mercoledì, settembre 29, 2004

Firs, Last Kiss

Sinar matahari menembusi kisi-kisi jendela dan membias di pelupuk mataku. Ah, sudah pagi rupanya. Pulas sekali tidurku sampai-sampai aku lupa bangun untuk menjalankan sholat Subuh. Capek, letih dan lemes,.. itu lah yang membuat aku tidur seperti orang mati. Pekerjaan kantor begitu menyita waktu ku akhir-akhir ini. Seandainya aku bisa memilih, aku lebih suka bila bos yang lama tak dimutasikan ke daerah lain. Bos yang baru begitu gila kerja dan menganggap semua karyawan ibarat robot!!

Kuraih handphone dan mengaktifkan nya. Rentetan sms yang masuk kemudian membuatku tertawa bahagia. Ah, hari ini aku berulang tahun! Hampir saja aku lupa. Berapa sudah usiaku sekarang? Tiga puluh dua. Pria dewasa dengan usia tiga puluh dua masih saja mendapat sambutan yang hangat di hari ulang tahunnya. Sebetulnya aku tak begitu memikirkan hari ulang tahun, namun aku tetap berterima kasih kepada mereka yang telah begitu peduli padaku.

Kubaca satu persatu sms itu. Yang paling jorok adalah sms dari Rudi, teman mainku ke cafe bila malam hari aku suntuk. Dasar Rudi. Satu sms yang datang kemudian cukup membuat kening ku berkerut,..
"Selamat Ulang Tahun Hero, I just wish you luck .. always luck."
Wo wo wo .. seumur hidupku, hanya satu orang yang pernah begitu familiarnya memanggilku dengan sebutan 'hero' ... dia adalah seseorang dari masa lalu, yang telah terlupa setelah sepuluh tahun ini .. pagi ini dia datang dengan sms yang membuat perasaanku larut dalam haru biru. Dari mana pun dia mengetahui nomor handphoneku aku hanya bisa bilang, Yuli, terima kasih masih mengingatku, maaf bila aku tidak membalas sms darimu, aku tak boleh karena aku tak ingin.

Benar kata orang bijak, sesuatu yang pernah menjadi masa lalu akan terlintas jua meskipun dalam bentuk yang samar-samar. Masa lalu akan kembali jua meskipun kita telah lama menguburnya. Kenangan memang selalu menjadi kenangan, tapi kenangan itu pernah menjadi bagian dari hidup kita dan mengisi salah satu dari episode hidup kita. Kenangan adalah kita dimana kita adalah kenangan itu sendiri. Dia, Yuli,....

Aku mengenal Yuli saat menginjak bangu smu. Tercatat sebagai siswa yang selalu bersaing dalam urusan nilai pelajaran. Kuakui, seandainya saja aku malas belajar, Yuli pastilah lebih unggul dariku. Tapi ego ku sebagai laki-laki tentu saja tak mau, aku harus mengungguli Yuli dan aku bisa. Yuli, gadis biasa dengan kecerdasan yang tidak biasa. Aku mengenalnya, dekat dengannya dan menghabiskan begitu banyak waktu bersamanya.

Kedekatanku bersama Yuli memuncak saat naik ke kelas dua smu. Yuli dan aku, dua remaja haus petualang dan selalu mencoba sesuatu yang baru, yang ditawarkan oleh dunia. Menjadi dekat dengannya membuatku tersadar, kami begitu mirip satu sama lain. Meskipun di sekolah kami terlihat sebagai siswa yang pintar dan baik, namun tidak lah begitu bila kami berada di luar lingkungan sekolah. There's so many adventure yang ingin kami arungi bersama. Dunia malam menjadi sahabat kami bila otak telah penat dan suntuk. Minat kami pada buku dan musik pun sama. Bahkan tak jarang kami menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan hanya untuk membaca satu buah buku bersama-sama!

Naik kelas tiga smu, banyak gosip yang beredar bila kami pacaran. Santer nya gosip itu akhirnya membuat kami berhadapan di suatu malam, dibawah cahaya bulan .. romantis namun terjaga.
"Yul, gosip itu .."
"Aku tau, biarkan saja."
"Biarkan saja?"
"Iya, kalau memang tak benar, biarkan saja, nanti gosip itu hilang sendiri."
Jawabnya .. pasti dan tegas. Aku terdiam. Biarkan saja gosip itu .. biarkan saja, toh nanti akan hilang sendiri, diterbangkan angin jahil yang membawa gosip hangat lainnya sebagai pengganti. Semuanya terlewati hingga kami lulus smu.

Barangkali ini takdir bila aku dan Yuli dapat terus bersama, karena kami berdua tercatat sebagai mahasiswa pada universitas dengan fakultas yang sama. Takdir kah? Atau memang ada keinginan kuat dari hatiku dan hatinya untuk terus bersama? Entah lah, yang masih dapat kuingat, sejak berpredikat sebagai mahasiswa, kami tak hanya dekat dalam batas sahabat .. lebih dari itu, hidupku adalah hidupnya, demikian pula sebaliknya. Seperti dua sayap yang saling berdampingan demikian dekatnya tanpa dapat bersatu. Seperti sepasang telinga yang begitu dekatnya namun tak dapat bersatu. Gengsi kah dinding itu? Pemisah rasa hati yang bergelora? Tidak .. itu adalah komitmen. Komitmen yang tercetus dari bibir Yuli sendiri,..

"Kita adalah sahabat, teman sejati sampai kapan pun .. kamu adalah hero ku, yang setia dan selalu sedia untukku... sahabat sejati!!" ah! Ingin sekali aku memintanya untuk meralat kata-kata itu karena aku tau, Yuli tak mungkin melanggar apa saja yang telah ditetapkannya sebagai suatu komitmen walaupun dia harus meregang nyawa. Harga diri kah? Gengsi!! Mengapa? Tak suka kah dia padaku? Aku suka dia! Tak cinta kah dia padaku? Aku cinta dia! Bila dia tak suka dan tak cinta padaku, mengapa sikapnya begitu membuat aku terpesona? Aku tau diri, aku bukan lah pengemis cinta, kami akan tetap seperti ini, teman sejati meskipun sesungguhnya aku mengharapkan kami lebih dari sekedar berteman. Gosip yang kembali beredar berikutnya kami tepis. Kami adalah sahabat .. tapi aku?? Ah.

Dia pernah menangis semalaman dibahuku, dalam kegelapan mobil bututku. Dia pernah memaki ku habis-habisan bila kugoda dia pacaran sama dosen mbeling yang terkenal sablengnya itu. Dia pernah mengajariku caranya membuat martabak. Dia pernah memusuhiku gara-gara aku tak mampu melepas kebiasaanku merokok. Dia pernah mencuci dan menyeterika baju-bajuku di saat aku tergolek lemah karena thypus. Dia pernah menyuapiku saat aku kecelakaan mobil dan terluka parah. Dia pernah tidur bersama ku tanpa hasrat dari seorang wanita terhadap laki-laki. Atau, mungkin saja ada, namun demi komitmen bodoh yang pernah diucapkannya, dia menahan? Yang pasti, aku merutuki hasratku yang brutal untuk menyentuhnya.

Dari semua yang ada pada Yuli, hanya satu yang paling kubenci. Kesetiaan dia menjaga sebuah janji, sebuah komitmen, sebuah sumpah yang pernah dilontarkannya, baik sadar atau tidak sadar. Aku benci itu!! Aku pernah memohon pada Tuhan agar Yuli tak usah menjadi gadis yang terlalu setia pada sebuah ikrar, tapi do'a ku tak jua terjawabkan.

