lunedì, marzo 29, 2004

LUV part.4

Minggu siang yang cerah, cenderung panas. Flo dan Lisa siap-siap berangkat. Sesuai janji, Cova akan menunggu mereka terlebih dahulu di TP. Cowok itu sekalian nunut mobil temannya. Flo nampak manis meskipun kesan mandirinya tetap melekat dalam diri gadis Flores berkulit hitam manis itu. Rambutnya yang berpotongan shaggy dibiarkan lepas. Jeans belel, sepatu kanvas dan ransel adalah pakaian kebesaran gadis itu bila keluar rumah. Entah itu ke kampus, ke rumah teman, atau ke mall seperti siang ini. Lisa, terlihat lebih feminin dengan balutan rok jeans dan tank top yang dipadu cardigan. Kedua kakak beradik itu segera menuju TP, naik angkot dua kali.

Turun di KFC, samping TP, keduanya jalan sebentar ke TP. Di depan Mc Donald dah ada Cova. Ya ampun, Flo menahan degup jantungnya yang bedetak ga berirama dan lebih kencang saat melihatnya. Cakep bener! Cool banget si Cova. Hati Flo seperti dialiri listrik, dia cinta sama Cova!
"Heii .. dari tadi Va?" tanya Lisa. Cova mengangguk sambil melirik Flo yang pura-pura mengalihkan pandangannya ke tempat lain.
"Lumayan kak. Mau sms-in tadi, tapi ga jadi, nunggu aja deh, sambil cuci mata." jawab Cova santai. Spontan Flo nyeletuk.
"Masih mau cari cewek jawa yah?" Cova melotot, Flo tersadar. Aduh, untung nama Ningsih ga sampai terucap tadi. Gimana kalau Lisa sampai tau? Berabe dah. Flo bungkam.
"Loh kok cewek jawa, apa adik kakak masih kurang Va?" tanya Lisa sambil mengajak keduanya masuk.
"Ngg suka kan ga berarti cinta kak." jawab Cova cepat sambil matanya melotot ke arah Flo. Flo hanya bisa membalas dengan tampang bersalah yang ga habis-habisnya.
"Oh gitu, awas loh eheehe." seru Lisa lagi. Mereka tertawa. Aroma musk Cova menyengat hidung Flo, Cova tercinta!!
Mereka putar-putar, dari lantai satu ke lantai dua, dan seterusnya. Dari tp 1 ke tp 2 dan 3 dan seterusnya. Capek putar-putar, cuci mata, liat barang bagus, ngecengin cowok cewek, trus mereka turun lagi ke lantai dasar, ke Cimo Cimi, tempat favorit Lisa kalau dia ke tp. Tempatnya asyik. Dekat sama texas, trus dindingnya terbuat dari kaca, jadi sambil hang out, makan dan minum, mata bisa jelalatan liat keluar, merhatiin orang yang jalan. Seru deh pokoknya.
"Eh, kakak ke toilet bentar, kebelet." Lisa meninggalkan Cova dan Flo berdua disitu. Hati Flo mulai ga tenang lagi.

"Flo..." Cova mencoba mencairkan kebisuan diantara mereka.
"Maap Va, saya ga sadar tadi ngomong ..." sambar Flo sebelum Cova selesai bicara. Cova menggeleng kuat.
"Bukan soal itu. Ini soal kita." ujar Cova cepat. Flo terbeliak. Soal kita? Soal hubungan mereka?
"Maksutmu?" tanya Flo. Bukannya pura-pura bego. Flo sebenarnya sudah bosan dengan semua ini. Bosan menunggu cintanya terbalas oleh cowok ganteng yang timur banget wajahnya, yang bikin cewek-cewek di Cimo Cimi siang itu menatap dengan tatapan iri. Apalagi tragedi di kost-an Cova sore itu, ciuman yang dahsyat! Ciuman yang membuat Flo berharap Cova telah meninggalkan Ningsih dan telah mulai mencintai dirinya.
"Maksut saya ... hmmm saya dan Ningsih telah pisah .." Flo kaget juga mendengarnya meskipun ada harapan dihatinya untuk itu. Flo menatap mata Cova lekat-lekat.
"Lalu?!" tanya Flo.
"Ga ada lalu, ga ada lanjutan. Just broke! Like glass fall down on the floor." jawab Cova. Flo bingung, hatinya senang mendengar hal itu, tapi apakah dengan putusnya hubungan mereka Cova bisa berbalik mencintainya, memenuhi tuntutan cincin tunangan yang melingkar di jari mereka?

"Flo .. hei, kok ngelamun?" tanya Cova. Flo tersadar. Dulu atau sekarang, pesona makhluk ganteng di hadapannya ini tak pernah pudar, meskipun dirinya telah berusaha sekuat mungkin melupakannya. Menghindar agar tidak bertemu berminggu-minggu memang cukup membantu. Namun begitu mereka bertemu lagi, melihat sosok Cova lagi, getaran itu langsung terasa, ga berkurang sedikitpun porsinya.
Cova menatap wajah Flo di depannya. Wajah yang flores banget, dengan rambut ikal di shaggy, dengan senyum manis menawan. Seperti bidadari Sanua yang turun dari langit. Bidadari .. Cova mencoba tersenyum, bidadari yang dilupakannya kah? Flo memang bidadari untuknya, masa sekolah yang membahagiakan. Bagaimana Flo dengan berbaik hati mau membantunya ngerjain pe er atau belajar bersama, mengisi otaknya yang kosong dengan pengetahuan. Masa smp dan smu yang menyenangkan. Sampai Ningsih pindah ke Ende, mengisi sisi hatinya yang lain. Ningsih adalah kekasih untuk satu sisi hatinya dan Flo adalah bidadari untuk sisi hati yang lain. Kini sisi kekasih itu telah punah untuk Ningsih. Cewek jawa yang dulu dikejarnya setengah mati! Cova menatap wajah Flo di hadapannya lagi, mau kah bidadari ini mengisi sisi itu? Melengkapinya dengan cinta pula? Cinta dari wanita terhadap laki-laki, bukan cinta dari seorang misan kepada misan lainnya. Hidupnya tanpa Flo ga berarti. Hidupnya tanpa Ningsih masih berarti. Kenapa matanya buta selama ini?! Kenapa mata batinnya juga ikut-ikutan buta?

Mereka duduk dalam diam. Lisa masih belum muncul. Cova kembali bersuara.
"Flo, saya mau bicara serius .. boleh?" tanya Cova akhirnya. Flo menatap wajah Cova lekat-lekat dan mengangguk.
"Boleh .." jawabnya.
"Soal cincin ini, soal kita, soal tunangan ..." Cova menggantungkan kalimatnya. Flo menanti harap-harap cemas.
"Y..yaa .. kenapa?" tanya Flo lagi. Cova menarik napas dalam-dalam.
"Flo .. kamu cinta saya?" tanya Cova blak-blakan. Flo terdiam. Pertanyaan macam apa itu! Kalau dijawab, ya, Flo jujur, perasaannya ke Cova memang seperti itu. Tapi .. Cova melanjutkan.
"Flo, saya mencintaimu." Flo kaget. Itu pernyataan yang ditunggunya sekian lama! Melewati hari-hari senang dan sedih selama ini, untuk hal ini!
"Cova?" Flo mencoba mencerna kata-kata yang selalu dinantinya itu baik-baik.
"Kenapa? Terlalu cepat ya? Setelah putus sama Ningsih, saya lalu bilang cinta ke kamu? Hal yang saya sendiri ga ngerti kok Flo. Saya selama ini buta sama cewek jawa, saya selama ini menjadi pengejar cinta, padahal cinta yang sebenarnya itu ada disini, di hadapan saya. Flo, sulit bagi saya untuk menjelaskan perasaan saya." Cova menatap mata Flo dalam. Mencoba mencari jawab disitu. Benarkah seperti kata Ningsih saat masih sekolah dulu, Flo sebenarnya mencintainya?
"Cova, .. I've been waiting for that sentences for a long time .. sure .. for a long time Va .." mata Flo berkaca-kaca. Cova meraih tangan Flo lembut, meremasnya dan menjanjikan cinta di sana.

Lisa muncul seperti sebuah skenario filem, tepat saat mendebarkan berlalu. Tangan keduanya masih bersatu dalam genggaman lembut.
"Nah ya .. " goda Lisa dengan kedipan mata. Flo menarik tangannya cepat. Wajah cewek hitam manis itu memerah.
"Kakak kok lama sih ke toilet." tanya Flo, sekedar mengalihkan pembicaraan.
"Oh, tadi ketemu teman kakak di atas, jadi agak lama hehehe." mereka tertawa. Tawa yang diartikan lain oleh Cova dan Flo, tawa bahagia. Setelah mengisi perut, mereka memutuskan untuk pulang.

Seperti sebuah kisah drama romantis, selalu berakhir dengan happy ending, ya kan? Malam ini di balkon kost Cova, cowok ganteng itu tengah sms-an sama Flo, misan yang selama ini selalu menemaninya ibarat cahaya yang tak pernah pendar dimakan waktu. Sesuatu yang dirasakan dalam hatinya mencuat, itu kah cinta? Cinta untuk Flo, yang selama ini tertutup kabut cintanya pada Ningsih? Cova menatap bintang-bintang di langit sambil berbisik "Thanks God." Di kamar kost Flo, gadis itu sedang membalas sms-sms Cova yang lucu dan menggoda, tentu saja dengan volume sms yang nol persen kecuali getarnya. Soalnya Flo ga mau sms-an nya mengganggu Lisa yang tengah belajar, berkutat dengan buku-buku tebal yang ga dipahaminya. Dalam hati Flo berbisik "Thanks God, finally you give him to me." Flo tersenyum sendiri.

tuteh, 4 Maret 2004

sabato, marzo 20, 2004

LUV part.3

Ini hari Rabu, hari yang ditunggu Cova karena Ningsih berjanji akan datang ke Surabaya menemuinya. Pagi-pagi cowok itu bangun dan membersihkan kamar kostnya lalu mandi. Tak lupa membawa pakaian kotor ke tukang cuci. Maklum, kost Cova ga seperti kost Lisa dan Flo yang punya jasa laundrynya. Biarpun begitu, Cova enjoy kok. Lagi pula teman-teman kostnya asik-asik semua. Anak gaul yang paling tau tempat nongkrong asik di kota buaya ini. Sehabis beres-beres dan mandi, Cova berjalan kaki ke RSJ Menur. Lima menit dirinya telah nampak duduk menunggu dibawah pohon johar yang rimbun sepanjang jalan. Duduk mengaso di trotoar Cova memperhatikan sekitar, angkot yang lewat, becak, para mahasiswa dan tak lupa motor. Cova teringat tiger 2000 merah miliknya di Ende yang saat ini pasti dipakai ayahnya.

Sepuluh menit Cova menunggu, dia kehausan. Chek hp, jam sepuluh kurang lima menit, harusnya sosok Ningsih telah ada dalam pelukannya sekarang. Cova beranjak dari situ menuju warung di seberang jalan untuk membeli rokok dan sebotol coca cola. Duduk di bangku warung memperhatikan seberang jalan. RSJ Menur berdiri dengan megahnya. Siapa yang tau kalau di dalam gedung itu terdapat ratusan orang sakit jiwa? Cova terkekeh sendiri. Cowok itu mengamati semua angkot yang berhenti di sekitar pagar rumah sakit. Namun sosok Ningsih belum datang juga. Dihisapnya rokok dalam-dalam, menikmati aroma djisamsoe yang jantan. Itu lah salah satu alasan mengapa Cova memilih kost yang jauh dari Flo dan Lisa, biar dirinya bisa menikmati rokok sepuasnya. Baru kemudian Cova teringat, kenapa tidak di smsnya sang pujaan hati? Dengan tampang blo'on Cova memencet tombol hp nya. =Ningsih, kamu dimana?= Namun sayang, pesannya gagal, tak terkirim, dengan kata lain, Ningsih sedang menonaktifkan hpnya. Cova mendengus kesal. Dimatikannya hp.

Duapuluh menit lewat dari jam sepuluh, nampak sebuah mobil, mazda, berhenti di tempat Cova duduk tadi. Mata Cova menyipit, seorang wanita turun dari dalam mobil. Itu kan Ningsih?!!! Cova berdiri dan Ningsih saat itu pas melihatnya. Gadis jawa yang semakin ayu dan feminin itu menyeberang jalan menghampiri Cova. Hampir saja Cova memeluk Ningsih kalau tidak diingatnya ini di tempat umum!
"Ningsih!!!" teriak Cova, padahal gadis itu tinggal lima langkah lagi mendekatinya.
"Pst Cova .. jangan ribut! Bersikap biasa yah ... Cova, duduk lah, saya perlu bicara padamu." Cova nampak bingung.
"Bersikap biasa bagaimana? Eh, kita ke kost yuk ..." ajak Cova tak sabar, namun Ningsih menggeleng pasti.
"Cova, saya ga punya waktu banyak. Ini hal yang saya sembunyikan dari kamu selama ini, dalam sms dan telepon kamu. Cova ... saya kesini bersama suami saya, dia menunggu di mobil. Saya tadi bilang mau ketemu teman lama, dan dia bersih keras mengantar. Cova, maafkan saya yah .. saya harus menemui kamu sendiri untuk bicara, saya ga mau lewat telepon atau sms. Saat pulang kemarin, saya dijodohkan eyang kakung sama kerabatnya, saya ga bisa menolak Va, itu keputusan keluarga." bicara Ningsih cepat, tanpa nada, datar dan seperti dikejar setan. Cova seolah melihat hantu dihadapannya. Jijik pada kebohongan Ningsih selama ini! Cova ga mau bicara, menanggapi pun enggan.
"Cova, .. maafkan saya .. saya pamit .. saya ga mau suami saya curiga." Ningsih bangkit dan berlalu.
"Jangan pernah hubungi saya lagi, kamu bagi saya sudah mati!" kata-kata itu meluncur keras dari bibir Cova. Ningsih ga menoleh lagi, masuk ke mazda dan hilang seiring dengan berlalunya mazda dari situ.

