannya. Meskipun masa-masa itu belum cinta yang tersadari, sebatas persahabatan. Kini, cinta itu muncul setelah rasa rindu yang meluap-luap. Tapi apa daya, Jeni telah benar-benar pergi dari hidupnya bersama keceriaannya.

Hari ini Juan disibukkan dengan urusan perceraian klien-nya. Klien wanita yang cerewetnya bukan main. Mumet rasanya Juan mendengar gerutuan kliennya itu yang suaranya cempreng dan bicara dalam irama yang sangat cepat. Menjelang sore Juan pulang ke kost, siap-siap persidangan pertama besok pagi jam sepuluh. Juan mandi dan bersantai sejenak di depan komputernya. Foto Jeni dengan pipinya yang tembem menatapnya, tersenyum manis. Duh Jeni ... dosa saya, masih terus memajang foto kamu yang telah bersuami, bisik hati Juan.

Ketukan dikamarnya mengagetkan konsentrasinya nge-game minesweeper. Boom!! Huh, meledak deh.
"Iya sebentar, siapa!!" Juan menyeret kakinya membuka pintu kamar." deg, hati Juan meledak. Seperti menginjak bom.
"Jeni!!!!?????" disitu, di pintu kamar, berdiri dengan anggunnya Jeni. Sosoknya sedikit kurus, lebih manis. Juan terpana. Inikah Jeni?
"Iya saya!! Kenapa? Kaget? Kayak liat artis aja." ujar Jeni, masih dengan cueknya, nyelonong masuk kamar Juan, rebahan di kasurnya. Juan masih berdiri mematung di pintu.
"Kerreeemmppeengg!!! Sini dong!! Masa berdiri terus disitu? Mau gantiin tugu Jogja kamu?! Kangen neh!!" teriak Jeni dari dalam kamar. Kangen? Juan dengan hati-hati duduk disamping Jeni.

"Kerempeng .. maaf ya, selama ini saya ngilang hehehehe." wow, mudah sekali bilang maaf. Juan terdiam. Wajahnya masam.
"Ju .. oi!! Ketemu saya malah ngelamun. Ga kangen saya?" tanya Jeni.
"Amat sangat Jen .. amat sangat." jawab Juan serius. Mau rasanya dipeluknya Jeni.
"So what?? Eh, kluar yuk, jalan-jalan ke Malioboro. Seperti dulu. Masih belum ada yang menggantikan posisi saya kan?" usul Jeni. Menggantikan? Tidak ada dan saya tidak mau, batin Juan.
"Nanti dulu .. kamu sama siapa ke sini Jen?" tanya Juan ingin tau. Sama suaminya kah?
"Saya kesini sendiri dong Ju! Sama siapa lagi?!" jawab Jeni sengit.
"Ga sama suami dan anak?" Juan langsung pada pokok hal yang ingin diketahuinya langsung dari Jeni. Sekian lama memendam rasa, untuk apa bertele-tele? Jeni melotot, dahinya berkerut. Kembali bantal mengenai kepala Juan, dug!

"What?! Suami?! Ngaco kamu Ju!! Ga tau apa kalau saya itu hanya bisa memikirkan kamu?!" well, Juan mau pingsan rasanya mendengar itu. Wajah Jeni memerah seketika. Jeni lalu terkekeh.
"Kenapa ketawa? Apa kamu ga tau kalau saya juga selalu memikirkan kamu selama hampir enam tahun kamu menghilang seperti ditelan bumi?! Kamu tau, saya pulang ke Flores usai di wisuda. Tujuan saya yang utama adalah bertemu denganmu. Setelah semua surat dan telepon saya tak terbalaskan selama tiga tahun!? Kamu tau, saat menelepon ke rumahmu dan yang menerima adalah seorang anak kecil yang mengaku Jeni adalah nama mamanya?! Kamu tau perasaan saya saat itu Jen? Hancur!! Saya langsung kembali ke Surabaya dengan kapal yang sama dalam waktu sehari di Ende. Saya ga bisa melupakan kamu Jen, saya cinta kamu!!!! Ngerti kamu?!" cerocos Juan tanpa jeda, tanpa mau memberikan kesempatan pada Jeni untuk menyela sebelum semua rasa dihatinya tertumpahkan. Jeni terperangah.

"Tunggu-tunggu .. suami? Siapa yang menikah Ju? Saya? Mana mungkin saya menikah dengan pria lain kalau yang ada di hati saya hanya kamu? Meskipun, menurut saya kamu mana mau memiliki rasa yang sama dengan saya?!" balas Jeni tak mau kalah.
"Lalu?!" todong Juan penasaran.
"Hmm .. saya menghilang yah? Hehhehe. Setahun setelah pulang ke Flores, saya diterima kerja pada sebuah LSM yang mengurusi program pendidikan anak-anak putus sekolah. Lokasinya di Moni. Jauh dari Ende dan ga punya fasilitas telepon sama sekali. Terus terang, saya amat sibuk Ju, apalagi begitu mereka tau saya menguasai banyak bahasa. Trus, LSM itu memberikan pendidikan pada anak-anak putus sekolah yang berada di desa-desa sekitar kampung Moni. Well, amat sangat sibuk. Saya bahkan ga diijinkan pulang ke Ende bila keadaan tidak mendesak. Saya tenaga andalan mereka selain Lisa, gadis asal Philipina." cerita Jeni.
"Lalu? Anak kecil yang menerima telepon itu?!" tanya Juan, ingin tau sekali.
"Dia anak angkat saya Ju. Dia terlahir dari orangtua yang tidak siap menerimanya. Tinggal bersama kakek neneknya dan tak terurus. Saya bawa dia pulang ke Ende, tinggal bersama emak dan bapak." jawaban Jeni kemudian seperti air es yang mengalir ke hatinya.

