martedì, novembre 09, 2004

D-a-m-a-i

"Damai ... bisa tolongin ibu?"

Gadis manis itu mengangguk sehingga rambutnya yang sebahu ikut terguncang. Bu Philo menyodorkan sebuah map padanya.

"Tolong diketikin yah, ada sepuluh surat yang nanti siang akan dikirim oleh kurir. Ndak bisa selesai semuanya juga ndak pa pa .. kamu bisa melanjutkannya besok. Tetapi lima surat pertama tolong diselesaikan ya?"

Lagi-lagi Damai mengangguk patuh dan menerima map biru dengan tulisan 'Surat Penting' pada covernya. Setelah bu Philo kembali ke ruangannya, Damai mulai membuka map tersebut dan melaksanakan perintah sang atasan. Atasan yang baik dan tak pernah marah padanya meskipun dirinya berbuat salah.

Dalam tempo waktu yang singkat Damai telah menyelesaikan delapan surat. Format surat tersebut rata-rata sama, Damai hanya perlu mengkopi dan mengganti isi yang berbeda dari setiap surat. Hal mudah. Damai ingin bu Philo memberinya tugas-tugas yang lain yang sekiranya lebih menuntut kemampuannya secara tuntas. Kemampuan satu-satunya yang dimiliki gadis usia dua puluh dengan wajah oval yang jenaka. Tak lebih.

Pukul sebelas siang, selesai sudah sepuluh surat yang menjadi tugasnya. Segera di print dan digabungkannya dengan surat contoh. Damai melepaskan kacamatanya dan menarik napas lega. Menanti pekerjaan apa lagi yang akan disodorkan bu Philo padanya. Bu Philo, atasannya, direktris perusahaan kontraktor yang diwarisi wanita paruh baya itu dari sang suami yang telah meninggal dunia.

"Sebenarnya ibu ingin Opet, putra bungsu ibu yang meneruskan usaha ini, tapi menurut ibu Opet masih belum mampu, masih kuliah, masih suka ngumpul sama teman-temannya."

Demikian apa yang pernah diucapkan bu Philo padanya. Damai sendiri tak begitu mengetahui sosok Opet itu seperti apa. Dia termasuk orang baru disini. Namun dari cerita-cerita bu Philo, Damai dapat menarik kesimpulan. Opet, anak bungsu yang manja yang masih suka menggantungkan hidupnya pada orangtua walaupun dia sendiri sebenarnya mampu bekerja pada perusahaan milik almarhum ayahnya. Dari cerita bu Philo sendiri Damai pun tau, Opet tak jarang terlibat pertengkaran dengan 2 orang kakaknya yang kesemuanya cowok. Rendra, dokter anak yang sukses dan menolak memegang pucuk pimpinan pada perusahaan ayahnya. Siwa, putra kedua yang memilih menjadi seniman ketimbang mengurusi perusahaan yang bergerak pada bidang yang amat jauh dari minatnya terhadap seni.

"Damai, lima surat yang penting sudah diselesaikan?"

Bu Philo berjalan ke mejanya dan meraih map tadi. Terpancar rasa puas dari wajah wanita setengah baya tersebut begitu melihat sepuluh surat telah diselesaikan Damai. Damai sendiri heran, sebenarnya bu Philo bisa meminta karyawan lain untuk menyerahkan tugas tersebut padanya dan mengambilnya kembali bila telah selesai diketik, namun bu Philo sedikit membuatnya merasa istimewah. Tak hanya bu Philo, semua teman-teman sekerjanya selalu membuatnya merasa istimewah meskipun tak ada nilai istimewah apa pun yang bisa ditemui di dalam dirinya. Damai tersenyum, membalas senyuman sang atasan.

"Damai, kamu nanti lunch bareng ibu saja ya, kita lunch di kantor ibu, tadi ibu sudah pesan ke Opet untuk mengantar dua box lunch ke sini. Semoga anak bandel itu ndak lupa."

Damai mengangguk setuju. Pukul 12 tepat Damai telah jenuh menunggu, menunggu pekerjaan lain yang bisa dilakukannya, namun pekerjaan itu tak kunjung datang, Damai jenuh bermain freecell, maka dengan segera dimatikannya komputer begitu jarum jam menunjuk angka 12. Bu Philo tak biasa telat lunch. Ruangan kantor sang atasan terasa sejuk dengan aroma jeruk yang segar. Damai duduk berhadapan dengan bos nya yang mana sang bos membalas tatapan gadis belia tersebut. Kebisuan mereka terganggu dengan kehadiran seseorang yang ribut dan suka banyak bicara.

"Maamaaa!! Nih Opet bawain lunch pesanan mama tadi. Mama sengaja mesen dua box kan? Satu buat mama, satu nya lagi buat Opet. Opet lapar berat, tapi karena tau mama pasti ngajak Opet makan siang bareng, ya Opet tahan-tahan deh."

Tatapan Damai menumbuk sosok tinggi dengan cengiran yang jahil dan tatapan lucu. Cowok itu, yang pastilah Opet, membalas tatapan Damai dengan pandangan yang tak kalah bingung.