Hati Cova garang bukan main. Ini kah cinta seorang gadis jawa yang selalu diagungkannya?! What a suck! Dirinya seperti barang rombeng yang dibuang ke tempat sampah tanpa ampun. Semua angan-angannya tentang kebersamaannya dan Ningsih kini terbang, hilang dikaburkan angin, menguap oleh panasnya Surabaya. Dalam hitungan menit, Ningsih merubah cintanya menjadi angkara tak bertepi. Cova tak langsung pulang ke kost. Diikuti kemana arah hatinya ingin pergi. Naik angkot dari Menur, Cova turun di Sahid dan berjalan kaki menuju Delta Plaza. Hingar bingar plaza membuat hati Cova tambah kesal. Naik turun eskalator, sempat mengisi perutnya di Pujasera, Cova jalan tanpa arah. Hatinya begitu benci melihat gadis-gadis jawa dengan dandanan modis hilir mudik tanpa tujuan. Tsah!! Jalan tanpa arah, sebentar sudah di lantai satu, lalu tiba-tiba di lantai empat. Cova seperti orang linglung. Lalu masih dengan rasa marah di hati, menjelang sore Cova akhirnya pulang. Jalan kaki lima menit ke Sahid, dan naik angkot dari situ ke Menur.

Tiba depan kost, Cova melihat Flo! Untuk apa Flo kemari? Flo menatap Cova garang. Buang waktu dari tadi hanya untuk menunggu kedatangan misannya ini. Hatinya, masih ga bisa berbohong, melihat sosok Cova, cinta yang terkubur itu seolah ingin bangkit dan berteriak.
"Cova! Dari mana saja kamu?! Saya telpon ke hp ga masuk-masuk dari tadi." semprot Flo kesal. Rupanya gadis itu telah menunggu lama. Di meja teras kost terdapat satu cangkir teh yang telah kosong.
"Apa urusanmu?!" bentak Cova. Flo menggeram marah. Dilemparinya bungkusan ditangannya ke tubuh cowok itu.
"Nih!!!! Saya kesini hanya mau bawain kiriman dari tante Ratna untuk kamu karena kebetulan hari ini saya ada kuliah siang!" Flo meraih ranselnya dan berlalu. Namun Cova lebih gesit menyeret tangannya masuk ke kost yang juga di tingkat dua, bedanya, tangga ke tingkat dua itu terletak di luar rumah. Flo berusaha melepaskan cengkeraman tangan Cova. Kesetanan Cova menghempaskan Flo di kasur dan kemudian menindih gadis itu. Dengan beringas bibir Cova menyerang wajah manis Flo. Awalnya Flo kaget, bengong. Aroma musk Cova yang jantan seperti melumpuhkan persendian tubuhnya. Namun kesadarannya pulih, dia berontak lagi, keras dan berusaha teriak, namun bibir Cova dengan buas membungkam bibirnya.

Cova ga berbuat lebih jauh dari itu. Sampai Flo lemas, menyerah pada tenaganya yang terkuras, ciuman Cova mengendur. Cova tersadar melihat air mata di pipi misannya.
"Cova, kenapa kamu lakukan ini?! Hargai saya! Hargai saya please!" Flo menangis di sudut ranjang, sedang Cova duduk lesu dihadapannya. Cova menatap Flo dalam.
"Maaf, saya terbawa emosi tadi. Tapi, toh kamu senang juga kan?! Menurut isu yang saya dengar, kamu mencintai saya ..." sekilas kata-kata Ningsih di lapangan basket saat masih smu dulu, melintas di benaknya. Flo terkejut mendengarnya. Apa Cova bisa merasakan teriakan cinta dihatinya?!
"Ga pantas Cova!!!!!" Flo menghapus air matanya.
"Apanya yang ga pantas? Kita toh sudah tunangan dan ga ada yang berani melarang saya untuk berbuat itu!" Flo terperangah. Tunangan? Hal yang sejenak dilupakannya itu terngiang di telinga. Dilihatnya cincin tunangan di jarinya. Cincin itu juga masih ada di jari Cova.
"Saya pulang .." Flo bangkit. Cova menahannya.
"Saya antar. Rapihkan dulu pakaian dan rambutmu ... saya ambil bungkusan tadi dibawah." Cova keluar kamar, mengambil titipan yang dibawa Flo tadi. Untungnya, sore itu teman-teman Cova ga nampak batang hidungnya. Kalau ga kuliah, paling juga ke warnet.

Menjelang maghrib mereka sampai di kost. Nampak banyak pasien yang mengantri. Flo sempat menyapa dokter Feri, dokter muda cakep yang praktek disitu. Cova masih ingin ikuti langkah Flo.
"Tidak Cova, disini teman cowok ga boleh masuk kluar bebas. Pulanglah, apa pun yang terjadi tadi, lupakan." Flo bilang permisi pada para pasien dan naik ke tingkat dua. Masuk ke kamar, Lisa tengah membaca buku.
"Hei! Kok pulangnya rada telat?" tanya Lisa. Flo ga tau harus bilang apa. Mengantar kiriman Cova? Kenapa bisa lama begitu? Flo merutuki dirinya sendiri, sebenarnya dia bisa saja menitipkan bungkusan itu pada pemilik kost yang berusia senja, namun ada sisi hatinya yang menolak. Dirinya menunggu.
"Uhm, tadi masih diajak Cova jalan-jalan kak." jawab Flo senormal mungkin.
"Bagus lah kalau begitu. Kalian ini tunangan, tapi kakak ga pernah sekalipun melihat Cova jemputin kamu ke sini atau telpon. Gitu dong, kalau sudah tunangan itu, harusnya lebih mesra! Kalian berdua kebanyakan diamnya sih!" nasihat Lisa mau tidak mau membuat Flo tersenyum.

Gadis itu mandi. Lama di kamar mandi, memperhatikan wajahnya di cermin. Bibir itu, tadi baru saja dilumat habis oleh bibir Cova. Flo gamang, senang kah? Atau harusnya marah? Cova punya dalih, boleh melakukan itu, karena toh mereka telah terikat cincin tunangan. Tapi cara Cova yang kasar tadi membuat otak Flo berpikir keras. Kenapa? Hal itu pantas, bila tanpa paksaan seperti tadi. Flo berontak, ga ingin diperlakukan semena-mena oleh Cova. Tadi Cova nampak marah .. marah pada siapa? Flo menggeleng lesu, menyelesaikan mandinya dan memesan satu jus tomat di kantin mini. Dibawanya gelas jus itu ke kamar.
"Mau kak?" tawarnya ke Lisa. Lisa menggeleng.
"Ga usah, makasih. Kakak harus belajar keras, besok ada ujian. Kamu minum aja, nanti jam delapan kita cari makan di luar, oke? Sekarang kakak belajar dulu." Flo mengangguk setuju, tiduran di kasur. Besok ada kuliah pagi, namun enggan rasanya kalau harus bangun pagi-pagi untuk kuliah jam setengah delapan itu. Tak berapa saat Ruly meneleponnya, disusul kemudian sms dari Nia. Flo senang pada kedua temannya itu. Merek bertiga selalu kompak. Hp Flo bergetar ... dirinya sengaja ga pakai nada, takut mengganggu konsentrasi belajar kakaknya.

=Flo, maafkan saya. Sikap saya tadi sore, memalukan. Besok kuliah apa? Saya mau ngajak kamu keluar==Cova Hp. Flo membaca sms itu berulang kali. Angin apa gerangan yang menggerakkan hati cowok itu untuk sms? Flo menarik napas panjang. Jerit-jerit kecil dari dasar hatinya kembali menguak setelah sekian bulan diterlantarkan. Ciuman Cova kembali melintasi benaknya. Flo merutuki dirinya lagi. Rasa cinta itu ga bisa pergi juga dari hatinya. Cova adalah malaikat pelindung yang 'dulu' selalu menjaganya tanpa letih. Cinta itu tumbuh dengan bebasnya, sampai Ningsih masuk dalam ruang gerak mereka. Flo merasa tersingkir dan berusaha mengubur cinta itu dalam-dalam. Sayang, cinta itu tak mau pergi juga. Bahkan setelah kejadian yang cukup memalukan tadi, dia seakan bersemi lagi dan lagi di dalam hati Flo.

"Makan yuk!" Lisa membuyarkan lamunannya. Flo meraih sandal dan mengikuti kakaknya keluar kost menuju warung nasi goreng yang aromanya tercium kemana-mana. Flo memilih nasi goreng biasa, ga pakai telur ceplok, bukan nasgorkam apalagi pakai ayam goreng crispy. Sedangkan Lisa memilih nasgorkam yang nyumi itu.
"Gimana kuliahmu Flo? Lancar?" tanya Lisa saat pesanan telah di depan mata. Flo menyeruput teh botol.
"Lancar kak. Bahkan terkesan saya lah yang paling pintar di kelas hehehe. Semua mata kuliah yang saya ambil rasanya tak begitu sulit." jelas Flo sembari mengunyah.
"Baguslah kalau begitu. Kalau ada kesulitan apa-apa, tanya ke kakak saja, kalau kakak bisa, pasti dibantu deh. Oke? Oh iya, hari minggu nanti kita jalan-jalan ke TP yuk! Cuci mata sekaligus bikin fresh otak. Puyeng nih kakak belajar terus." tawar Lisa. Mata Flo berbinar.
"Asikkk boleh boleh. Saya terhitung dua kali ini dong ke TP hihihi. Kampungan banget yah kak?" ujar Flo cekikikan. Lisa tertawa sambil mengacak rambut adiknya.
"Itu justru bagus! Artinya kamu sungguh-sungguh kuliahnya! Ingat, perusahaan orang tua kita membutuhkan tenaga handal sepertimu utnuk memanage dan melanjutkan usaha mereka kelak." Flo mengangguk mantap.
"Nanti sekalian ajak Cova. Kita bertiga saja ke sana." Cova .... Flo kembali teringat pada ciuman itu. Hatinya bergetar, seperti ada arus listrik yang masuk ke dalam tubuhnya. Flo seperti melayang bila mengingatnya. Tapi dihati Cova ada Ningsih. Flo tau, Cova lebih menyukai cewek jawa, bahkan mencintai Ningsih setengah mati. Dari mana Cova tau kalau dirinya mencintai cowok ganteng itu? Flo ingat kata-kata Cova tadi, "Maaf, saya terbawa emosi tadi. Tapi, toh kamu senang juga kan?! Menurut isu yang saya dengar, kamu mencintai saya ..." Whatever Cova .. saya memang mencintai kamu, dan sialnya cinta ini tak mau pergi juga meskipun telah diusir!!!!

Setelah mengisi perut, Lisa dan Flo pulang ke kost. Sempat ngobrol sebentar sama Wilda dan Heni, dua teman mereka di lantai atas. Saling goda dan ketawa ketiwi. Saat jam di ruang bawah berdentang sepuluh kali Lisa benar-benar menguap dan keduanya pamit tidur.
Malam itu Flo ga bisa tidur. Pikirannya melayang ke langit ke tujuh, delapan, sembilan dan seterusnya. Kejadian tadi lagi-lagi mengganggu pikirannya dan membuatnya ga bisa memejamkan mata. Diingatnya ajakan Cova untuk keluar besok, Flo meraih hpnya mengirim satu sms ke Cova =Va, jalan2nya nanti hari minggu, sekalian keluar sama kak Lisa=, terkirim. Lewat tengah malam baru gadis itu bisa tertidur.

Jauh dari situ, di kost Cova, cowok itu tengah melamun, duduk di balkon dan menatap bintang yang bertaburan di langit. Tumben malam itu banyak bintang. Langit Surabaya yang tercemar biasanya enggan disinggahi bintang. Pikiran Cova kembali pada kejadian hari ini. Pada Ningsih yang sekarang dibencinya bukan main! Hasratnya pada cewek jawa hilang sudah. Kebohongan gadis itu membuat Cova geram bukan main. Sialnya saat hatinya masih kesal, Flo malah melemparinya dengan bungkusan yang isinya satu kaleng sambal goreng hati kegemarannya dan kripik pisang yang selalu dicemilnya di Ende. Juga ada surat dari ibunya yang mengharapkan hubungannya dengan Flo baik-baik saja. Cova diharapkan bisa menjaga Flo dan Lisa tentunya selama di Surabaya. Hampir saja tadi dia tak mampu memenuhi permintaan isi surat ibunya yang telat dibaca itu. Cova ingat bagaiman Flo memohon padanya untuk menghargai gadis itu. Menghargai perasaannya kah? Betulkan kata Ningsih dulu. kalau Flo sebenarnya mencintai dirinya? Sikap marah Flo saat mereka jadian rasanya cukup membuat pikiran Cova terbuka. Cova menghabiskan lima batang rokok sebelum akhirnya diserang kantuk dan masuk kamar. Ketika hampir tertidur, hpnya berbunyi =Va, jalan2nya nanti hari minggu, sekalian keluar sama kak Lisa= Cova trus tertidur, mimpi ... diterbangkan ke alam mimpi yang tak terjamah sebelumnya.