"Jadi, selama ini saya salah persepsi? Saya .. saya .. kacau!!" ujar Juan.
"Yup!! Amat sangat kacau!! Hahahaha. Dasar kerempeng! Papan penggilasan!!" ledek Jeni.
"Fuso!! Fuso .. Fuso, saya sadar, setelah kepergian kamu, setelah hilang kontak dari kamu, saya ternyata mencintai kamu amat sangat .. maafkan untuk rasa yang tumbuh dalam persahabatan kita." ujar Juan jujur. Jeni tersenyum.
"Sama Ju. Tapi untuk apa minta maaf? Toh ternyata saya juga menyadari, saya mencintai kamu. Saya kangen pada hari-hari kita. Makanya saya minta cuti. Malah LSM tempat saya bekerja mau memberi saya beasiswa untuk mempelajari bahasa Prancis! Jadi saya bisa enam bulan disini." Juan balas tersenyum. Diraihnya Jeni kedalam pelukannya. Pelukan pertama sebagai seorang kekasih, bukan sahabat.
"I miss you like crazy, Fuso .." ujar Juan pelan di telinga Jeni.
"Miss you too krempeng, more than crazy." jawab Jeni pelan. Malam itu, keduanya jalan-jalan kembali di Malioboro, menyusuri jalan kenangan mereka, penuh canda, penuh ledekan.

"Setahun lebih saya hidup dengan pikiran yang salah. Saya bahkan meninggalkan Flores begitu cepat karena perasaan saya hancur .. hancur yang sebetulnya tidak ada." Jeni terkekeh.
"Sok ahhhhhhhhhhhhh kerempeng sekarang hebat dah kalau ngomong. Mentang-mentang dah jadi pengacara mudah hihihi." Juan tersipu. Ah, paling tidak kini dia telah kembali bersama Jeni, kembali menjalin sesuatu yang indah bersama gadis yang sudah tidak terlalu ndut itu. Dalam suasana yang lain, bukan hanya persahabatan, tapi juga cinta.

Haruskah kuulangi lagi,
Kata cintaku padamu,
Yakinkan dirimu,
Masih kah terlintas di dada,
Keraguanmu itu,
Susahkan hatimu,

Takkan ada cinta yang lain,
Pastikan cintaku hanya untukmu,
Pernahkah terbesit olehmu,
Aku takut kehilangan dirimu,

Ingatkah satu bait kenangan,
Cerita cinta kita, tak mungkin terlupa,
buang semua kenangan mulukmu itu,
percaya takdir kita, aku cinta padamu,

Takkan ada cinta yang lain,
Pastikan cintaku hanya untukmu,
Pernahkah terbesit olehmu,
Aku takut kehilangan dirimu,

Akankah nanti terulang nanti,
Jalinan cinta semu,
Dengarlah bisikku,
Bukalah mata hatimu ...

tuteh, 12 April 2004
song : Semusim by Marcell & Takkan Ada Cinta Yang Lain by Dewa19

giovedì, aprile 15, 2004

SEGI TIGA

Inez memperhatikan sepasang muda mudi yang berjalan di kejauhan. Meskipun mall tampak ramai, namun pandangan mata Inez tak mampu lepas dari mereka. Bila mereka orang lain yang tak Inez kenal sama sekali, it's oke lah, not her bussines. Tapi mereka ada Anto dan Mira. Dua orang yang dekat dengannya. Mira adalah sahabat setianya dan Anto adalah kekasihnya! Lama Inez memperhatikan mereka, mesra dan saling canda, oh Tuhan, ini kah kenyataan dibalik setia kawan Mira dan kesetiaan Anto yang sering diucapkannya? Inez masih menatap mereka kian lama menjauh. Gadis itu masih terus duduk di sudut resto waralaba, menghabiskan minumnya. Pantas saja, sikap Anto akhir-akhir ini jadi lain.

Oh, bukan menjauh .. bukan! Anto lebih perhatian, lebih sayang padanya. Padahal Anto itu tipe cowok cuek, Inez hafal sifat-sifatnya, mereka telah pacaran 3 tahun! Mira, sahabat Inez yang tentu saja dikenal pula oleh Anto. Mereka bertiga kuliah pada universitas yang sama, namun beda fakultas. Inez dan Mira di fakultas sastra, sedangkan Anto di fakultas Teknik. Oh .. jadi ingin mempermainkan gue yah? Ingin berbohong yah? Ingin selingkuh? Bosan sama hubungan kita To? Huh, Inez menggeram kesal. Dan Mira, hohoho, you're bitch!! Ga disangka, persahabatan kita hanya bisa bertahan sampai di sini. Lagi-lagi Inez membatin.

Oke oke .. kalau itu memang mau kalian berdua, oke! Gue layani, gue ikutan jadi aktor dalam naskah kalian berdua, rutuk Inez dalam hati. Gadis itu tersenyum puas, gembira atas ide yang muncul di kepalanya. Gue ga akan sakit hati, gue pengen bikin kalian seperti orang ketakutan, sport jantung, was-was dan sebagainya .. dan kalian, akan seperti orang yang berjalan di medan ranjau .. Inez tertawa senang.

"Gue sore tadi ke salon Nez, ngantar mama .. tau kan mama hehehe. Ke salon aja harus gue yang nemenin." ujar Anto di telepon. Malam ini, Inez ingin tau, apa yang akan dikatakan Anto bila dia bertanya sore tadi kemana, ingin tau, kebohongan apa yang akan dikatakan Anto padanya.
"Oh ya? Tapi perasaan yang nerima telpon gue sore tadi, mama elu deh To .. " ujar Inez santai, dia ingin mempermainkan perasaan Anto juga.
"Masa sih? Si bibi kali Nez, suer tadi sore gue nemenin mama ke salon." sumpah, mau rasanya Inez tertawa, oh yeaaaaahh, sumpah!! Begitu mudahnya kalian para cowok bilang sumpah! Sumpah palsu!
"Yasud kalau gitu, gue mau bobok! Oh iya To, besok kuliah kan? Ketemuan yah, ada yang ingin gue bicarakan, soal mall .." Inez menggantung kalimatnya.
"Mall?? Ma .. maaksud elu apa Nez?" gotcha!! Rasa-rasanya Inez mendengar degup jantung Anto yang kian berpacu.
"Mailing list maksut gue .. ada temen yang ngajak ikutan mailing list, tapi sumpe gue kurang paham maksutnya apa .." well, Inez mendengar Anto menarik napas lega, kesian deh eloe!
"Oke .. sampai ketemu besok yah. By the way, kenapa elu ga mau sms gue aja Nez?" tanya Anto kemudian.
"Oh .. lagi malas aja bawa hp, ribet deh huehue .. see ya." jawab Inez sembari meletakkan gagang telpon.

Kena lu sekarang To!! Nganter mama ke salon? Oh yeahhh. Salon dari hongkong? Jelas-jelas sore tadi tangan Anto melingkar mesra di pinggan Mira. Jelas-jelas mereka berdua berjalan berduaan seperti sepasang merpati yang tengah dilanda asmara. You both lie to me.