"Ngg .. maaf, mama lagi ada tamu yah?"
"Bukan tamu, ini Damai, karyawan disini juga."
"Karyawan?! Plis deh ma!!!"

Wajah Damai memerah seketika. Sepasang mata Opet seakan-akan menelanjangi dirinya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Wajah gadis itu terasa panas. Bukan karena malu, lebih lagi karena marah. Dia marah pada tatapan melecehkan itu. Tatapan yang paling dibencinya sejak dia mengerti mengapa dirinya selalu diperlakukan berbeda dari yang lain. Kali ini mata Damai terasa panas .. jangan sampai menangis Mai, batinnya bicara.

"Bhrruuu .. haya phraamiitt mhhakkaaaa .. nnnn dhii lrruuuaarrr ..."

Opet lebih terkejut lagi. Bu Philo tak mampu menahan Damai, kursi roda gadis itu telah melewati pintu dan menghilang. Tinggal lah Opet yang mengigit bibirnya sendiri. Bersalah kan, atau?? Bu Philo menggeleng lemah dan menarik napas dalam. Sedikit kesal atas sikap putranya yang kekanak-kanakan. Opet duduk di hadapan mamanya, bersalah .. gelisah ..

"Ma, Opet minta maaf .. Opet ga tau kalau dia ternyata juga gagu .."
"Opet!! Tingkahmu itu betul-betul keterlaluan. Seenaknya saja dan ndak pernah berpikir dulu untuk bicara dan bertindak!!"
"Opet hanya melakukan apa yang ingin Opet lakukan ma!!"
"Tanpa peduli perasaan orang lain?"
"Entahlah .. yang jelas Opet ga berniat melukai perasaan dia."
"Dia punya nama .. Damai!!"
"Plis dong ma .. Opet mana tau namanya Damai!"
"Seperti kamu ndak tau kalau dia gagu alias ndak bisa bicara .. begitu!!?"
"Ya .. ya .. seperti itu lah."
"Keterlaluan .. nafsu makan mama hilang .. kamu makan saja lah."

Opet memandang mamanya dengan pandangan tak percaya dan jutaan perasaan tak enak. Sikapnya memang selalu salah di mata mama dan kakak-kakaknya. Tapi sikapnya barusan .. juga salah di matanya sendiri. Opet mengigit bibir pasrah.

Damai keluar dari ruanga bu Philo menuju kamar mandi. Air matanya tumpah saat itu juga. Kelewatan. Opet memang anak atasannya, tapi kelakuan cowok itu tanpa tata krama. Gadis itu sadar, dirinya memang gadis cacat yang menggantungkan hidupnya pada kursi roda. Dia sadar, tak mampu berbicara dengan baik karena gagu .. tapi telinganya, rasanya .. masih berfungsi dengan baik. Dan apa yang terjadi barusan di ruangan bu Philo, menusuk jiwanya yang paling dalam. Damai terluka.

***

Bulan diatas sana, dengarkan Damai yah .. Damai nggak ingin seperti ini, tapi apa daya, sejak lahir Damai dinyatakan cacat oleh dokter. Damai nggak bisa menggunakan kedua kaki yang dianugerahi Tuhan untuk Damai. Hidup Damai hanya bisa digerakkan oleh kursi roda ini. Bintang yang berkelip diatas sana, dengarkan Damai yah .. Damai ingin sekali bisa berkomunikasi dengan sesama, tapi apa daya, sejak lahir Damai mengalami kesulitan berbicara, Damai dinyatakan gagu sejak usia 8 tahun saat Damai tak mampu berbicara sepatah kata pun dengan baik. Tapi Damai berusaha untuk itu.

Tapi Damai masih dapat mendengar, Damai masih dapat merasakan, seperti Damai masih dapat melaksanakan pekerjaan yang sekarang dengan kedua tangan Damai sendiri. Menjadi seorang juru ketik pada perusahaan kontraktor milik bu Philo. Damai tau, semua orang menyayangi Damai .. lebih pada rasa iba atas keadaan Damai .. Damai terima kasih pada mereka. Tapi kejadian siang tadi membuat Damai terpukul .. Opet begitu jijik melihat Damai duduk bersama bu Philo, Opet begitu ngeri membayangkan Damai yang cacat menjadi karyawan ibu nya.

Damai menarik napas panjang dan menarik gordyn biru dengan gambar bulan bintang favoritnya untuk menutupi kaca jendela kamarnya. Perlahan kedua tangannya mendorong kursi roda ke sisi ranjang dan tertatih menggunakan kedua tangannya untuk memindahkan tubuhnya ke kasur.

Tuhan, malam ini Damai ingin tidur, Damai lelah .. lelah memikirkan sikap Opet. Damai tak mau Opet memohon maaf, tapi paling tidak, ada wajah bersalah setelah kejadian tadi siang. Namun Damai kecewa Tuhan, Opet sama sekali tak menyesali kata-katanya. Tuhan .. temani Damai tidur yah?

Setelah memanjat do'a, gadis itu tertidur .. pulas.

***

"Damai .."