To be continued!!

venerdì, marzo 19, 2004

LUV part. 2

Km Titian Nusantara membelah lautan lepas. Di kapal, Cova beda kamar dari Flo, namun yang menyakitkan, Cova membiarkan Ningsih sekamar sama Flo. Flo lebih banyak diam, tidur dan keluar sendiri mengelilingi kapal besar bermuatan hampir 50 buah truk Fuso. Truk besar milik perusahaan ekspedisi dari Flores. Flo menghirup angin laut yang menerbangkan rambutnya. Menatap kosong pada lautan biru dan pulau-pulau yang nampak dari kejauhan. Sedapat mungkin dirinya menghindari kontak bicara dengan Ningsih dan Cova. Hatinya sakit. Inilah akibat yang harus ditanggungnya bila ingin terus melanjutkan kuliah. Flo mendesah .. pasrah pada keadaan dan nasib yang menaunginya. Kaleng Coca cola ditangannya telah kosong, dibuangnya ke tempat sampah. Flo mengelilingi kapal lagi, dari dapur ke kantin, dari kantin ke mushola, dari mushola ke ruang hiburan .. terus ke dek-dek, naik turun tangga, melepaskan beban di hati.

Sejak kapan hatinya mulai tumbuh benih cinta pada Cova? Sejak mereka sd, smp atau smu? Barangkali sejak sama-sama smu. Saat itu Cova memang tumbuh menjadi sosok yang memukau matanya. Setiap hari, dijemput Cova ke sekolah dengan Tiger 2000 dan diantar pulang kembali. Tak jarang Cova mengajaknya jalan-jalan keliling kota kecil Ende dengan tiger merah itu. Hati Flo berbunga-bunga. Cova menyebutinya dengan nama Flo sejak smp. Saat itu darah jahilnya tumbuh dan lebih suka memanggil Floresian dengan Flo. Flo menyukainya, nama yang manis. Memang bukan rahasia lagi kalau Cova tergila-gila pada semua hal yang berbau jawa. Termasuk menyukai gadis belia keturuan jawa yang bertaburan bagai bintang di langit. Ningsih, pindah ke Ende ketika ujian kenaikan kelas dua hampir dimulai. Wajahnya yang ayu, kulitnya yang putih bersih, dan tutur katanya yang halus langsung membuat Cova tak bergeming bila sedang memandangnya. Dan akhirnya menjelang Ebtanas, Cova mampu meraih bintang di langit, mendapakan cinta Ningsih. Flo mendesah ... Dua hari sudah perjalanan ini. 48 jam berlalu, saatnya Titian Nusantara berlabuh di pelabuhan Perak Surabaya, gudang Zamrud.

Tiba di Perak Surabaya Flo mengangkut ransel besarnya. Gadis Flores harus bisa mandiri. Untunglah, yang dibawa Flo hanya itu. Di pelabuhan Perak, kak Lisa telah menanti kedatangan adik perempuan satu-satunya itu dan Cova, misan mereka. Wajah Lisa tak beda jauh dari Flo, namanya juga saudara kandung, hanya saja rambut Lisa dibiarkan tergerai sampai ke punggung. Sedangkan Ningsih terus naik bis ke Sidoarjo bersama salah seorang saudaranya yang menjemput. Flo bertekad, mulai hari ini, saat kakinya menginjak pulau Jawa, tak boleh dirinya dekat-dekat Cova lagi, meskipun hatinya ingin. Dirinya harus bisa, apa pun yang terjadi harus mampu membiarkan cowok itu berkutat dengan hidupnya sendiri dan cintanya pada Ningsih. Flo menarik napas panjang. Sesuatu yang baru akan dimulainya.

Kak Lisa membawa Flo ke kostnya di bilangan Ngagel, sedangkan Cova dititipkannya pada salah seorang cowok Flores yang kostnya tak terlalu jauh dari situ. Kamar kak Lisa berada di tingkat dua, berderet dengan lima kamar lainnya. Tak ada kamar mandi dalam, semuanya mandi di kamar mandi umum. Teman-teman kost kak Lisa baik-baik, Flo menyukai mereka. Pada lantai satu terdapat tujuh kamar lagi. Lima kamar di isi anak kost, dua kamar khusus bagi para dokter beristirahat. Dokter? Ya, lantai satu juga merupakan tempat prakter tiga orang dokter di bidang akupuntur modern. Disamping tempat praktek terdapat satu toko kosmetik dengan Marisha Haque sebagai modelnya, kosmetik bernuansa islami itu terus menslogankan kata halal untuk setiap produknya. Otomatis, setiap pergi dan pulang di sore hari, anak-anak kost kadang melewati para pasien yang mulai antri sejak jam dua siang. Di dekat kamar praktek terdapat dapur mini, seperti kantin mini yang dikelola oleh istri salah seorang dokter. Dijual berbagai macam juz, roti panggang juga indomie siap saji. Tempat yang nyaman.

Setelah melepas lelah dan mandi, Flo diajak Lisa makan di warung depan kost. Sambil makan mereka saling bercerita dan melepas rindu.
"Kenapa memilih Stiesia sih Flores .. " Lisa masih saja memanggil Flo dengan Flores, bukan Flo, seperti yang lainnya. Baginya nama Floresian itu indah.
"Uhm, ya pengen saja. Ugh kakak, masa manggil Flores sih, Flo dong! heheh. Ya pengen aja sih kak kuliah di Stiesia. Pernah kakak kelas yang kuliah di situ datang ke sekolah, mempromosikan Stiesia di hadapan kami. Ya sudah, saya langsung terpikat." Lisa mencubit gemas pipi adiknya. Tak berapa lama hp Lisa berbunyi. Flo membiarkan kakaknya membalas sms yang masuk itu sembari menikmati nasi ayam yang lumayan enak. Surabaya yang panas. Lisa segera meneguk teh botolnya cepat-cepat.
"Flo, kita ke tempat Martin yuk. Cova kayaknya kelaparan disana, kata Martin barusan, dirinya sama sekali ga nyediain makanan penyambutan. Padahal kakak tau, Martin itu memang kere, awal bulan saja sudah kere, apalagi akhir bulan! Ayuk! Eh eh .. bentar .. bu, pesen nasi dua dibungkus yah." Lisa memesan nasi bungkus dua untuk Martin dan Cova. Setelah membayar, Lisa mengajak Flo ke kost Martin. Flo menghabiskan minumnya dan mengikuti Lisa. Hatinya tak tenang, mengingat ada Cova disana.

Kost Martin hanya berjarak dua blok dari kost Lisa. Berjalan kaki sepuluh menit keduanya sampai. Yang pertama dirasakan Flo adalah pandangan mata para penghuni kost cowok yang nakal. Lisa cuek saja sambil berbisik.
"Ga usah ditanggapi kalau ga suka, oke?" Flo mengangguk pelan. Disitu mereka diperbolehkan langsung masuk ke kamar Martin. Cova nampak santai tiduran di kasur Martin, dan Martin sedang asik di depan komputer.
"Hoi!! Kalian berdua ngapain? Belum makan? Cova, temen kakak yang satu ini memang kere, jadi kamu harus nahan lapar hehehehe." gurau Lisa.
"Aduh kak Lisa, kenapa ga bilang dari tadi sih .. kak Martin juga, kenapa diam-diam saja, kan Cova bisa ngajak kak Martin keluar makan." seloroh Cova, merasa tak enak juga sama Martin.
"Just, take it easy lah!" Martin mematikan komputer dan gabung dengan ketiga saudara itu lesehan di karpet.

"Nah Martin, ini adik saya, Flo namanya. Dia nanti kuliahnya di Stiesia." Martin manggut-manggut. Tapi dalam hati kecil Flo yakin, teman kakaknya ini sebenarnya tengah menahan lapar, dan dia pun tersenyum.
"Tapppiiiii jangan sembarangan kamu, Flo dan Cova telah tunangan bertepatan dengan hari kelulusan mereka, unik bukan? Menurut cerita ibu lewat telepon, Flo dan Cova memang sudah dijodohkan sejak lahir. Beda usia hanya dua bulan, udah gitu sama-sama lahir saat subuh. Makanya orangtua kami ngotot menjodohkan mereka heheeh." jelas Lisa panjang lebar. Martin manggut-manggut lagi. Flo menunduk, enggan menanggapi urusan tunangan ini. Sedangkan Cova mengeraskan rahangnya ... Lisa masih terus berceloteh sampai ga terasa satu jam sudah mereka menghabiskan waktu dengan dominan cerita dari Lisa. Hati Flo bergelora oleh cinta, namun ditekannya perasaan itu kuat-kuat ke dasar hati yang paling dalam.
"Eh kak, kok nasinya dibiarkan saja? Kasihan tuh kak Martin, keliatannya lapar banget." bisik Flo akhirnya. Lisa seolah tersadar dan tertawa.
"Aduh maaf ya .. sampai lupa kalau tadi bawain kalian nasi bungkus. Dimakan yah, kita pamid dulu." kedua gadis kakak beradik itu pamit pada penghuni kost yang lain dan pulang, dengan janji keesokan harinya mencarikan kost buat Cova. Lisa merasa tak enak bila Cova harus terus nebeng di kamar Martin.

Ujian masuk yang cukup melelahkan bagi Flo, namun untunglah namanya terpampang jelas di papan pengumuman sebagai mahasiswi yang diterima. Sedangkan Cova, tak ada satu pun ujian yang diikutinya berhasil. Atas anjuran pak Jack, Cova disuruh ikut kursus dulu, bahasa Inggris, komputer atau matematika. Apa saja, asalkan putra satu-satunya itu ga sampai menganggur di Surabaya. Mengingat kemampuan Cova dalam ketiga hal itu minus. Sebulan kemudian mereka ga ketemuan lagi. Flo sibuk sama orientasi pendidikan atau Ospek, sedangkan Cova sibuk cari-cari tempat kursus. Tapi Flo tau, Cova lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menelepon Ningsih di Sidoarjo. Apalagi saat keduanya dibelikan hp baru berikut nomornya, Cova lebih leluasa meng-sms Ningsih. Meskipun hanya lewat sms atau missedcall, namun hati Cova bahagia rasanya.

Flo sendiri lebih suka menghabiskan waktunya di kamar kost. Kuliah belum betul-betul dimulai. Apalagi kesibukan Lisa sebagai mahasiswi kedokteran semester lima membuat waktunya tersita habis untuk urusan kuliah. Pagi jam delapan Lisa telah berangkat kuliah, soalnya Unair letaknya lumayan jauh dari kost mereka. Pulangnya sudah sore. Itu pun setelah mandi, Lisa langsung berkutat lagi dengan buku-buku tebal penuh istilah kedokteran yang tak dimengerti Flo. Flo sendiri mendapat banyak teman baru. Yang paling dekat adalah Ruly dan Nia. Kadang Flo asik sendiri dalam dunia sms dengan kedua sahabatnya itu.

Cova, dengan surveinya sendiri mendapat kost di bilangan Menur Pumpungan. Sial bagi Flo, kost Cova terletak tepat disamping Stiesia. Masuk gang sih, namun rasanya kesal bila dirinya seolah dibayangi Cova terus menerus, padahal belum tentu Cova membayanginya. Cowok ganteng itu sering nampak di wartel depan gang, menelepon Ningsih, sang pujaan hati.
"Ningsih, kapan kamu ke Surabaya? Katanya mau kuliah disini." kejar Cova suatu sore saat menelepon gadis ayu itu. Tak ada suara dari seberang.
"Ningsih?" Cova bertanya-tanya.
"Va, saya belum tentu kuliah di Surabaya ..." kata-kata Ningsih membuat hati Cova kesal bukan main. Ningsih tak menepati janji! Kalau tau begini, mending dirinya ga usah menahan hasrat mendekati cewek jawa yang setiap hari menjadi pemandangan utamanya.
"Kenapa? Ningsih, saya sayang kamu, saya cinta kamu .. please, saya kangen!" hampir berteriak Cova pada kata kangen.
"Kan kita bisa sms-an setiap hari Va." bujuk Ningsih. Cova mendengus kesal.
"Sms saja ga bisa memuaskan semua kangen di hati saya tau! Ya sudah, kalau minggu depan ga ada kelas komputer, saya ke Sidoarjo. Alamat rumah kamu masih sama kan? Yang kamu beri saat kita masih di Ende kan?" Cova ga tahan bener menyikapi Ningsih yang lemah lembut.
"Jangan!!!!!!!" teriak Ningsih dari seberang membuat telinga Cova berdengung. Ningsih berteriak padanya? What a hell?
"Heh? Kenapa?!!!" balas Cova ga kalah keras.
"Begini saja, saya yang akan ke Surabaya minggu depan, hari Rabu saya tiba disitu, oke? Naik bis ga sampai dua jam kok. Alamatmu di Menur itu kan?! Nggg tapi kita ketemuannya di depan rumah sakit jiwa saja yah Sekarang saya dipanggil bapak nih, dah." Ningsih menutup telepon tanpa memberi Cova waktu buat berkomentar. Cova membanting gagang telepon dan membayar sejumlah rupiah.

Cova kembali ke kost, tiduran disana sampai malam menjelang. Ningsih!! Teriak batinnya ... Ningsih ... Cova bermimpi ... Cova pulas.

