domenica, maggio 09, 2004

TRUE COLORS

Revi berdiri mematung, bersandar pada pohon johar yang tumbuh sepanjang jalan Soekarno. Ini kota Ende tercintanya, tempat dia lahir dan dibesarkan. Tempat cewek berambut cepak itu menghabiskan masa-masa sekolah sejak sd hingga smu. Kota kecil yang merupakan salah satu kabupaten dari propinsi NTT yang terletak di pulau Flores ini memiliki banyak kenangan bersamanya. Kenangan tumbuh kembang sebagai bocah dengan segudang bahagia bersama bapak dan mama nya. Di sini pula dia mengenal Joe, cinta pertamanya. Ende adalah kota cinta baginya, dulu, sekarang dan nanti.

"Hai, saya Joe."
"Reva."
"Nama mu kah? Nama yang bagus."
"Trims. Sekolah dimana Joe?"
"STM. Murid pindahan dari Surabaya."
"Oh I see, baru kali ini saya melihatmu."
"Ya .. dan baru kali ini saya ikut ngebasket di lapangan ini."
"Kecil yah?"
"Hu`uh, tapi bagus kok. Meskipun hanya punya dua lapangan basket umum, tapi banyak peminatnya."
"Begitulah. Lapangan ini jauh dari kesan bagus dan terurus. Lihat saja, banyak rumput dan sampah yang berserakan."
"Tapi suasananya menyenangkan."
"Betul, itulah mengapa saya lebih suka ngebasket disini setiap minggu pagi, dari pada ikut teman-teman ngebasket di sekolah."
"Looking for something in here?"
"Hmm not really. Suasananya saja kok yang beda. Bosan saja bertemu teman-teman setiap hari nya. Disini saya bertemu teman-teman dari sekolah lain yang punya minat sama."
"Oke, sampai nanti ya Rev, saya harus pulang. Sampai ketemu minggu depan."
"Oke, dah .."

Joe murid pindahan dari Surabaya. Menurut beberapa temannya yang mengenal anak-anak STM, Joe dipindahkan orangtuanya ke Ende karena dia pernah terlibat dalam kasus narkoba bersama beberapa sahabatnya di kota buaya itu. Tapi menurut pengakuan Joe pada minggu-minggu berikutnya pertemuan mereka, Joe pindah ke Ende mengikuti ayahnya yang bertugas sebagai Kapolres Ende. Mana yang benar? Reva sama sekali tak ingin mencari tau meskipun sangat mudah baginya untuk mencari tau. Itu hidup Joe, tak ada alasan baginya untuk ikut campur bila ternyata Joe memang benar-benar pernah terlibat kasus narkoba.

Ende kota kecil. Hampir semua masyarakatnya saling kenal dan bersaudara. Gosip-gosip miring pun mudah beredar dalam tempo menit. Seperti pertemuannya bersama Joe setiap minggu pagi di lapangan basket, yang menyebabkan munculnya gosip mereka pacaran. Reva hanya menanggapinya dengan tawa kecil. Begitu mudahnya orang menyebar gosip di Ende, tanpa perlu bantuan media cetak atau elektronik! Reva tergelak begitu teman-temannya menanyakan hubungannya bersama Joe.

"Kamu pacaran sama Joe Rev?"
"Susi, itu hanya gosip! Jangan percaya."
"Tapi fakta-fakta .."
"Fakta yang mana? Saya dan Joe sering terlihat ngobrol berdua di lapangan basket?"
"Ya itu."
"Bisa saja saya ngobrol berdua Romi, Kiko, Arman dan Verina, teman-teman dari smu yang lain di lapangan basket! Apakah saya akan digosipkan pacaran dengan salah satu dari mereka?"
"Bukan begitu masalahnya. Kamu tau kan Joe."
"Tau .. anak STM. Pindahan dari Surabaya."
"Iya! Semua orang tau itu, seperti orang-orang tau kalau dia pernah .."
"Stop it Sus. You know, semua orang pernah berbuat salah!"
"Tapi narkoba .. kamu tau kan bagaimana kota kita tak dapat menerima orang-orang seperti itu?!"
"Seperti apa Sus? Dia manusia seperti kita juga kan?!"
"Reva, tunggu saja sampai orangtuamu mengetahui akan hal ini."
"Tak ada hubungannya dengan orangtuaku dan jangan bawa-bawa mereka dalam hal yang tidak ada kebenarannya ini!"