Damai mendongak, bu Philo berdiri tepat di hadapannya, menatapnya dengan pandangan bersalah. Damai tau, bu Philo pasti ikut menyesali kelakuan Opet kemarin siang, tapi Damai tak ingin wanita baik hati ini ikut merasa bersalah. Semua itu kesalah Opet, bu Philo jauh dari ini semua. Damai tak pantas marah pada bu Philo hanya gara-gara kelakuan Opet yang kurang sopan.

"Haayaa ... graa pha pah bhuuuuww .."

Bu Philo tersenyum penuh arti, dia tau Damai terluka, sebagai seorang ibu, dia dapat membaca pancaran luka di mata Damai atas ulah Opet kemarin. Namun apa hendak di kata? Opet adalah anak yang keras kepala dan suka seenak hati bila bicara. Bu Philo sempat bicara kembali pada Opet kemarin malam, namun watak keras kepala Opet malah keluar bila dikasari. Apalagi dipaksa untuk minta maaf, mana mau sih seorang Opet minta maaf? Diberi bayaran berapa pun tetap saja dia tak bakal minta maaf meskipun dia tau sikapnya salah banget!

“Ibu minta maaf yah atas ulah Opet kemarin.”
“Thiiddaaakk apha apha bhuuww ..”
“Ibu tau kamu terluka Damai .. kamu mau kan maafin Opet?”
“Iiiiyyaaaa bhuwww.”
“Makasih yah.”

Tanpa mereka sadari, pada saat yang bersamaan Opet muncul. Maksut Opet sejujurnya adalah untuk meluruskan keadaan yang sempat tak enak kemarin siang, namun begitu melihat mama nya meminta maaf pada Damai, rasa tak enaknya muncul, jiwa mudanya, sikap congkaknya sebagai anak atasan seakan tercolek. Opet tak terima sang mama meminta maaf pada Damai! Rencananya menjadi kacau. Ditahannya emosi dan memilih untuk tak mengganggu percakapan mamanya dan Damai dan memperhatikan dari balik meja yang lain. Begitu bu Philo kembali ke ruang kerjanya, Opet segera menghampiri Damai. Damai terkejut melihat kedatangan Opet yang begitu tiba-tiba.

“Heh .. kamu jangan sok yah! Mama boleh saja minta maaf ke kamu, tapi itu ga berarti aku juga minta maaf! Muak aku melihat tampangmu di perusahaan ini!!”
“Khhaammuuu??”
“Bicara saja susah, masih mimpi kerja kantoran!!”
“Opphheett, hayaaahhh trriiddaaakk bbbherrmakssutt ....”
“Alah alah!! Diam!! Gadis cacat seperti kamu bisa apa sih?!”
“Khammhuu shendhirriii bbbhhissaa aapphhaa?? Khaaammuhh jjuggaaa haanyyaa bbiisaa hhuraaa-huurraaahh thannphaaahh mmmau bberruusaahaa ddhan kkerjjahh, kamhhuu ggaagg bishhaa aphhah phunnn!!!”
“Kamu!!”

Tertatih-tatih Damai bicara, dia kesal pada sikap Opet yang seenak perut itu. Matanya terasa panas, perlahan tangannya mendorong kursi roda menjauhi Opet, menjauhi meja kerjanya sendiri menuju kamar mandi. Mata Damai basah. Kesal sekali mendengar kata-kata Opet yang jelas-jelas melecehkannya. Sebenarnya dia salah apa sih? Anak bandel itu benar-benar keterlaluan!!

Sejak saat itu, Opet adalah musuhnya meskipun sejak kejadian itu pula, Opet tak pernah lagi datang ke kantor mamanya, cowok itu seakan lenyap di telan bumi!! Damai merasa lega dengan tak melihat sosok Opet dalam hari-harinya. Lebih baik begitu bukan? Dari pada hatinya hanya akan dibuat sakit oleh tingkah anak manja itu! Bagi Damai, Opet lebih baik tak usah menampakan batang hidungnya lagi di kantor itu, Damai benar-benar muak dalam ketidak berdayaan dan perasaan terhina yang amat sangat hanya dengan mengingat wajah Opet! Kebencian Damai benar-benar tak dapat ditolerir lagi, seperti sikap Opet yang tidak tau diri itu. Bukan salah Damai bila dirinya memasukan lamaran kerja sebagai juru ketik pada perusahaan kontraktor bu Philo, bukan salahnya juga bila bu Philo lantas menerimanya menjadi pegawai disitu. Dia hanya ingin membuktikan pada dunia bahwa dirinya bisa melakukan sesuatu yang berarti meskipun dalam posisi serba kekurangan seperti sekarang ini.

Damai sadari, kebaikan bu Philo lebih karena kecacatan yang diidapnya. Namun dirinya toh dapat membuktikan kemampuan jari-jari tangannya sebagai juru ketik perusahaan. Bukan salahnya juga bila teman-teman sekantor memperlakukan dirinya lebih istimewah seperti perlakuan bu Philo padanya. Semua itu sama dengan seperti bukan salahnya bila terlahir sebagai gadis cacat! Toh semua orang tak ingin dilahirkan dengan kekurangan-kekurangan itu, semua orang ‘seandainya dapat memilih’ pasti ingin terlahir sempurna. Namun kehendak Allah siapa yang sanggup menolak apalagi melawan?