Inez tengah menunggu Anto di kantin kampus yang ramainya aujubilleh. Itu mahasiswa pada kelaparan pa yah? Atau pengen ngilangin stress akibat dua atau tiga jam berhadapan sama dosen killer? Wow, Inez memesan batagor kesukaannya plus satu gelas soda gembira, duduk menanti Anto. Mira ga nampak batang idungnya sejak tadi. Kemana dia? Jangan-jangan lagi hepi di kamar, akibat senangnya jalan berdua pacar teman sendiri!! What a hell!!

Dari kejauhan Anto muncul, kemeja biru kusut dan blue jins. Ranselnya menggantung jenuh di pundak.
"Hi sayang .. udah lama nunggunya?" tanya Anto.
"Iya, lumayan lama neh. Mending gue nunggunya di mall, sambil cuci mata." tess, wajah Anto nampak berubah sedikit eskpresinya. Inez tertawa dalam hati. Emang enak dikerjain? Ga enak lagi!

"To, gue mau ngomong soal mailing list nih .. elu ngerti ga?" tanya Inez disela-sela menyeruput soda gembiranya.
"Itu kayak forum gitu Nez, email kita di add disitu, surat yang dikirim kita ke alamat mailinglist, bakal masuk ke semua anggotanya, gitu deh garis besarnya." terang Anto.
"Oh oke .. eh by the way, where's Mira? Gue ga liat dia sejak pagi." tanya Inez. Anto nampak sedikit grogi.
"Ga tau yah, elu kan teman dia Nez, telpon apa sms kek .." saran Anto. Inez tersenyum puas.
"Nanti aja, hp gue ga kebawa nih." elak Inez. Mereka pun makan dalam diam begitu pesanan Anto datang.

Hari sabtu ini, sejak pagi Inez dah ngomong ke Anto kalau dia ga usah diapelin, ada urusan keluarga. Anto pun dengan gembiran menjawab.
"Oke deh sayang .." huah, seneng yah, biyar bisa ngapelin si Mira? Di rumah Inez malah menelepon Mira.
"Hei Mir, sorry menggangu .. lama hp gue nonaktif neh hehehe. Pa kabar?" tanya Inez.
"Hei, kabar baik Nez, thanks for asking yah hehehe." ngekek lu?! Batin Inez.
"Eh Mir, gue mo nanya sedikit hal neh, boleh?" tanya Inez, lagi-lagi Inez menangkap nada grogi di seberang.

"Boleh boleh Nez, apa sih yang ga boleh buat elu?" seloroh Mira.
"Semua boleh dong .. heheh boleh selingkuhan juga dong Mir hihihi." kata-kata Inez yang diselipin becanda itu justru membuat napas Mira memburu.
"Ehh maksut lu?" tanya Mira hati-hati.
"Maksut gue yang mana?" Inez balik bertanya.
"Oh .. just forget it .. mau nanya apa tadi Nez?" tanya Mira lagi. Sumpah, Inez ngakak dalam hati, nada suara Mira .. bergetar!
"Mau nanya soal psikologis nih, memang rada beda dari apa yang kita pelajari, tapi ini permintaan Siska, sepupu gue yang kuliah di psiko, dia pengen tau pendapat 3 orang lagi soal cinta segitiga gitu. Paling tidak dia harus punya sepuluh essay, kurang tiga neh .. ya udah, dia minta ke gue, elu dan Anto." cerocos Inez, ga peduli sama degup jantung Mira yang kian berpacu.
"Loh .. kok diam Mir???? Boleh kan?!" serang Inez lagi.
"Oh boleh boleh .. kapan mau diambil tulisannya? Brapa halaman?" tanya Mira cepat-cepat.
"Senin besok. Satu lembar folio aja Mir, anyway, thanks ya .. gue mo pergi ke rumah sodara neh .. see ya Mir .." Inez buru-buru menutup telepon dan tertawa bebas. Hebat sekali dia, esay soal cinta segitiga? Bwahahaha, Inez ngakak selebar-lebarnya. Sejak kemarin, pintu hatinya telah tertutup bagi Anto, dia akan melepaskan cinta mereka, dan segitiga yang memuakkan ini.

Senin, Inez tiba di kampus tepat jam sepuluh, kuliah baru dimulai pukul sebelas, masih ada satu jam lagi nih, mending ke kantin aja. Di kantin biasanya paling cepat tersebar kabar apa pun, kabar burung, kabar gajah, pokoknya kantin itu ibarat tempat ngerumpi paling joss deh. Inez duduk di tempat favoritnya, memesan satu gelas teh hangat dan mulai membuka-buka kamus Inggrisnya.
"Betul, gue lihat sendiri .. Mira sama Anto .. mesranya kemaren malam mereka berdua nonton. Coba kalau Inez ampe tau .. dia past .." suara itu ga meneruskan omongannya, Inez menatap penuh senyum pada tiga cewek yang tanpa sadar membicarakan 'segitiga' antara dia, Anto dan Mira.

"INEZZZ!?!?!?!" ketiganya serentak histeris. Inez tertawa dan mengajak mereka duduk bersamanya.
"Heiiiiii ... kok jadi histeris gitu sih? Sini, gabung yuk!" ajak Inez ramah. Kiki, Fera dan Masta, tiga cewek biang gosip di kampus mereka. Dulu Inez paling benci mendengar omongan ketiganya, tapi hari ini, hatinya amat sangat gembira.
"Nez, sorry .. kita tadi ga bermaksut .." Masta buka suara, mewakili kedua temannya. Inez tersenyum ramah.
"Udeh .. gue dah tauk kok, thanks aja kalian ikutan tauk hehehe." seru Inez. Ketiganya terkejut, lebih terkejut dari kepergok Inez tadi.
"Dimana kalian ngeliatnya?" tanya Inez lagi sambil meminum teh hangatnya. Kiki, Fera dan Masta saling pandang. Mereka, sedikit dibuat bingung.

"Bukan gue yang liat kok Nez, tapi Fera." ujar Masta. Inez melemparkan pandangan ke Fera. Si genit.
"Uhm, semalam gue kan diajak keluar sama Roni, trus kita milih nonton, pas lagi ngantri karcis, Roni nyikut gue sambil bilang ngeliat Anto sama Mira. Gue jelas kaget, lha wong Anto itu kan pacarnya elu Nez." cerita Fera. Inez tersenyum puas. Kena lagi kalian!
"Well, thanks deh .. oia, minum apa makan, pesen aja, gue yang bayar." ujar Inez sambil melanjutkan membaca kamus. Ck ck ck, kamus aja dibaca, dasar anak sastra. Ketiganya duduk diam saling lirik, minum pesanan. Inez ga memperdulikan mereka, asyik dalam kamus nya.