To be continued!!

mercoledì, marzo 17, 2004

LUV part. 1

Flo, disingkat dari Floresian. Flo menyukai nama kecilnya ini, nama kecil yang diberi Cova misannya, anak om Jack. Flo, gadis Flores yang unik. Tak seperti gadis lainnya yang lebih suka mementingkan urusan dandan, dia lebih memilih naik sepeda keliling Ende, kota mungil yang ramai atau sekedar nongkrong di perpustakaan mini salah seorang kerabat dekat ayahnya. Saat ini, gadis berkulit sawo matang itu duduk di kelas tiga bangku smu negeri. Dan selalu bangga menjadi orang Flores. Perasaannya pada Cova sebenarnya melebihi perasaan antara misan, namun Flo berusaha keras menutupi hasrat hatinya yang begitu besar pada sosok ganteng Cova.

Orang tua Flo, pak Ray dan bu Firda adalah orangtua pekerja yang giat demi anak-anak mereka. Flo anak kedua dari empat bersaudara. Kakak sulungnya, Lisa, saat ini tengah mengenyam pendidikan kedokteran di salah satu perguruan tinggi di Surabaya. Adik setelah dirinya adalah Fiko, masih kelas satu smu. Mereka beda sekolah, Fiko lebih memilih smu Syuradikara yang terbilang paling elite dan terbonafid sekota Ende. Si bungsu Mondan masih duduk di bangku smp negeri. Kepintaran pak Ray dan bu Firda turun pada ke empat anak mereka. Semuanya cakap, pandai dan rendah hati.

Cova adalah misan cowok Flo yang gila. Gila pada hal-hal berbau jawa. Apa pun yang menyangkut pulau Jawa selalu membuat Cova bersemangat. Cova lebih tertarik pada gadis Jawa yang menurutnya ayu dan manis. Bahkan saat ini Cova sedang gencar-gencarnya mendekati Ningsih, gadis Sidoarjo yang ikut orangtuanya yang ditugaskan sebagai kepala bagian personalia di salah satu bank ternama. Bila Cova main ke rumah Flo, maka topik yang dibicarakan hanya seputar Ningsih dan impian Cova untuk kuliah di Jawa. Di kota mana saja, yang penting di pulau Jawa. Kalau sudah begitu, Flo hanya bisa cengar cengir menanggapi niat misannya itu. Namun jauh di lubuk hati Flo, gadis itu menyimpan sesuatu. Rahasia hatinya.

Pak Jack dan tante Ratna adalah orangtua Cova. Pak Jack itu kakak lelaki satu-satunya bu Firda, tak heran, pak Jack amat menyayangi bu Firda yang lemah lembut. Kelembutan bu Firda dan keras hati pak Ray menyatu dalam diri Flo. Si hitam manis dengan rambut model shaggy kegemarannya. Berbeda dengan Flo, Cova itu anak tunggal yang cenderung manja dan malas. Namun dirinya selalu menjadi malaikat pelindung Flo. Tubuhnya berotot dan jagoan basket di smu negeri, tempat dirinya dan Flo mengenyam pendidikan saat ini. Pak Ray dan om pak Jack sama-sama pemilik modal dari perusahaan tenun ikat daerah yang terkenal di Ende. Sedangkan bu Firda seorang guru matematika pada sd swasta dan tante Ratna lebih memilih menjadi ibu rumah tangga.

Usia Flo terpaut dua bulan dari Cova. Flo lahir pada bulan Juni dan Cova di bulan April. Hubungan mereka dekat, sedekat anak kembar, kemana-mana selalu berdua, kecuali saat Cova lagi ngincar Ningsih, Flo terpaksa ditinggalkannya. Flo pasrah bila keadaannya seperti itu, soalnya Cova wataknya keras, bila ingin sesuatu harus terpenuhi. Biasanya untuk mengisi kekosongannya tanpa Cova, Flo naik sepeda keliling kota kecil Ende, atau ke perpustakaan. Banyak buku dan novel yang telah dilahapnya, tak heran, otak Flo memang cerdas. Beda dari Cova, cowok itu lebih mementingkan urusan cinta ketimbang pelajaran, maka tak heran bila malam hari Cova tergopoh-gopoh ke rumah Flo, sekedar pinjam catatan atau minta dibikinin pe er. Flo sih mau saja membantu misannya itu, lagian Cova pun sering membantunya. Cova itu ibarat malaikat pelindungnya. Siapa pun yang coba-coba menyakiti Flo, maka akan disakiti Cova terlebih dahulu. Namun kian lama, sesungguhnya hati Flo kian tak dapat melepaskan bayang-bayang Cova.

Tak terasa, sebentar lagi keduanya memasuki masa Ebtanas. Dan Cova akhirnya dapat menggaet hati Ningsih. Dengan senyum bangga dipamernya surat cinta dari gadis Sidoarjo yang memang ayu itu saat Flo tengah membantunya mengerjakan pe er matematika.
"Sukses ternyata ..." komentar Flo. Seperti ada yang hilang dari hari-harinya begitu tau Cova telah resmi menjadi pacar Ningsih. Seperti separuh dari hidupnya melayang di bawa pergi Ningsih. Flo mendesah.
"Kok hanya begitu tanggapannya .." tuntut Cova sembari merapihkan anak rambut Flo yang jatuh ke wajah. Flo menepis tangan Cova keras.
"Hei .. sakit tauk ..." protes Cova. Flo tersenyum. Seolah ingin menyembunyikan gejolak hatinya. Dirinya dilanda kemarahan besar, tepatnya cemburu mendengar Cova akhirnya meraih kebahagiaannya bersama Ningsih.
"Biyarin .. kalau dilihat Ningsih, bisa memar saya ditonjoknya. Dah ah, pe er matematika kamu kerjain sendiri, ngantuk!" Flo melenggang santai masuk kamarnya, meninggalkan Cova sendiri di ruang tamu gigit jari.

Hari-hari mendekati Ebtanas Flo berjuang keras mati-matian. Bukan hanya karena ingin meraih nilai terbaik, melainkan agar dirinya bisa sedikit melupakan Cova. Kesal rasanya bila melihat Cova jalan berdua Ningsih di koridor sekolah. Rasa cemburu yang meluap-luap selalu membuatnya tak mampu bersikap manis pada Cova. Hatinya teriris-iris melihat kemesraan keduanya. Perasaan kesal karena orang terdekatnya seolah direbut Ningsih? Atau cemburu tanpa alasan? Flo melengos, cemburu pada Cova, pada misan sendiri, aneh terdengar di telinga. Tapi Flo masih belum bisa meredakan marahnya, cemburunya melihat itu semua. Flo, siapa sih kamu? Hanya saudara sepupu yang tidak ada artinya di depan Cova selain sebagai tempat meminjam catatan dan ngerjain pe er dia. Flo menarik napas panjang. Susahnya bila cinta bertepuk sebelah tangan!

Cova sendiri sebenarnya menangkap gelagat yang ga enak dari Flo, hanya saja cowok itu masih menahan diri untuk tidak bertanya. Untuk apa? Cova mendengus kesal pada sikap Flo.
"Kenapa Va?" tanya Ningsih perhatian. Koridor sekolah nampak lenggang, banyak siswa yang memilih kantin untuk menghabiskan jam istirahat.
"Ga pa pa .. ga pa pa .." jawab Cova. Saat mereka akan berbelok ke lapangan basket, dilihatnya Flo berjalan menuju kelas. Aneh! Cova mencoba berkonsentrasi pada sosok manis disampingnya, namun otaknya masih saja terarah pada sikap Flo.
"Va, bukannya saya mau merusak hubungan saudara antara kamu dan Flo, tapi kayaknya Flo cemburu deh melihat kita." Ningsih berhati-hati sekali memilih kata-kata, takut Cova malah salah menanggapi maksutnya.
"Emang kenapa harus cemburu? Aduh Ningsih, Flo itu misan saya, hubungan kami sebatas hubungan saudara misan. Saya ga mau pikiran kamu teracuni pada hal yang ga benar seperti itu, oke?" ujar Cova panjang lebar. Ningsih hanya bisa tersenyum, manisnya gadis itu sungguh membuat Cova terpikat tanpa syarat.

Tiga minggu Flo menjauhi Cova dan itu membuat cowok itu sengsara. Ga ada tempat buat minjem catatan, ga ada peri yang mau membantunya ngerjain pe er. Apalagi jurusan Ipa yang ruwet. Cova menyesal dulu kenapa memilih Ipa? Dan kenapa pula para guru brengsek itu masukin dia ke kelas Ipa? Apa karena ayahnya termasuk orang terhormat di kota kecil ini? Brengsek! Malam ini Cova berkutat dengan rumus-rumus Fisika yang sumpah bikin bete. Akhirnya dengan langkah pasti cowok ganteng itu memacu motornya menuju rumah Flo. Mengingat motor, Cova tersadar, tiga minggu sudah Flo tak diboncenginya. Tak dijemputnya menuju sekolah dan pulang sekolah. Posisi itu telah digantikan Ningsih, pacarnya. Apa gara-gara itu sikap Flo jadi aneh belakangan ini? Atau apa yang disimpulkan Ningsih benar?

Motor Cova memasuki halaman rumah Flo. Pak Ray dan bu Firda, orangtua Flo tengah duduk di teras rumah. Mereka tersenyum senang begitu melihat kedatangan Cova.
"Assalamu'alaikum paman bibi .." ujar Cova sopan.
"Wa'alaikumsalam Cova .. lama ga keliatan kemana saja?" tanya bu Firda. Cova gugup mendengarnya. Ya, kemana saja dirinya? Terbang bersama mimpi indah yang ditawarkan Ningsih? Menghilang dari peredaran keluarga pamannya dengan sukses.
"Uhm, saya banyak kerjaan bi, maklum, bentar lagi kan Ebtanas, banyak yang harus saya isi ke dalam otak hehehe." jawab Cova. Bu Firda manggut-manggut. Kali ini pak Ray berbicara.
"Mau ketemu Flo? Dia lagi nonton tuh. Oh iya Cov, kalau nanti kalian telah selesai Ujian, paman perlu membicarakan sesuatu denganmu." Cova mengangguk mantap.
"Boleh paman. Kalau gitu saya ke dalam dulu, temuin Flo." Cova masuk ke dalam rumah. Lebih ke dalam lagi, Flo lagi asik nonton vcd Doraemon kesayangannya. Cova mendekati gadis itu dari belakang, mengendap-endap trus menutup mata Flo dengan kedua tangannya. Flo terlonjak kaget.

"Heiii siapa nih!" bentak Flo. Namun aroma musk itu menyusup ke dalam ruang batinnya. Itu Cova. Flo melepaskan tangan Cova dari wajahnya dan menoleh.
"Mau apa kemari?" tanya Flo ketus. Jantungnya memompa lebih cepat.
"Kok ketus gitu sih Flo .. ada apa .. saya kesini mau .. biasa, minta tolong." Cova menyodorkan buku pe er Fisikanya ke Flo. Gadis itu ga menanggapi, malah semakin serius nonton Doraemon. Aduh, padahal Doraemon ga memerlukan seluruh tenaga buat ditonton. Cova duduk disamping Flo, ga tau harus ngomong apa. Sikap Flo yang aneh sejak dirinya jadian sama Ningsih membuatnya jadi takut bersikap dan berbicara. Fiko melintasi ruang tivi dengan cangkir ditangan.
"Ehem ehem .. belajar apa belajar nih kak Cova ... hahaha. Fiko ke depan dulu ya, mau ngobrol sama ayah dan ibu." Flo blingsatan mendengar perkataan Fiko barusan. Cova tersenyum hangat.

"Flo, please bantuin saya dong .. nanti saya beliin coklat .. mau kan?" bujuk Cova, mencoba mencairkan ketegangan diantara mereka. Flo melengos.
"Coklat? Apa ga bakal bikin Ningsih ngamuk tuh? Beliin buat dia dong, masa buat saya?" tanggapan dari Flo mengagetkan Cova meskipun dari rumah cowok itu telah siap mental pada sikap ketus Flo.
"Flo!! Kenapa sih semua yang saya omongin atau lakukan harus ada hubungannya sama Ningsih?" tanya Cova. Flo mematikan vcd dan televisi dan berniat masuk kamar. Cova menarik tangan Flo hingga gadis itu terjerembab ke sofa dengan keras.
"Apa-apaan sih kamu!!" bentak Flo. Cova menyilangkan telunjuknya di bibir gadis itu. Flo menampik tangan Cova.
"Yang harusnya tanya begitu kan saya Flo. Kamu itu kenapa? Ada apa?" tuntut Cova. Ditatapnya wajah Flo lekat-lekat. Flo membuang pandangan ke arah televisi.
"Jangan liat tivi, liat saya!" hardik Cova. Kristal bening itu mulai menguak di pelupuk mata Flo.
"Ga ada apa-apa. Sini buku pe er kamu, saya kerjakan di kamar, besok ambil di kelas." usai bilang begitu, Flo merampas buku pe er Cova dan secepat kilat melesat ke kamar tanpa mendengar protes Cova lagi.

Di kamar Flo menangis. Kristal bening itu melukis garis lurus dan kadang tak beraturan di pipinya yang mulus. Flo menangis. Hatinya teriris. Kenapa perasaan ini harus tumbuh di hatinya? Kenapa pula harus pada Cova? Bukan kepada cowok-cowok lain di sekolahnya? Apa ini akibat dari sikap Cova yang selalu melindunginya? Atau apa? Flo menghapus air matanya dan mulai mengerjakan pe er Cova. Sebenarnya bisa saja dia mencontek dari pe er miliknya yang sudah dikerjaan sejak sore tadi. Tapi gadis itu lebih suka mengerjakan kembali. Pe er itu kemudian diambil Cova di kelas keesokan paginya. Flo menitipkan pe er itu pada Saski, teman sekelas mereka.
"Lalu Flo nya kemana? Pagi-pagi gini masa ke kantin sih? Setiap pagi, bibi saya selalu nyediain sarapan di rumahnya." protes Cova. Saski hanya bisa mengangkat bahu. Cova mendesah kesal. Sikap Flo benar-benar keterlaluan.