***

Tiga tahun sudah lamanya setelah kejadian yang tak mengenakan itu. Sejak itu pula Opet memang tak pernah datang kembali, terluka kah dia dengan kata-kata Damai yang patah-patah dan kurang jelas itu? Kalau iya, artinya dia pun tau bagaimana perasaan Damai terluka dengan kata-katanya sendiri yang tak sedap di dengar. Namun jauh di lubuk hati Damai, dia telah melupakan masalah itu .. disadarinya, itu adalah selingan yang harus dihadapinya dalam hidup ini.

Bu Philo sendiri seakan enggan membicarakan masalah itu lagi. Lagi pula, itu hanya masalah kecil dibandingkan dengan masalah yang dihadapi perusahaan mereka di tahun-tahun beliau memegang jabatan sebagai pimpinan tunggal. Pekerjaannya sudah tentu lebih menyita waktunya yang berharga ketimbang memikirkan masalah itu. Bagi bu Philo, kejadian itu telah lama lewat, 3 tahun yang lalu! Dan disadari atau tidak, bu Philo tak lagi mau berkeluh kesah tentang keluarganya pada Damai. Ibu yang baik hati itu sadar, Damai memiliki masalah sendiri, sehingga biar saja masalah rumah tangganya diendap sendiri.

3 tahun yang cukup tentram bagi perusahaan bu Philo, sampai pada suatu siang, sosok Opet datang dengan gayanya yang amat jauh berbeda! Bu Philo memeluk Opet dan mengajak semua karyawan berkumpul di aula. Di depan mereka, para karyawan, Opet berdiri dengan gagahnya disamping sang mama dengan stelan jas hitam dan senyum memikat. Semua mata memandang tak percaya, seakan Opet yang ada sekarang adalah Opet yang dirombak habis-habisan dalam 3 tahun! Tak terkecuali Damai. Gadis itu merasakan sesuatu yang beda dari Opet. Tatapan Opet sama sekali tak tertuju padanya. Kalaupun pandangannya bersirobok dengan Opet, maka yang dilihatnya disitu adalah tatapan mata yang sedingin es. Entah kenapa Damai merasa merinding.

“Bapak dan ibu semua .. adik-adik semua, kalian semua tentu tau, ini Opet, anak ibu yang paling bungsu. Well, dalam 3 tahun ini Opet kerja keras menyelesaikan kuliahnya. Minggu yang lalu Opet diwisuda, Insinyur loh sekarang ..”
“Wah hebat bu!!” celetuk salah seorang staf.
“Iya, hebat! Karena nilai-nilainya begitu bagus. Well, seharusnya memang Opet lah yang menjadi pimpinan disini, namun berhubung Opet masih baru, dia perlu belajar akan sistem kerja kita. Ibu harap, dalam tiga bulan ke depan Opet bisa menyerap semua ilmu yang akan ibu ajarkan padanya. Opet lah yang nantinya akan menggantikan ibu, ibu telah letih bekerja selama ini.”
“Plok plok plok!!” semua yang ada disitu memberi tepuk tangan yang meriah, termasuk Damai. Opet memang beda .. jauh berbeda dari Opet yang pernah dikenalnya 3 tahun yang lalu. Opet yang pernah mencelanya habis-habisan dengan mengolok-olok cacat yang diidapnya. Damai tersenyum .. getir.

3 bulan yang terlalu cepat berlalu .. 3 bulan Opet berkutat dengan tumpukan buku dan jurnal perusahaan yang harus dipelajarinya dari sang mama. Bu Philo sendiri lebih banyak menghabiskan waktunya bersama Opet di ruang kerjanya, mengajari banyak hal sehubungan dengan tugas Opet untuk menggantikan posisinya sebagai pucuk pimpinan. Opet sendiri sama sekali tak pernah menoleh ataupun melirik padanya. Damai merasakan hatinya jadi ikutan lumpuh. Opet selalu tersenyum manis dan bercanda dengan pegawai yang lain, namun bila Damai tiba-tiba muncul, Opet akan diam seribu bahasa dan memilih hengkang dari tempat itu. Begitu anti pati nya kah Opet terhadap dirinya? Terhadap cacat yang diidapnya? Damai merasakan jiwanya terpukul .. Opet masih membencinya setelah 3 tahun berselang, Opet seakan ingin membalasnya dengan cara yang berbeda .. sama sadisnya namun dengan cara yang lebih halus. Opet masih membencinya. Damai kembali merasakan matanya basah. Cengeng!! Janganlah menjadi gadis cengeng Damai! Lagi-lagi batinnya berbisik.

Kini, mimpi buruk Damai pun dimulai. Sehari setelah pesta perpisahan bersama bu Philo yang cukup meriah berlangsung di aula kantor. Damai tau, Opet adalah pimpinannya sekarang, dan dia sendiri mendengar dari mulut Opet,

“Damai, aku ga sama dengan mama, aku ingin setiap pagi kamu ke kantorku dan mengambil sendiri semua surat dan catatan yang harus diketik, mengingat tugas kamu disini adalah sebagai juru ketik, maka berkerjalah sebagai juru ketik yang baik!”