Menjelang tahun terakhir dari rangkaian masa kuliah, aku mengenal seorang gadis Manado yang manis. Cintaku tersambut. Citra, nama gadis itu, menerima hasratku untuk menjadikannya kekasihku. Sudah saatnya lah aku melupakan cintaku pada Yuli. Sudah saatnya lah aku membagi sebagian waktuku bersama Yuli untuk orang lain,.. gadis lain,.. yang dapat kumiliki seutuhnya. Yang dapat menjawab semua cinta di hati ini. Bukan gadis yang (mungkin) cinta, tapi terlalu besar egosentrisnya untuk mengakui perasaan yang sama dari hatinya. Satu hal yang kemudian membuatku tersadar, bukan kah aku dan Yuli adalah pesaing nilai pelajaran? Bukan kah kami sebetulnya musuh untuk meraih nilai terbaik? Apakah karena itu Yuli lantas memendam rasa di dalam hatinya? Karena dia tak mau diperbudak cinta dan terpaksa harus mengakui kekalahan? Kalah akan penguasaan rasa hati atas otak?

Mengapa aku begitu yakin? Karena setelah Yuli mengetahui hubunganku bersama Citra, dia menjauh dariku. Aku dapat melihat luka itu, menganga lebar dari pancaran bola matanya. Aku menyaksikan kemarahan yang tersirat dari wajahnya bila secara kebetulan aku, Yuli dan Citra bertemu. Dapat kudengar ketusnya jawabannya untuk semua pertanyaan yang Citra lontarkan. Soal kedekatan kami yang seperti saudara kandung!! Aku gamang, harus bagaimana aku menyikapi Yuli? Aku tak bisa berbuat apa pun lagi, sungguh tak bisa ... tak ada yang bisa menolong aku dan Yuli karena .. satu kesalahan fatal telah aku lakukan .. fatal.

Usai diwisuda, aku terus dibikin repot dengan persiapan pernikahan. Tak hanya itu, aku juga harus menyusun konsep surat lamaran pada perusahaan sahabat ayahku. Semua itu begitu menyita waktuku sampai-sampai Yuli seolah terlupakan begitu saja. Sampai pada suatu malam, dimana keesokan harinya aku harus berangkat ke Manado untuk melangsungkan akad nikah, Yuli datang padaku. Terkejut .. haru .. semua tercampur aduk di dalam hatiku.

"Aku mendoakanmu hero, semoga kamu bahagia." ada yang mengalir di kedua pipinya .. Yuli menangis.
"Terima kasih Yuli." lihat lah .. sampai detik ini pun dia sama sekali tak mau mengakui perasaan hatinya.
"Hero .. entah ini apa .. tak usah kamu jelaskan .. aku merasa kehilangan yang amat sangat. Aku merasa hidupku tak lagi sempurna sejak kamu menjadi kekasih Citra. Semua bertambah tak sempurna lagi saat kemarin kuterima undangan dari adikmu. Hero,.. entah ini apa .. aku salah .." my God! Kuraih kepalanya, kubenamkan ke dalam dekapan .. everything is over now Yul, semua itu karena kerasnya hatimu memegang sebuah prinsip!!

"Itu cinta Yuli .. itu cinta. Cinta yang tak pernah mau kamu akui walaupun seribu cara telah kutempuh agar kamu mau mengakuinya." Yuli terisak, menumpahkan semua sesak di hati.
"Tak usah jelaskan .. tak usah .. tak usah jelaskan lagi ini apa .. tak usah hero. Karena semuanya sudah usai .. aku selalu berpikir bahwa aku gadis yang cerdas, yang dapat membuat rencana dan mewujudkannya. Bahwasanya saat kita diwisuda nanti, aku dapat mengakui rasa ini padamu. Tapi aku lupa, ada Dia diatas sana yang menjadi dalang hidup kita .. ada rentang waktu yang sedetik saja dapat membuat manusia berubah. Aku sadar, aku takkan pernah diberi kesempatan ke dua oleh Tuhan atas rasa percaya diri dan ego yang begitu besar .. aku sama sekali tak berharga di mata Tuhan karena aku telah menolak rasa indah yang dianugerahiNya padaku ..." ah!! Seandainya waktu dapat diputar kembali pada masa itu,.. aku tetap tak mungkin memilihmu lagi Yuli .. tak mungkin. Bila kamu pernah mempunyai komitmen, demikian pula aku. Aku laki-laki, sepenuhnya bertanggung jawab pada diriku sendiri dan pada Citra, yang telah membuatku belajar untuk mencintainya dengan kasih sayang nya yang tulus.

"Yuli, semua yang pernah terjadi pada kita akan tetap menjadi kenangan di dalam hidup kita. You are the best for me, meskipun kita tak mungkin bersatu. Seandainya Tuhan memberi mu kesempatan sekali lagi dengan yang lain, belajar lah dari hal ini ..." Yuli mengangguk getir. Kupandangi dua bola matanya. Aku akan pergi darimu Yul, untuk selamanya, mengarungi hidupku yang baru, yang lain, dengan gadis yang lain pula.

Perlahan kugenggam wajahnya dengan jemariku, kudekati wajahnya dan aku mencium bibirnya lembut. Bibir yang selama ini ingin aku rasakan dan nikmati. Ini adalah ciuman pertama kami, yang akan menjadi ciuman terakhir kami. Delapan tahun bersama, berakhir dengan satu ciuman lembut .. yang berubah menjadi panas dan dalam .. very deep kissing .. first kiss, last kiss!! Masih terasa dinginnya bibir itu. Masih dapat kurasakan tapi harus kusingkirkan. Aku tak mau itu menjadi duri dalam kehidupan rumah tanggaku.

"Mas? Pagi-pagi kok ngelamun! Tuh ditungguin sulung ma bungsu, mereka tak mau sarapan bila papa nya belum meniup lilin ulang tahun." Citra, my woman, my wife forever.
"Lilin ulang tahun? Sejak kapan?" tanyaku.
"Sejak bungsu mulai bersosialisasi dengan teman sebaya di playgrup dan diundang ke pesta ulang tahun temannya tahun lalu. Bungsu selalu merengek lilin ulang tahun hihihihih." aku terpana. Bungsu ku telah pintar!! Dia dan si sulung adalah malaikat kecil yang membuat hidupku terasa lebih berwarna. Bila dulu alasanku untuk hidup adalah demi membahagiakan Yuli, maka sekarang alasanku untuk hidup adalah untuk menghidup dan membahagiakan tiga malaikat ku ini, Citra, sulung dan bungsu .. I love you ^^

tuteh--

sabato, settembre 25, 2004

Si Jutek!! [[ 6 ]]

Denis bangkit dan mendekati Mine. Bila saat itu di pelataran parkir Mine dapat menjerit histeris ketakutan setengah mati ketika didekati, maka Denis ingin saat ini Mine menjerit histeris pula .. barangkali dengan cara itu Denis dapat menguak tabir gelap yang disembunyikan gadis ini. Mine menggeser tubuhnya menjauhi Denis .. 'jangan dekati saya ..' .. bisik hati Mine berulang-ulang. Denis meraih pundak Mine dengan kedua tangannya. Dan apa yang diinginkan terjadi, Mine menjerit histeris, ketakutan dan berkeringat.

"Jangan sentuh saya!! Pergi pergi!! Jauhi saya .. pergi!! Saya ke sini hanya ingin minta maaf Den .. hanya itu! Maafkan saja saya dan saya janji akan pergi dari sini!!"
"Kalau saya masih ingin tetap menyentuh kamu seperti ini bagaimana?"

Denis menarik Mine kasar hingga tubuh gadis itu terjerembab ke dalam pelukannya. Mine semakin histeris saat Denis malah menggendongnya dan membawanya masuk ke kamar. Mine menjerit sejadinya dengan air mata berurai, tangannya memukul apa saja dari diri Denis. Wajah Denis, pundak Denis, dada Denis .. semuanya. Mine meronta .. Mine nggak ingin diperlakukan secara nggak adil lagi. Mine trauma .. trauma masa kecil yang terus membayanginya. Denis menghempaskan Mine di kasur empuknya dan mengunci pintu kamarnya segera.