Pukul sebelas kurang lima Inez pamit pada ketiganya yang anak ekonomi.
"Gue duluan yah, gue bayar sekalian .. ada kuliah sejarah Inggris nih .. see ya guys!" Inez melambai pada mereka menuju ruang kuliah.
Di ruang kuliah, Mira telah duduk menanti dosen, sama seperti teman-teman yang lain.
"Dorr!!" Inez mengagetkan Mira, gadis itu kaget dan tertawa.
"Nez, ini essay yang elu minta itu." Inez menerima essay itu.
"Waduh, bagus banget Mir, sayang gue kemarin malah lupa ngomong ke Anto." Inez menyadari kalau dia justru ga bilang ke Anto soal essay itu.
"Gpp, gue udah bilang duluaannnn .. eh .." Mira keceplosan.
"Ohyah? Bagus dong, thanks yah, elu memang teman yang paling baik deh Mir!" kata Inez cuek sambil duduk disamping temannya. Pura-pura ga melihat paras wajah Mira yang berubah sedikit pucat. Teman terbaik heh?

"Tapi elu harus cerita ke gue dong .. masa anak-anak lain dah pada tau, gue yang temen elu sendiri lum tau?" pancing Inez.
"Ce ce cerita apa Nez?" tanya Mira bingung. Kena lu sekarang Mir. Batin Inez.
"Cowok baru elu .. maren ada yang lihat elu di bioskop ama cowok .. suit suit, siapa sih Mir, gue kok ga tau?!" ujar Inez dengan tampang lugu. Mira berubah pucat, butir-butir keringat membasahi keningnya. Wah, jangan-jangan bentar lagi semaput lu Mir, batin Inez.

"Ah, enggak Nez .. " oh, bukan elu yah Mir?!! Dasar!! Inez tersenyum penuh arti, lebih cenderung ke sinis, tapi cewek itu berusaha tertawa .. sinis.
"Masaaa sih Mir? Anak-anak jelas tadi cerita-cerita di kantin loh, santer lagi. Gue jadi aneh, masa gue yang temen deket lu malah ga tau apa-apa sih? Ayo, jangan sembunyiin apa pun dari gue dong Mir. Gue kan ga pernah sembunyiin apa pun dari elu, termasuk hubungan gue sama Anto." ucapan Inez membuat Mira hampir pingsan. Gadis itu cepat-cepat mengeluarkan buku-buku dari tasnya. Inez menatap dengan pandangan tak berdosa. Dosen yang masuk kemudian menyelamatkan Mira. Dosen yang lumayan killer itu memang ga suka ada mahasiswa/i yang ngobrol di setiap kelasnya.

"Oke .. open your book, page 203 bla bla bla .. read it, 30 minutes again I will make a little test." yeah, Inez langsung terjun ke dalam sejarah bangsa Inggris-nya. Mira pun demikian. Tapi Inez tau, saat ini Mira seperti si pandir yang ketakutan. Rasain deh lu. Tes 30 menit sesudahnya dapat dikerjakan Inez dengan hasil yang memuaskan. Mira menarik napas panjang.
"Kenapa Mir?" tanya Inez.
"Gue ga bisa kerjain satu pun .." gimana bisa Mir, elu terbawa rasa bersalah!
"Kok bisa? Apa gara-gara jatuh cinta ya Mir? Elu sih, yang konsen dong, harus bisa bedakan, mana saat harus serius sama kuliah, mana saat kita bisa asik terbawa lamunan .. tanya gue dong ahahaha." goda Inez tambah puas. Mira menunduk lesu, memasukan buku-bukunya dan segera pamit pada Inez.

"Nez, kayaknya gue ga enak badan nih, gue duluan pulang yah." Inez menatap tak percaya, pulang yah? Takut?
"Ga ikut kuliah berikut?" tanya Inez sok alim.
"Ga usah deh Nez .." jawab Mira.
"Ya udah kalau gitu, gue sms si Anto yah, biar dia anterin elu pulang, kasihan kan, elu pulang sendiri dalam keadaan sakit gini ..." tawar Inez, oh ..
"Eh .. ngg ga usah Nez, gue pulang sendiri aja .. thanks yah." Mira buru-buru keluar ruang kuliah. Inez menatap punggung Mira dengan senyum puas. Biar mampus sekalian lu Mir!

Inez segera meng sms Anto, minta ketemu di kantin. Tak lama Anto pun muncul di depan Inez.
"Hei .. eh To, Mira dah ngomong soal essay ga? Dudutz deh gue, malah lupa ngasih tau elu .. semoga elu ga lupa .. itu penting banget lagi." cecar Inez.
"Iya gue bawa, Mira ngasih tau gue .." ujar Anto sambil mengeluarkan selembar folio essay.
"Thanks yah say .. by the way, kapan Mira ngomong? Dia telpon atau sms?" tanya Inez, memancing.
"Dia ngomong kok .. eh .. telpon .. bukan bukan, dia sms gue kok Nez." Anto kelabakan menjawab pertanyaan Inez.
"Ya sudah deh kalau gitu. Eh dia sakit loh To, kita ke rumah nya yuk?!" ajak Inez. Anto membeliak.
"Ke rumah Mira?!!!" Inez mengangguk mantap.
"Ga deh .. elu sendiri .."
"Duh elu gimana sih To, temenin gue kenapa, gue butuh elu nemenin gue disaat temen dekat gue sakit. Mira itu ibarat jantung gue juga, kita temen dekat To. Please temenin gue yah." bujuk Inez penuh harap, tampangnya dah kayak orang pesakitan juga. Anto akhirnya ngalah.
"Oke, tapi gue ga turun dari mobil yah, elu aja yang masuk, jangan lama-lama." ujar Anto.
"Emang kenapa sih elu? Mira bukan kena aids tau, ga biasanya deh." Inez pura-pura merajuk. Anto menarik napas pasrah. Yess, batin Inez.