Saat bicara pun Opet tak mau menatapnya, tatapan Opet tertumbuk pada layar komputernya dengan window freecell. Oh My God .. pasti Opet akan mengomentari kebiasaanya nge-game saat jam kerja. Tapi tidak, Opet hanya bicara itu dan berlalu tanpa senyum, tanpa suara yang ramah. Damai tau Opet saat ini tengah membalas sakit hatinya. Tidak adil!! Sungguh tidak adil, karena Damai sama sekali tak mampu membalas sakit hatinya .. Damai mendesah .. ini kah akhir karirnya sebagai juru ketik??

Opet adalah sosok pemimpin yang ulet dan penuh kedisiplinan. Entah kemana dibuangnya semua sikap amburadulnya selama ini. Setiap pagi tiba di kantor, Opet pasti telah menunggunya mengambil berkas yang akan diketik di ruang kerjanya. Ruang kerja itu kini lebih terkesan maskulin, bunga-bunga yang tak perlu disingkirkan, diganti dengan miniatur mobil atau bangunan. Opet selalu menunggunya setiap pagi dengan tatapan sedingin es. Damai merasakan beban pekerjaannya bertambah banyak. Memang sih, selama ini gadis itu mengharapkan pekerjaan yang lebih menuntut kemampuannya sebagai juru ketik, tapi yang dialaminya sekarang benar-benar menyita seluruh waktu kerjanya dan membuatnya letih. Tak ada lagi waktu senggang untuk nge-game. Tak ada lagi yang namanya nasehat untuk beristirahat bila dirinya letih. Yang ada hanya kerja dan kerja.

Beberapa temannya sendiri pun merasakan hal yang sama. Para kepala bagian dituntut untuk lebih mengeksploitasikan kemampuan mereka di bidangnya masing-masing. Bahkan Opet tak segan-segan mengancam untuk mengganti mereka dengan tenaga-tenaga yang lebih handal. Betul-betul mesin pekerja!! Pagi buta sudah nangkring di ruang kerjanya dan malam hari baru lah dirinya dapat pulang ke rumah. Hanya Opet yang begitu, karena para pegawai memilih untuk pulang tepat waktu, jam 4 sore. Untuk apa berlama-lama di kantor bila yang mereka temui bukan lagi canda dan obrolan ringan yang biasa dilontarkan bu Philo, melainkan tuntutan untuk kerja dan kerja?

Opet akhirnya mempekerjakan seorang sekretaris baru. Sekretaris yang mengatur semua surat-surat dan jadwalnya, sedangkan Damai bekerja semata-mata untuk mengetik dan mengetik setiap harinya. Padahal, ada lembaran-lembaran yang akan sia-sia bila di print ulang, namun Opet selalu membuatnya sibuk!! Damai sadar, dirinya tak mampu menjadi seorang sekretaris!! Penampilannya sungguh buruk! Opet membutuhkan obyek yang bisa membuat matanya kembali segar bila dirinya penat dengan pekerjaan. Apalagi bila mereka tengah mengejar tender besar, maka Opet akan seperti orang gila yang teriak sana, teriak sini. Opet memang berbeda, tapi entah kenapa Damai lebih memilih Opet yang dulu, bukan Opet yang sekarang. Meskipun Opet yang dulu pun tak punya hati sedikit pun untuk bermanis sikap padanya, namun Damai akan lebih memilih Opet yang dulu, yang baru dua kali ditemuinya dengan suasana yang tak enak. Seandainya Damai dapat memilih .. tapi tidak, Damai tak diberi pilihan apa pun!!

Dalam waktu setahun Damai masih bertahan pada pekerjaannya ini. Mamanya sendiri sering memintanya untuk berhenti bekerja saja. Tak tega rasanya si mama melihat tampang anaknya yang keletihan setiap pulang kerja dalam satu tahun belakangan ini, sejak bu Philo digantikan oleh Opet. Damai tak usah capek-capek bekerja, toh orangtuanya masih amat mampu membiayai hidupnya, ditambah lagi permintaan kakek dan neneknya yang tinggal di kampung nelayan, yang selalu merindukan kehadiran Damai di tengah mereka, Damai yang mereka sayangi. Damai yang sejak balita tinggal bersama mereka dan pindah ke kota begitu menginjak usia sekolah. Namun sebagai gadis cacat, dirinya terus tertantang untuk membuktikan kemampuan diri sendiri, tapi sampai kapan? Sampai suatu hari saat dirinya dibentak Opet hanya karena ada satu kata yang kurang dalam surat yang diketiknya!! Damai dimarahi di depan Novi –sekretaris baru- dengan kata-kata yang pedis. Terlebih pada kecacatannya.

“Aku tuh heran sama mama, orang cacat kok diijinkan bekerja disini! Sudah tau cacat, mana mungkin dapat menyelesaikan pekerjaan dengan sempurna?!”