"Keluarkan saya dari sini!!!! Siapa saja tolong saya!!"
"Diam!! Saya nggak akan berbuat apa-apa sama kamu Mine .. jadi diam!!"
"Keluarkan saya!! Saya nggak mau apa yang dilakukan pak Kristo terulang kembali, jangan biarkan saya masuk ke dalam lorong hitam yang telah perlahan saya tinggalkan Den .. please .."
"Enggak! Sebelum kamu jelaskan siapa pak Kristo yang .. siapa pun dia, sebelum saya mengerti. Setelah itu baru saya mau memaafkan kamu dan membiarkan kamu pulang."
"Nggak .. saya nggak mungkin menceritakannya pada siapa pun!!"

Mine duduk meringkuk sampai ke sudut ranjang, menarik bantal untuk menutupi dirinya sendiri. Denis duduk di sofa kecil, sesantai mungkin menatap tajam ke arah Mine. Mata Mine berputar-putar sekeliling kamar Denis, seperti ini lah rasanya dulu .. seperti ini lah rasanya disekap di dalam ruang kepala sekolah dan diperkosa secara keji oleh bajingan yang telah membusuk di kubur itu!! Mine sesenggukan.

"Oke now, just tell me your paint."
"Saya nggak mau! Saya punya hak untuk nggak bercerita kan?"
"HAK!! Hak dan hak!!"
"Saya memang punya hak kan? Saya .."
"Siapa pak Kristo? Pacar gelap kamu? Cukong yang menjadi kekasihmu?"
"Bukan!! Jangan bilang begitu lagi pada saya!!"
"Lalu siapa dia?"
"Hu .. hu ... jangan paksa saya."
"Saya harus!! Karena saya peduli padamu gadis bodoh!!"
"Peduli? Kamu peduli? Kamu .. "
"Saya peduli .. kamu satu-satunya cewek yang menarik perhatian saya sejak kelas 1 smu, selama itu saya dapat menahan diri .. karena saya tau, kamu menutup diri untuk dunia luar. Tapi hari ini saya ingin kamu tau Mine, saya sayang kamu, saya peduli!!"
"Tidak!! Kamu nggak peduli pada saya .. kamu dan semua manusia sama saja, bajingan!!"
"Dan pak Kristo bukan bajingan?"
"Dia lah yang paling bajingan!! Dia lah yang merusaki hidup saya! Dia lah yang membuat saya seperti ini!!"
"Apa yang dia buat sampai kamu seperti ini?!"

Mine terdiam .. air matanya kembali mengalir deras .. sulit rasanya berada dalam posisi seperti ini. Mine menggigit bibirnya sendiri, haruskah dirinya berbagi semua pedih ini bersama Denis? Bersama cowok yang terang-terangan mengaku sayang padanya? Bull sheet!! Mine memeluk bantal kian erat dan menangis terus. Denis bangkit dari duduknya dan menghampiri Mine perlahan. Mine semakin meringkuk di sudut ranjang dan ketakutan setengah mati. Denis berlutut di hadapan Mine dan menyingkirkan bantal perlahan .. diraihnya Mine ke dalam pelukannya dan Mine kembali menangis dengan keras, tersedu-sedu. Begitu terlukanya hati gadis ini, batin Denis.

"Mine, saya bukan pak Kristo .. jadi berbagilah dengan saya."
"Saya nggak sanggup Den, nggak sanggup."
"Come on, saya sahabatmu, saya yang paling peduli padamu .. see? Saya nggak ngapa-ngapain kamu kan? Saya hanya ingin kamu berbagi. Saya janji, seandainya ini rahasia terbesar dalam hidup kamu, rahasia ini akan terus menjadi rahasia kita, oke?"
"Kamu janji nggak akan menceritakannya pada siapa pun?"
"Janji .. sumpah!"

Mine menarik napas panjang ..

"Pak Kristo kepala sekolah saat saya SD."
"Uhmm .. terus?"

Dan mengalirlah kepedihan itu dari bibir Mine. Jantung Denis seakan dipalu ribuan martil begitu tabir itu terkuak .. kepalanya serasa ditindih langit tatkala Mine menceritakan baygon cair itu .. ditatapnya gadis yang penuh air mata ini lembut. Keterlaluan!! Usia belia Mine menyimpan semua ini sendiri, nggak merasa perlu bebagi dengan orang lain seperti dirinya merasa nggak perlu mengenal dunia luar, terkukung dalam dunianya sendiri agar hidupnya tak lagi terusik. Ya, Denis mengerti sekarang.

"Mine, itu terlalu berat untuk kamu tanggung sendiri."
"Tapi selama ini saya sanggup menyimpan nya dalam hati saja."
"Kamu sebetulnya amat kuat .. amat!"
"Berjanjilah untuk nggak menceritakan semua ini pada orang lain."
"Saya sudah bersumpah. Dan akan saya ingat itu sampai kapan pun."
"Jadi .. sudah boleh kah saya pulang?"
"Masih nggak boleh."
"Kenapa?"
"Saya ingin mendengar .. apakah kamu menerima sayang dari hati saya atau enggak."
"Sayang?"
"Ya, saya cinta kamu Mine, demi Tuhan saya sayang kamu, saya peduli sama kamu, .. sebab itu lah saya ingin tau .. apa yang membuat sikap mu begitu sulit untuk di mengerti."
"Saya nggak pantas untuk dicintai karena saya nggak pantas untuk mencintai."
"Kata siapa?"
"Kata saya."

Denis bangkit, membiarkan Mine terpekur sendiri di kasur. Cowok itu menatap keluar jendela, menghirup udara sebanyak-banyaknya. Mine, gadis yang patut dikasihani, hidup telah berlaku nggak adil padanya di masa kecil. Masa muda yang harusnya dilewati penuh canda dan keceriaan justru dilalui cewek itu penuh sikap tertutup bahkan nggak mau sekali pun mencoba indahnya masa remaja.

"Mine, kemari lah .. "

Perlahan Mine bangkit .. berdiri dalam diam di sisi Denis, menatap keluar jendela. Yang didapatinya adalah pohon palem dan lampu taman juga suasana siang yang terik.

"Kamu lihat sinar matahari kan?"
"Ya .."
"Sinar matahari saja mau menemani kegundahanmu .. apalagi saya."
"Ya .. saya tau."
"Lihat saya .. lihat mata saya .. "
"Saya lihat .."
"Apa yang kamu lihat?"
"Mata kamu .."
"Pintar!!"
"Den?"
"Itu lah .. kamu hanya bisa melihat sesuatu dari sudut pandang yang sama setelah kejadian pedih itu. Karena itu lah sikap mu menjadi begitu menyebalkan. Kamu menganggap semua manusia sebiadab pak Kristo. Dan kamu menutup diri kemudiannya karena nggak ingin hal itu terulang kembali."
"Tapi saya telah mencoba untuk keluar dari kubangan hitam ini .."
"Bagus .. saya tau, saya memperhatikan perubahan besar dalam dirimu."
"Itu karena kamu Den."
"Oh yah?"
"Ya .. melihat luka di matamu .. saya seperti melihat cermin diri saya sendiri. Selama ini saya terluka .. selama ini saya memendam luka itu sendiri .. saya sepenuhnya sadar, orang lain pun bisa terluka, bukan hanya saya."
"Pintar!!"

Mine terdiam dan berlalu dari situ, duduk di kasur empuk dan merasakan sesuatu yang lain dalam dirinya. Pergi pergi!! Luka dan pedih ini .. pergilah kalian! Denis menghampirinya kembali.