Reva merasa heran. Kenapa orang-orang, teman-temannya, begitu bersikap ikut campur dalam hubungannya bersama Joe. Padahal dirinya dan Joe tak pacaran seperti dugaan mereka. Mengapa mereka tak mencampuri hubungan cinta teman-temannya yang lain? Well, Reva tau jawabnya. Karena Joe adalah anak seorang Kapolres di kota kecil ini! Cemburu sosial kah? Entah lah. Atau karena Joe, seperti kata mereka, penah terlibat dalam kasus narkoba di Surabaya. Tapi itu hak Joe kan? Menurut Reva, Joe baik. Paling tidak, cowok itu tak mengajaknya masuk ke dalam lumpur kesalahan apa pun. Mereka mempunyai minat yang sama pada basket dan bertemu setiap minggu pagi. Itu saja. Reva tak melihat dimana sisi kesalahan persahabatannya bersama Joe.

"Minggu pagi besok kamu tidak usah ke lapangan basket Reva."
"Kenapa pak? Apa alasannya?"
"Kamu itu kurus dan ceking! Tak usah berolah raga lagi. Tidur-tiduran di rumah itu lebih bagus dari pada ngebasket."
"Loh, sejak smp saya sudah ngebasket di sana pak."
"Bapak hanya tak mau kamu ke sana lagi."
"Asalannya?"
"Tak ada alasan. Hanya kekhawatiran orangtua terhadap anaknya."
"Bapak mendengar gosip miring itu? Bapak terlalu percaya pada omongan orang!!"
"Reva, setiap orangtua tak mau anaknya .. terlibat .."
"Pa! Ini semua karena Joe?!"
"Begitulah .. bagus kalau kamu sadar."
"Pa .. Joe itu hanya sahabat Reva! Kita pun bertemu secara tidak sengaja karena memiliki hobby yang sama! Tak ada alasan untuk .."
"Hentikan. Bapak tidak mau mendengar ocehan yang bukan-bukan lagi."
"Yang bukan-bukan itu bapak .. "

Kesal, itu pasti. Bapaknya bukanlah tipe orangtua yang suka memilih-milih sahabat anaknya. Tapi seseorang, atau siapapun pasti telah memberikan informasi yang tidak benar kepada orangtua Reva. Akibatnya? Reva terpaksa mendekam di dalam rumah setiap minggu pagi! Padahal, rutinitas ngebasket setiap minggu pagi di lapangan koni yang sederhana itu telah dijalaninya sejak smp. Hanya gara-gara orang iseng dan gosip miring, semua kesenangannya itu terpaksa dihentikan. Tapi sampai kapan?!

Sejak itu, perasaan Reva semakin tak menentu. Mungkin benar bila dirinya telah jatuh cinta pada Joe. Siapa sih yang menolak untuk jatuh cinta pada cowok itu? Di luar dari gosip tentang narkoba dan keterlibatan Joe, dia adalah cowok yang cukup sempurna. Reva menyadari, hampir sebulan tak bertemu Joe, perasaannya semakin tersiksa. Dia merindui Joe amat sangat! Cinta kah ini? Reva sendiri tak ingin berangan-angan.

"Rev, saya perlu bicara sama kamu."
"Hei! Dari mana kamu tau nomor telepon rumah saya?"
"Ada deh, kamu kan cukup populer, anak-anak di lapangan basket rata-rata mengenalmu dengan baik."
"Ah bisa saja kamu."
"Bisakah? Bisakah kita ketemu?"
"Hmm Bisa .. kapan?"
"Besok siang sepulang sekolah saya jemput yah?"
"Jangan!!! Besok siang, temui saja saya di lapangan basket, di bawah pohon ketapang bagian sudut .. oke?"
"Oke .. saya tunggu ya besok."
"Oke."