Damai marah, benci sekali mendengar kata-kata Opet yang menyudutkan seperti itu. Bu Philo tak akan memperlakukannya seperti ini. Bu Philo akan mendatanginya dan menjelaskan kesalahan ketiknya. Tapi Opet? Baru sekali ini Damai berbuat kesalahan, dirinya telah dibantai tanpa ampun oleh Opet. Damai tak kuat. Tak sanggup lagi bekerja pada perusahaan kontraktor ini, letih, capek, lelah, jenuh .. semua campur aduk jadi satu dan menghasilkan satu surat pengunduran diri darinya.

Pagi itu, dengan pasti Damai masuk ke ruang kerja Opet. Disana, Opet tengah asik membaca koran pagi. Damai tersenyum, Opet cukup terperanjat, gadis ini tersenyum! Ditunggunya sampai Damai mengambil map berisi berkas yang akan menjadi pekerjaannya dalam sehari ini, tapi gadis itu mematung di hadapannya dan duduk dengan tenang di kursi rodanya. Opet menunggu .. tapi masih cuek membaca koran. Damai berdehem lalu meraih satu amplop putih dari tas kerjanya dan menyerahkan amplop itu ke hadapan Opet. Tanpa banyak bicara Damai segera mendorong balik kursi rodanya dan keluar ruang kerja Opet. Hari ini dirinya telah mengundurkan diri dari pekerjaannya. Bukan karena tak sanggup bekerja lagi, lebih karena tak sanggup menghadapi sikap Opet yang menurutnya sudah kelewatan.

Hari ini pula Damai diantar papa nya ke luar kota, ke pinggiran .. ke sebuah kampung nelayan pinggir pantai yang asri. Damai merasakan seluruh otot syarafnya bersorak gembira!! Dia bebas sekarang! Di kejauhan rumah kakek nenek, sepasang suami istri usia senja itu menanti kedatangan mobil mereka dengan senyuman penuh harap. Damai tau, disinilah tempatnya dulu, masa kecil yang membahagiakan. Sampai usia 7 tahun Damai dijemput papa untuk bersekolah di kota. Damai merindukan tempat ini, aroma lautnya yang khas dengan tempat pelelangan ikan yang selalu ramai dikunjungi.

“Damai!! Cucu kakek sekarang telah besar!! Cantik sekali kau Mai!”

Damai memeluk pria tua itu, kakeknya .. diciuminya tangan dan pipi sang kakek yang berlutut di samping kursi rodanya. Nenek menghambur ke arah mereka dan ikut mengharu birukan suasana dengan tangisannya. Tangis bahagia seorang nenek terhadap cucu yang amat mereka sayangi. Damai terharu .. disinilah tempatnya.

“Damai, papa kembali ke kota yah? Kamu baik-baik disini, nanti kalau ingin ke kota, telpon saja papa dan mama, nanti papa jemput, oke?”

Damai mengangguk setuju dan mencium tangan papanya. Mobil papa menjauh seiring dengan kelegaan besar yang dirasakan hati gadis itu. Disini, yang ada hanya laut, orang-orang ramah, ikan-ikan berserakan di tempat pelelangan ikan, pasir dan ombak yang merasuki kuping .. tak ada Opet dengan tatapan dinginnya, tak ada Opet dengan bentakannya yang menggelegar .. Damai merasa begitu damai.

***

“Kakak Mai!! Vika ke tempat lelang dulu yaaaaa .. nanti Vika kembali ke sini!!”

Damai mengangguk setuju. Vika adalah bocah usia 7 tahun yang menjadi sahabatnya dalam 6 bulan terakhir ini. 6 bulan sudah dirinya menjadi penduduk di kampung nelayan ini kembali. Vika adalah sahabat yang setia menemaninya ke mana saja. Vika selalu setia mendorong kursi rodanya setiap pagi dan sore dan menemani Damai memandangi laut lepas. Apalagi saat matahari akan kembali ke peraduannya, Damai dan Vika menatap takjub pada pendar cahaya keemasan yang diakibatkannya .. sunset.

Kursi rodanya tegak di atas pasir yang menghitam setiap kali dijilati ombak. Damai tersenyum, setiap pagi mendatangi pantai ini bersama Vika, maka yang dilihatnya adalah langit yang tersenyum padanya, hatinya serasa dialiri air dari mata air pegunungan sejati. Setiap pagi pula Damai mendendangkan lagu ini bersama Vika ..

Bulan terangi malam diam sribu bahasa
Menanti sepercik harapan dalam khayalan
Fajar yang berkilau datang membuka hari
Sinarmu memberi harapan yang bersahaja

Lihatlah warna pada cahaya
Menjadi lukisan pagi
Bukalah renda agar cahaya
Sinari damainya hati kehidupan

Sinarmu memberi harapan yang bersahaja ..

Lihatlah warna pada cahaya
Menjadi lukisan pagi
Bukalah renda agar cahaya
Sinari damainya hati kehidupan

......

“Kakak Mai!! Kakak Mai!!”