"Denis .. demi Tuhan .. saya lega .."
"Hush .. sudah, jangan menangis lagi. Rugi rasanya menangis .. Saya pun lega Mine, lega banget .. seolah-olah beban itu adalah beban saya sendiri."
"Den .. terima kasih yah?"
"Untuk apa?"
"Untuk semua .. saya nggak bisa menyebutkan satu per satu. Semua Den, untuk semua saya hanya bisa bilang terima kasih."
"Saya lega mendengarnya .. saya sendiri nggak menyangka, secepat ini kamu menyadari .. hidup itu indah."
"Ya .. dan saya nggak mau membiarkan hidup yang indah ini terlewati begitu saja karena masa lalu yang pahit."
"Pintar!! Itu lah yang ingin saya katakan padamu. Nikmatilah hidup ini Mine. Masa lalu biarlah terkubur bersama bangkai pak Kristo, lihatlah masa depan yang terbentang panjang di hadapanmu. Hidup ini hanya satu kali dan setiap orang pernah terluka, bahkan ada yang lebih pedih darimu."
"Ya saya tau."
"Pintar!!!"
"Den .. saya boleh pulang? Saya akan menjawab apa yang ingin kamu dengar tentang perasaan saya .. tapi ngga sekarang."
"Oke .. kamu nggak pa pa pulang naik motor sendiri?"
"Enggak .."
"Oke .. hati hati yah."

Denis mengantar Mine ke depan pagar rumahnya dan terus memperhatikan sosok Mine dan motornya mengecil di belokan ujung gang. Apa yang nggak diketahui Denis adalah, motor Mine dihantam secara brutal oleh bis yang oleng dan nggak sanggup mengendalikan rem-nya sesaat setelah memasuki jalan besar. Mine tersenyum dalam diam. 'Thanks Den, sebelum saya pergi dari dunia ini, kamu telah mengajari saya dan membuka hati saya untuk menerima dunia luar. Thanks.' .....

Sementara itu Denis terkejut sendiri.

"Mine?!"

-end-

giovedì, settembre 23, 2004

Si Jutek!! [[ 5 ]]

Buku-buku tangan Denis memutih akibat kepalan tangannya yang kuat dan keras. Seakan dengan begitu, kemarahannya dapat terlampiaskan. Mata Denis terluka, Mine tau itu. Gadis itu hanya dapat menggigit bibirnya. Denis berdiri dan berujar,

"Om dan tante, maaf saya pamit dulu .. Assalamu'alaikum."
"Loh .. Mine!! Cepat minta maaf, sudah berulang kali ibu bilang, jangan bersikap ketus begitu!!"
"Nggak pa pa tante .. saya pamit."

Denis melangkah keluar tanpa menoleh pada Mine lagi, Mine berlari ke kamarnya, meninggalkan ayah dan ibu nya yang kebingungan setengah mati. Memang bukan hal yang baru lagi bila Mine bersikap aneh seperti tadi, namun keketusan dan tajamnya kata-kata Mine tadi memang sudah keterlaluan dan membuat mereka terperanjat. Mine mengunci diri di kamar. Menggendong Tide dan matanya basah. Tanpa disadarinya, satu sisi hatinya ikut terluka, ikut pedih melihat bola mata Denis yang marah.

Mine mondar mandir di kamarnya sendiri, gelisah. Niat belajarnya terbang entah kemana. Yang ada di kepalanya hanya kelebatan kejadian yang baru saja terjadi. Berhenti di depan cermin, Mine melihat wajahnya sendiri, wajah seorang gadis remaja yang jarang tersenyum. Tatapan Denis yang penuh luka gara-gara ucapannya membuatnya seolah bercermin ... itu lah dirinya, terluka dan kecewa pada hidup yang nggak adil. Rahasia hidupnya hanya diketahui oleh dirinya sendiri. Mine kecil yang terluka dalam nggak pernah mau berbagi dengan siapa pun, bahkan menyelesaikan masalahnya sendiri dengan kematian pak Kristo, sempurna. 'Toh untuk apa ayah dan ibu tau? Mereka nggak dapat menggembalikan kesucian ini?'. Mine menggigit bibirnya pedih.

Tide mengerang pelan, seakan mengerti kegundahan hati tuannya. Mine menciumi Tide penuh sayang dengan mata basah. Seperti ini lah rasa bersalah itu, bisik hatinya pelan. Seperti ini lah .. dan Denis pasti dilanda kemarahan yang amat sangat, seperti kemarahannya di masa kecil dahulu. Seperti itu lah! Mine ingin rasanya berteriak memuntahkan semua beban di hatinya, Mine memeluk Tide erat seakan enggan melepaskan kucing mungil itu lagi. Tide menggesek-gesekan kepalanya di pipi Mine, seakan ingin membagi ketenangan agar nggak ada lagi air mata di pipi gadis itu.

Semenjak kejadian itu, Mine sadari, Denis menjauh darinya. Denis berusaha untuk nggak melakukan kontak apa pun dengannya, meliriknya saja tidak! Mine sadari sepenuhnya kemarahan Denis akibat kata-kata kasarnya, akibat nggak adanya toleransi dari dalam dirinya. Mine dirundung rasa bersalah yang besar, rasa bersalah yang akhirnya membawanya pada penyesalan. Mengapa penyesalan selalu datang terlambat? Mengapa saat itu Mine begitu angkuh dan terlalu percaya pada diri sendiri? Tepatnya, dirinya memang seperti itu. Dirinya begitu sulit menerima orang lain dalam hidupnya, nggak sudi menerima orang lain merecoki kehidupannya yang selama ini nggak terusik.

Namun Denis dapat melihat sedikit perubahan pada diri Mine. Gadis itu mulai mau mengajak Saski ngobrol. Saski sendiri secara pribadi ikut kaget. Mine biasanya jarang mengajaknya berbicara, namun beberapa hari belakangan ini Mine seperti telah membuka diri terhadap orang lain. Seiring dengan itu, semakin jarang pula teman-teman sekelasnya mendengar celetukan bernada jutek dan melecehkan dari Mine. Mereka seperti melihat seorang Mine yang baru. Denis sesungguhnya ikut senang, namun dirinya tetap pada kukuhnya gengsi sebagai cowok yang dilukai. Meskipun dia sadar Mine nggak akan datang untuk meminta maaf padanya, masih saja harapan itu memburat di hati.

Ujian kelulusan SMU sebentar lagi dimulai. Mine yang memang pintar nggak kelewat deg deg-an seperti teman-temannya yang lain. Otaknya yang briliant nggak usah diragukan lagi. Setiap hari sepulang sekolah, Tide selalu menemaninya belajar, nggak lupa Mine menghadiahi Tide coklat agar kucing itu betah berlama-lama duduk di atas meja sambil makan coklat dan memandangi tuannya belajar. Mine mengacak-acak rambut Tide lembut.

"Tide, sebentar lagi saya ujian loh .. saya janji, setelah ujian, masalah yang terjadi antara saya dan Denis harus segera diluruskan. Saya tau Tide .. semua ini bermula dari diri saya sendiri .. Tapi saya nggak salah kan? Saya terlampau takut untuk bersosialisasi dengan orang lain, karena saya takut kembali mengalami kepahitan itu .. Tide mengerti kan?"
"Meong .. meong .."
"Heheheh .. saya belajar dulu yah Tide .. kamu abisin saja coklat itu."