Tak terasa, Ebtanas tiba. Flo, seperti dugaan semua orang, lulus dengan nem tertinggi untuk kelas Ipa. Sedangkan Cova lulus dengan nilai pas-pasan dan cenderung ga lulus. Flo tersenyum bahagia saat orangtuanya dipanggil ke depan aula untuk menerima lembar nem, ijazah dan raport. Tiga hal yang akan mendukungnya menuju Surabaya. Gadis itu berencana melanjutkan kuliah di Stiesia Surabaya. Keputusan yang diprotes banyak pihak, termasuk Saski dan beberapa guru. Seharusnya otak brilian membawanya ke fakultas kedokteran seperti kakaknya, Lusi. Tapi Flo telah bulat pada tekatnya. Menjadi sarjana ekonomi dan mengurusi perusahaan keluarga lebih menyemangati langkahnya, ketimbang memilih fakultas mipa atau kedokteran. Lepas dari semua ketegangan itu, di rumah Flo secara mengejutkan dipanggil pak Ray untuk bicara.

"Flo, niatmu ke Stiesia sudah pasti?" tanya pak Ray. Flo mengangguk mantap. Sesaat Cova seperti menghilang dari pikirannya.
"Bagus, kalau gitu kita nunggu Cova. Ada hal yang harus ayah bicarakan dengan kalian berdua." Cova?! Flo tersandar lesu. Kenapa harus Cova lagi? Tak berapa lama, Cova muncul dengan tampang amburadul, baju smu yang putih telah berubah warna menjadi grafiti ngawur.
"Ayok, duduk sini Cov." ajak pak Ray. Keduanya duduk dalam diam. Sesekali mata Cova melirik Flo yang diam membisu disampingnya.
"Sebenarnya ini mungkin terlalu cepat. Tapi ayah ga mau tunda lagi, mengingat minggu depan Flo sudah harus berangkat ke Surabaya kalau ga mau ketinggalan ujian masuk." hati Flo berdegup. Cova salah tingkah.
"Cova, Flo .. kalian harus tau rencana kami. Ayah dan om Jack telah membuat kesepakatan, kalian berdua boleh keluar Flores, kuliah di Jawa asal kalian memenuhi satu syarat dari kami." hati Flo tambah ga karuan. Gadis itu terpaku ditempat, mendengarkan setiap kata yang keluar dari bibir pak Ray.
"Kalian akan ditunangkan secepatnya hari ini juga. Moment yang bagus bukan? Sama-sama lulus lalu tunangan, kami sebagai orangtua melihat kalian cukup dekat. Sebentar lagi om Jack datang. Ibu-ibu kalian juga pasti sebentar lagi tiba. Membeli cincin untung tunangan dadakan ini rasanya ga terlalu sulit." deg!!! Sampai disitu wajah Flo pucat seketika. Wajah Cova sekeras batu. Flo menunduk dalam-dalam.
"Ayah ke dalam dulu. Kalian ngobrol-ngobrol lah." pak Ray bangkit menuju kamarnya. Tangis Flo pecah saat itu juga. Cova memandangnya tajam.

"Apa?! Ngapain liat-liat gitu!" bentak Flo. Gadis itu gundah, antar senang, kesal atau marah pada keadaan ini? Seperti dirinya tak laku saja!
"Kamu yang ngapain nangis! Ini ulah kamu kan?!" sembur Cova kesal. Flo melempar Cova dengan bantal. Hampir saja asbak ikutan jadi senjatanya.
"Jangan sekali-kali menghina saya seperti itu! Ingat itu!! Saya mending ga usah kuliah kalau harus begini caranya!" Flo menangis. Rahang Cova gemeretuk. Brengsek!! Perjodohan yang brengsek! Maki Cova dalam hati. So how? Kalau dirinya ga nurutin kemauan keluarga ini, artinya dia ga bisa ikut Ningsih. Ningsih melanjutkan sekolahnya di Surabaya juga. Kalau mau keluar dari Flores, artinya dirinya harus mengikuti kehendak orangtua mereka. Fuck!! Maki Cova dalam hati. Lama mereka terdiam. Lalu Cova bicara.
"Saya setuju perjodohan ini, tapi hanya untuk kebohongan. Kamu setuju? Kita ikuti saja kemauan mereka, toh tau apa mereka sama keadaan kita di sana nanti?!" ide itu tiba-tiba saja melintas di benaknya. Cova seolah mendapat ide penolong. Flo tengadah, manis sekali dia kalau bengong gitu.
"Maksutnya?!" tanya Flo ... mengerti sih, tapi ga percaya.
"Kita setuju saja sama niat orang-orang tua itu. Tapi kita tetap ga ada ikatan apa pun!!" Cova memegang bahu Flo, seolah memaksa gadis itu untuk menyetujui usulnya. Flo, mengangguk. Bimbang. Gamang.
"Lalu bagaimana kalau kak Lisa tau?" pikiran Flo amburadul. Gadis itu rasanya ingin terjun ke dalam lubang buaya.
"Itu beres. Di depan kak Lisa, kita pura-pura saling cinta ... pokoknya gampang lah!" Cova menjentikan jarinya. Puas dengan ide cemerlang yang datang tiba-tiba itu.

Akhirnya hari itu, bersamaan dengan kelulusan mereka, keduanya pun tunangan. Sederhana tanpa ritual macam-macam, cincin tunangan melingkar dengan manis di jari keduanya. Selepas acara tunangan, keluarga Cova pamit pulang, Flo masuk ke kamar dan menangis lagi. Nasib seperti mempermainkannya. Dalam bimbang Flo mulai mengemasi barang-barangnya, surat-surat yang dibutuhkan di Jogja nanti. Demikian pula Cova. Cowok cakep itu memberesi urusannya, ketemuan sama Ningsih dan berjanji untuk berangkat bersama menggunakan satu kapal laut, Titian Nusantara. Flo sengaja meninggalkan dua kardus berisikan barang pribadinya yang nanti akan dikirim pak Ray setelah menetap Surabaya. Hari keberangkatan tiba, Flo menitikan air mata meninggalkan pak Ray, bu Firda, om Jack, tante Ratna juga kedua orang adiknya, Fiko dan Mondan. Km Titian Nusantara bertolak dari Dermaga Ippi Ende menjelang sore hari. Bias matahari senja seperti lukisan hati Flo yang gamang.

To be continued!!

lunedì, marzo 08, 2004

SEPENGGAL KISAH SEORANG PETUALANG

Bimo memandangi orang yang bersileweran disekitarnya. Bungurasih yang ramai, selalu ramai dan tak pernah sepi. Terminal yang berada diluar hiruk pikuk Surabaya namun tetap sibuk ini adalah terminal yang kesekian dari perjalanannya mencari jati diri. Bimo menyulut sebatang rokok dan mulai menghisap dalam-dalam. Paru-parunya dipenuhi asap dan dihembuskan kuat-kuat, sekuat dirinya berjuang mati-matian untuk tidak pulang ke Flores, tempat dimana kehangatan dan canda tawa keluarganya berada. Dimana Ema dan Bapaknya selalu menanti kepulangannya dari perjalanan panjang, yang baru dimulai atau bahkan akan segera berakhir? Bimo mendesah.

Seorang gadis cantik lewat di depannya. Pakaian yang tak pantas untuk ukuran perjalanan jauh dengan kendaraan umum apalagi bis antar kota! Rok mini dan baju setengah terbuka. Kaca mata hitam bertengger di rambutnya yang terjuntai bebas di bahu. Rambut yang menutupi mulusnya punggung gadis itu dari sengatan matahari dan mata-mata nakal para sopir dan kondektur. Bimo terkekeh sendiri melihatnya. Seperti sebatang emas di tumpukan pasir.

Untuk sesaat selepas gadis itu lewat memori cowok cuek itu melompat pada suatu masa, bagian dari hidupnya, Arini. Oh, berbeda sekali gadis itu dari Arini. Arini yang tomboy dan sama cueknya dengan Bimo dan suka berpetualang juga. Bimo terkekeh lagi. Arini itu gadis berwatak keras yang kadang susah ditebak apa maunya. Sahabat masa kecil hingga dewasa yang menemaninya melewati masa-masa sekolah yang sulit. Arini yang selalu siap bila dibutuhkan bahkan saat Bimo naksir cewek sekelas! Arini siap menjadi mak comblang. Cewek tomboy itu telah menjadi saudari tersayangnya meskipun kadang Bimo berlaku cuek dengan keberadaannya. Namun Arini yang juga cuek tak peduli, bagi Arini, Bimo pun saudara yang mengerti keadaannya. Yang juga siap membantunya bila dia butuh pertolongan. Arini sekarang sedang apa? Bimo tersenyum nakal. Hampir 6 bulan mereka tidak bertemu, apakah saudarinya itu telah menikah? Membayangkan Arini menikah dan memakai kebaya Bimo terkekeh lagi, lebih keras dan lebih lepas, sampai beberapa pasang mata menatap aneh kepadanya. Sebodo lah.

Hari ini Bimo berniat menuju Yogyakarta. Kata orang kota pelajar dan penuh gadis-gadis cantik meskipun banyak yang sudah tidak gadis lagi. Sebelum Surabaya, Bimo sempat lama di Kupang, menjelajahi ibukota Propinsi NTT yang berdiri diatas pulau karang, Timor. Setelah Kupang, dengan ketidaksengajaan Bimo mengenal pak tua yang mengajaknya ke Sumba. Di Sumba Bimo tinggal di perkampungan para Rambu dan Umbu yang khas. Dengan kuda-kuda Sumba yang bergerak bebas setiap harinya di savana, padang rumput hijau yang terbentang luas. Bahkan Bimo sempat menjadi guru Bahasa Inggris untuk para bocah desa yang ingin sekali mempelajarinya dikarenakan bertebarannya wisatawan asing di situ. Sedikit uang yang didapatnya, cowok petualang ini pamit melanjutkan perjalannya menuju Denpasar menggunakan kapal laut dari Pelabuhan di Waingapu, Sumba Timur. Turun di Benoa, Bimo memulai perjalanan barunya di pulau Dewata dengan modal nekat dan cuek. Ringan, tanpa beban. Entah keberuntungan mungkin selalu menaunginya, dengan mudah pula dia dapat bekerja sebagai guide paruh waktu untuk sebuah agen wisata. Lumayan, dengan hasil menabung selama dua bulan, Bimo melanjutkan perjalanannya menuju Perak - Surabaya.

Di Surabaya Bimo ke tempat temannya yang kuliah di kota buaya ini. Teman masa sma-nya yang paling Gila, si Tolip. Tolip sendiri kaget melihat kedatangan sahabatnya itu. Mereka menyusuri jalan-jalan Surabaya yang ramai di siang hari dan sepi di tengah malam dengan cerita masa lalu yang heboh. Mendengar cerita Bimo dari satu daerah ke daerah lainnya, sempat Tolip bertanya,
"Sampai kapan?" pertanyaan yang selalu dielitnya. Ya, sampai kapan? Sebenarnya dirinya sedang mencari apa? Jati diri? Oh .. yah, jati diri.
"Sampai ja'o menemukan jati diri, seperti apa bentuknya ... mungkin sampai Jakarta, mungkin sampai Batam .. who knows?" jawab Bimo santai. Dirinya sendiri waktu itu tak tau, sampai kapan petualangannya berakhir. Barangkali sampai dirinya sendiri sudah tak sanggup menahan rindu pada Flores? Bimo menggeleng ... entah sampai kapan.

"Mas mas .. mau ke Jogja? Ayok mas, bis saya sebentar lagi berangkat!" seorang kondektur, sopir atau calo bis? Mengajaknya ikut bis, biasa, bukan patas. Bimo tersadar dari memo perjalananya dan tersenyum.
"Nanti aja pak, belum niat berangkat, masih suka disini hehehe." jawab Bimo santai. Si bapak malah ikutan duduk disamping Bimo, menatap penat pada keramaian Bungurasih.
"Rokok mas?" bapak tadi mengeluarkan sebungkus rokok Marlboro dan menawarkannya pada Bimo. Cowok ini menyambut dengan sopan.
"Terima kasih pak. Gimana pak, setiap hari makin ramai yah?" tanya Bimo sekedar berbasa basi.
"Oh .. penumpangnya? Ya begitulah mas. Selalu ramai, ada saja orang yang melakukan perjalanan dengan bis, keuntungan buat kita kan? Kalau tau dulu saya bakal jadi sopir bis, kan nggak usah sekolah tinggi sampai dapat gelar sarjana .." pandangan mata bapak itu menerawang, entah kemana. Bimo ikut menerawang. Sekolah tinggi, namun hanya jadi sopir bis. Itu lah hidup!
"Saya malah hanya tamatan smu pak." seru Bimo. Si bapak menoleh dan tersenyum bijak.
"Nggak pa pa toh biar pun hanya lulusan smu, yang penting dalam hidup ini akhlak loh mas, bukan sekolahnya ... percuma juga sih sekolah tinggi-tinggi kalau akhlaknya tetap kayak penyu." ujar si bapak sambil menghembuskan asap rokok jauh-jauh. Bimo mengangguk-angguk. Kata-kata bapak itu betul. Seperti si Mahfut, temannya di Flores. Sekolah tinggi, pulang kampung malah jadi pemabuk dan penjudi, bahkan sempat jadi bandar sabu-sabu dan ditahan di sel. Bimo tersenyum mengejek. Buktikan dong kalau ijazah bisa bermanfaat! Apalagi untuk orang kecil seperti kita ... Bimo menggeleng.