Damai mendengar panggilan Vika .. ah bocah itu, selalu memberi keceriaan dalam hidupnya. Damai menoleh, pasti Vika ingin memamerkan gigi hiu lagi padanya, atau karang laut yang ditemui dalam perjalanan dari tempat pelelangan ikan menuju pantai. Tapi mata Damai tertumbuk pada satu sosok tinggi yang amat sangat dikenalnya namun seakan terlupakan dalam 6 bulan terkahir ini .. Opet. Darah dalam tubuhnya seakan dipaksa mengalir lebih deras dari biasanya, hatinya berdegup kencang, sama seperti masa-masa yang telah lama lewat. Untuk apa Opet mencarinya? Mencarinya? Atau hanya kebetulan?

“Hai Damai ..”
“Hhhaaaiiihhh ..”

Suara itu masih sama seperti yang dulu, tak berubah sedikitpun. Yang berubah adalah tatapan mata Opet, lebih hangat dari biasanya. Damai menggigit bibirnya kesal. Untuk apa Opet menemuinya?? Kalau pun memang Opet ingin menemuinya. Tapi untuk apa? Damai sama sekali tak pernah memikirkan Opet, sekali duakali dia memang sempat membayangkan wajah Opet, tapi tidak lebih dari itu!

“Mai .. aku mencarimu.”
“Mmmeennccaarrrhhiiikuuhh??”
“Iya, aku ingin bicara banyak padamu. Setelah sekian lama .. aku akhirnya berani juga datang ke rumahmu dan meminta alamat tempat tinggal kakek dan nenekmu disini. Cukup sulit menemui alamatnya .. hmm aku ingin bicara Mai .. boleh kan?”

Damai terdiam, menatap laut lepas di depannya yang tenang, tapi hatinya tak setenang laut. Bersama Opet hanya akan membuat dirinya seakan kembali pada masa-masa sulit dalam hidupnya. Kebisuan melanda diantara mereka, Opet berjongkok disampingnya, ikut menatap laut.

“Damai, aku tau kamu pasti lebih suka disini, menikmati ketenangan di kampung ini kan? Tapi kampung ini ga membutuhkan kamu Damai, aku lebih membutuhkan kamu.”

Damai terkesiap mendengar ucapan Opet barusan. Opet lebih membutuhkan dirinya? Untuk dimaki-maki? Untuk dilecehkan? Untuk dihina? Cukup sudah dirinya mendapat perlakuan tak adil dari sosok ini.

“Damai, dengarkan aku bicara yah? Kalau hatimu ga mau menerima kehadiranku disini, tapi paling tidak, dengarkan saja apa yang akan aku bicarakan.”

Opet menarik napas panjang yang berat, seolah ingin melepaskan semua kepenatan yang diciptakannya sendiri. Opet bicara ... pelan ...

“Damai, aku minta maaf atas semua kelakuanku yang semena-mena padamu selama ini. Aku begitu konyol dalam bertindak. Awal perjumpaan kita di ruang kerja mama saja telah membuat hatimu terluka .. tapi ketahuilah, kali kedua kita bertemu, seharusnya bukan pertengkaran yang terjadi, aku ingin meluruskan kesalahpahaman yang terjadi di hari sebelumnya. Namun entah kenapa, begitu aku melihat mama bersama mu dan meminta maaf padamu, hatiku seakan ga terima! Aku cemburu melihat perhatian mama yang begitu besar padamu Mai. Aku marah, dan kita bertengkar .. well, bukan kita .. aku lah yang marah-marah padamu dengan ucapan yang pedas.”

Sampai disini Opet terdiam. Damai menahan napasnya .. ingin tau kelanjutan dari kalimat panjang yang baru saja didengarnya. Bohong? Benar? Bohong? Benar?

“Mai, tau kah kamu? Jawabanmu yang kasar dengan kata-kata yang hampir tak jelas ditelinga itu justru menjadi cambuk bagiku di kemudian hari. Kamu benar! Kamu yang cacat saja masih mau bekerja dan berusaha, sedangkan aku? Aku hanya bisa berfoya-foya, hura-hura dan menghabiskan waktu tanpa tujuan yang jelas. Aku tercambuk Mai, aku termotivasi untuk segera menyelesaikan kuliah dan menjadi pimpinan di kantor. Aku ingin membuktikan padamu bahwa aku bisa! Aku bisa menjadi manusia berguna dan lebih baik dari yang pernah kamu katakan. Aku ingin kamu membuktikan kemampuanku bekerja mengurusi perusahaan mama, menggantikan mama disana.”

“Akhuuu ggahhgg thaauuu mmaakksshutttmuuhh bbeegghiittuhh.”
“Iya, mana mungkin kamu tau, karena setiap hari yang ada hanya bentakan dan maraku padamu kan? Aku bahkan membuat pekerjaanmu menjadi begitu sulit. Aku ingin kamu marah dan berontak Mai! Tapi kegigihan dan kuatnya hatimu membuatku semakin berusaha menyudutkan posisimu sebagai gadis cacat! Naifnya aku Mai .. naif!! Aku ingin kamu meminta maaf padaku, memohon padaku untuk bersikap lebih lunak padamu, tapi apa yang kudapat? Surat pengunduran seorang Damai, juru ketik terbaik perusahaan yang handal!!”