Rumah Mira bercat hijau lumut dengan ubin dengan warna senada. Inez langsung memencet bel rumah.
"Hallo tante .. Mira ada? Katanya sakit .." ujar Inez perhatian. Mamanya Mira tersenyum manis.
"Ada tuh di kamar, sakit dia .. tapi pulang kuliah wajahnya pucat Nez, ke kamarnya gih .." tawar mamanya Mira. Inez mengangguk mantap.
"Eh bentar tante .. Inez manggil Anto dulu." seru Inez. Mama nya Mira terkejut.
"Anto? Oh .. tentu saja dia sudah tau yah Nez. Kalian putus baik-baik kan?" tess, jadi ini lah yang terjadi. Inez tersenyum penuh arti.

Mama Mira sudah dianggap Inez seperti mama sendiri. Apa yang dirasakan Inez kadang dicurhatin juga ke mama nya Mira. Otomatis wanita baya yang baik itu tau kalau Inez pacaran sama Anto, bahkan mereka pernah ke rumah Mira di malam minggu kalau bosan ke tempat-tempat yang biasa mereka kunjungi. Inez diam, ngajak Anto ke dalam, Anto awalnya menolak, tapi akhirnya nurut juga. Mereka berdua menuju ke kamar Mira.

Mira terbaring di kasur, lemes. Mira shock melihat Inez muncul bersama Anto di pintu kamar.
"Hei Mir!! Gue dateng nih, jenguk jenguk heheheh. Ayo To, masuk!" ajak Inez sambil narik tangan Anto. Mira bertambah pucat, Anto seperti orang kehilangan tenaga.
"Aduh Mir, cowok lu dah tau lum? Mana nomernya, gue eponin yah?" tawar Inez. Sumpah, Inez rasanya pengen ngakak saat itu juga. Inilah skenario yang kalian bikin yang tanpa kalian sadari, gue ikut di dalam skenario kalian!

Mama Mira datang membawakan nampan berisi dua gelas sirup dan sepiring kue.
"Aduh tante ... ngerepotin hehehe. Makasihhh." ujar Inez ramah. Anto dan Mira saling pandang.
"Justru tante yang harus bilang makasih ke kamu Nez. Biar pun telah putus sama Anto dan Anto pacaran sama Mira, tapi kamu tetap menjadi teman yang baik bagi mereka ..." ujar mama si Mira terharu. Mira langsung menutup matanya dan Anto terduduk lemas di kursi. Mama Mira keluar dengan senyum bahagia. Inez tersenyum kepada keduanya.

"Oke kalian berdua. End of the story, hehehe. Selamat yah, atas jadiannya Mira dan Anto .. bermain api di belakang Inez. Oh malangnya Inez .. Hm, gosip itu paling besok-besok beredar juga di kampus. Well, gue sudah tau semua ini, jauh sebelum orang-orang tau, gue diam aja, gue pengen tau, sampai dimana kalian berdua sanggup bersandiwara." Mira mulai menangis. Anto terdiam, ga tau harus bilang apa.
"Nez... huhuhu gue minta maaf Nez .. gue .." Mira memohon. Inez tersenyum.
"Untuk apa maaf? Untuk kesalahan yang seharusnya elu sadar itu ga boleh? Juga buat my beloved Anto .. dear .. you lie to me ..!!" seru Inez. Anto semakin dalam menunduk, seperti tertuduh di tengah ruang pengadilan.
"Nez .. gue khilaf .." ujar Anto.
"Plis deh To, khilaf????!! Kasihan Mira kalau ternyata elu khilaf, kasihan diri elu sendiri juga .. ck ck ck .." Mira sesenggukan, malu.

"Kalian berdusta sama gue. Teganya, padahal Mira adalah sahabat setia gue dan Anto adalah pacar gue. Teganya kalian mengarang cerita ke tante kalau gue dan Anto dah putus! Tante yang bagitu baik dan percaya sama dusta kalian!! Teganya kalian berbohong dengan wajah bayi tanpa dosa di depan gue!" maki Inez. Dia ga marah .. dia hanya .. meneruskan skenario Anto dan Mira.
"Skenario kalian bagus .. sayang akhirnya ga bagus seperti ini yah? Gue, ga sakit hati, untuk apa? Sejak awal gue lihat kalian berdua di mall, mesra, cinta gue sudah gue tarik dari Anto .." ujar Inez lagi.
"Nez .. plis hentikan .. gue mohon .. maafkan gue .. Nez .." Mira memohon dalam tangis. Inez ga peduli.

"Nez .." Anto mencoba buka suara.
"Sudah lah To, mau dibilang apa? Nasi sudah menjadi bubur kan? Berbahagialah kalian diatas kebohongan .. hmm gue pulang duluan yah To, kekasih baru Mira, sahabat gue sendiri." Inez melenggang santai membuka pintu kamar Mira. Dia agak kaget melihat mama Mira berdiri dengan air mata berlinang menatapnya, mengharu biru. Dengarkan beliau semua yang dikatakan Inez tadi?
"Inez .." Inez menatap perempuan baik hati itu, memeluknya hangat.
"Jangan sampai kamu ga datang ke sini lagi gara-gara ini yah sayang, kamu anak baik .. tante suka berbagi denganmu .. maafkan Mira .. maafkan Anto." oh my God!! Inez tersenyum.
"Ga pa pa kok tante, iya saya janji pasti datang ke sini lagi." ujar Inez segera berlalu dari situ. Keluar dari rumah Mira .. menarik napas panjang, menghirup udara siang yang panas .. LEGA!!

Hari ini, segitiga ini berakhir sudah. Dia ga sakit hati, untuk apa? Untuk cowok seperti Anto? Cuihhh ga rela rasanya sakit hati gara-gara Anto. Inez tersenyum bangga pada dirinya sendiri. G'bye seti tiga .. Inez pulang ke rumah dengan perasaan PLONG bukan main. Terserah apa yang akan terjadi pada Mira dan Anto.

Keesokan harinya tersiar kabar bahwa Mira terpaksa putus kuliah, karena mamanya ga sanggup membiayai lagi. Anto pun berniat pindah kuliah. Oh, ga sanggup menahan malu? What ever lah, batin Inez. Yang penting dirinya merasa lega banget. Dunia belum berakhir kan?

tuteh, 8 April 2004

venerdì, aprile 09, 2004

Cinta Itu ...