"Ya sudah mas, kalau gitu saya jalan dulu. Sampai ketemu." ujar si bapak sambil menawarkan satu batang rokok lagi pada Bimo. Bapak tersebut langsung cabut. Sampai ketemu ... kapan bisa ketemu lagi? Kalau dunia memang betul-betul hanya selebar daun kelor, pasti ketemu. Batin Bimo dalam hati. Bimo bangkit. Jalan-jalan keliling, melemaskan otot-otot kakinya dan mulai mencari-cari, bis mana yang segera berangkat, tanpa perlu menunggu lagi. Bis bapak tadi? Ah, bis itu masih saja berhenti di depan sana. Nanti saja lah berangkatnya, batin Bimo lagi.

Bimo masuk ke ruang tunggu, duduk santai disana sambil memperhatikan siaran televisi kecil 14" yang kabur di pojok ruangan. Dibelinya sebotol coca cola dan kembali duduk. Disampingnya duduk sepasang suami istri senja, dengan wajah cemas dan panik. Di depannya, agak jauh, nampak tulisan wartel. Sebenarnya ada keinginan untuk menelepon ema dan bapak di Flores setelah 6 bulan ini sama sekali tak kasih kabar. Perlukah? Perlukah orangtuanya tau dimana dia berada, masih hidup atau sudah mati, masih ingin berpetualang atau akan menyudahi? Bimo menggeleng sendiri, tidak. Untuk saat ini, tidak. Bimo masih belum mencapai Jakarta! Masih belum menemukan sebentuk jati diri yang dicarinya selama ini. Belum bisa membuktikan pada orangtua dan keluarganya kalau dirinya yang selama ini dianggap anak sombong keluarga ternyata mampu hidup mandiri, mampu menjaga diri mengelilingi sebagian Indonesia tanpa uang. Tanpa fasilitas orangtua yang selalu mendukungnya di Flores. Bimo ingin membuktikan itu. Dengan apa? Dirinya saat ini hanya seorang petualang biasa yang miskin dengan duit pas-pasan di dompet, cukup untuk perjalanannya sendiri. Bila duit itu habis, Bimo harus pandai mencari kerja paruh waktu agar bisa mendapat duit lagi.

"Adik mau kemana?" tiba-tiba pak tua bertanya. Pada dirinya kah? Bimo menoleh.
"Saya pak?" tanya nya sopan. Pak tua mengangguk.
"Iya .. adik mau kemana?" ulang pak tua yakin.
"Oh, ke Jojga pak, tapi entahlah .." jawabnya asal.
"Ke Jogja? Kami juga mau ke Jojga." sambung pak tua lagi. Satu tujuan dong, batin Bimo.
"Pulang ke Jogja ya pak?" gantian Bimo yang bertanya.
"Bukan, bapak dan ibu mau melihat anak yang kecelakaan kemarin di Jogja. Kasihan, waktu mau berangkat kuliah ketabrak ojek. Ibu dari kemarin nangis terus, takut anak kami kenapa-kenapa di sana. Namanya juga orangtua ya dik, pasti khawatir sama keadaan anak. Padahal anak kami yang satu itu paling bandel! Minta ampun deh kurang ajarnya sama orangtua...." Bimo seperti mendengar bapaknya sendiri yang berbicara. Orangtua ... namanya juga orangtua. Seperti itu juga kah kekhawatiran ema dan bapaknya di Flores? Melihat wajah ibu tua yang cemas, panik dan sedih, hati Bimo tersentuh. Seperti itu kah wajah ema? 6 bulan ini, bagaimana kah kabar mereka?

Bimo seperti mendapat guru yang paling berharga di dunia. Pak tua ini seolah membuka matanya tentang kasih sayang, cinta dan perhatian orang tua terhadap anak. Bimo masih ingat wajah ema waktu dia mengutarakan maksutnya pergi. Bapak hanya diam dengan wajah membeku. Bimo menarik napas panjang. Beruntunglah pak tua dan istrinya, masih tau dimana keberadaan anak mereka. Alamatnya pasti jelas. Sedangkan dirinya? Orangtua yang masih tau dengan jelas keberadaan anaknya saja nampak khawatir seperti itu, bagaimana dengan orangtuanya? Bapak dan ema hingga saat ini tidak tau dimana dirinya berada, sedang apa, masih hidup atau? Bimo berperang melawan kata hatinya sendiri. Haruskah petualangnya berakhir sampai disini? Berakhir setelah sepasang suami istri senja ini bertutur?

Egonya mulai mencuat. Kalau pulang, artinya Bimo tidak mampu membuktikan dirinya mampu, mampu hidup tanpa orangtua, mampu menaklukan kota-kota yang dijelajahinya. Namun kalau tidak pulang, Bimo akan menyusahkan hati orangtuanya, orangtua yang selalu khawatir, itu pasti, tentang keadaan dirinya. Bimo tersentak sendiri. Dirinya harus pulang. Jangan mempertaruhkan nasib lagi, jangan berpetualang lagi, untuk apa? Untuk jati diri yang selalu dicarinya? Toh bentuk jati diri itu seperti apa Bimo tak tau. Untuk pembuktian dirinya mampu? Untuk apa? Toh lebih bagus lagi bila bisa membuktikan dirinya mampu, di depan orangtua. Untuk menuruti darah muda dan ego mudanya? Batin Bimo berseteru sendiri. Pelan-pelan dia berdiri, pamit pada sepasang suami istri senja itu, melangkah keluar terminal. Pulang!

Dinaikinya bis menuju terminal Bratang. Turun di Bratang Bimo berjalan kaki menuju kost Tolip di daerah Menur. Lumayan dekat sih jaraknya. Disana Tolip kembali kaget melihat kedatangan sahabatnya.
"Hoi!!! dua hari ngilang, kemana saja? Jadi ke Jogja seperti niatmu?" tanya Tolip saat Bimo tengah melepas penat di atas kasur tipis. Bimo menggeleng.
"Ja'o mau pulang. Ke Jogja bisa kapan-kapan. Cukup sudah Lip. Ja'o harus pulang ... " hanya itu yang diucapkan Bimo, dia hampir tertidur.
"Tidak ada yang mencari ja'o kan?" tanya Bimo lagi, matanya berat.
"Tidak ada .. selama ini memang tidak ada." jawab Tolip. Jawaban terakhir yang didengar Bimo sebelum dirinya benar-benar tertidur! Pulas! Semua mimpi yang selama ini seolah menjauhinya seakan datang bertubi-tubi menghiasi mimpinya.

Keesokan harinya Bimo pamit pada Tolip.
"Kemana? Kembali ke Bungurasih? Jadi ke Jogja nih?" tanya Tolip. Bimo menggeleng mantap.
"Tidak, ja'o mau pulang ke Flores, ja'o rindu Ende .. " jawab Bimo.
"Oh, baguslah! Eja, akhiri saja semua omong kosong ini." ujar Tolip.
"Ya .. oke, ja'o mau ke Perak dulu. Kalau Kirana pas mau berangkat, ja'o tidak kembali ke sini, oke?" mereka toz diudara dan berpelukan. Bimo meraih ransel kecilnya trus menuju jalan besar. Mencari angkot disana.

Dua kali ganti angkot Bimo akhirnya sampai juga di Perak. Beruntunglah saat itu km Kirana nampak dari kejauhan. Bimo berlari kecil menuju kapal, mencari-cari sopir ekspedisi yang mungkin dikenalnya. Bila ikut truk ekspedisi, Bimo tak perlu membayar, paling juga dua puluh ribu untuk si sopir. Sayang, tak satu pun sopir ekspedisi yang dikenalnya. Bimo duduk lesu. Memperhatikan satu per satu truk ekspedisi yang masuk ke kapal. Sampai kemudian bahunya ditepuk seseorang. Bimo menoleh.
"Hei ..." sapa cowok itu.
"Mau ke Ende?" tanya cowok itu. Bimo mengangguk.
"Ikut saya saja, saya baru membeli mobil. Jual beli mobil Ende - Surabaya menguntungkan. Kalau mau, ya ikut saya saja. Kebetulan saya sendiri." seperti mendapat angin segar, Bimo mengiyakan. Diikutinya cowok tersebut ke dalam kapal, menuju kijang baru yang diparkir paling depan, tertutupi bodi truk yang seperti raksasa. Mereka terlibat obrolan panjang seputar jual beli mobil. Sampai pada obrolan tentang satu tenaga kerja yang dibutuhkan oleh cowok tersebut.
"Yaaa ... biar saya punya teman lah kalau lagi ke Surabaya, kamu mau? Untungnya lumayan lah, kamu dapat lebih dari gaji pns golongan tiga di Ende, hahahaha ... Ini kartu nama saya." cowok itu memberikan satu kartu nama. Bimo mengenal jalan tempat cowok itu tinggal.
"Nanti saya hubungi, pasti itu. Thanks yah atas tumpangannya." kata Bimo.
"It's oke lah .. ke atas yuk, cari bangku .." mereka naik tangga menuju dek dua dan menemukan jok kosong di ruang penumpang satu. Bimo hanya bisa bilang Alhamdulillah atas kemurahan hati Allah atas keberuntungan yang selama ini selalu menaunginya.

48 jam km Kirana membelah lautan menuju pelabuhan Ippi - Ende. Sepanjang perjalanan Bimo lebih suka duduk di dek paling atas, yang dilengkapi bangku-bangku kayu untuk duduk dengan satu teropong ditengahnya. Bimo menatap pulau-pulau hijau yang dilewati kapal. Pemandangan yang indah. Saat melewati Sumba, Bimo tersenyum mengenang hari-harinya di desa kecil Rambu dan Umbu. Bimo tersenyum senang. Saat 1 jam mendekati pelabuhan Ippi, km Kirana melewati pulau Ende, memutar di belakang gunung meja, kemudian meluncur mulus menuju pelabuhan Ippi. Hampir subuh saat Kirana betul-betul merapat di pelabuhan. Khas .. suasana yang khas membuat Bimo terharu. Ema, bapak, Bimo pulang ... Bimo mengucapkan terima kasih sekali lagi pada cowok yang telah memberinya tumpangan dan berjanji akan menghubungi cowok itu lagi, kemudian melesat turun, meloncati anak tangga dengan perasaan senang. Ini lah Ende, kampung halamannya ... Hari masih subuh, Bimo duduk santai lagi di pelabuhan, menikmati satu telur rebus dan sebotol coca cola yang dijual ine-ine bersarung. Nikmatnya menghirup udara Ende yang bersih!

Saat matahari mulai nampak, kesibukan pelabuhan masih terlihat, masih banyak truk-truk besar yang belum masuk ke kapal dengan tujuan Kupang. Bimo meninggalkan pelabuhan, mencari ojek, pulang ke rumah. Rumah itu masih berdiri dengan gagahnya di tengah perkampungan yang masih sepi. Bimo menggedor pintu rumah. Ema pasti sudah bangun.
"Assalamu'alaikum ..." teriak Bimo, dari dalam terdengar langkah kaki. Pelan tapi pasti mendekati pintu.
"Wa'alaikumsalam ..." pintu terkuak, ema berdiri terpaku menatapnya.
"Ema ..." Bimo meraih tangan perempuan tua itu, dan menciuminya dengan segumpal rindu di dada. Mata Ema berkaca-kaca, menarik Bimo ke dalam pelukannya.
"Pergimu lama sekali Bimo .. lama sekali, sampai bapak tak sanggup menunggu dirimu tanpa kabar berita." Bimo tersentak. Jantungnya bagai dipalu. Bapak?
"Bapak .. bapak kenapa ema?" tanya Bimo tak sabar. Ema menarik tangannya, mengajaknya ke kamar ema dan bapak, duduk di atas pembaringan.
"Bapak telah pergi dua bulan yang lalu Bimo ..." Bimo menangis! Seperti akhir dari segalanya, persendian tubuhnya melemah. Tak pernah terbersit di pikirannya bila pulang telah menjadi yatim. Tak pernah diduga kalau bapak tercinta akan pergi secepat ini, disaat dirinya tengah berada jauh, berpulau-pulau dari Flores, mencari sesuatu yang sampai kini tak dapat ditemuinya, tak dapat dibuktikannya! Bimo menangis dalam pelukan ema, bahunya tergoncang, jiwanya tergoncang.

Gundukan tanah itu tak merah lagi. Bunga-bunga kering menghiasinya. Bimo duduk disamping ema, memegang buku yassin. Duduk dengan mata basah, tersedu-sedu. Dalam setiap do'anya, air mata terus menetes. Bapak pergi terlalu cepat! Dirinya bahkan belum membuktikan apa-apa. Bimo menangis, bukan menyesali petualangnya yang berakhir kesedihan seperti ini, bukan untuk semua jalan yang telah ditakdirkan sang Khalik, namun untuk kepergian bapak yang terlalu cepat. Terlalu cepat, Bimo belum bisa membuktikan apa-apa ... nothing ... Bimo menangis lagi. Ema memeluk pundaknya, menenangkan hatinya yang goncang. Saat mereka masih disitu, selesai membaca Yassin, saling bercerita, dari kejauhan nampak seorang cewek dengan tampang konyol, kaos oblong dan jeans kedodoran. Itu Arini.
"Bimo jahaaaattt!!!!!!!! huhuhuhu ..." Arini bersimpuh di samping ema, menangis disitu. Bimo mengusap wajahnya sendiri, menarik Arini duduk bersamanya.
"Ja'o memang jahat, tapi beri ja'o kesempatan sekali lagi, membuktikan pada ema dan almarhum bapak, padamu juga, kalau ja'o bisa menjadi sesuatu. Sesuatu yang ja'o cari selama ini ... Tapi semua itu akan ja'o buktikan di sini, bukan di tempat-tempat asing ..." ujar Bimo tulus.