Wajah Damai memerah mendengar itu. Dirinya wanita, dipuji seperti itu tentu saja membuatnya ketar ketir juga. Ditatapnya Opet, apakah ini Opet yang pernah dikenalnya dulu? Kalau saja dia diberi pilihan kembali .. dia akan memilih pilihan yang ketiga .. Opet yang saat ini duduk jongkok disampingnya dan mencurahkan isi hatinya dengan lebih manusiawi.

“Enam bulan Novi menggantikan posisimu, aku malah semakin bete, Novi taunya hanya dandan dan bersolek! Surat-surat dan berkas-berkas banyak yang keteteran, aku sampai kelimpungan dibuatnya. Saat itu lah aku sadar, aku membutuhkanmu Mai, bukan Novi atau juru ketik yang baru! Aku membutuhkan jari-jarimu untuk melengkapi pekerjaanku. Jadi Damai, maukah kamu kembali bekerja?”

Damai kembali terkesiap .. ini seperti lukisan pagi yang sering didendangkannya bersama Vika. Vika nampak asik dikejauhan bermain bersama ombak kecil yang memukul kakinya yang kurus ceking. Nasib anak kampung nelayan yang serba kekurangan.

“Thaaphhihhh aakkhuu cchhaachaatt.”
“Demi Tuhan Damai!! Jangan bicara begitu! Dimana Damai yang kukenal dulu? Damai yang tegar meskipun keadaanya cacat? Damai, dengar yah .. aku mohoooonn padamu untuk kembali bekerja .. semua pegawai, teman-temanmu .. pak Broto, Aminah, Gery, dan yang lain-lain mengharapkanmu kembali. Aku pun begitu!!”
“Bbbeennarrrrkhhahh??”
“Ya .. aku serius, aku jujur Mai, hargailah keseriusanku dan kejujuranku ini. Aku ga menekanmu dengan dua hal ini, tapi ketahuilah Mai, aku seperti mati tanpamu.”

Damai terdiam, menatap langit yang semakin merah. Bila benar begitu, dia mau kembali bekerja dan mendapati meja beserta komputernya kembali. Bila benar begitu, dia akan berusaha semampunya mendukung perusahaan yang telah memberinya banyak kesempatan itu. Bila memang OPET mengharapkan dirinya kembali, dia akan kembali, pasti itu .. Damai menoleh pada Opet.

“Bhaikkllhhaaahh .. bbhhesshookk aakhhuu mhhinnttaaah pphhaphaah jjemphutt.”
“Ga usah, malam ini juga kita kembali ke kota, aku telah bicara pada kakek dan nenek, juga pada orangtuamu. Mereka menyerahkan semua padamu, bila kamu setuju, aku diijinkan membawamu kembali ke kota nanti malam.”
“Oohhhyhhaah??”
“Hu`uh .. sekarang kita pulang yuk, aku dorong yah ..”

Saat Opet hendak mendorong kursi roda Damai, Vika menjerit dari jauh dan berlari menghampiri mereka. Kakinya nampak kotor dengan pasir yang melekat basah.

“Vika yang dorong!! Vika yang dorongin!! Itu tugas Vikaaa!!”
“Iya, kita gantian saja yuk?!”
“Ga mauuuu Vika saja yang mendorong .. kakak temani kakak Mai ngobrol saja.”
“Tapi ..”
“Ophhetttt .. bhiiarrkhann sajhaahh.”
“Oke.”

Malam itu juga Opet membawa Damai pulang ke kota atas ijin kakek nenek dan orang tua Damai setelah di telpon. Vika menangis ingin ikut. Damai trenyuh, telah menjadi niatnya menjadikan Vika adiknya .. malam itu juga Damai memohon pada orang tua Vika agar Vika diijinkan ikut dengannya ke kota, bersekolah di kota, Vika akan menjadi adik angkatnya. Damai yang cacat telah berbuat banyak hal untuk orang lain. Bagaimana dengan kita?

Di mobil yang sejuk, Opet berhati-hati menyetir mobil membelah jalanan desa terus menuju jalan antar kota .. menuju kota mereka. Menuju kehidupan yang lebih baik, dengan harapan yang lebih baik pula. Disampingnya Damai tertidur pulas, gadis ini begitu teguh, kukuh dan kuat, Opet ingin seperti Damai. Vika tertidur di jok belakang dengan wajah bocahnya yang lugu. Opet menghidupkan radio agar dia tak diserang kantuk ...

Dibayang wajahmu kutemukan arti dan hidup
Yang lama lelah aku cari di masa lalu
Kau datang padaku kau tawarkan hati nan lugu
Selalu mencoba mengerti hasrat dalam diri

Kau mainkan untukku sebuah lagu
Tentang negeri di awan
Dimana kedamaian menjadi istananya
Dan kini tengah kau bawa aku menuju ke sana

Ternyata hatimu penuh dengan bahasa kasih
Yang terungkapkan dengan pasti
Dalam suka dan sedih ...

...

tuteh, Juni 2004