Mine berkutat kembali pada buku-buku pelajarannya, seminggu lagi ujian Akhir SMU atau EBTANAS akan dimulai. Mine ingin meraih nilai yang bagus. Bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk dirinya sendiri. Lebih lagi, ada rencana besar dalam hidupnya. Dia ingin melakukan sesuatu .. Mine mendesah dan meregangkan tubuhnya yang sedikit kaku. Malam ini dingin sekali. Dirapihkannya buku-buku pelajaran dan meraih Tide ke dalam gendongannya. Ini minggu tenang .. para siswa nggak diberi pelajaran selain ulangan ringan yang sekiranya dapat membantu mereka menyelesaikan soal ujian akhir nanti. Tapi Mine, sesungguhnya telah siap menghadapi ujian bila ujian itu dilakukan malam ini juga! Gadis briliant itu puas pada dirinya sendiri.

***

"Hip Hip Huraaaaaaaaaaa!!!!!!!!!"

Semua siswa yang siang itu bergerombol di luar aula sekolah berteriak riuh. Rata-rata nampak terlihat wajah siswa kelas tiga yang sebentar lagi akan meninggalkan smu Biru ini. Mereka berteriak puas penuh kegembiraan begitu pak kepala sekolah menyatakan kelulusan yang 100% untuk smu Biru. Mine yang saat itu duduk agak jauh dari teman-teman yang lain ikut tersenyum. Barangkali itu senyum yang kesekian yang dapat di hitung dengan jari oleh teman-temannya. Mine nggak peduli .. yang jelas dirinya dapat lulus.

Akhirnya buah kerja kerasnya selama ini dapat terpetik. Mine ternyata menjadi satu-satunya murid dengan nilai tertinggi, di atas delapan untuk semua mata pelajaran. Terang saja Mine bisa mendapat nilai bagus begitu, otaknya briliant! Bila teman lain ke disko, maka Mine memilih mengurung diri di kamar untuk belajar atau bercengkerama bersama Tide.

Mata Mine mencari-cari .. sosok itu .. dimanakah dia? Mine mencoba meneliti satu per satu gerombolan teman-temannya, namun sosok itu nggak kunjung ditemuinya. Dengan modal nekat Mine menghampiri Heru, salah seorang teman kelasnya yang juga dekat dengan Denis.

"Her .."
"Hei Mine .. ada perlu?"
"Iyah .. kemana Denis?"
"Loh, kamu nggak tau yah? Denis hari ini nggak ikutan mendengar pengumuman kelulusan karena dia lagi berkemas!"
"Berkemas? Denis berkemas? Mau kemana?"
"Denis sendiri bilang, lulus atau enggak, dia tetap pergi dari sini."
"Denis mau kemana?"
"Entahlah .. Denis sendiri nggak bilang tujuannya."
"Hmm makasih yah."
"Sama-sama Min .. sejujurnya saya seneng ngeliat kamu sudah jauh berubah."
"Terima kasih .."

Wajah Mine tak urung memerah juga. Betul kah dirinya telah berubah? Betulkah kata-kata yang di dengarnya dari Heru barusan? Oh, semua ini berkat Denis! Berkat mata terluka cowok itu. Mine tau harus kemana setelah ini, rumah Denis. Mau atau nggak-nya Denis memaafkannya, Mine harus minta maaf dan berterima kasih. Meskipun untuk itu dia harus terluka lagi .. bila .. bila Denis kasar padanya.

Mine kembali mencari Heru.

"Her .. Heru!"
"Ya? Ada perlu lagi?"
"Ngg .. iya .. setelah ini kamu nggak kemana-mana kan?"
"Aku dan teman-teman sekelas berencana ke cafe buat rayain ini."
"Ngg .. kalau gitu nggak jadi deh."
"Weits .. bilang saja .. siapa tau saya bisa membantu?"
"Saya mau minta tolong kamu temani saya ke rumah Denis."
"Oh itu ... hmm boleh lah, setelah mengantar kamu ke sana saya masih bisa menyusul teman-teman ke cafe."
"Sekali lagi makasih yah Her."
"Never mind .. by the way, saya antar sekarang saja yuk?!"
"Baik lah .."

Mine melajukan motornya mengikuti Heru yang lebih dulu di depan sebagai penunjuk jalan. Hatinya dag dig .. semoga Denis mau menerima permintaan maafnya. Semoga Denis sadar, karena dirinya lah, kukuhnya sikap cowok itu lah yang dapat merubah Mine .. meskipun baru perubahan kecil, tapi semua teman-temannya sendiri mengakui perubahan itu. Mine mengikuti arah Heru yang berbelok kiri, memasuki perumahan menengah keatas. Jalan Sam Ratulangi, blok C nomor 14, disitu lah Heru berhenti.

"Yuk Min!!"

Mine memarkir motornya di belakang motor Heru dan nggak lupa mengunci stir. Rumah Denis besar, bergaya victoria dan dipenuhi pohon-pohon palem yang hijau rimbun. Di garasi Mine dapat melihat mobil milik Denis yang diparkir disitu. Heru memencet bel rumah. Mine berdiri mematung di belakang Heru, menanti pintu itu dibuka. Perlahan pintu terkuak dan kepala Denis muncul.

"Her!! Kok nggak kasih tau dulu kalau mau kesini .. Mi ..??"
"Saya hanya mengantar Mine kok Den, nanti malam anak-anak pada niatan ke sini, tapi kita kudu ke cafe dulu sama teman-teman sekelas."
"Ya oke .."
"Cabut dulu Den .. Min .. "

Heru melangkah menjauhi mereka dan keluar pagar, sosoknya menghilang seiring dengan derum tiger 2000 nya. Denis membuka pintu lebar-lebar dan masuk tanpa mempersilahkan Mine untuk masuk. Tapi kaki Mine menuruti kata hatinya untuk masuk ke dalam rumah itu dan duduk di sofa ruang tamu. Rumah Denis terasa adem. Ruang tamu itu bernuansa biru muda yang menyejukkan mata. Dindingnya dipenuhi foto-foto anggota keluarga itu, ada orang tua Denis, Denis dan seorang gadis manis. Denis duduk di sofa yang berseberangan dengan Mine, menatap Mine penuh tanda tanya.

"Untuk apa kesini?"
"Uhm .. saya .. saya dengar kamu mau berangkat?"
"Iya .. pergi jauh dari sini."
"Kenapa? Bukan karena saya kan?"
"Pede amat kamu .. jelas bukan karena kamu .. saya hanya ingin pergi saja."
"Maaf .. uhm .. "
"Mau ngomong apa? Bicara saja, nggak perlu sungkan."
"Maaf kalau saya mengganggu kegiatan kamu berkemas Den."
"It's oke."

Mine menarik napas panjang, menyusun kembali kata-kata yang sempat disiapkan tadi namun berserakan kembali dalam ruang benaknya. Dari mana dia harus memulai? Dia tau Denis masih marah padanya, dari mana harus??

"Denis, saya minta maaf."
"Untuk apa?"
"Kejadian di rumah saya beberapa bulan yang lalu."
"Yang mana?"
"Den please, saya minta maaf .. kamu tau kejadian yang mana, kamu terluka, kamu marah, saya minta maaf."
"Jangan sok tau mengatakan saya terluka dan marah."
"Tapi kamu benar-benar terluka kan?"
"Itu pasti, siapa saja .. "
"Jadi .. saya minta maaf Den .."

Mata Mine basah. Denis menatap wajah gadis jutek di hadapannya ini dengan perasaan nggak menentu. Ini lah gadis yang menarik perhatian terbesarnya dalam 3 tahun terakhir. Ini lah gadis yang begitu individual tanpa merasa perlu bersosialisasi dan bertoleransi pada orang lain. Dari gadis ini pula sejujurnya Denis ingin mengetahui sebab sikap ketus nya. Dari sini pula Denis merasakan sesuatu yang lain dari dalam hatinya, seperti saat Mine menjerit ketakutan di pelataran parkir begitu Denis mencoba mendekati. Ada sesuatu yang disembunyikan gadis ini dari kehidupannya. Dan Denis tertantang untuk mengetahuinya, karena dia peduli .. dia .. dia sayang pada Mine. Rasa yang selama ini berusaha ditutupinya.