Cukup lama Reva tak mendengar suara Joe. Cukup besar pengaruh suara itu di telepon, membangkitkan perasaan yang menggebu-gebu dalam hatinya. Sebenarnya, apa sih kesalahan Joe? Memang, semua remaja baru yang datang ke Ende akan menjadi sorotan utama semua orang. Meskipun berbeda sekolah, tapi bila si remaja cukup oke dalam hal tampang dan prilaku, dia akan menjadi sorotan yang paling utama. Dia akan menjadi bahan omongan para remaja putri. Dan, pasti ada yang akan mencari-cari kesalahan atau hal-hal buruk dari yang bersangkutan. Apalagi, Joe adalah anak seorang Kapolres!! Pantas rasanya dia menjadi pusat perhatian. Kedekatan mereka pun menjadi perhatian hampir semua anak smu di Ende. Ah, itu lah hidup dan realita dari sebuah kota sekecil Ende.

"Hai Rev, lama kamu tak kelihatan setiap minggu pagi."
"Iya, saya dilarang bapak."
"Gara-gara saya?"
"Maybe .."
"Pasti. Saya tau kok gosip miring yang beredar seputar diri saya dan gosip miring yang mengikuitnya begitu kita terlihat akrab."
"Itulah hebatnya sebuah kota kecil! Huehuehue .."
"Awalnya saya tidak terima. Ayah sampai marah-marah dan ingin mencari tau sumber dari semua gosip itu. Tapi saya melarang."
"Oh yah?"
"Hu`uh. Keluarga kami merasa heran dengan kehidupan disini. Bayangkan, saya yang tidak tau apa-apa soal narkoba diisukan pernah terlibat narkoba dan itu menjadi alasan saya pindah ke sini! Padahal saya pindah sekolah ke Ende hanya karena mengikuti ayah yang selalu berpindah tempat tugas."
"Hmm .. maafkan lah kami, orang-orang kota kecil ini Joe."
"Kamu tak perlu meminta maaf Rev. Kamu pun korban dari semua ini. Saya lah yang harus minta maaf. Karena saya, kamu dilarang bapakmu untuk ngebasket tiap minggu pagi disini."
"Ya ... orang tua .. biasa lah Joe."
"Saya paham kok Rev. Tapi .. saya .. Rev, saya .."
"Kamu kenapa Joe?"
"Saya cinta kamu Rev. Maaf kalau saya terlalu blak-blakan. Di saat saya ingin mengutarakannya, kamu malah dilarang bertemu saya, secara tidak langsung sih .. "
"Kamu mencintai saya?"
"Iya .. gosip kita pacaran mungkin lebih dulu merebak sebelum saya sempat bilang ini."
"Gosip itu .. terlalu banyak gosip!!"
"Ya .. so .. bagaimana Rev?"
"Well, setelah kebersamaan kita .. mustahil rasanya kalau saya bilang tidak mencintai kamu .. Saya pun cinta kamu Joe, tapi keadaan??"
"Keadaan kadang tak berpihak pada kita yah?"
"Iya .. dan itu membuat segalanya menjadi sulit."
"Saya tau."
"Saya tak mengerti."
"Kita jalani saja .. boleh kan?"
"Boleh .."
"Oke .. sudah saatnya pulang, nanti ayahmu bertambah marah .. kalau ada yang lihat bagaimana .. huehue ..."
"Hehehe .. oke Joe, saya pulang dulu yah?"

Reva masih terus berhubungan sama Joe. Lewat sms, lewat telepon, lewat feeling. Mereka sama-sama merahasiakan hubungan cinta mereka, menolak datangnya gosip-gosip baru yang lebih pedas. Manusia, sungguh suka sekali saling mencampuri urusan manusia lainnya. Selepas smu, Joe kembali ke Surabaya, melanjutkan kuliahnya pada sebuah Institut Teknik. Sedangkan Reva melanjutkan kuliah pada salah satu universitas ternama di Surabaya juga. Mereka semakin sering bertemu, berbagi suka dan duka, membagi tawa, mentertawakan masa lalu, masa smu yang begitu tidak masuk di akal.