Aku masih disini, di bangku taman kota yang ramai. Menatap kosong pada sekitar yang ramai pengunjung. Aneh rasanya, aku sendiri ditemani sepi dan senyap sedangkan disekitarku semua nampak saling berpasang-pasangan atau bersama keluarga melewatkan sore yang indah di taman kota. Taman kota, sebulan belakangan aku menghabiskan lebih banyak dari waktuku di sini. Setelah kuliah aku pasti ke sini, duduk di bangku panjang yang dinaungi pohon beringin sambil menatap lepas pada rerumputan hijau. Setelah mandi sore, aku pun pasti ke sini, membawa discman dan sebuah majalah sambil duduk santai di bangku taman yang sama, pemandangan yang sama dengan pengunjung yang berbeda. Hanya aku yang sama, pohon beringin yang sama, bangku taman yang sama dan petugas taman yang sama yang tentu bosan melihat sosokku setiap hari selalu duduk di tempat yang sama.

Sebulan terakhir aku memang seperti makhluk dengan separuh nafas, dimana nafas lainku diterbangkan Glen. Separuh jiwaku dibawanya terbang entah ke negeri ke sembilan, atau ke atas langit biru. Glen yang selama ini menjadi panutan dan cintaku, ternyata memang bukan untukku. Aku yang ringkih, malangnya telah memberikan seluruh cinta ini tanpa syarat kepada cowok ambon yang penuh kharisma itu. Sebulan, waktu yang terlalu singkat bagiku untuk bisa melupakan bayang-bayang Glen dari hidupku. Sebulan untuk melupakan setelah lima tahun menjalin cinta? Lima tahun penuh cinta dan kebersamaan yang sangat berarti bagiku? Seribu tahun pun rasanya tak cukup untuk hati ini melupakannya. Melupakan sosok ganteng itu.

Aku memang gadis lemah, seperti yang pernah diungkapkan Glen padaku. Aku gadis ringkih yang mudah dibodohi oleh siapa pun. Terlalu percaya pada orang, sepenuhnya mencoba menjadi bagian dari hidup orang lain. Aku ternyata tak mendapat ganjaran yang setimpal dari ketulusan hati, justru semua itu dibalas dengan pengkhianatan menyakitkan dari Glen, orang yang pernah mengatakan semua itu padaku. Tak heran bila aku menjadi manusia lumpuh bathin seperti ini karena cinta, karena cintaku telah kuberikan semuanya, tanpa sisa pada Glen. Malang oh malang nasibku, Glen yang kucinta dan kupercayai sepenuh hati, malah mengkhianatiku dan menikamku dari belakang.

Aku menjadi kekasih Glen saat kelas satu smu hingga kami lulus smu dan melanjutkan pendidikan di kota pelajar ini. Masuk pada universitas yang sama dan fakultas yang sama kian mendekatkan kami hari demi hari. Pandangan syirik teman-teman sekolah waktu masih smu dulu kembali kurasakan saat masuk kuliah. Glen yang ganteng, wajah timur nan eksotis dengan tinggi melampaui rata-rata menurut mereka mungkin tak sebanding dengan diriku yang tidak cantik dan amat mungil. Aku mempercayai Glen, separuh nafasku itu, mengecap manisnya cinta bersama. Glen nyaris sempurna, he has everything. He gives me all his life. Paling tidak, itulah yang kurasakan saat menjadi miliknya dan memilikinya. Tapi kini semua itu tinggal kenangan yang hampir tak mampu aku lupakan.

Bangku taman kota masih tetap disini, menungguku setiap sore menghabiskan waktu, mendengar lagu atau membaca majalah, memperhatikan orang-orang yang nampak begitu bahagia. Mengapa kebahagiaan yang mereka temui di taman ini tak jua kudapatkan? Mengapa hanya kesedihan dan kesedihan yang pedih lah yang terus menghiasi perasaanku? Tak mudah memang melupakan Glen, namun lebih tak mudah lagi menerima kenyataan pahit akibat pengkhianatannya pada cinta kami. Cinta yang terjalin indah pada awalnya dan berakhir dengan kepahitan.

Aku memang gadis lemah. Menghadapi cobaan seperti ini saja rasanya seperti mati. Aku memang bodoh. Begitu mengagungkan cinta yang tak seharusnya aku puja, tapi dulu aku atau siapa pun tak tau bahwa cinta itu salah kan? Aku memang gadis aneh. Tidak berusaha bangkit dari jatuh, berusaha sedikit, namun belum pulih seratus persen, tapi akan aku coba. Mungkin betul kata orang, hidup sendiri lebih menyenangkan, namun menurutku, hidup bersama Glen dengan cinta kami itu lebih menyenangkan. Oh, bagaimana aku bisa melupakan dia bila setiap desah nafasku selalu menyebut namanya? Kapan aku bisa berhenti mendatangi taman kota dengan tujuan melupakan Glen? Kapan aku bisa bila setiap memoriku meloncat ke arahnya begitu melihat kemesraan orang lain? God help me.

Hari ini tepat dua bulan perpisahan menyakitkan kami. Di sore yang dingin, aku kembali berada di taman kota, duduk pada bangku yang dinaungi pohon beringin dan menatap ke arah pengunjung yang lain. Mereka, para pengunjung itu, mungkin memiliki masalah yang lebih berat dariku, tapi mereka nampak bahagia, terpancar dari wajah yang tersenyum dan sinar mata yang hangat. Sedangkan aku? Masih terus membatu-hati, marah pada ulah Glen dan merutuki diriku setiap hari hanya karena dikhianati olehnya. Hanya karena? Oh, cinta kami begitu indah, apakah ada cinta yang lebih indah dari cinta kami sebelum ini? Entahlah, aku tak tau, karena sampai detik ini belum kutemukan atau tak ingin lagi kutemukan.

Gugusan awan mulai kelam, menghitam dan pasti sebentar lagi akan turun hujan. Bangkitlah, untuk apa duduk sendiri di taman kota, dibawah siraman hujan lebat menangisi cinta yang hilang, sedangkan orang-orang mulai meninggalkan keindahan taman satu persatu. Di kejauhan nampak petir menyambar dan guntur bersahut-sahutan. Aku pulang ke kost, mengganti baju, menyeduh secangkir teh panas dan duduk menghadap jendela menyaksikan hujan yang mulai turun ke bumi.