-bersambung-

lunedì, settembre 13, 2004

Si Jutek!! [[ 4 ]]

Alunan lembut 'paint my love' dari MLTR mengusik pendengaran Mine. Denis dengan tenang menjalankan mobilnya. Mine berjaga-jaga, tegang sekali rasanya. Pandangannya lurus ke depan dengan sesekali melirik pada sosok ganteng(?) di sampingnya. Mine merutuki kejadian hari ini yang menyudut kan dirinya pada posisi sulit. Mau nggak mau harus mau! Hak! Dia butuh haknya!

"Rumahmu dimana Mine? Alamatnya?"
"Kamu bisa menurunkan saya disini. Saya bisa pulang ke rumah naik taxi."
"Great, kenapa hal itu nggak terpikirkan oleh saya yah?"

Ciitttt .. Denis mengerem mobilnya mendadak. Mine terjungkang ke dashboard, kepalanya sedikit terbentur. Denis menatap Mine, marah.

"Saya mencoba membantu Mine, sayang sekali, kamu nggak pernah mau menghargai bantuan siapa pun."
"Itu terserah pada saya, jangan sok ngatur saya!"
"Ya ya ya .. saya nggak pernah berniat ngatur hidup kamu kan? Kenapa kamu sampai berpikir sampai ke situ?"
"Saya turun."
"Tunggu."

Denis mengunci semua pintu mobil .. clek .. locked! Mine mendengus kesal.

"Nggak bisa kah kamu sedikit lebih toleransi pada orang lain?"
"Emang perlu?"
"Pertanyaan bodoh murid pintar!"
"Saya nggak minta pendapat kamu akan pintar atau bodoh."
"Kamu tau? Kamu bisa menjadi ahli debat negara kita!"
"Tau atau nggak, itu tetap bukan urusan kamu."
"Sumpah Mine, saya menyerah menghadapimu."
"Bagus. Toh kamu nggak akan saya anggap sebagai apa-apa."
"Apa-apa? Siapa-siapa Mine, bukan apa-apa. Oh saya lupa, hak kamu dong untuk bicara seperti itu. Maaf."

Mine lelah. Denis makhluk langka yang paling kukuh yang pernah mencoba mendekatinya. Yang pernah mencoba berkomunikasi dengannya, lebih dari yang pernah dilakukan orang lain. Perlahan ada rasa 'terlindungi' merasuki relung-relung jiwanya. Sebatas rasa melindungi .. nggak lebih. Mine nggak ingin merasakan 'yang lebih' itu, karena dia nggak mau. Gerimis perlahan reda.

"Antar aku pulang .. jangan banyak bicara. Jalan Tulip nomer sembilan."
"Oke ..."

Mobil Denis kembali melaju membelah jalanan. Sisa-sisa gerimis menodai aspal menjadi lebih hitam. Alunan 'paint my love' berganti dengan suara seksi Brandy, everything I do, I do it for you. Mine melengos. Untuk apa semua lagu-lagu cinta ini? Cengeng!! Mereka berhenti tepat di depan gerbang rumah Mine. Tante Dida terlihat cemas mondar mandir di teras rumah. Mine turun tanpa mengucapkan terima kasih pada Denis. Denis nggak mempermasalahkan hal itu, karena itu lah Mine. Gadis individual yang sombong dan kadang nggak tau caranya bersosialisasi dengan sesama manusia.

"Mine sayang .. oh .. tante cemas sekali .. "
"Terima kasih karena telah ikut cemas tante, saya masuk dulu."

Tante Dida memandangi pundak gadis itu menghilang ke dalam kamar. Sempat dilihatnya mobil itu melaju. Kekasih Mine? Baguslah bila putri tunggal majikannya itu memiliki kekasih untuk berbagi. Sehingga tingkahnya nggak meledak-ledak lagi.

"Tide!! Tide!! Dimana kamu?"

Tide bersembunyi di bawah boneka beruang coklat dan memandang Mine dengan pandangan jenaka. Mine meraih Tide, menggendong kucing ajaib itu dan membawanya ke jendela kamar. Dari jendela ini pandangan Mine tertumbuk pada halaman samping rumah yang dipenuhi aneka bunga milik ibu. Sebenarnya bunga-bunga itu milik tante Da, karena tante Da lah yang merawat mereka. Mine keluar ke dapur dan mencari roti untuk Tide.

"Non Mine .. kucing itu apa nggak sebaiknya dikasih makan nasi dan ikan?"
"Bibi nggak usah ngajarin saya caranya merawat kucing."
"Maafkan bibi non."

Mine membiarkan Tide menghabiskan dua lempeng roti iris dan mengamatinya penuh rasa puas. Kucing pintar. Tunggu saja sampai kamu besar, saya akan mengajari kamu caranya berbicara dengan bahasa manusia Tide! Kata hati Mine. Kamu akan menjadi sahabat sejati saya yang akan menemani saya berkeluh kesah. Kamu sahabat sejati saya Tide .. saya suka kamu. Tide menjilat-jilat remahan roti yang tersisa di piring.

"Bi, buatkan satu gelas susu."
"Baik non."

Bi Parti menuruti saja kehendak Mine, dari pada kena bentak? Malu rasanya wanita setua dirinya bila harus dibentak-bentak anak smu. Mine memegang gelas berisi susu dan membiarkan Tide menjilat-jilat susu dengan lidahnya dan meregangkan kaki-kakinya kekenyangan. Dipungutnya Tide dari lantai dapur, menggendong dan mencium hidung Tide trus berlalu ke kamar. Bi Parti hanya bisa menatap dengan pandangan nggak percaya. Dari jauh tante Dida memperhatikan saja. Tante Dida nggak berniat mengajak gadis itu makan siang kali ini, tentu saja Mine telah makan siang bersama kekasihnya tadi. Tante Dida tersenyum puas, walaupun sebenarnya anggapannya itu salah besar.

Petang beranjak malam, langit malam yang nggak gemerlap karena sedikit mendung. Mine asik di kamarnya, belajar. Lagi-lagi pintu kamarnya diketuk halus, suara tante Dida terdengar lagi.

"Mine, dipanggil ayah dan ibu. Ada tamu yang ingin bertemu denganmu."
"Iya, sebentar lagi."

Tamu? Siapa? Mine mendengus kesal, waktunya selalu terganggu dengan ketukan halus di pintu dan suara tante Dida yang memanggil. Ayah dan ibu pasti telah pulang, sudah jam tujuh malam. Mine keluar kamar dan menemui kedua orangtuanya di ruang tamu bersama .. Denis. Ayah dan ibu tersenyum menatapnya dan mengajaknya duduk.

"Mine sayang, ayah dan ibu kaget waktu mendengar cerita tante Dida tadi, baguslah kalau kamu telah memilih Denis sebagai pacarmu."

Bagai tersengat ribuan tawon Mine mendengarnya. Denis pun nggak kalah terkejutnya. Apa yang telah terjadi? Mine duduk dan menatap Denis marah. Denis menatap Mine dengan pandangan mata kebingungan.

"Maaf om .. tante .. saya .."
"Sudahlah .. om dan tante nggak melarang kalian pacaran kok, asalkan kalian pacaran baik-baik, oke?"
"Maksut saya om .."
"Tante dan om sudah mendengar cerita dari tante Dida tadi .. terima kasih yah telah mengantar Mine pulang. Katanya motor Mine ngadat?"
"Iya, dan tujuan saya malam ini hanya mengantar motor Mine yang telah baik kembali tante."