Namun sayang. Bila dulu gosip narkoba yang berkaitan erat dengan Joe hanya sekedar gosip miring, kali ini Joe betul-betul terlibat di dalamnya! Dua tahun mengenal Joe lebih dari siapa pun, Reva menyadari kejanggalan yang muncul dalam diri Joe. Joe berkelit, tapi Reva terus menuntut .. Yang diinginkan gadis itu hanyalah kejujuran seorang Joe.

"Jujur saja Joe, it's oke for me .."
"Oke .. saya jujur, sudah empat bulan ini saya .. mengkonsumsi shabu-shabu."
"Joe!! Shabu-shabu!!"
"Ya .. ini kenyataan, bukan lagi sekedar gosip Rev. Pengaruh teman-teman kampus amat besar. Saya terjerumus!"
"Kamu .. oh My God!!"
"I'm sorry Rev .. sorry .. selama ini saya berusaha menyembunyikannya dari kamu."
"Joe .. dengar saya baik-baik. Saya mohon kamu hentikan semua itu! Bila kamu mau hubungan kita terus berlanjut, hentikan mengkonsumsi barang haram itu! Pikir baik-baik efeknya! Ayahmu akan malu bila dirinya sendiri lah yang akan membekukmu!! Kita notabene tak mungkin bisa bersama ... saya ..."
"Saya akan berusaha Rev, demi cinta kita. Kamu masih mencintai saya kan?"
"Bila saya tak mencintai kamu, tak mungkin saya sekhawatir ini Joe."
"Thanks dear .. thanks .."

Tapi itu hanya isapan jempol belaka. Joe justru semakin terjerumus dalam kubangan lumpur hitam dunia narkoba. Berkali-kali dia bersumpah untuk menjauhi dan berhenti, berkali-kali pula sumpahnya itu terlupakan. Reva putus asa. Sudah tak dapat menemukan cara untuk menyadarkan Joe .. tak ada cara untuk menyelamatkan cinta mereka, tapi dia cinta Joe! Amat sangat. Inilah kesulitan terbesar dalam hidupnya. Lebih sulit dari saat dirinya dilarang sang bapak untuk ngebasket setiap minggu pagi agar tak perlu bertemu Joe.

Berita itu diterimanya pada Minggu pagi, Minggu pagi yang bila sedang berada di Ende akan dilewatinya dengan berkumpul bersama para pecinta basket di lapangan koni. Minggu pagi yang cerah ... tapi tak secerah berita itu. Sms yang masuk di hp-nya begitu mengejutkan, langit terasa runtuh menimpa kepalanya. Reva menangis. Menangisi kebersamaannya bersama Joe. Menangisi cinta mereka yang berada di ujung tanduk .. Menangisi kepergian Joe akibat over dosis. Setelah sms itu, masih ada telepon dari ibu Joe, mereka sama-sama menangis. Untuk cinta yang berbeda namun sama besar porsinya pada sosok Joe.

Sekarang, setelah bertahun-tahun kejadian itu lewat dan Reva telah bekerja pada salah satu perusahaan Multi Organisation di Surabaya, dia pulang kembali ke Ende untuk berlibur. Menyusuri jalan Soekarno dan jalan Hatta. Duduk di bawah pohon ketapang pada salah satu sudut lapangan basket. Kembali memutari lapangan bola kaki dan berdiri bersandar pada pohon Johar yang tumbuh rindang di sepanjang jalan itu. Dari tempatnya berdiri, nampak satu dua anak-anak pecinta basket mulai mendribel bola basket dan mencetak gol. Disini .. dia dilahirkan, disini dia mengenal cinta, disini dia mengenang kembali cinta itu. Satu hal yang diingatnya, Joe, tetap berusaha jujur padanya, Joe .. memberinya spirit true colors agar dapat menjadi yang lebih baik bagi dirinya sendiri. I love you Joe .. bisik batin Reva perlahan. Perlahan matahari turun di balik pulau Ende yang membiaskan warna kuning keemasan .. true colors....

tuteh, 8 Mei 2004