Mereka bertiga pulang dengan sejuta perasaan berkecamuk di hati. Dari kejauhan lantunan Eagles merasuk ke jiwanya.
I was standing all alone against the world outside, You were searching for a place to hide, Lost and lonely now you given me the world to survive, When we're hungry love will keep us alive, Don't you worry sometimes you've just gotta let it ride, The world is changing right before your eyes, Now I've found you there's no more emptiness inside, When we're hungry love will keep us alive ... I would die for you climb the highest mountain, Baby there's nothing I wouldn't do ... Love will keep us alive ...

Yah, perjalanannya mungkin berakhir, tapi petualangannya terhadap hidup sendiri masih akan terus berlanjut. Hope love will keep us alive.

tootyee, 24 Februari 2004

martedì, marzo 02, 2004

OH LIFE, SO BEAUTIFULL

Manda memacu sepeda federal metaliknya penuh semangat. Kegiatannya setiap pagi setelah sarapan secangkir kopi adalah memacu sepeda birunya itu dengan semangat hidup tinggi menuju toko buku yang terlekat di dekat pasar buah. Toko buku mungil itu nampak mencolok karena merupakan satu-satunya toko buku di tengah pasar buah. Cewek dengan rambut berkepang dua itu setiap harinya berkerja dengan mengelola toko buku mungil peninggalan bundanya. Bunda yang sebelum meninggal mewasiatkan semua miliknya kepada Manda. Rumah Manda yang dibeli ayah atas nama dirinya saat ini dikontrakan kepada suami istri pekerja yang jatuh hati sama model rumah yang sedikit kuno dan dekat dengan tempat kerja mereka. Manda setuju mengontrakan rumah itu, lagian dia sendiri capek kalau harus mengurusi rumah sebesar itu. Sebagai gantinya, Manda menyewa satu kamar kost besar yang punya kamar mandi nya sendiri. Biar lebih privacy.

Manda sendiri telah ditinggalkan ayah tercinta saat masih berumur lima tahun. Untunglah, sebelum meninggal ayah telah membeli tanah beserta rumah atas nama putri tunggalnya, Manda. Bunda, setelah ditinggal pergi ayah harus bekerja sendiri membanting tulang dengan mengelola toko buku mungil di pasar buah. Bunda wanita yang ulet, mampu membesarkan dan mendidik Manda dengan kedua tangannya sendiri, tanpa bantuan keluarga. Mengingat saat menikah dulu, ayah memberontak dari keluarganya. Pihak kakek nenek (dari ayah) tidak menyetujui ayah menikahi bunda. Dengan alasan bunda berasal dari kalangan rendah, rakyat biasa yang tidak memiliki harta sama sekali. Mereka mempunyai pilihan sendiri untuk ayah, wanita yang masih saudara jauh ayah, yang memiliki perusahaan sendiri. Untunglah, sebagai pegawai negeri, gaji pensiun ayah tidak sedikit. Setiap bulannya Manda mengambil gaji pensiun ayah dan ditabung, hidupnya dapat berjalan dari keuntungan toko buku. Biaya hidup untuk satu orang memang kecil, Manda sanggup menghidupi dirinya sendiri setelah bunda akhirnya pergi meninggalkannya dua bulan sebelum dirinya tamat smu. Manda sendiri tidak punya keinginan untuk kuliah. Lebih suka mengelola toko buku.

Oma opa dari pihak bunda, yang berada di Ujung Pandang telah berkali-kali memanggilnya pulang. Merek tau, di kota metropolis mana mungkin cucu mereka mendapat perhatian dari pihak keluarga ayah. Namun Manda bersih keras tetap tinggal di dalam hingar bingarnya metropolis. Berusaha menghidupi dirinya sendiri. Dia berjanji, bila saatnya nanti sudah tidak mampu menghidupi dirinya lagi, dia bakal pindah ke Ujung Pandang dan harus kuliah di sana, seperti perintah opa. Setiap bulannya, opa dan oma masih mengirimkan uang untuk Manda. Karena bunda adalah seorang putri tunggal juga, maka opa dan oma merasa wajib mengirim sejumlah nominal setiap bulannya. Semuanya ditabung oleh cewek dengan rambut berkepang dua itu. Kalau belum butuh, mending uangnya ditabung saja, begitu selalu kata hatinya.

Pagi ini Manda datang lebih dahulu. Toko bunga bu Intan yang terletak di depan toko bukunya belum buka. Demikian juga dengan toko bunga pak Atmo dan mbak Heli. Manda tersenyum lega. Selalu diingatnya kata bunda, bangunlah sebelum ayam berkokok, bukalah toko sebelum orang lain membuka toko mereka dan jangan lupa berdo'a. Manda tersenyum puas. Dibukanya pintu toko mungil itu, mulai menata buku-buku sesuai kelompoknya masing-masing. Buku masakan, buku cerita anak-anak, novel dan majalah. Sepuluh menit pekerjaannya telah selesai. Manda masih menunggu warung dekat pasar bunga buka. Kalau di rumah Manda hanya sarapan dengan secangkir kopi, di pasar Manda terbiasa sarapan nasi campur pinggir jalan yang rasanya lumayan enak. Hidup mandiri begitu, ngapain susah kan? Diletakkan ransel ke dalam laci meja dan duduk santai sambil denger radio. Kegiatan rutinnya setiap pagi.

Keasyikannya mendengar radio terganggu saat bu Intan datang.
"Halo non Manda!!" sapa bu Intan ramah. Manda menyukai wanita bertubuh gemuk ini. Orangnya ramah dan suka berbagi. Apa saja yang dipunyainya pasti dibagi untuk Manda. Dulu semasa bunda masih hidup, bu Intan adalah teman dekat bunda. Saling berbagi adalah kegiatan kedua ibu itu sebelum pasar mulai ramai.
"Pagi bu Intan! Semoga hari ini ramai yah ..." jawab Manda sopan. Bu Intan tersenyum bijak sambil membuka pintu toko bunganya.
"Insya Allah, amiennnn hehehe." balas bu Intan tulus. Manda kembali mendengarkan radio. Lalu mulai bermunculan mbak Heli dan pak Atmo. Juga pedagang bunga lainnya. Well, meskipun mereka berusaha di bidang yang sama, rejeki siapa yang tau kan? Kecuali Manda, dia betul-betul beda usaha. Pasar mulai ramai dengan celoteh para pedagang. Warung dekat pasar pun mulai nampak aktifitasnya. Manda memegangi perutnya yang kriuk kriuk.

Saat Manda hendak memesan nasi ke warung itu, mbak Heli menghampirinya dengan dua rantang makanan.
"Manda, nih mbak bawakan nasi kuning dari rumah. Enak loh hehehe. Bikinan emak di rumah. Cobain yah! Ga usah beli nasi di depan dulu." Manda tersenyum haru. Orang-orang ini, yang berada di sekelilingnya adalah orang-orang sederhana namun berhati mulia. Manda menerima rantangan berisi nasi kuning plus lauknya dari tangan mbak Heli.
"Wah, makasih banget yah mbak hehehe. Manda sih ga bisa bawa beginian dari kost. Di sana hanya ada kopi dan gula hahaha." mereka tertawa. Tak berapa lama bu Intan gabung di depan toko buku Manda, ngobrol ngalor ngidul.

Ketika ketiganya lagi serius ngobrol tentang apa saja, munculah beberapa pria, pria muda berpakaian necis ke situ. Mbak Heli langsung menyikut Manda.
"Man, yang tengah cakep loh, masih muda lagi hihihi ..." mbak Heli cekikikan. bu Intan meng-iya kan. Manda mengalihkan perhatiannya dari nasi kuning ke pria muda itu. Tinggi, hidungnya mancung dengan pakaian resmi yang bagus. Terlalu pagi untuk membeli bunga, begitu batin Manda. Sesaat mata Manda dan pria itu bersirobok, pria itu menatap tajam ke arah tokonya! Toko buku mungilnya. Pria itu menghampiri mereka. Mbak Heli tersenyum manis.
"Selamat pagi. Maaf pagi-pagi saya mengganggu. Apa ada yang tau siapa pemilik toko buku ini?" tanya pria itu sopan. Tutur katanya manis. Dari cara dia berbicara nampak kalau dia terbiasa berbicara di depan umum. Tidak grogi dan sangat sangat tenang.
"Saya." jawab Manda mantap. Diletakannya rantang di meja toko. Lalu kembali menjumpai pria itu.
"Ada yang bisa saya bantu pak?" tanya Manda tak kalah sopan. Well, meskipun dirinya bukan anak kuliahan, namun kesopanan dan tata cara berbicara selalu diterapkannya dengan baik. Ajaran bunda tercinta.
"Oh.. kamu?" tanya pria itu tidak percaya. Manda menggangguk mantap.
"Iya, saya pak. Ada apa?" tanya Manda. Hatinya mulai terasa tidak enak. Gelagat pria di hadapannya ini bukan seperti pembeli yang mencari novel picisan atau majalah lokal.

Pria itu duduk di bangku plastik. Manda ikutan duduk. Pria ini membuatnya resah bukan main.
"Uhm, maaf, nama kamu bu Wisnu?" tanya pria itu. Bu Wisnu adalah panggilan untuk bunda di pasar bunga. Diambil dari nama ayah, Wisnu Duarta.
"Bukan, saya Manda, anak bunda. Bunda telah meninggal dan saya lah yang mengelola toko buku ini." jawab Manda sesantai mungkin. Dia tak ingin pria di hadapannya tau kalau hatinya sedang berdegup kencang. Bukan karena si pria yang gentle, namun takut, ada apa dibalik semua ini.
"Oh .. baiklah. Saya orang baru." pria itu mengulurkan tangannya, disambut Manda. Ya taulah dirimu orang baru, batin Manda. Teman-teman pria itu entah menghilang kemana. Mencari bunga atau ...
"Uhm, mungkin kamu ga kenal saya, saya saudara sepupu kamu." Manda tersentak! Saudara sepupu? Dari mana kah datangnya? Mata Manda membulat tak percaya. Terbiasa hidup sendiri sebagai anak tunggal tanpa saudara, apalagi saudara sepupu, itu membuat jantung Manda seolah dipacu lebih cepat.
"Sepupu?!!!!!!!!!!!!!!" hampir saja Manda berteriak. Entah karena senang atau lebih tepatnya kaget.
"Ya, saya anak Heru S. Duarta, kakak ayah kamu." dunia seolah berputar. Hidupnya yang tenang seolah dirusak ribuan kumbang. Manda memang tak tahu menahu soal keluarga ayah. Kata bunda dulu, tak usah mencari sanak saudara dari pihak ayah, mereka tidak mau mengenal kita. Mereka memiliki hidup papan atas yang lain dari kita. Ayah hanya pegawai negeri biasa yang meninggal di usia muda. Ayah lebih memilih menjadi pegawai negeri biasa yang diperintah atasan ketimbang menjadi direktur salah satu perusahaan kakek. Jadi, Manda memang tidak tahu menahu soal Heru S. Duarta juga soal kakek neneknya yang dikenal lewat foto. Ah, foto itu pun rasanya sudah raib.
"Saya Wisnu." Manda kembali dibikin kaget. Wisnu? Otak Manda belum mampu dipaksa berpikir. Dari mana mereka tahu soal kami? Soal bunda? Soal toko buku ini? Manda bengong.
"Hei, jangan bengong gitu dong. Saya lega, akhirnya bisa menemukan toko buku ini juga. Tadi pagi-pagi sekali saya ke rumah paman Wisnu, namun suami istri yang tinggal disana mengatakan kalau rumah itu telah dikontrak mereka dan pemiliknya tinggal di sebuah kost. Saya ke tempat kost kamu, namun kamu ga ada. Kata pemilik kost, setiap pagi kamu sudah ke toko buku. Saya kesini, awalnya saya langsung tau, kamu pasti Manda, anak paman Wisnu, tapi saya pura-pura menanyakan soal bu Wisnu, bibi saya." Manda tambah bengong.

Ini adalah hal yang tidak diduga olehnya sama sekali. Bertemu sanak saudara dari pihak ayah. Malah anak dari pamannya sendiri. Lebih mengherankan lagi, dia diberi nama persis nama ayah, ditambahi S, Sosial Duarta. Wisnu S. Duarta. Manda memandang lekat-lekat wajah gentle dihadapannya. Dunia memang selebar daun kelor.
"Saya cari kamu, dipanggil kakek." itu kata-kata yang paling tidak ingin didengarnya. Kakek memanggilnya? Kakek yang pernah menghina bunda? Kakek yang selama ini telah membuang ayah dari hidup mereka yang bergelimang harta?
"Untuk apa? Apa saya harus percaya kamu adalah saudara sepupu saya? Apa saya harus percaya saya dipanggil kakek? Saya memang tau, saya memiliki kakek dan nenek yang tidak merasa memiliki saya. Mereka menolak ayah dan bunda. Saya sendiri tidak tau kalau ayah memiliki berapa saudara? Berapa adik? Berapa kakak? Saya bingung." jawab Manda. Pria itu tersenyum.
"Kamu boleh tidak percaya bahkan mengingkari kakek dan nenek, juga papa saya dan saudara paman Wisnu yang lain. Tapi darah Duarta mengalir dalam tubuh kamu dan itu ga bisa kamu pungkiri." kata Wisnu tajam. Setajam matanya yang menikam bening bola mata Manda.
"Saya tidak mengingkari mereka! Tapi mereka lah yang mengingkari kami! Mengingkari ayah, bunda dan saya!!!!! Saya mohon, pergi saja dari hadapan saya, pergi jauh dari hidup saya yang tenang ini." Manda meneteskan air mata. Hatinya teriris-iris. Ini luka masa lalu yang berdarah kembali. Luka ayah dan bunda, lukanya juga. Manda masuk ke dalam toko, duduk di kursinya, telungkup di meja dan menangis. Suara berita di radio terdengar. Manda tak peduli, dunianya seolah berhenti.