Mine naik darah ..

"Saya nggak ada hubungan apa pun dengan Denis, ayah. Saya bukan pacarnya demikian sebaliknya. Dan Denis, kamu nggak usah datang ke sini merengek pada orang tua saya untuk menjadi kekasih saya!! Saya benci kamu, tapi saya hargai kebaikan kamu hari ini. Mulai detik ini jangan pernah .. jangan pernah mengganggu ketenangan hidup saya lagi. Ayah dan ibu, maaf kalau tante Da telah salah anggap .. salah menafsirkan .. Denis, saya harap kamu pulang sekarang juga!!"

Sisi kelakian Denis terusik. Dirinya sama sekali ngak merengek-rengek pada orangtua Mine seperti anggapan gadis jutek ini! Dirinya hanya ingin mengembalikan motor Mine. Dia peduli, karena Mine telah menarik sebagian perhatiannya. Tapi yang terjadi ini menoreh luka di hatinya. Denis menatap Mine dengan pandangan terluka yang amat dalam, nggak disangka Mine akan berucap seperti itu dihadapan orang tua gadis itu. Mine dapat merasakan tatapan terluka itu menusuk hatinya. Lebih terluka dari tatapan Denis usai perkelahian mereka .. lebih dalam .. Mine dapat melihat tatapan itu .. sama persis ketika dirinya bercermin. Denis terluka, Mine menggigit bibir.

-bersambung-

venerdì, settembre 10, 2004

Si Jutek!! [[ 3 ]]

Mine menggigit bibirnya, menahan perih yang kembali basah di hati. Dipejamkan matanya ...

"Kamu boleh saja terlihat sebagai bocah SD, tapi tubuhmu .. ck ck ck .."
"Ampun pak .. ampun .. bebaskan saya ... Bapak mau apa???? Saya masih kecil pak ..."

Pak Kristo, guru Matematikanya yang sekaligus Kepala Sekolah itu bahkan seperti kesetanan setiap kali mendengar rintihan yang keluar dari bibir mungil Mine kecil. Mine kecil yang tak berdaya berada dalam himpitan pak Kristo. Mine sempat mendengar ketukan kecil di pintu kantor kepala sekolah, dan suara seorang wanita terdengar memanggil pak Kristo.

"Pak Kris .. pak Kris .. bapak masih di dalam?"

Mine ingin menjerit, tapi pisau itu melengket erat di lehernya. Bocah SD yang nggak punya keberanian. 'Siapa pun diluar!! Tolong saya'. Hanya itu yang terucapkan di dalam hati Mine. Mine kecil dinodai oleh kepala sekolahnya sendiri. Mine kecil yang nggak berdaya. Hidup begitu nggak adil baginya. Apakah seperti ini nasib semua makhluk kecil yang tak berdaya? Mine menangis dalam keputus asaan. Siapa pun nggak mampu menolongnya dari nafsu bejad sang kepala sekolah seperti siapa pun seakan nggak dapat menolongnya dari kehidupan yang sangat individual yang dianutnya sejak kejadian itu.

Mine kecil yang malang. Menjadi pemurung dan kehilangan jati diri setelah kejadian itu. Disesalinya panggilan kepala sekolah usai jam sekolah dengan alasan memberinya materi tambahan sebagai siswi yang dicalonkan untuk mengikuti olimpiade Matematika antar SD se-rayon. Bukan materi tambahan yang didapatkannya, melainkan petaka terbesar dalam hidupnya. Mine masih ingat saat dirinya memang menjadi juara dalam olimpiade Matematika dan memenangkan piala, uang berikut piagam. Masih diingatnya kata-kata pak Kristo saat upacara bendera yang memujinya habis-habisan di hadapan ratusan teman sekolahnya, tapi Mine meludah penuh nista dan menatap pak Kristo dengan tatap seorang pembunuh.

Tiga bulan sebelum ujian EBTANAS, Mine kecil telah matang menyusun rencana balas dendam yang dianggapnya sebanding dengan kebejatan yang dilakukan pak Kristo pada dirinya.

Mine membuka matanya perlahan .. menatap Tide yang masih tertidur. Air matanya membanjir kini .. kembali memorinya meloncat pada berita kematian pak Kristo yang mengejutkan setelah meneguk teh manis dari gelas minumnya sendiri. Mine menggigit bibirnya lebih keras, sekeras hatinya saat itu sembunyi-sembunyi ke dapur sekolah, memasukan cairan baygon secukupnya ke dalam gelas pak Kristo yang ada tanda nama sang kepala sekolah, lalu kembali bermain bersama teman-temannya tanpa rasa bersalah. Botol kecil bekas baygon cair itu dilenyapkannya ke dalam wc sekolah saat seisi sekolah panik atas kematian pak Kristo yang amat tiba-tiba.

Kasus tersebut sempat ditangani pihak yang berwajib. Namun siapa yang sangka gadis kecil yang sebentar lagi meninggalkan sekolah itu lah pelakunya? Siapa yang dapat mengkaitkan kematian pak Kristo dengan dendam seorang bocah karena diperkosa guru Matematika yang sekaligus kepala sekolah itu? Mine kecil yang polos, lolos dari jerat hukum dan melanjutkan hidupnya yang tersisa dengan ke-ketusan dan kejutekan. Kasus itu ditutup setelah sekian lama tak pernah ditemukan pelakunya. Mine menutup diri dari dunia manusia, selain menjalankan lakonnya sebagai anak dari keluarga mampu dan menjadi murid sekolah.

Mine bangkit dan menghapus air matanya. Allah, maafkan hamba. Batin Mine berulang-ulang setiap kali kejadian itu terlintas di benaknya. Mine membenci semua manusia, laki-laki, perempuan .. semua!! Mine membenci laki-laki yang menurutnya bajingan semua. Mine membenci wanita .. wanita yang 'mengapa saat itu nggak mendobrak pintu kantor kepala sekolah?' Mine merutuki semuanya .. semua!!

Ketukan di pintu kamar kembali mengganggunya.

"Mine sayang .. ada telepon untukmu."
"Dari siapa tante Da?"
"Temanmu."

Teman? Mine nggak merasa telah memberikan nomor telepon rumahnya pada siapa pun. Bahkan Mine memilih untuk menyimpan semua handphone yang dibelikan ayahnya di lemari, ketimbang harus bersosialisasi dengan teman-temannya melalui handphone. Diusutnya air mata dan membersihkan wajahnya dengan tisue. Keluar kamar, Mine meraih gagang telpon yang tergeletak di meja kecil.

"Ya?"
"Tuan putri .. apa kabar?"
"Jangan pernah memanggil saya dengan sebutan itu."
"Oh tuan putri .. marah? Apakah hanya tuan putri saja yang bisa marah?"
"Denis, maaf .. sekarang waktu saya untuk berisirahat."
"Ouw .. jadi saya harus membuat janji dulu bila ingin berbicara dengan tuan putri?"
"Denis .. jangan pernah memanggil saya .."
"Tuan putri .. oke .. kalau saya panggil si jutek mau?"
"Sama saja, saya punya nama."
"Ya ya ya .. punya nama, tapi nggak punya hati nurani!"
"Hentikan!!"
"Kalau saya nggak mau bagaimana dong."
"Saya yang akan menutup telepon .. beres."

Mine membanting gagang telpon dan berlalu ke dapur.

"Tante Da .. kalau ada yang menelpon lagi, bilang saja saya tidur siang."
"Baik Mine sayang."