Sedang apa kah Glen saat ini? Menghangatkan Mirna dengan pelukan kokohnya? Pelukan yang dulu selalu melindungiku dan menenangkan jiwaku? Bodoh bodoh!! Masih saja sosoknya menghiasi kepalaku, sedangkan dia belum tentu memikirkan aku. Masih saja hatiku berontak mengingat kenangan manis kami berdua, sedangkan sekarang Glen telah menjadi milik orang lain dan memiliki cinta yang lain. Cinta itu indah, cinta itu menyakitkan. Aku telah merasakan keduanya, keindahan cinta yang menggelora dan kepedihan cinta yang mengoyak batinku tanpa ampun. Saat seperti ini aku berharap akan ada kepedihan yang melampaui kepedihan hatiku saat ini hingga pedih hati akibat ulah Glen bisa pergi dari sini, hatiku.

Kuseruput teh yang mulai menghangat, hangatnya menjalari kerongkonganku dan perutku. Teh yang manis, sayang cintaku tak semanis teh ini. Diriku pun tak semanis teh ini. Mirna, sosoknya mungkin sepadan dengan rasa secangkir teh manis. Mirna memang manis dan tinggi tentu saja, tak seperti aku yang kecil mungil. Mirna memiliki segala cira rasa seorang wanita, cantik, manis, proposional yang tentunya cocok bersanding dengan Glen, ramah dan punya banyak teman. Glen dan Mirna, sepasang kekasih baru, tersenyum diatas duka ku. Ah, yang benar saja, Mirna tak salah, dia menerima Glen karena Glen berkata cinta, bukan merebut Glen dariku. Haruskah aku menyalahkan Mirna? Tentu tidak, sekali lagi, Glen lah yang salah.

Tuhan!! Sampai kapan aku terus berkutat dengan mimpi buruk ini? Sampai kapan kepedihan ini berlalu. Kepedihan yang selalu mengaitkan Glen di dalamnya dan Mirna disampingnya. Aku harus bangkit, aku harus bisa melupakan semua ini, harus harus harus! Ketukan di kamar membuyarkan lamunanku, kuletakkan cangkir teh di meja dan membuka pintu. Hilar, teman kostku menyerahkan sepucuk surat.
"Dari siapa?" tanyaku.
"Dari Glen, tadi siang diserahkannya padaku, baru sore ini aku ketemu kamu." jawab Hilar. Aku tersenyum, mengucapkan terima kasih dan kembali ke jendela, duduk disana menatap hujan.

Surat dari Glen, beramplop putih. Untuk apa surat ini setelah 2 bulan perpisahan kami? Lebih tepatnya untuk apa dia mengirim surat? Haruskan kubaca atau kubuang saja? Bila kubaca, tentu niatku melupakan Glen akan terhambat, bila kubuang, isi surat itu tak mungkin kuketahui. Hatiku berperang sendiri, baca atau tidak? Dengan tangan gemetar kurobek salah satu sisi amplop putih itu dan membuka lembar suratnya perlahan. Tanganku bergetar.

Huruf Glen ... masih seperti yang dulu, tak rapih namun lumayan. Kubaca baris pertama.

Dear Fla ..

Oh .. dear, masih pantaskan dear itu untukku? Kubaca isinya ..

Fla, aku menulis surat karena susah bagiku untuk menemukanmu di kampus. Kemana saja? Hp mu sering dimatikan yah?

Kemana pun aku pergi bukan urusanmu lagi Glen! Jangan coba-coba memarahi atau menghakimiku karena dirimu tak dapat menemukanku di kampus! Aku terus membaca isi surat itu.

Aku mencarimu kemana-mana Fla, banyak hal yang ingin kuceritakan dan kubagi denganmu, meskipun dirimu pasti akan meludahi aku. Fla, aku salah, aku lah yang begitu bodoh menyukainya, suka, bukan cinta, itu kusadari begitu menjalin sesuatu dengannya.
Mirna bukan untukku Fla, Mirna bukan dirimu, yang kucinta dan mencintaiku. Mirna berbeda darimu, dia tak sepertimu yang mau menerima semua kekuranganku apa adanya. Dia bukan kamu, yang mau menggunting kuku-ku bila mulai tumbuh, yang mau mengomeliku bila celana jinsku tak kucuci sebulan lamanya. Dia hanya tau menghinaku dengan semua kekuranganku tanpa mau berbuat sesuatu untuk kekurangan itu. Aku menulis ini bukan untuk membandingkan, karena tak pantas dirimu dibandingkan dengan siapa pun juga.

Kutarik napas dalam-dalam ... Glen ... hem ...

Disini aku temui arti cintaku padamu. Aku berada disisi dia, hanya sebagai sosok tinggi yang dibanggakannya, bukan sebagi sosok kekasih yang saling menerima dan memberi. Terus terang, bagaimana aku bisa mencintai Mirna bila yang ada di kepalaku hanya dirimu bila bersamanya? Aku berkata ini bukan untuk menyesali Fla, namun untuk meraih kembali cintamu, bersujud pun aku mau. Terlalu banyak yang ingin kusampaikan, namun surat ini tak mampu memuat semuanya, bertemulah denganku Fla, hidupkan hp-mu, karena akan banyak sms yang kukirim tertunda disana. Sms yang sejak sebulan lalu selalu kukirim untukmu dan gagal. Aku sesungguhnya tak bisa pindah ke lain hati.

Salam sayang,
Glen

Kulipat kembali surat itu. Di luar hujan mulai reda, meniggalkan rintik gerimis di sore hari. Langit mulai cerah dengan warna jingga yang mulai membias di cakrawala. Surat Glen kuletakkan di meja dan meraih cangkir teh yang mulai dingin, sedingin udara sore ini. Surat dari Glen. Sebulan lalu mengirim sms padaku? Hp ku memang tak pernah aktif setelah dia berpaling dariku, aku memilih menyimpan Hp itu di lemari. Kutarik napas dalam, mencoba mencerna dan mengerti apa yang sedang terjadi padanya. Apa yang sedang berkecamuk di dalam batinnya. Glen, taukah kamu, cintaku pun tak bisa pindah ke lain hati? Tau kah kamu, aku terus merutuki diriku yang malang ini karena tak bisa melupakan cinta kita? Tau kah kamu, di sudut batinku aku selalu berharap hal seperti ini terjadi?