Bu Intan, mbak Heli dan pak Atmo yang diam-diam menyaksikan tontonan gratis itu menghampiri Wisnu. Entah apa yang mereka bicarakan, Wisnu kemudian pulang bersama beberapan temannya. Teman? Atau bodyguard? Manda tak peduli. Dia menangis. Bu Intan menemaninya di dalam toko. Membelai lembut kunciran rambutnya dan berusaha menenangkannya. Manda masih terus menangis. Sampai dirasakannya air mata seolah bosan keluar, Manda mengangkat muka. Dipandangnya bu Intan yang baik hati itu.
"Bu .. saya ga tau harus bilang apa. Mereka tiba-tiba datang dan mengusik hidup saya .. saya benci mereka!!!!" kata Manda, melepas uneg-unegnya.
"Ibu mengerti. Ibu mengerti semuanya. Bunda mu dulu juga pernah bercerita pada ibu soal sikap mereka yang menolak bunda dan ayahmu. Barangkali kini kakek nenek mu telah sadar nak. Mereka ingin menebus kesalahan di masa lalu. Karena kedua orangtuamu telah tiada, maka kamu lah yang dicari mereka." hibur bu Intan. Namun Manda menggeleng lemah.
"Tidak bu, kalau saya mau, saya lebih memilih pindah ke Ujung Pandang, ke rumah opa dan oma yang selama ini memperhatikan saya dari jauh." kata Manda mantap. Bu Intan masih memberi nasihat-nasihat lagi pada cewek itu. Saat pasar benar-benar ramai, bu Intan kembali ke tokonya.

Hari itu dilewati Manda dengan perasaan yang tak menentu. Dilayaninya orang-orang yang membeli buku dengan ramah dan penuh senyum. Tapi tidak dihatinya. Hatinya sakit. Hari itu Manda memesan beberapa buku pada Tohir, penyedia buku untuk toko buku mungilnya. Setelah beres semua, Manda berniat menutup toko lebih siang.
"Loh, belum jam empat loh." tegur mbak Heli dan pak Atmo saat Manda mulai membereskan buku-buku untuk disimpan kembali ke dalam toko.
"Masih ada urusan yang harus saya selesaikan ... sampai ketemu besok yah mbak Heli, makasih atas nasi kuningnya, pak Atmo, jaya terus hehehe, bu Intan, saya pulang yah ..." setelah mengunci dan menggembok tokonya Manda mengambil sepeda federal biru metaliknya di tempat penitipan dan mengayuh sepeda itu pulang. Pulang!!

Tiba di kost Manda memasukan sepeda ke halaman belakang kost dan menguncinya disana. Masuk ke tempat kost, ibu pemilik kost menghampirinya.
"Manda, tadi ada orang yang mencarimu kesini." ceritanya. Manda tersenyum.
"Iya, sudah kok bu, tadi ketemu di toko." jawab Manda lagi. Ibu kost kemudian menyerahkan satu bungkusan besar untuknya.
"Apa ini bu?" tanya Manda tak mengerti.
"Orang itu datang lagi kesini, lalu menitipkan ini untukmu." Manda menerima bungkusan itu, masuk kamar. Diletakkannya bungkusan itu di ranjang, ke kamar mandi dan mandi.

Selesai mandi Manda duduk santai di depan komputernya. Namun pikirannya teralih pada bungkusan besar di ranjang. Diambilnya bungkusan itu lalu dibuka. Isinya sebuah boneka panda berbulu putih dengan pita pink di lehernya dan sebuah album foto yang ukurannya juga besar. Manda tersentak. Dibukanya album itu satu persatu. Memorinya melayang pada ayah dan bunda. Disitu, ada foto keluarga besar ayahnya, ada kakek dan nenek, ayah, seorang pria dan seorang wanita. Dibawah foto tersebut ada tulisan tangan. INI FOTO KAKEK, NENEK, PAMAN HERU, AYAHMU DAN BIBI RINI. Oh, jadi ini lah keluarganya? Keluarga yang pernah menolak mereka? Selanjutnya masih ada foto ayah diwisuda, saat main softball bersama paman Heru, saat ulang tahun tante Rini dan yang terakhir, foto pernikahan ayah dan bunda. Dibawah foto itu ada foto seorang bayi mungil. Itu dirinya! Manda tersentak lagi. Dibagian belakang album, pada kertas putihnya tertulis, MANDA, KAKEK DAN NENEK MEMOHON MAAFMU. KAMI TAK MUNGKIN MEMOHON MAAF KEDUA ORANGTUAMU, KARENA MEREKA TELAH PERGI JAUH DARI KITA, NAMUN MEREKA SELALU DEKAT DI HATI KAMI. MEREKA ADALAH ANAK-ANAK KAMI JUGA. SAYANG, KESALAHAN DIMASA LALU, KESALAHAN KAKEK DAN NENEK TELAH MENYEBABKAN TALI SILATURAHMI KITA TERPUTUS. MAAFKAN KAMI ... DATANGLAH UNTUK KAMI. SALAM SAYANG, KAKEK DAN NENEK. Mata Manda berair lagi. Dia menangis. Hidupnya yang sendiri, menikmati sepi sendiri, kini dimasuki orang-orang dari masa lalu. Ah, Manda terharu sebenarnya. Ditutupnya album itu dan disimpan di lemari, bersama boneka pandanya. Tak dipercayainya, selama ini dia hidup tanpa belaian sayang seorang nenek dan nasihat seorang kakek, tanpa paman dan bibi. Yang dikenalnya hanya opa dan oma di Ujung Pandang. Karena ibu adalah anak tunggal opa dan oma, dari pihak opa dan oma Manda memang tidak memiliki paman dan bibi kandung. Manda pusing memikirkan ini semua. Cewek itu lalu jatuh tertidur dengan segudang perasaan tak menentu.

Saat adzan Subuh berkumandang, Manda terjaga. Langsung mandi dan sholat Subuh. Manda kemudian keluar kamar, ke dapur, menyediakan mi goreng instant dan telur ceplok untuk dirinya. Lapar. Itu yang dirasakannya. Tidur sejak sore hingga pagi. What a hell? Batin Manda sendiri. Selesai sarapan Manda membersihkan perangkat yang dipakainya tadi dan kembali ke kamar. Ngopi sejenak, diambilnya ransel dan keluar mengunci kamar. Ibu kost sempat menanyakan keadaannya, soalnya dia tidak keluar kamar sejak sore kemarin. Manda hanya tertawa dengan alasan sedikit sakit kepala.

Pagi ini dipacunya sepeda federal biru metaliknya dengan semangat. Semangat yang sama setiap paginya. Semangat menjalani hidup untuk sesuatu yang lebih baik dari kemarin. Manda tiba di pasar bunga, menitipkan sepeda dan membuka toko, mulai menata buku-buku ke tempatnya dan menghidupkan radio kesayangannya, radio yang selalu menemaninya di toko, ditengah riuh nya pasar bunga. Tiga puluh menit kemudian pasar mulai ramai. Bu Intan, pak Atmo dan mbak Heli pun telah memulai aktifitasnya. Karena telah sarapan mi instant di kost, Manda tidak ikutan memesan nasi campur di warung. Sambil menunggu pembeli, pikiran Manda terbagi. Kejadian kemarin pagi sampai yang dilihatnya kemarin sore. Semua itu untuk sebuah maaf. Maaf dari seorang cucu yang amat diharapkan kakek dan neneknya, juga paman dan bibinya. Bahkan dari sepupunya sendiri! Manda menarik napas panjang seolah ingin menarik semua masalah ini pulang, tak usah datang dalam hidupnya. Hidupnya yang sendiri.

Manda tersentak saat bu Intan meneriakan namanya dengan keras dan berlari menuju toko bukunya.
"Ada apa bu? Kok ..." bu Intan menetralkan napasnya yang memburu.
"Mandaaaaaaaaaaaa ... kakek nenekmu!!!!!!!! Mereka baru turun dari mobil bersama Wisnu, sepupumu yang kemarin. Kakekmu di kursi roda Manda!!!" napas bu Intan kembali ngosngosan. Berikutnya mbak Heli ikut masuk ke toko bukunya, pak Atmo menunggu di luar. Manda tau, sikap mereka ini alami, mereka menjaganya selama ini. Mereka melindunginya! Melindunginya dari orang jahat itu pasti, tapi dari kakek neneknya sendiri? Manda mendesah.
"Assalamu'alaikum ... Manda ..." Wisnu berdiri di depan toko buku, disamping pak Atmo. Nampak pria tua di kursi roda. Pria tua itu nampak letih, duduk tak berdaya di kursi roda. Itulah Duarta, kakeknya sendiri. Dibelakangnya seorang ibu tua namun masih terlihat cantik berdiri dengan air mata berlinang. Itulah kakek dan neneknya!!!! Hati Manda tersentuh.
"Kakek? Nenek? Wisnu .. " diam. Semua terdiam. Nenek yang lebih dahulu pecah tangisnya. Tangis bahagia. Nenek menyeruak ke dalam toko, Manda berdiri, hambur ke dalam pelukan neneknya. Ego dan keras hatinya runtuh saat itu juga.

"Manda cucu nenek sayang .. Manda ... " jerit nenek histeris. Manda berlinang air mata. Semua yang ada disitu juga turut berlinang air mata. Haru dan bahagia lebur jadi satu dalam pertemuan yang tak disangka-sangka itu.
"Kakekk .. kakek ..." Manda melepaskan pelukan hangat nenek dan berhambur ke arah kakek. Berlutut di depan kursi rodanya, mencium lututnya dan menangis disitu. Seorang Duarta yang gagah di masa jayanya menitikan air mata, dirangkul pundak cucunya.
"Manda, cucu kakek, maafkan kakek ya sayang ... maafkan kakek." hanya itu, namun mewakili semua perasaan sang kakek. Manda berlutut, bersimpuh di atas lantai pasar yang kotor, mencium lutut kakeknya berulang-ulang. Semua egonya hilang, lenyap entah kemana. Yang ada saat ini adalah kebahagiaan terbesar dalam hidupnya, bertemu dengan kakek dan neneknya untuk pertama kali dalam hidupnya!

Dari luar pasar, datang mobil kedua. Turun lah paman Heru dan bibi Rini. Kedua berhamburan ke arah sang papa, papa mereka yang tengah menitikan air mata diciumi lututnya oleh Manda, cucu yang pernah mereka tolak dan singkirkan dari silsilah Duarta.
"Manda, ini paman ... " Heru S. Duarta meraih pundak Manda, memeluknya penuh sayang. Manda terus menangis. Mereka ditonton hampir seluruh pedagang bunga yang ada disitu.
"Manda sayang, ini bibi Rini sayang .. ini bibi mu .. maafkan kakek dan nenek yah sayang? Maafkan kami semua .." Rini Duarta merangkul Manda penuh cinta. Diciuminya pipi ponakannya itu. Anak dari kakaknya sendiri, Wisnu Duarta.

Hari itu juga Manda dilarang membuka toko, Manda diboyong ke rumah kakek dan neneknya yang bagai istana. Wisnu membeli hampir semua bunga yang dijual bu Intan, mbak Heli dan pak Atmo. Wisnu membawa bunga-bunga itu pulang. Manda menyaksikan rumah besar itu. Sangat besar. Hampir sepuluh kali dari rumah yang dibeli ayah atas namanya. Hampir sepuluh kali dari rumah yang ditinggalinya berdua dengan ibu berbagi suka dan duka. Manda bahagia. Senyumnya seperti mawar pak Atmo yang segar, binar matanya seperti tulip mbak Heli yang menawan, bahagianya seperti melati putih yang dijual bu Intan. Manda duduk ditengah keluarga Duarta, keluarga ayahnya.

Milyaran kata pun rasanya tak cukup untuk mewakili kebahagiaan terbesar dalam hidup keluarga Duarta. Duarta tua yang masih nampak gagah duduk di kursi rodanya tanpa melepaskan tatapan dari cucu nya yang 'hilang' itu. Nenek duduk disamping Manda dengan tangan terus membelai rambut cewek itu. Paman Heru duduk bersama istrinya dan Wisnu, putra mereka yang namanya diambil dari nama ayah Manda. Bibi Rini yang memang belum menikah ikut duduk disisi Manda menggenggam jemari cewek itu seakan tak ingin dilepas lagi. Tak ingin ponakannya pergi dari sisinya. Yang kurang dari hari itu mungkin wujud nyata dari ayah dan bundanya. Namun dari lubuk hatinya yang paling dalam Manda yakin, saat ini kedua orangtuanya tengah berada bersama mereka, tersenyum bahagia untuk hidup yang indah ini. Oh life, so beautiful. When I go on my way, alone with no one with me, I feel happy. But when I'm here with them, I feel the big happiness in my life. Manda tersenyum. Oh, life!!! So beautiful!!


tootyee, 18 Feb 2004
Isn't it? Life so beautiful ....