Mine menggeretakkan gerahamnya dengan rasa marah yang amat sangat dan kembali ke kamar. Kali ini Mine benar-benar ingin tidur dan melupakan semua kejadian yang menggangu pikirannya. Masa lalu .. masa sekarang .. masa depan .. Mine ingin melupakan semuanya .. semua. Enam tahun sudah kejadian itu, semua berubah .. Mine nggak berubah, tetap menjadi gadis individual yang nggak peduli pada sekitarnya. Cukup ironi memang, seorang mantan pemenang olimpiade Matematika yang memang jago dalam urusan berhitung kemudian memilih jurusan Bahasa saat kelas 3 smu. Mine sesungguhnya muak pada Matematika .. pada pak Kristo.

Seminggu sudah kejadian perkelahian antara Genio dan Denis. Seminggu itu pula Mine berusaha menghindari Denis, dia nggak ingin cowok itu merecoki kehidupannya lagi. Dia muak. Rupanya Denis tau dan mengerti, cowok itu nggak berniat mengganggu Mine lagi. Cukup sudah pembicaraan di telpon diputuskan Mine saat dirinya tengah berniat menggoda cewek itu, namun dengan maksut meminta maaf di akhirnya. Denis tau salah, telah menghempaskan tangan Mine ke meja dan membuat gadis itu meringis kesakitan. Namun sikap Mine sungguh nggak bisa dipahami dan ditolerir, seperti Mine nggak mampu mentolerir orang lain di sekitarnya. Denis berpendapat, Mine sebentar lagi akan menjadi gila. Si jutek yang gila.

Sampai pada suatu siang yang mendung. Mine berdiri mematung di pelataran parkir yang mulai sepi kendaraan. Motornya ngadat, entah apa yang terjadi, motornya nggak mau hidup saat distater. Mine mencoba terus, namun hasilnya nihil. Saat yang nggak menguntungkan itu, sosok Denis muncul di kejauhan, berjalan bersama beberapa teman cowok sekelas mereka. Mine membuang muka, pura-pura melihat ke tempat lain. Tapi gerombolan Denis kian mendekat. Mobil Denis diparkir nggak jauh dari motornya. Denis tau, nggak ada gunanya mencoba menyapa Mine, demikian pula teman-temannya. Mereka menganggap Mine nggak ada disitu, seperti Mine selalu menganggap mereka nggak ada.

Denis melihat kecemasan di wajah Mine. Kenapa? Apa yang terjadi? Biasanya Mine kan memilih pulang lebih dahulu, kenapa sekarang gadis jutek itu justru berdiri mematung disamping motor-nya? Mau nggak mau Denis mendekati Mine, barangkali dengan jalan ini dia dapat berbaikan kembali dengan gadis ini, meskipun dia tau usahanya mungkin akan membawanya pada kesia-siaan.

"Hai Mine .. kok belum pulang?"
"Bukan urusanmu."
"Hei .. saya bertanya baik-baik. Cobalah untuk menoleh pada sekitarmu!"
"Dan berhentilah berbicara kasar pada saya!!"
"Oke oke.. saya bicara baik-baik sekarang. Kenapa kamu belum pulang? See?? Saya bicara baik-baik bukan? Saya nggak memanggilmu dengan tuan putri lagi bukan? Saya bicara tanpa membentak lagi bukan?"
"Ya .."
"Lalu?"
"Motor saya ngadat."
"Oh .. biar saya lihat."
"Nggak perlu!"
"Mine .. saya hanya ingin menolong, nggak lebih!"
"Saya nggak butuh pertolonganmu. Pulang sana."
"Sampai kapan kamu mau terus disini? Sebentar lagi pasti turun hujan. Oke oke.. pakai lah handphone saya untuk menelepon siapa saja yang kamu anggap dapat membantu."
"Tidak, terima kasih."

Denis menarik napas panjang dan kesal pada sikap Mine yang ketus ini. Wajar saja Mine dijauhi semua orang!

"Den! Kita cabut duluan yo!"
"Selamat merayu patung dewi congkak! Huahahahah."

Teman-teman Denis meninggalkan mereka disitu. Denis masih berdiri mematung dan menatap Mine dengan pandangan tak mengerti. Gadis congkak yang bodoh! Belagu amat pintar dalam pelajaran, tapi sesungguhnya benar-benar bodoh! 'Mengapa saya harus peduli?' Denis bertanya dalam hati .. iya mengapa? Toh Mine nggak butuh dipedulikan. Tapi ada sesuatu dari hati Denis .. sesuatu yang menyebabkannya terus bertahan menemani kebisuan diantara mereka.

"Mine, saya antar pulang saja yuk?"
"Tidak. Terima kasih."
"Mine, motormu saya titipkan ke penjaga sekolah dan kamu ikut saya pulang!"
"Tidak, saya bilang tidak. Terima kasih."
"Well Mine, ini sudah jam tiga! Orang tua mu pasti sibuk mencari kamu. Berbuatlah sesuatu untuk dirimu sendiri."
"Ayah dan ibu nggak pernah peduli saya mau berbuat apa .. itu hak saya."
"Hak dan hak!! Hanya itu yang bisa kamu katakan heh??"
"Itu hak saya!!"
"Hak!! Tau apa kamu tentang HAK!!!"
"Saya tau! Seperti saya tau hak saya dibungkam sejak dulu!!"
"Hei ... ???"

Denis dapat melihat mata Mine berkaca-kaca. Hak dan air mata? Sheat!! Apa yang sebenarnya telah terjadi? Denis mendekati Mine, mencoba mencari celah agar Mine mau menitipkan motornya pada penjaga sekolah dan mau diantari pulang. Mine menjauh dan menatap Denis dengan pandangan jijik. Dia nggak ingin sosok yang mendapat sedikit perhatian hatinya ini mendekatinya.

"Mine .."

Denis menyentuh pundah gadis itu .. yang terjadi sesudahnya sungguh di luar perkiraan Denis. Mine menjerit ketakutan dan histeris. Untung sekolah telah sepi. Kalau tidak? Bisa-bisa Denis dianggap berniat melakukan tindak senonoh pada Mine.

"Mine??"
"Jauhi saya!! Jauhi saya sekarang juga atau nasibmu akan sama seperti pak Kristo!! Jauhi hidup saya!! Pergi pergiiii!!!!!!"
"Mine sudah!! Jangan bersikap kekanakan begitu ..Mine .."

Denis meraih Mine ke dalam pelukannya dan membiarkan dadanya menjadi sasaran tinju Mine yang berapi-api. Napas Mine memburu di dera rasa takut dan trauma masa lalu .. laki-laki!! Dia benci laki-laki! Dia nggak sudi disentuh laki-laki!! Tapi pelukan Denis menguat .. napas Mine ngos-ngosan, histeris dan rasa takut yang dalam membuatnya berkeringat. Denis mendekapnya erat seakan nggak akan melepaskannya lagi. Mine sesenggukan.

"Mine .. saya antar pulang sekarang, oke? Entah .. seperti katamu nasib saya akan seperti pak Kristo yang .. ah who ever!! Saya nggak kenal!! Ayo .."

Mine terperangah .. ini kah cowok congkak itu? Ini kah Denis? Ini kah cowok yang pernah membuatnya sedikit memperhatikan sekaligus dibencinya? Namun dapat dirasakannya kehangatan dan kebaikan cowok itu begitu dirinya di dekap? Seakan Denis ingin mengalirkan rasa aman di hatinya? Mine menghapus air matanya. Baru lima belas menit sesudahnya dirinya mau pulang bersama Denis, membiarkan motornya dititipkan pada penjaga sekolah. Disini dia sekarang, disamping Denis, di dalam mobil cowok ini. Mine duduk menjauhi Denis .. bersandar pada pintu mobil. Denis hanya dapat menggelengkan kepala nggak mengerti .. Otaknya betul-betul blank atas semua ini. Blank!! Gerimis mulai turun membahasi bumi, titik air itu tetap halus dan tak menjadi kasar, hanya gerimis.

-bersambung-