Aku melangkah ke lemari, mengambil benda mungil yang kubiarkan membisu di sana. Hp kuaktifkan. Betul, begitu banyak sms yang masuk, sms 1 minggu lalu. 25 sms dalam satu minggu! Aku yakin, sms-sms nya sebulan terakhir banyak yang expired. Kubaca satu persatu sms itu ... hem .. Glen? Maaf? Kembali? Bersujud? Meraih kembali cintaku? Lima tahun dalam hubungan yang indah? Kangen? Tak bisa pindah ke lain hati? Glen!!! Aku pun begitu! Kutatap rintik hujan yang mulai reda seiring dengan dering ringtone risalah hati - dewa. Call masuk dari Glen. Haruskah kuterima? Aku belum siap. Bukan belum siap menerima telepon darinya, lebih lagi aku belum siap berhadapan dengannya. Mendengar suaranya sama artinya dengan mengembalikan semua cinta dan kenangan di hati yang 2 bulan terakhir ini, yang ingin kuhilangkan namun tak mampu. Mendengarkan suaranya sama dengan melemahkan hatiku untuknya.

Lalu apa yang kutunggu, bukankah aku selalu berharap dia kembali? Ini bukan suatu kebetulan, ini jalan yang diberi Tuhan untukku setiap mendengar rintihan hatiku. Dia Yang Diatas sana, barangkali tak mau membiarkan aku dimiliki pria lain, yang tak mengerti keadaanku selain Glen. Aku menapat layar Hp dan menarik napas dalam.

"Ya .."
"Fla! Oh, thanks God!"
"Ya .."
"Fla, lagi dimana?"
"Di kost."
"Aku kesana yah sekarang, hujan sudah berhenti."
"Jangan sekarang Glen."
"Please Fla, sekarang. Aku ga mau semua ini berlarut-larut."
"Tapi aku belum ...."
"Sekarang, tunggu aku yah .."
"Glen, tapi .. oh .. aku ..."
"Okay, sampai ketemu setengah jam lagi. bye"
"Glen!!"

Terlambat, Glen sudah menutup pembicaraan tanpa memberiku pilihan. Aku melempar Hp ke ranjang dan duduk lagi di depan jendela. Teh manisku telah habis. Surat Glen menatapku dari meja penuh harap. Cinta itu ... indah, sakit, indah ... Ah .. entahlah. Aku memang gadis ringkih, setelah dikhianati mau saja dihubungi. Maukah aku kembali dalam pelukannya? Pelukan yang selalu kurindukan selama ini? Maukah aku kembali pada cintanya? Cinta yang telah membuatku seperti orang dengan separuh nafas 2 bulan terakhir? Hatiku deg degan, aku harus mandi.

Selesai mandi kudengar ketukan halus di pintu. Hilar kah itu? Kubuka pintu, dan kutemui sosok Glen disana. Berdiri mematung, tertunduk menatapku dengan pandangan penuh cinta, masuk tanpa perlu kupersilahkan lagi trus duduk di dekat jendela, tempat yang baru saja kududuki sebelumnya, merasakan kepedihan akibat cintanya yang berpaling. Kututup pintu kost dan duduk di ranjang, menghadapnya tanpa kata. Diam, membisu.

"Fla." aku mengangkat wajahku, menatap kedalaman bola matanya.
"Aku minta maaf." ujarnya tulus.
"Ya .." jawabku. Sungguh, aku tak dapat berkata-kata.
"Sejujurnya, aku ga bisa mencintai gadis lain selain dirimu. Tak ada cinta yang lebih manis dari cinta kita berdua. Aku mohon, maafkanlah perbuatan bodohku. Maafkan aku .. meskipun aku tau, tak mudah bagimu untuk memaafkanku setelah perbuatanku padamu." kata-kata itu mengalir lancar dari bibirnya. Barangkali, dia telah menyiapkannya sebulan terakhir?
"Ya .. aku .." dia menatapku lagi.
"Fla, aku tau, mungkin ga mudah bagimu untuk menerimaku lagi. Tapi yakinlah, aku tetap seperti Glen yang kamu kenal dahulu. Glen yang mencintaimu apa adanya seperti dirimu mencintaiku. Fla, gila rasanya hidup tanpa dirimu dan cinta kita ... lima tahun Fla .. aku begitu bodoh Fla ... aku ... aku ... khilaf." aku tertunduk. Khilaf ya .. manusia, siapa pun, tentu bisa khilaf. Dan Tuhan, untuk apa pun dosa manusia, masih mau memaafkan. Masa aku tak bisa memaafkannya? Wanita super apakah diriku sampai tak mau memberi maaf untuknya, sedangkan hatiku masih terus padanya?

"Fla, bicaralah, jangan diam begitu, bicara apa saja, kalau perlu maki aku, agar batinmu puas." ingin rasanya aku tertawa. Memakimu? Untuk apa? Aku sudah cukup puas dengan merutuki diriku sendiri karena tak bisa melupakan dirimu Glen! Aku begitu mencintaimu sampai-sampai mencoba menghibur perasaanku sendiri dengan bertandang ke taman kota setiap hari!
"Fla??" Glen berjalan ke arahku, berlutut di depanku, meraih tanganku lembut. Selembut tatapan matanya yang penuh harap, seperti harapan surat yang baru saja kubaca tadi. Mataku mulai basah. Bukan karena pedihnya saat dia berkhianat, namun pada cinta kami yang begitu kuat yang ternyata tak mampu tergantikan oleh cinta yang lain.

"Glen, aku mencintaimu." itu saja yang bisa kuucapkan, mewakili seluruh kata-kata yang ada di kepalaku.
"Oh Fla, thanks God!" dia meraihku untuk duduk bersamanya di karpet dan memelukku hangat, seperti pelukan yang selalu kurindukan.
"Jangan pernah melukaiku lagi Glen, karena tak akan ada maaf untuk itu. Karena aku mungkin memilih mati dari pada menahan sakit dihati." kataku kemudian. Glen mengangguk mantap, mengecup lembut bibirku. Kecupan yang selalu aku inginkan bila berdua dengannya.
"Tak akan! Tak akan! Cukup sekali dan itu tak akan terulang lagi." kata-kata Glen, sekali lagi menghangatkan hatiku yang membeku selama 2 bulan terakhir.

Cinta itu ... indah ... sakit ... indah ... Ah, biarlah .. yang penting sekarang aku telah kembali meraih cinta itu ke dalam rangkulan jiwaku. Taman kota mungkin akan terus aku datangi, namun tidak dengan kesedihan. Aku akan membagi kebahagiaan ini bersama taman kota, yang selama ini terus kulimpahi dengan kesedihan dan kepedihan. Cinta itu telah kembali, menyatu erat dengan cinta yang ada di hatiku. Cinta itu ... sejuta rasa yang akan ditimbulkan oleh cinta. Aku cinta Glen.

tuteh, 31 maret 2004